Zaqiu Rahman, Pusat Perancangan Undang-Undang, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI

Analisis Hukum Pasal 97A UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Minggu, 13/08/2023 06:07 WIB
Ilustrasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (Edarabia)

Ilustrasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (Edarabia)

Jakarta, law-justice.co - Penerapan Metode Omnibus

Pembentukan peraturan perundang-undangan (PUU) dengan menggunakan metode “omnibus” saat ini telah diakomodir secara resmi dalam ketentuan Pasal 42A dan Pasal 64 ayat (1a) dan ayat (1b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Perubahan Kedua UU P3).

Pasal 42A menyatakan bahwa penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu rancangan PUU harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan. Kemudian ketentuan Pasal 64 ayat (1a) menyatakan penyusunan rancangan PUU dapat menggunakan metode omnibus.

Selanjutnya ayat (1b) menyatakan metode omnibus merupakan metode penyusunan PUU dengan: memuat materi muatan baru; mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai PUU yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau mencabut PUU yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu PUU untuk mencapai tuiuan tertentu. Artinya penyusunan PUU dengan menggunakan metode omnibus ini telah secara legal diatur dan diakui keberlakuannya dalam teknik pembentukan PUU di Indonesia. 

Metode omnibus telah diterapkan melalui pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) yang mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja (UU Cipker) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).

Metode omnibus ini merupakan salah satu terobosan hukum dalam rangka menyederhanakan, meminimalisasi tumpang tindih peraturan, serta efektif untuk menyinkronkan beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus dalam waktu yang bersamaan untuk mencapai maksud dan tujuan yang diinginkan.

Untuk menjamin agar maksud dan tujuan yang akan dituju dalam pembentukan suatu PUU yang menggunakan metode omnibus tercapai, diperlukan suatu dasar hukum yang bisa mengikat. Untuk itu, dalam ketentuan Pasal 97A UU Perubahan Kedua UU P3 menyatakan “materi muatan yang diatur dalam PUU yang menggunakan metode omnibus hanya dapat diubah dan/atau dicabut dengan mengubah dan/atau mencabut PUU tersebut.”

Ini berarti bahwa pasal atau ayat yang telah diubah, baik itu dihapus, ditambah, atau diubah di dalam suatu PUU yang menggunakan metode omnibus, hanya dapat diubah juga dengan PUU yang menggunakan metode omnibus yang bersangkutan, tidak bisa diubah oleh peraturan sektoralnya.

Ketentuan Pasal 97A diperlukan untuk menjaga agar maksud dan tujuan dari pembentukan PUU yang menggunakan metode omnibus tidak melenceng dari tujuan awalnya. Tapi di sisi lain, implikasi dari PUU yang telah diubah dengan menggunakan metode omnibus, hanya dapat diubah di PUU omnibus itu sendiri. Dalam arti, PUU yang diubah di PUU yang menggunakan metode omnibus (PUU sektoralnya) hanya dapat dilakukan perubahan sebagian, tidak dapat dilakukan penggantian.

Padahal dalam implementasinya bisa jadi kebutuhan dalam pengaturan di PUU sektoral dimaksud memerlukan perubahan pengaturan secara mendasar yang berimplikasi peraturan yang bersangkutan harus “diganti” akibat perubahan kondisi dan faktor lain yang mempengaruhinya. Problematika hukum keberlakuan Pasal 97A UU Perubahan Kedua UU P3 inilah yang sekiranya menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini.

Problematika Hukum Keberlakuan Pasal 97A

Seperti telah dinyatakan di atas, keberlakuan Pasal 97A UU Perubahan Kedua Atas UU P3 disisi lain diperlukan untuk menjaga agar maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam PUU yang telah diubah dengan menggunakan metode omnibus tetap terjaga. Di sisi lain, dalam praktik penyusunan peraturan, keberadaan pasal ini justru menimbulkan problematika hukum tersendiri. Perppu Cipker mengubah 79 UU dan UU PPSK merubah 17 UU.

Dari beberapa UU yang telah diubah di Perppu Cipker dan UU PPSK terdapat problematika hukum jika UU dimaksud hanya diubah dalam bentuk “perubahan”, yaitu; pertama: terhadap UU yang dibentuk sebelum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), teknik pembentukan peraturannya masih belum terstandarisasi dan belum mengikuti tata cara pembentukan PUU yang diberlakukan saat ini.

Sehingga terlepas dari materi pengaturannya, terkadang masih terdapat rumusan pasal dan ayat yang harus direstrukturisasi ulang agar rumusan maupun teknik legal drafting-nya sesuai dengan praktik yang berlaku saat ini.

Kedua: banyaknya perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam berbagai bidang, yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta teknologi yang bisa mempengaruhi arah pengaturan dari suatu perundang-undangan.

Misalnya PUU di bidang otonomi daerah yang dibentuk sebelum tahun 1999 paradigmanya masih bersifat sentralistik, sementara setelah tahun 1999 setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) bersifat desentralisasi. Sehingga materi terkait kewenangan di setiap PUU yang dibentuk sebelum lahirnya UU Pemda besar kemungkinan akan diubah menyesuaikan dengan paradigma desentralisasi.

Belum lagi hal-hal yang terkait perkembangan teknologi, dari manual menuju era komputerisasi, dan sebagainya. Sehingga karena perubahan paradigma itu maka tidak jarang substansi suatu PUU harus dirombak dan ditata ulang untuk menyesuaikan dengan perkembangan. Sementara apabila format PUU hanya sebatas perubahan, akan akan sulit merumuskan materi-materi pengaturannya secara lebih komprehensif.

Ketiga: Lampiran II nomor 237 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) menyatakan: Jika suatu perubahan PUU mengakibatkan: sistematika PUU berubah; materi PUU berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau esensinya berubah, PUU yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam PUU yang baru mengenai masalah tersebut

Ketentuan lampiran ini memberikan pedoman tentang syarat-syarat peraturan yang harus dibentuk dalam format “penggantian” atau “perubahan”. Walaupun terdapat kalimat “lebih baik” dalam praktiknya ketentuan ini sering diacu untuk menentukan apakah suatu peraturan yang diubah harus berbentuk perubahan atau penggantian, walau tidak jarang ketentuan lampiran nomor 237 ini disimpangi.

Ketiga poin di atas merupakan problematika hukum yang terjadi pada saat praktik penyusunan PUU akibat penerapan Pasal 97A UU Perubahan Kedua UU P3.

Pembentukan UU Kedepan

Dari problematika hukum akibat penerapan Pasal 97A UU Perubahan Kedua UU P3 di atas, ke depan perlu dipikirkan solusi agar maksud dari pembentukan PUU yang menggunankan metode omnibus tercapai, tetapi dalam praktik pembentukannya tidak terkendala atau terjadi dilema apakah PUU yang dibentuk harus berbentuk perubahan atau penggantian.

Beberapa alternatif solusi yang perlu dilakukan adalah, pertama; merevisi ketentuan Lampiran nomor 237 UU P3 tentang syarat-syarat peraturan harus berbentuk perubahan atau penggantian, dengan memasukkan pengecualian bagi PUU yang menggunakan metode omnibus;

kedua; melakukan revisi terhadap UU P3 yang mengatur bahwa PUU yang telah diubah dengan menggunakan metode omnibus dapat diubah dengan format penggantian, dengan catatan rumusan pasal yang telah diubah di peraturan yang menggunakan metode omnibus tidak dapat diubah dan tetap dimasukkan dalam PUU penggantian.

ketiga: diperkenalkan teknik perumusan PUU yang baru, di mana di dalam ketentuan penutup peraturan perundang-undangan yang diganti bisa mencabut dan menyatakan tidak berlaku peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, kecuali untuk pasal-pasal yang telah diatur di peraturan yang menggunakan metode omnibus.

Usulan-usulan di atas mungkin masih memungkinkan untuk mengakomodir alternatif-alternatif solusi lain, dengan maksud untuk memperbaiki dan memperkaya teknik-teknik perumusan PUU terkait solusi dari problematika hukum dari Penerapan Pasal 97A UU Perubahan Kedua UU P3.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar