Sesat,Bandingkan Depresiasi Rupiah dengan Uang Thailand, Korea & Turki

Minggu, 28/04/2024 00:20 WIB
Ilustrasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Tribun)

Ilustrasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Tribun)

[INTRO]
Menurut Pengamat Ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengkritisi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memandang enteng pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS. Alasannya, depresiasi rupiah tidak `sebahaya` mata uang Thailand, Korea, dan Turki.
 
"Boleh saja secara nominal, rupiah mungkin tidak terdepresiasi seburuk mata uang negara lain. Namun, pernyataan Sri Mulyani ini, cenderung menyesatkan dan dapat mengurangi urgensi dalam menangani masalah fundamental ekonomi Indonesia," lanjutnya di Jakarta, Jumat (26/4/2024).
 
Tetapi menilai kinerja mata uang hanya berdasarkan depresiasi nominal di pasar forex, menurut dia,  bisa sangat menyesatkan. Apalagi klaim bahwa rupiah masih `lebih baik` ketimbang mata uang negara lain, merupakan pendekatan reduktif. Nadanya mengabaikan faktor-faktor  kompleks yang membentuk ekonomi suatu negara.
 
"Sedangkan pelemahan rupiah mungkin terlihat lebih minimal dibandingkan dengan mata uang negara lain, ini tidak necessarily berarti bahwa kondisi ekonomi Indonesia lebih stabil atau lebih baik," kata Achmad Nur.
 
Terkait rupiah, Sri Mulyani tak membantah rupiah melemah terhadap dolar AS. Namun, negara lain mengalami hal yang sama. Nasib rupiah disebut lebih mujur. Pemcunya adalah indeks dolar AS menguat 4,5 persen, sehingga mata uang negara lain terkoreksi.
 
"Negara-negara seperti sekitar kita dan di emerging country G20, ada di situasi yang mirip, bahkan ada yang lebih parah lagi. Tergantung dari pondasi dan kondisi ekonomi masing-masing," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA Edisi April 2024 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, (26/4/2024).
 
Sri Mulyani mencontohkan, mata uang baht Thailand yang terkoreksi 8,56 persen, atau won Korea Selatan terkoreksi di 6,31 persen, dan lira Turki merosot 10,4 persen. Demikian pula, Brazil tertekan 5,06 persen; Vietnam 4,7 persen; Afrika Selatan 4,7 persen; Filipina 3,9 persen.
 
"Jadi pergerakan nilai tukar, kecenderungan terjadinya capital outflow, koreksi nilai tukar, harga saham, dan yield dari surat berharga, menjadi fokus dari pembahasan menteri keuangan dan gubernur bank sentral di G20 maupun pertemuan IMF minggu lalu," ujarnya.
 
Sri Mulyani pun menekankan agar masing-masing negara, harus mulai melakukan penyesuaian dengan dinamika market yang cukup tinggi seperti saat ini.
 
Dengan indeks dolar AS yang menguat, maka nilai tukar rupiah mengalami depresiasi 5,37 persen sejak awal tahun secara year to date (ytd). Dengan kata lain, rupiah lebih apes ketimbang Brazil, Afrika Selatan dan Filipina.
 
Masalahnya untuk menjaga stabilitas nilai Rupiah itu, Bank Indonesia terus menerus mengintervensi pasar dengan mengucurkan dollar, namun hal itu jelas semakin menguras cadangan devisa negara. Hal ini yang tidak disinggung Sri Mulyani karena mungkin menilai itu urusan BI.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar