Analisis Hukum Tanah Ulayat Rempang yang Timpang & Tidak Adil

Minggu, 24/09/2023 22:23 WIB
Temuan Awal Investigasi Kekerasan & Pelanggaran HAM di Rempang. (Istimewa).

Temuan Awal Investigasi Kekerasan & Pelanggaran HAM di Rempang. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Kasus penggusuran paksa di Rempang dengan luas kurang-lebih 16.583 km² adalah pulau di wilayah pemerintahan kota Batam, provinsi Kepulauan Riau yang merupakan rangkaian pulau besar kedua yang dihubungkan oleh enam buah jembatan Barelang.

Selama beberapa pekan terakhir ini kasus pulau Rempang telah menjadi berita hangat bukan hanya di Indonesia tetapi juga di mancanegara. Sampai saat ini kasusnya terus bergulir belum ada penyelesaian yang memuaskan pihak pihak yang terlibat sengketa.

Kabar terakhir, Pemerintah memberikan waktu hingga tanggal 28 September 2023 kepada penduduk di 16 titik kampung tua yang berada di Pulau Rempang, Batam untuk mengosongkan lahan mereka.

Penduduk yang tinggal di 16 kampung tua pulau Rempang itu harus meninggalkan kampung halamannya yang sudah di huni ratusan tahun lamanya.Dikutip dari Kitab Tuhfat An- Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890), dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang adalah keturunan dari Prajurit prajurit  /Lasykar Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau pulau  tersebut sejak tahun 1720 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Selama Perang Riau I (1782 – 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah ( salah seorang Pahlawan Nasional ). Kemudian dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784-1787) mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Ketika kemudian Sultan Mahmud Riayat Syah hijrah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik- Lingga pada tahun 1787, pulau Rempang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga.

Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga. Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang secara turun temurun.

Jadi penduduk 16 Kampung Tua di Pulau Rempang itu sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak berketurunan, hidup mendiami pulau tersebut serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang mereka sampai hari ini. Hari ini jumlah penduduk Pulau Rempang diperkirakan 5.000 Jiwa ( tidak termasuk Galang dan Bulang), bermata-pencaharian pada umumnya sebagai nelayan dan berdagang.

Selain penduduk asli yang tinggal di 16 Kampung tua pulau Rempang, ada juga penduduk pendatang yang mengelola lahan yang ada di Kawasan pulau Rempang.Para pendatang yang menggarap lahan itu memanfaatkan adanya lahan kosong yang ditelantarkan. Para pendatang itu menggarap lahan yang ditelantarkan oleh PT. Makmur Elok Graha atau PT. MEG dari Group Artha Graha milik Tommy Winata.

Untuk diketahui, PT. MEG mendapatkan konsesi berupa HGU (Hak Guna Usaha) dari Walikota Batam pada tahun 2004. Saat itu PT. MEG sebagai investor menandatangani MOU  dengan Walikota Batam ( Nyat Kadir ). Akan tetapi selama 19 tahun lahan yang diberikan kepada investor tersebut tidak digarap (diterlantarkan). Selama 19 tahun ditelantarkan seharusnya Hak atas Lahan itu sudah dicabut oleh Pemerintah sesuai dengan UUPA ( UU Nomor 5 Tahun 1960 ) tetapi ternyata pencabutan itu tidak dilakukan.

Karena ada lahan yang ditelantarkan maka masuklah sejumlah orang orang dari luar Rempang yang membuka berbagai usaha seperti ternak babi, ternak ayam, dan kebun buah buahan dll, Mereka adalah pendatang yang menempati bagian darat dari Pulau Rempang. Sedangkan penduduk asli keturunan Prajurit Sultan Riau Lingga sejak dulu hingga kini menempati dan berdiam di bagian pesisir di 16 kampung tua Pulau Rempang.

Kini dengan mencuatnya kasus Rempang, Pemerintah terkesan memperlakukan sama status penduduk asli itu dengan para pendatang. Pemerintah seolah olah menyamakan mereka mereka yang mengelola lahan di kawasan tersebut dengan warga kampung asli yang telah bermukim di sana sebelum Indonesia merdeka.

Perlakuan sama itu antara lain tercermin dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD yang menyebut tanah yang bersengketa itu milik negara. Dia mengatakan negara memberikan hak guna usaha (HGU) kepada investor. Karena itu, Mahfud menyebut peristiwa di Rempang bukan penggusuran, namun pengosongan lahan oleh yang berhak.

"Supaya dipahami kasus itu bukan kasus penggusuran, tetapi memang pengosongan karena memang secara hak itu akan digunakan oleh pemegang haknya," ujar Mahfud saat ditemui di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Jumat (8/9/23) seperti dikutip media..

Pada hal makna dikosongkan ataupun digusur itu pada prinsipnya sama saja. seolah olah yang harus dikosong itu termasuk 16 kampung tua yang sudah dihuni masyarakat selama ratusan tahun lamanya. Pada hal diantara keduanya seharusnya mendapatkan perlakuan yang berbeda karena memang berbeda status lahannya.

Analisis Hukum

Status kawasan pulau Rempang seluas sekitar 17.000 hektar merupakan hutan konservasi Taman Buru, dan hutan lindung. Di Kawasan itu ada 16 kampung tua yang dihuni penduduk pribumi setempat secara turun temurun dimana mereka tinggal di kawasan pesisir pantai sementara para pendatang kebanyakan menghuni bagian daratan.

Seperti dikemukakan diatas, pada tahun 2004 masuk investor ke Rempang, diawali dengan ditandatanganinya MOU tahun 2004 antara Walikota Batam ( Nyat Kadir ) dengan investor dari Group Artha Graha yakni PT MEG. Akan tetapi selama 19 tahun lahan yang diberikan kepada investor tersebut tidak digarap (diterlantarkan).

Proyek investasi di Rempang mulai diangkat kembali oleh PT MEG pada 2015. Kemudian dibahas cukup intens selama periode 2016-2021 oleh pemerintah pusat. Pemberian konsesi pengelolaan lahan satu pulau Rempang kepada investor terkendala oleh adanya pasal 19 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut pasal 19 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, bahwa perubahan fungsi kawasan hutan harus berdasarkan hasil penelitian terpadu (ayat 1), dan untuk cakupan yang luas serta bernilai strategis harus dengan persetujuan DPR (ayat 2).

Karena adanya kendala yuridis tersebut pada akhirnya Pemerintah bersama DPR menerbitkan UU (Omnibus Law) No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020. UU Cipta Klaster Kehutanan mengatur Penggunaan Kawasan Hutan untuk keperluan komersial, yang sebelumnya tidak bisa.

Pasal 38 UU Cipta Kerja memberi fasilitas untuk itu. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan (di luar kegiatan kehutanan) dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (ayat 1), tanpa perlu mengubah fungsi pokok kawasan hutan dan tanpa persetujuan DPR.

Berdasarkan ketentuan ini maka investor dalam hal ini PT. MEG yang akan mengembangkan proyek Rempang Eco City bisa diakomodasi asalkan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tersebut dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis. Kebetulan Rempang Eco City masuk kategori proyek PSN (Proyek Strategis Nasional).

Pasal 38 UU Cipta Kerja kemudian dikuatkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang ditandatangani Jokowi pada 2 Februari 2021. Dalam PP ini antara lain dinyatakan bahwa kegiatan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (pasal 91 butir c), dan industri selain Pengolahan Hasil Hutan (pasal 91 butir i) bisa masuk kawasan hutan produksi dan hutan lindung.

Butir terakhir tersebut, pada dasarnya, menyatakan bahwa semua kegiatan industri bisa masuk kawasan hutan tanpa perlu mengubah fungsi pokok kawasan hutan itu sendiri. Asal, kegiatan tersebut mempunyai tujuan strategis atau masuk kategori PSN.

Bukan hanya itu saja, menurut Pasal 94 ayat (8) hutuf f), untuk kegiatan program atau proyek strategis nasional, UU Cipta Kerja membebaskan kewajiban pembayaran Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) kepada pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (Pasal 94 ayat (8) hutuf f) termasuk tentunya PT MEG.

Sesungguhnya, pemberian lahan seluas satu pulau atau sekitar 17.000 hektar untuk satu investor Rempang Eco City juga melanggar UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang berbunyi bahwa penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7), dan dipertegas bahwa pemerintah wajib mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta (Pasal 13 ayat (2)).

Tetapi yang terjadi justru pemerintah malah memfasilitasi investor swasta tersebut dengan mendidiskreditkan penduduk asli Rempang sebagai penduduk liar yang menyerobot lahan negara, sehingga boleh saja diusir, atau direlokasi secara paksa. Pada hal kebanyakan dari mereka merupakan penduduk setempat secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.

Dalam kaitan ini nampaknya pejabat pemerintah terkait seperti  Mahfud MD, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia telah gagal merekonstruksi status lahan di Rempang.

Mereka gagal mengkonstruksi masalah ini seolah izin investasi kepada perusahaan bisa mengeliminasi hak hak rakyat atas tanahnya. Sebab atas dasar apa warga harus diusir dari tanah leluhur yang selama ini telah menghuni kampung halamannya hingga ratusan tahun lamanya ?.

Ketiadaan bukti kepemilikan warga terhadap sertifikat tidak seharusnya menjadi legitimasi relokasi atau menjadi dasar untuk mengusir mereka. Pasalnya, ada bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa warga sudah tinggal sejak lama dan menguasai tanahnya. Buktinya misalnya bisa dilihat dari catatan kependudukan.

Kalaupun kemudian lahan warga itu diklaim sebagai tanah negara maka seharusnya, pemerintah lebih berpihak dan mendahulukan pada warga asli bukan investor yang datang belakangan hanya karena membawa uang dan janji janji pengembangan ekonomi yang entah untuk kepentingan siapa.

Selain itu Pemerintah dalam melihat kebijakan pertanahan mempunyai prinsip yang keliru, yang mana pemerintah menganggap tanah yang tidak dilekati hak meskipun sudah ada masyarakat di sana, dianggap tidak ada. Inilah bentuk-bentuk penyimpangan dari Hak Menguasai Negara (HMN). Fenomena ini merupakan pemikiran-pemikiran konsep hak atas tanah kolonial yang terkenal dengan Azas Domein Verklaring yang seharusnya sudah harus ditinggalkan.

Mengapa harus ditinggalkan ? Karena setelah Indonesia merdeka,penguasaan negara terhadap tanah dan sumberdaya alam (SDA), semata mata diabdikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

Dalam kaitan tersebut, empat tolok ukur dalam menilai makna sebesar-besar kemakmuran rakyat yaitu: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan SDA;

Penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi negara.

Kiranya jelas berdasarkan panduan konstitusi bahwa kekayaan SDA termasuk tanah adalah untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan investor apalagi investor dari mancanegara.

Pada akhirnya, terlepas dari adanya kondisi pelaksanaan proyek Rempang Eco City yang penuh kontroversi dan sarat pelanggaran hukum, persoalan yang menyangkut lahan/ tanah harus dicarikan solusi segera. Dalam hal ini ada dua pendekatan secara yuridis untuk upaya penyelesaian status lahan mereka.

Untuk penduduk asli yang tinggal di 16 kampung tua, saat ini mereka tidak atau belum diberikan  sertifikat oleh Pemerintah, tetapi tidak berarti mereka bukan pemilik lahan yang mereka tempati. Mereka seharusnya, secara otomatis, diberikan hak milik atas lahan yang mereka tempati secara  turun temurun itu, seperti bunyi Pasal 1, Bagian Kedua UUPA, dimana dinyatakan bahwa hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik …

Bahwa konversi lahan menurut UUPA ini sudah lewat batas waktunya, bukan berarti hak milik masyarakat hilang dan diambil negara. Pemerintah seharusnya proaktif mengkonversi lahan masyarakat (adat) tersebut menjadi sertifikat. Bukan sengaja mendiamkannya selama bertahun tahun.

Pada hal sebenarnya masyarakat Adat Rempang pernah mengajukan permohonan penetapan hak atas tanahnya sejak tanggal 17 September 2020  kepada Kementerian ATR/BPN, tetapi tidak mendapat jawaban yang positif sebagaimana harapan masyarakat yang tinggal disana.

Pada hal jauh sebelumnya Presiden Jokowi pernah menyampaikan janji kampanye Pilpres 2019 lalu di Batam yang menjanjikan untuk memberikan sertifikat kepada penduduk yang tinggal disana.Saat itu, Jokowi yang berstatus calon presiden nomor urut 01, menjanjikan sertifikasi bagi Kampung Tua.

"Jadi saya ingin sampaikan dua hal penting. Yang pertama mengenai sertifikasi pembuatan sertifikat untuk Kampung Tua. Siapa yang setuju Kampung Tua disertifikasi?" kata Jokowi saat melakukan orasi politik di Kompleks Stadion Temenggung Abdul Jamal, Kota Batam, Sabtu, 6 April 2019.

Jokowi bahkan berjanji proses sertifikasi dilakukan paling lama tiga bulan agar status kepemilikan tanah semakin jelas dan legal bagi masyarakat.Tapi janji memang tinggal janji hanya untuk mendapatkan suara di saat pemilu saja.Tentu saja janji yang tidak direalisasi itu telah membuat masyarakat kampung tua menjadi kecewa.

Pada dasarnya masyarakat 16 desa yang tinggal dikampung tua itu tidak menentang kehadiran proyek Rempang Eco City tetapi mereka meminta untuk tetap tinggal dikampung halamannya yang sudah dihuni ratusan tahun lamanya. Sehingga alas hak berupa sertifikat hak milik sangat mereka dambakan sebagai pengakuan dari negara atas keberadaan mereka sebagai warga negara Indonesia.

Jika alas hak itu tidak diberikan berarti Negara telah melanggar hak warga untuk bertempat tinggal, hak untuk bermata pencaharian, hak atas kesejahteraan lahir dan batin, hak atas pelayanan kesehatan dan hak untuk mendapatkan pendidikan dan tumbuh kembang anak anak  generasi penerus di kampung halaman mereka.

Lalu bagaimana halnya dengan status lahan status quo yang ditempati dan digarap oleh para pendatang yang ada di pulau Rempang ?.

Dalam hal ini perlu penelusuran riwayat tanah melalui sejarah penting untuk memahami hak kepemilikan tanah itu sendiri, Sejarah dapat menjadi dasar untuk menentukan hak hak yang akan mereka dapatkan manakala tanah yang digarapnya itu pada akhirnya harus diambil pihak lain untuk kepentingan proyek PSN.

Jika masyarakat penggarap tanah Rempang itu setiap tahun mereka telah membayar pajak berupa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada Pemerintah Daerah atau dengan kata lain mereka ditagih pajak atas tanah tersebut setiap tahun.

Maka ini berarti Pemerintah setempat dalam hal ini BPN Kota Batam maupun BP Batam telah mengakui kebenaran terkait telah diberikannya hak untuk mengelola/menggarap tanah yang ada di pulau Rempang meski  hak tersebut tak bisa ditingkatkan status tanahnya, karena berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 dijelaskan bahwa seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan hak pengelolaan kepada Ketua Otoritas  yakni BP Batam.

Untuk diketahui, Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam yang sekarang disebut Badan Pengusahaan Batam (BP Batam),  adalah  instansi yang diberikan kewenangan oleh Negara untuk merencanakan, menggunakan, dan menyerahkan bagian dari tanah yang bersangkutan tersebut kepada pihak ketiga sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Berdasarkan rangkaian kondisi tersebut di atas, maka perlu dicari solusi yang terbaik bagi masyarakat terhadap perlindungan hak mereka atas tanah/lahan yang mereka garap di pulau Rempang. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang diarahkan pada pembatasan-pembatasan dan peletakkan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.

Terkait posisi tawar masyarakat berdasar pada peruntukan, dimana jika lahan mereka diambil untuk kepentingan umum seperti PSN Rempang Eco City,  secara legal memang tidak ada peraturan yang mengharuskan pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik negara yang ditinggali masyarakat.

Tetapi meskipun tanah/lahan  bukan milik mereka tetapi bangunan dan tanaman-tananam yang ada diatasnya adalah hak mereka mereka menggarap sejak lama dan diberi izin secara legal untuk mengelola lahan tersebut. Sehingga harus ada perhitungan untuk kerugian masyarakat yang sudah tahun mengusahakan lahan /tanah yang digarapnya

Terkait dengan kasus Rempang ini, pelajaran yang dapat kita petik adalah bahwa telah terjadi penyimpangan pemahaman terhadap konsep Hak Menguasai Negara (HMN) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Pokok Agraria (UUPA).:

Atas nama HMN, seringkali negara memaksakan persamaan hukum dalam masyarakat yang heterogen yang sebetulnya sama menyakitkannya dengan memaksakan kemajemukan hukum dalam masyarakat homogen. Melalui konsep HMN yang diatur dalam sejumlah perundang-undangan, maka eksistensi komunitas masyarakat  harus ditundukkan pada keutamaan negara dengan secara tidak adil telah diizinkan mengambil alih hak hak hak rakyat.

Pada akhirnya negara hanyalah dijadikan alat yang lebih mengedepankan kepentingan pemilik modal dalam perumusan norma hukumnya. Selaras dengan gerak yang sedemikian, berikutnya agar alat (negara) ini dapat bekerja dengan maksimal, maka dibutuhkanlah hukum yang dapat melegalkan hak menguasai negara terhadap sumber daya alam yang lebih besar dibandingkan dengan hak menguasai rakyat, bahkan jika dimungkinkan menihilkannya sama sekali.

Padahal makna yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yakni bahwa negara diberikan hak menguasai oleh konstitusi untuk memanfaatkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bahwa konsep-konsep kebijakan yang melatarbelakangi ketimpangan struktur penguasaan tanah dan melahirkan sengketa tanah serta sumber daya alam lainnya harus diubah mengarah pada konsep kebijakan yang berorientasi kerakyatan, mengedepankan keadilan, bersifat integratif, berkelanjutan dan lestari dalam pengelolaannya.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari kasus Rempang adalah hukum formal yang ditegakan melalui hukum positif di Indonesia yang dikatakan menjunjung tinggi rule of law, ternyata belum mampu mewujudkan keadilan yang substansial bagi rakyatnya

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar