Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia

HAM dan Demokrasi Era Jokowi di Ujung Tanduk

Sabtu, 20/01/2024 08:01 WIB
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Foto: Dokumen tim media Usman Hamid

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Foto: Dokumen tim media Usman Hamid

Jakarta, law-justice.co - “Dia teriak uang rakyat yang dipajak. Dia teriak uang pajak yang dibajak. Negara hukum diinjak oleh korupsi kolusi nepotisme rezim dinasti.”

Begitu penggalan lirik lagu yang dilantukan Usman Hamid yang dibawakan dalam ujung sesi momen memperingati Hari Pergerakan Perempuan Indonesia, Desember 2023 lalu. Ya, Usman selama ini lekat dengan identitas sebagai aktivis HAM yang berkarier di sejumlah lembaga besar mulai dari Kontras hingga kini Amnesty International Indonesia. Namun belakangan, ia juga tampak ingin mengaktualisasikan aktivismenya ke dalam musik dengan membuat grup band ‘Usman and Blackstones’.

Lirik lagu yang kritis membaca realitas penegakan HAM, hukum hingga demokrasi bak menjadi amunisi grup band itu dalam menyuarakan perlawanan. Lirik lagu di atas berjudul ‘Rempang’ yang terinspirasi dari aksi perlawanan warga Rempang, Batam. Mereka dihadang aksi represif aparatus negara saat berupaya mempertahankan ruang hidupnya. Sementara, aparat berlagak semacam centeng negara demi mengamankan proyek strategis negara (PSN).  

Bicara soal relasi HAM dan pembangunan, sejumlah lembaga sipil mengungkapkan bagaimana terjadinya pelanggaran HAM saat negara menggarap PSN, terlebih sekarang di masa Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan dalih memacu pertumbuhan ekonomi, terjadi penggusuran di mana-mana. Belum lagi berlangsung kerusakan lingkungan semisal dampak proyek pertambangan industri ekstraktif yang berdampak pada penurunan kualitas hidup masyarakat di sekitar lokasi tambang.

Usman mengetahui betul praktik-praktik serampangan negara atas nama membangun ekonomi semacam itu. Baginya pembangunan di era Jokowi menegasikan perlindungan HAM. Kepentingan bisnis seakan ditempatkan di atas kepentingan rakyat.

Kurang lebih 30 menit pada Desember lalu, Law-justice.co berbincang dengan Usman soal realitas HAM hingga demokrasi semasa rezim Jokowi. Dia membedah bagaimana tali-temali elite poltik dengan pebisnis dalam menghasilkan cuan hingga akhirnya HAM dan demokrasi dikebiri. Tak lupa, dia menyoroti ihwal nasib Indonesia di tangan tiga capres-cawapres yang kini bertarung dalam Pilpres 2024.

Berikut penggalan wawancaranya:

Scholars politik dari luar negeri menyamakan Jokowi dengan Suharto yang sama-sama berkuasa secara otoritarian, apa pendapat Anda?

Ya, betul sekali, ada tiga paradigma orde baru yang terasa sekali di era Jokowi. Yang pertama paradigma pembangunan yang mengutamakan investasi luar negeri. Yang kedua adalah klaim-klaim pemerataan dari proyek-proyek pertumbuhan ekonomi. Yang ketiga adalah stabilitas politik keamanan. Untuk yang pertama itu maupun yang kedua, terasa sekali dari proyek strategis nasional yang memang hampir seluruhnya berorientasi kepada investasi luar negeri. Pertama dari Tiongkok, di dalamnya termasuk utang luar negeri yang jumlanya fantastis.

Orientasi pemerintahan Jokowi yang memprioritaskan karpet merah untuk investor luar negeri itu tidak dikelola dengan keseimbangan pada kepentingan nasional terutama kesejahteraan buruh, petani, masyarakat adat, yang di depan investor justru kehilangan daya tawarnya.

Dan tentu saja invetstor luar negeri terutama yang dikejar oleh Jokowi adalah investor yang tampaknya diberikan kemudahan berinvestasi tanpa harus mematuhi hukum-hukum yang melindungi HAM dan tidak mematuhi hukum soal pengelolaan lingkungan hidup, termasuk perlindungan satwa-satwa langkah yang terdampak besar karena perambahan hutan untuk investasi. Semisal proyek pertambangan, PLTU hingga pembangunan pabrik kaca asal Tiongkok (di Rempang).

Kedua, klaim-klaim pertumbuhan dan pemerataan itu justru secara statistik menimbulkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Jadi pertumbuhan ekonomi dalam pengertian ekonomi makro memang kelihatan angkanya. Misalnya pendapatan negara dari sektor galian tambang. Tapi ketimpangan sosialnya makin melebar karena ekonomi makro semacam itu lebih mengandalkan industri berskala besar yang ekstraktif sehingga tidak menghasilkan pemerataan seperti yang diklaim.

Misal Gibran (saat debat pilpres kedua) yang ditanya soal investor IKN yang dia sebut kan industri besar seperti Mayapada dan Agung Sedayu. Tapi yang lupa dari perhatian adalah bagaimana itu berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan lingkungan di sana.

Di sisi lain pendekatan ekonomi makro itu melupakan potensi ekonomi mikro misal sektor pertanian hingga peternakan masyarakat. Atau (melupakan) pola hidup masyarakat yang subsisten seperti di Papua yang mengandalkan kebun sagu dan ubi. Tetapi dengan proyek-proyek pembangunan infrastruktur, jalan-jalan besar yang menghubungkan titik investasi atau industri ekstraktif itu justru mengakibatkan hilang sumber pendapatan masyarakat. Akibatnya, mereka justru tersingkirkan dari pembangunan.

Ketiga, dari segi stabilitas politik-keamanan. Banyak sekali peristiwa yang memperlihatkan pendekatan keamanan itu sangat berlebihan untuk mengamankan investasi. Itulah sebabnya banyak peristiwa penggunaan kekuatan yang berlebih dari aparat misal dalam proyek penggalian tambang di Banyuwangi, Wadas, Papua, Halmahera sampai Morowali.

Jadi kembali ke pertanyaan awal, saya sangat setuju sekali. Karena yang menonjol sejak tahun pertama (pemerintahan Jokowi) adalah prioritas developmentalism Jokowi itu menyingkirkan agenda-agenda pemberantasan korupsi. Menyingkirkan agenda penegakan HAM. Dan melonggarkan regulasi dalam konteks pengaturan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga investasi dibebaskan untuk tidak harus lakukan analisis dampak lingkungan.

Artinya, state actornya sekarang Tiongkok ya?

Yang berubah di Indonesia itu lebih kepada politik di tingkat formal pemilihan umum yang belum mengubah struktur ekonomi politiknya. Dan keseluruhan penegakan developmentalism Jokowi itu membentuk sistem hubungan kekuasaan yang mengandalkan ekonomi sebagai kepanjangan dari sistem kapitalisme global yang di masa orde baru itu kiblatnya adalah Amerika Serikat dan di masa Jokowi itu adalah Tiongkok. Sistem hubungan ekonominya tidak berubah yakni melayani kepentingan ekonomi kepentingan pebisnis luar negeri ketimbang memprioritaskan ekonomi kerakyatan.

Dengan adanya relasi kapitalisme global dengan developmentalism Jokowi, lantas di mana posisi penegakan HAM dan demokrasi?

Ada tiga kemunduran besar, pertama menyempitnya ruang publik untuk kritik dan protes. Kedua, melemahnya budaya oposisi, terutama di parlemen yang hampir tidak ada oposisi. Ketiga, melemahnya integritas sistem elektoral. Jadi, dalam 6-7 tahun pemerintahan Jokowi, dua yang pertama itu sangat terasa sekali. Lalu dalam dua tahun terakhir, faktor ketiga yang lebih terasa. Dari mulai pelemahan integritas KPU sampai dengan MK.

Nah kalau dijabarkan lagi, tiga kemunduran besar ini bisa dijabarkan dalam enam permasalahan. Yang pertama, menguatnya hukum-hukum represif dan penggunaan praktik represif dari aparat keamanan sebagai alat untuk mengamankan pembangunan dan membungkam kritik. Kedua, dengan pemusatan kembali tata kelola kembali pemerintahan.

Reformasi dan demokrasi itu kan mendorong demokratisasi dan dalam konteks pemerintahan mendorong desentralisasi. Bentuknya misal otonomi daerah ataupun otonomi khusus. Daerah diberi semacam daya tawar agar tidak menjadi objek eksploitasi ekonomi dari pemerintahan pusat. Tapi sekarang tidak ada daya tawar itu.

Ketiga, melemahnya budaya oposisi di parlemen karena menurunnya kualitas partai politik. Parpol itu sistem kerjanya didominasi oleh kekuatan yang sifatnya material. Itu mungkin karena ongkos pemilu yang besar. Baik itu akibat ketiadaan iuran anggota yang seharusnya menjadi basis dari parpol maupun karena minimnya subsidi negara terhadap parpol. Akibatnya pendanaan partai itu tergantung dari kekuatan bisnis besar yang sering disebut sebagai kekuatan oligarki atau dalam bahasa slang adalah “cukong”.

Di sisi yang sama partai politik juga terisolir dari konstituennya karena sistem representasinya itu lemah akibat dari minimnya konstituensi lantaran pendanaan yang justru besar dari pebisnis sehingga partai lebih berorientasi melayani kepentingan pebisnis besar atau pebisnis yang mendirikan partainya. Ujung-ujungnya tata kelola menjadi buruk dan korup. Mereka menjadi pemburu rente dari proyek pemerintah.

Sistem kepartaian juga kental dengan pola hubungan kartel sehingga antara partai-partai yang ada tidak lagi saling bersaing tetapi saling beraliansi secara kolusif untuk mendapatkan sumber kekayaan negara. Beda di antara mereka cuma sebatas hitungan saja, yang menang dapat lebih banyak, yang kalah tetap mendapat bagian.

Keempat, melemahnya independensi, kredibilitas hingga akuntabilitas lembaga pengawas maupun penegak hukum. Bahkan, cenderung mengalami politisasi. Aparat penegak hukum dijadikan alat untuk melayani kepentingan yang berkuasa dan kepentingan yang punya modal besar. Sehingga aparat tidak dalam titik keseimbangan antara kepentingan masyarakat yang harus dilindungi dengan kepentingan yang berkuasa. Itu bisa dilihat dari kasus-kasus di Kepolisian, Kejaksaan, KPK hingga MK. Belakangan, BPK ternyata tidak kebal dengan masalah ini.

Kelima, menguatnya sistem oligopoli di sistem media. Media itu kan pilar keempat dari demokrasi yang punya kemampuan mengontrol jalannya kekuasaan. Dan menjadi ruang artikulasi masyarakat. Tapi karena media jadi oligopoli, akibatnya kerap berfungsi sebagai partisan. Kasus yang paling menonjol ketika TV One dan Metro TV bersaing. Yang satu mendukung Jokowi, satunya lagi mendukung Prabowo pada 2014. Tapi di periode kedua setelah 2019, mereka (Prabowo-Jokowi) kan bentuk koalisi dan media tidak membuat semacam oposisi alternatif meski ada lah beberapa media, tetapi secara umum orientasi lebih ke bisnis.

Keenam, adalah polarisasi sosial masyarakat akibat dari nasionalisme yang berlebihan dari kebijakan pemerintahan Jokowi. Misal konteks deradikalisasi hingga kasus di Papua. Juga ditambah masalah perlindungan minoritas yang justru terkesan muncul kebijakan diskriminatif. Jadi polarisasi yang ada kini bukan tumbuh murni dari masyarakat, tapi diproduksi oleh retorika elite politik yang memecah belah masyarakat. Semisal narasi anti asing, anti aseng, mereka yang menentang Pancasila dan NKRI. Bisa juga dilihat dari sejumlah pegawai KPK yang disingkirkan atas dalih pemberantasan radikalisme.

Negara yang menyuburkan polarisasi?

Jadi ada kebijakan yang seolah menjaga pluralisme tapi justru bersifat represif. Seolah menjaga keberagaman, keindonesiaan, kebangsaan dengan pendekatan represif. Pluralisme represif yang memelihara polarisasi sosial di masyarakat, misal diksi kadrun, cebong dan lain-lain. Jadi kalau ada anggapan telah berhasilnya negara membungkam gerakan radikal seperti FPI, itu tidak berarti karena sebenarnya tidak dapat melindungi minoritas--tidak menghapuskan kebencian suku, etnis di masyarakat.

Sebab, peraturannya tetap langgeng, misal SKB 3 menteri terkait larangan ajaran Ahmadiyah. Dan justru elite politik juga diberi keleluasaan untuk memproduksi kebijakan yang mendiskriminasi kelompok gender, semisal LGBT. Mereka enggak salah apa-apa tapi dikambing-hitamkan. Nah politik semacam ini yang dijadikan penggerak polarisasi.

Dalam konteks itu, kemunduran demokrasi berlangsung, nyaris tanpa koreksi dari kekuatan sosial karena masyarakat terbelah.  

Nasib HAM di tangan capres-cawapres yang bertarung, apakah akan tetap suram atau ada secuil harapan?

Di ujung tanduk, kira-kira begitu. Kalau kepeleset dikit, ya jatuh itu demokrasi Indonesia karena dari tiga indikator besar yang saya sebut di awal. Itul ah tiga karakteristik apakah sebuah negara masih bisa dikatakan sebagai negara yang demokrasi. Misal poin ketiga soal sistem pemilu yang saat ini sedang mengalami krisis dengan dugaan kecurangan yang sangat terasa karena keputusan MK, pansel seleksi pimpinan KPU, putusan KPU yang justru tidak kritik politik bagi uang hingga penggunaan BLT untuk suap politik.

Hal itu membuat saya merasa pemilu ini bakal jadi pemilu pertama yang tidak jujur dan tidak adil sejak jatuhnya Suharto. Demokrasi dalam pemilu kali ini di ujung tanduk dan bisa terjatuh. Dan kalau itu terjadi, maka mungkin Indonesia setidaknya akan tidak lagi digolongkan sebagai negara yang demokratis. Di mana proses elektoralnya melahirkan autokrasi yang bisa dalam bentuk kediktatoran, dalam bentuk oligarki maupun dalam kekuasaan fasisme.

Rezim kediktatoran akan lahir kalau ada negara yang dipimpin oleh seorang yang tempramental, yang tidak menghargai demokrasi.

Yang dua lagi bagaimana (Anies dan Ganjar)?

Di dalam debat pilpres perdana masih menjanjikan besar bagi demokrasi. Misalnya saat Anies Baswedan mengatakan bahwa memang ada pelemahan dalam demokrasi. Begitu pun Ganjar, yang bilang tidak akan ada kasus lagi seperti Melky hingga Butet. Dan dia juga berjanji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Dia juga berjanji untuk menyelesaikan kasus Kanjuruhan. Ya setidaknya pada tingkat retorika. Tapi kan peluang mereka (Ganjar atau Anies) untuk menang tidak sebesar 02 (Prabowo).

Kalau Prabowo menang, bagaimana nasib HAM, penegakan hukum dan demokrasi?

Akan tetap mengalami tantangan badai politik.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar