Ayon Diniyanto, S.H., M.H

Analisis Hukum Kekuasaan Mahkamah Konstitusi Mesti Dibatasi

Minggu, 24/12/2023 08:00 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (Detik)

Gedung Mahkamah Konstitusi (Detik)

[INTRO]

Mahkamah Konstitusi (MK) hari-hari ini menjadi pembicaraan di ruang publik. Alasannya, adanya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut terkait syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 207 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mensyaratkan usia untuk calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres dan Cawapres) paling rendah 40 (empat puluh) tahun.

MK dalam putusan tersebut kemudian menambahkan norma/frasa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan kemudian menjadi ramai di masyarakat.

Sebenarnya jika melihat kebelakang, tidak perlu kaget dengan putusan tersebut. MK dalam Putusan 112/PUU-XX/2022 juga menambahkan atau menyisipkan frasa soal syarat usia calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Syarat usia calon pimpinan KPK paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan. MK dalam amar putusan mengadili nomor 2, meyisipkan frasa “atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK”.

Artinya, MK pernah mengubah syarat usia untuk jabatan publik. Disini Putusan MK nampak terlihat konsisten. Namun, apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023? Putusan tersebut secara teori hukum menimbulkan problematik.

Ada setidaknya dua pendekatan yang dapat menjawab mengapa putusan tersebut problematik. Pertama, pendekatan teori Hak Asasi Manusia (HAM) atau prinsip universal dalam HAM. Pendekatan teori HAM digunakan untuk melihat norma syarat Capres dan Cawapres yang ada dalam UU Pemilu. Kedua, pendekatan teori cabang kekuasaan atau pemisahan kekuasaan. Teori pemisahan kekuasaan digunakan dalam melihat substansi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Putusan MK Inkonsisten dengan Prinsip HAM

MK dalam pertimbangan putusan tersebut menyatakan, bahwa MK sebenarnya adalah negative legislator (pembatal norma), tetapi dapat menjadi `positive legislator` (pembuat norma) apabila ada undang-undang yang melanggar konstitusi dan/atau keadilan in casu Pancasila, konstitusi, prinsip keadilan, dan HAM. Norma syarat usia Capres dan Cawapres dianggap melanggar prinsip tersebut terutama prinsip HAM.

Karena pemohon dalam putusan tersebut mendalilkan dengan batu uji UUD NRI Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) dan (3). Pasal 27 ayat (1) berkaitan dengan warga negara. Pasal 28D ayat (1) dan (3) terkait HAM. Jelaslah bahwa HAM menjadi pertimbangan MK dalam putusan tersebut.

MK dalam pertimbangan hukum mengatakan bahwa usia minimal 40 tahun untuk menjadi Capres dan Cawapres tidak adil sehingga tidak proporsional. MK juga mendalilkan bahwa dalam penalaran yang wajar, setiap warga negara memiliki hak dipilih (right to vote) dan hak memilih (right to be candidate). Pendapat tersebut juga selaras dengan prinsip HAM dalam Deklarasi Universal HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratufikasi oleh Indonesia.

Kemudian dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatakan bahwa "Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Artinya, argumen MK tentang HAM rasional. Tapi, mengapa putusan MK menambahkan frasa? Harusnya Putusan MK membatalkan norma, dalam hal ini norma syarat usia Capres dan Cawapres. Bukan menambah frasa yang mengubah makna norma awal. Disini letak inkonsistensi MK.

Jika MK konsisten dengan prinsip HAM, norma syarat usia Capres dan Cawapres harus dibatalkan. Alasannya, hak memilih dan dipilih seharusnya menjadi hak fundamental dalam satu tarikan nafas yang menyatu pada setiap warga negara.

Artinya, setiap warga negara harus mendapatkan hak memilih dan dipilih secara bersamaan. Jangan hanya punya hak memilih tetapi tidak punya hak dipilih, agar tidak melanggar prinsip universal dan fundamental dalam HAM. Pasal 198 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Berarti warga negara yang memenuhi syarat tersebut juga boleh dipilih.

Kalau Mahkamah Konstitusi konsisten dengan argumen prinsip HAM, maka norma syarat usia Capres dan Cawapres dibatalkan, bukan menambah frasa. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah bisa Mahkamah membatalkan norma hukum, sementara petitum permohonan tidak menyebut membatalkan Pasal 169 huruf (q) tapi ada alternatif penambahan norma atau frasa? MK memang sebaiknya tidak memutus melebihi permohonan (ultra petita), maka harusnya permohonan tidak dapat diterima. Permohonan diterima jika petitum adalah membatalkan norma, bukan menambah frasa atau merubah norma, misalnya dari umur 40 menjadi 35.

Putusan Menabrak Pemisahan Kekuasaan

Kemudian, pendekatan dari teori pemisahan kekuasaan. Montesquieu dalam Teori Pemisahan Kekuasaan (separation of power) atau yang dikenal dengan Trias Politica, memisahkan tiga cabang kekuasaan yaitu: legislatif (pembentuk norma); eksekutif (pelaksana norma); dan yudikatif (penegak/pembatal norma). Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dari sudut pandang Trias Politica tidak tepat. MK dapat menabrak kewenangan pembentuk norma dalam hal ini legislatif.

MK, nampaknya mengabaikan hal tersebut. Karena menurut MK, kebijakan hukum terbuka pembentuk norma atau undang-undang (open legal policy) dapat dikesampingkan. MK beralasan bahwa open legal policy dapat dikesampingkan apabila melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Pendapat tersebut kemudian menjadi pintu masuk Mahkamah Konstitusi melampaui kewenangan sebagai positive legislator yang sebenarnya menjadi domain legislatif. Pandangan MK yang demikian dapat dikatakan tidak sejalan dengan teori Trias Politica yang disampaikan oleh Montesquieu.

Jika semangat amandemen konstitusi adalah untuk meneguhkan Trias Politica. Kewenangan MK mesti dibatasi. MK tidak boleh lagi sebagai positive legislator. MK mesti menjadi negative legislator. Karena apabila kewenangan MK tidak dibatasi, sangat mungkin putusan seperti itu terjadi berulang-ulang. Bagaimana cara membatasi kewenangan MK agar hanya sebagai negative legislator?

Perlu ada aturan yang dibuat untuk menegaskan bahwa MK adalah negative legislator bukan positive legislator. Diatur dimana sebaiknya? Jika diatur dalam undang-undang, maka aturan tersebut berpotensi dibatalkan oleh MK. Disini terjadi dilema. Mungkin jalan terbaik adalah dengan amandemen konstitusi. Amandemen konstitusi dalam rangka penataan kelembagaan negara merupakan keniscayaan.

Hal ini agar semangat pemisahan kekuasaan benar-benar terjadi, sehingga memunculkan check and balances (keseimbangan). Keseimbangan akan mampu memperkuat konstitusi dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Mungkinkah terjadi? Mungkin, tapi tidak tahu kapan waktunya.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar