Pengindukkan BUMN belum Beres, Jokowi malah Janjikan Super Holding

Minggu, 14/04/2019 19:31 WIB
Calon presiden nomor urut 01 Jokowi Widodo (ist)

Calon presiden nomor urut 01 Jokowi Widodo (ist)

Jakarta, law-justice.co - Pengindukkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau dikenal dengan istilah super holding kembali mengemuka dalam debat kelima pemilihan presiden (Pilpres) 2019 yang digelar Sabtu (13/4) malam.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan pembentukan super holding dilakukan untuk mendorong perusahaan negara mengembangkan usaha ke luar negeri, sehingga memiliki aset dan kapitalisasi yang semakin besar. Selanjutnya, perusahaan swasta bisa mengekor jejak BUMN di level internasional.

"Kita akan membangun holding-holding BUMN, konstruksi dan karya, migas (minyak dan gas), kemudian yang berkaitan dengan pertanian dan perkebunan. Nantinya akan ada super holding," ujar Jokowi dalam debat kelima Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Sabtu (13/4).


Berdasarkan penelusuran CNNIndonesia.com, wacana pembentukan super holding di Indonesia sebenarnya merupakan wacana lama. Wacana ini mengemuka di era kepemimpinan Soeharto pada tahun 1990-an, dan kembali berkumandang kala Tanri Abeng menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan BUMN periode 1998-1999.

Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Badan Usaha Milik Negara(Kementerian BUMN) 2015-2019, pembentukan super holding juga disebut sebagai bagian restrukturisasi organisasi Kementerian BUMN dan perusahaan pelat merah. Super holding akan memimpin seluruh perusahaan holding sektoral dan perusahaan BUMN di luar holding sektoral.

Beberapa holding sektoral yang telah terealisasi adalah holding minyak dan gas (migas), holding perkebunan, holding semen, holding pertambangan dan holding pupuk.

Dalam dokumen tersebut, dampak positif dari pembentukan holding dan super holding di antaranya memperkuat struktur permodalan, meningkatkan daya saing BUMN, menciptakan sinergi BUMN, serta mengerek efisiensi operasi.

Di kancah global, super holding juga bukan sesuatu yang baru. Beberapa yang telah beroperasi, di antaranya Temasek di Singapura dan Khazanah Nasional Berhad di Malaysia.

Berdasarkan histori, kinerja BUMN tercatat membaik sejak 2015. Data Kementerian BUMN mengungkapkan hingga akhir 2018, aset BUMN telah menembus Rp8.092 triliun atau naik 40,48 persen dari 2015, Rp5.760 triliun.

Dari sisi laba, Menteri BUMN Rini Soemarno mengklaim keuntungan BUMN telah menembus Rp200 triliun sepanjang 2018, atau meningkat 10 persen dibanding posisi tahun lalu. Angka itu tercatat melonjak 30 persen dibanding posisi laba BUMN pada 2015 lalu yang ada di kisaran Rp150 triliun.

Pada 2018, total kontribusi BUMN terhadap APBN mencapai Rp422 triliun, di dalamnya termasuk dividen, pajak, dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kontribusi ini melonjak hampir 40 persen dari posisi 2015 yang sebesar Rp303 triliun.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai pemerintah tak perlu terburu-buru. Pasalnya, karakter permasalahan BUMN berbeda-beda, tidak bisa seluruhnya diselesaikan dengan pembentukan induk perusahaan (holding), apalagi super holding.

"Saya termasuk yang tidak setuju langsung ke super holding. Untuk masing-masing sektor yang dibentuk holding sekarang saja harus dilihat kecocokannya," ujarnya.

Jika pendekatan tepat, pembentukan holding akan memperbaiki kinerja dari sektor terkait dan perusahaan-perusahaan yang bernaung dalam holding tersebut.

Namun, ada risiko terkait permasalahan yang ada sebelum holding dalam perusahaan bisa menjadi semakin buruk setelah ada holding.

Misalnya, rencana pembentukan holding penerbangan belum tentu dapat menyelesaikan persoalan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk yang sudah menahun.

"Mungkin ada permasalahan yang bisa selesai dengan merger, ada yang mungkin tidak perlu dibikin holding karena struktur dari pelaku lebih bagus dibiarkan untuk mereka saling bersaing sehingga mereka terpacu untuk daya saingnya lebih baik," ujarnya.

Menurut Faisal, pembentukan super holding jauh lebih rumit karena lintas sektoral. Alih-alih meningkatkan efisiensi tetapi malah bisa menambah masalah.

"Pembentukan super holding bukan sekedar menggabungkan laporan keuangan seluruh perusahaan BUMN," ujarnya.

Salah satu super holding yang berhasil adalah Temasek di Singapura. Namun, Faisal menilai Indonesia perlu mengkaji lebih jauh mengenai pembentukan super holding di Indonesia karena karakter perusahaan pelat merah di Indonesia berbeda dengan Singapura .

Maka itu, Faisal menilai pemerintah tak perlu terburu-buru membentuk super holding. Hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan evaluasi terhadap kinerja holding yang ada saat ini.

"Selesaikan dulu permasalahan sekarang, jangan belum selesai satu mau bikin lebih besar lagi nanti malah bisa bikin permasalahan semakin rumit," ujarnya.

Sementara itu, ekonom Yanuar Rizky menilai pembentukan super holding akan membuat gerak perusahaan pelat menjadi lebih lincah dan meningkatkan performa BUMN secara keseluruhan. Pasalnya, jika menjadi super holding, Kementerian BUMN memiliki keleluasan dalam menentukan kebijakan strategis BUMN melalui pendekatan korporasi.

"Jadi tata kelola perusahaan yang ditingkatkan bukan tata kelola pemerintahan. Kalau Menteri BUMN kan sekarang bagian dari tata kelola pemerintah," ujar Yanuar.

Pembentukan super holding akan merestrukturisasi keuangan seluruh perusahaan BUMN dengan cara konsolidasi modal. Hal ini, menurut Yanuar, sejalan dengan semangat kapitalisme negara

Dengan super holding, cerukan pasar dan pendapatan BUMN semakin besar. Tak kalah penting, kemampuan pendanaan perusahana pelat merah secara keseluruhanlebih besar dan yang lebih besar.

"Akhirnya, BUMN memiliki neraca keuangan yang lebih kuat," ujarnya.

Kondisi ini akan membantu jika super holding akan menerbitkan surat utang dalam rangka mencari pendanaan. Super holding juga bisa mendapatkan bunga utang yang lebih rendah karena basis permodalan yang besar.

"Ini bisa menjadi cara untuk tidak menjual BUMN atau privatisasi," jelasnya.

Selain itu, super holding akan membantu penjualan silang atau cross selling dan berbagi biaya (sharing cost) antar perusahaan BUMN. Hal ini akan membantu mengatasi persoalan BUMN yang terus merugi.

Nantinya, BUMN yang biaya operasionalnya besar dan tak bisa ditutup oleh pendapatannya bisa dibantu dari pendapatan BUMN lain.

Misalnya, untuk mengatasi permasalahan Garuda, pemerintah bisa mencontoh skema maskapai Emirates Air. Dalam struktur keuangan, maskapai Emirates merupakan bagian dari Emirates Holding Group yang di dalamnya terdapat berbagai lini bisnis.

"Nanti, ruginya di maskapai mungkin bisa ditutupi dari pendapatan bandara," jelasnya.

Pada akhirnya, lanjut Yanuar, pembentukan super holding akan membuat pihak eksternal seperti politisi dan anggota DPR tidak bisa menyentuh atau campur tangan dalam menentukan kebijakan korporasi BUMN.

(Rois Haqiqi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar