Asumsi Lama, Krisis 1998, & Trauma Rupiah yang Berulang

Senin, 23/10/2023 15:45 WIB
Ilustrasi perekonomian Indonesia (Harianaceh.co.id)

Ilustrasi perekonomian Indonesia (Harianaceh.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Arah perekonomian global mulai meninggalkan era neoliberal yang mewarnai 1990-2019. Hal ini terbukti dengan tidak bekerjanya model ekonomi yang didasari asumsi-asumsi lama.

Kondisi ini terjadi ketika suku bunga The Fed saat ini tidak cukup untuk meredam inflasi AS. Inilah cikal bakal dari munculnya ekspektasi `higher for longer` atau suku bunga tinggi untuk waktu lebih lama.

Tim ekonom PT Bank Central Asia Tbk. mengungkapkan ekspektasi suku bunga tinggi memengaruhi harga aset di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Rupiah mengalami tekanan serius sejak Juli 2023.

Pada perdagangan Jumat lalu 19 Oktober 2023, rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya di angka Rp 15.853. Dalam kondisi ini, stabilisasi rupiah menjadi menantang. Benar saja, model-model ekonomi lampau tak lagi sesuai.

"Apa yang sebelumnya cukup untuk menstabilkan Rupiah - suku bunga riil (real policy rate) sekitar 2,5 - 3,5% - tampak tidak lagi cukup menjaga daya tarik Rupiah," kata Barra Kukuh Mamia, Senior Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, dikutip Senin 23 Oktober 2023.

Sebagai catatan, suku bunga riil adalah tingkat bunga nominal di bank sentral dikurangi dengan inflasi yang terjadi pada periode yang sama.

Biasanya, kata Barra, tren perlambatan inflasi biasanya memberikan ruang bagi bank sentral untuk melonggarkan kebijakan suku bunga, atau setidaknya menjaga suku bunga tetap stabil.

Akan tetapi, skenario ini tampak sulit direalisasikan pada sekarang, mengingat kondisi likuiditas global yang semakin banyak terserap oleh pasar obligasi AS seiring kenaikan imbal hasil UST securities dan ketegangan geopolitik yang meningkatkan permintaan aset safe haven.

Hal inilah yang membuat Bank Indonesia memutuskan menaikkan suku bunga acuan ke level 6% di tengah inflasi yang rendah pada Oktober ini. Semua tidak lain, tidak bukan dilakukan untuk menjaga rupiah.

Barra menilai BI tampak enggan membiarkan Rupiah terdepresiasi demi memperbaiki ketidakseimbangan likuiditas pada sektor riil. Seperti diketahui, pelemahan Rupiah baru-baru ini hampir seluruhnya disebabkan oleh faktor-faktor global - termasuk jatuhnya harga batu bara, yang mengubah transaksi berjalannya menjadi negatif dan menyebabkan melemahnya kinerja Rupiah dibandingkan negara-negara Asia lainnya.

"Mungkin karena pengalaman 1998, pengambil kebijakan Tanah Air cenderung enggan membiarkan mata uang terdepresiasi untuk membenarkan ketidakseimbangan makro," ungkap Barra dan tim BCA dalam laporannya.

Trauma krisis moneter 1998 belum pudar di masyarakat Indonesia. Saat itu, krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13,7% lebih. Krisis ini diwarnai dengan rush atau pengambilan uang besar-besaran dari bank.

Luka krisis ini semakin mendalam karena dibarengi dengan krisis politik akibat perubahan tampuk kepemimpinan. Ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI) Chatib Basri menilai krisis inilah yang membuat orang menjadi trauma, terlebih jika melihat kurs Rupiah terus mengalami pelemahan seperti sekarang ini.

"Jadi yang kaya trauma 98 itu selalu tetap muncul," tegasnya dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (23/10/2023). Namun, Chatib menemukan trauma itu tidak hanya terjadi pada orng indo tapi investor yang investasi di Indonesia, termasuk investor asing.

"Saya heran. Enggak lah, ini negara oke kok...ya kalau kita bandingin dengan negara lain, kita relatively oke," ungkap Chatib. Jika ditanya `apakah ada potensi krisis?`, Chatib memastikan seharusnya tidak ada.

Chatib menceritakan pada tahun 2013 - ketika taper tantrum terjadi - dirinya pernah ditanya oleh Gubernur Bank Central Meksiko: `mengapa Indonesia tetap melakukan intervensi terhadap nilai tukar Rupiah?`.

"Saya bilang enggak bisa, kalau di Indonesia itu dilakukan mesti dibimbing, kalau dilakukan orang akan panik dan dikiranya akan kembali ke 1998," kata dia.

Padahal, kata dia, banyak orang tidak sadar ketika taper tantrum terjadi kurs rupiah sudah merosot hingga 15%. Dia mengatakan kendati nilai rupiah sudah terdepresiasi dalam saat taper tantrum, Indonesia tidak mengalami krisis.

"Masalahnya selalu persepsi, persepsi yang repot itu adalah kalau orang menganggap krisis," tegasnya.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar