Di Balik Bubarnya KPC-PEN dan Korupsi Anggaran Covid-19

Sabtu, 12/08/2023 17:08 WIB
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin Covid-19 dosis ketiga kepada warga saat vaksinasi booster Covid-19 di Puskesmas Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (12/11). Presiden Jokowi memastikan vaksinasi booster atau dosis ketiga untuk masyarakat Indonesia diberikan tanpa pungutan biaya dengan target awal menyasar kelompok prioritas yaitu lansia dan akan didistribusikan kepada 21 juta penduduk. Robinsar Nainggolan

Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin Covid-19 dosis ketiga kepada warga saat vaksinasi booster Covid-19 di Puskesmas Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (12/11). Presiden Jokowi memastikan vaksinasi booster atau dosis ketiga untuk masyarakat Indonesia diberikan tanpa pungutan biaya dengan target awal menyasar kelompok prioritas yaitu lansia dan akan didistribusikan kepada 21 juta penduduk. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh saja mengakhiri tugas Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) pada awal Agustus 2023 ini, namun segudang masalah soal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan maupun kebijakan semasa pandemi masih menjadi pertanggungjawaban pemerintah yang justru belum dituntaskan hingga kini. Tanggung jawab negara adalah menjabarkan secara persis bagaimana pengelolaan keuangan periode 2020-2022 sebesar Rp1.645 triliun yang dikucurkan kepada KPC-PEN yang anggarannya berasal dari uang rakyat alias APBN.

Ketika permasalahan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dana yang digarap sejumlah lintas kementerian dalam KPC-PEN belum kelihatan juntrungannya, masalah lain yang kentara ialah soal realisasi anggaran ribuan triliunan dalam tiga tahun terakhir. Menukil data Kementerian Keuangan, anggaran PEN tidak sepenuhnya terserap untuk kepentingan tiga klaster yang menjadi fokus penganggaran, yakni: penanganan ekonomi, perlindungan sosial dan penanganan kesehatan.

Realisasi anggaran pada 2020 adalah sebesar Rp575,9 triliun dari pagu anggaran Rp695,2 triliun atau ada celah sekira Rp100 triliun. Lalu, pada tahun 2021 anggaran PEN melonjak hingga Rp744,8 triliun atau yang menjadi tertinggi dibanding 2020 dan 2022, akan tetapi serapan anggarannya sebesar Rp655,1 trliun.   

Di tahun 2022 pemerintah kembali menggulirkan anggaran PEN sebesar Rp455,62 triliun. Adapun realisasi anggaran terhitung rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya, yaitu hanya 72,6 persen atau Rp330,7 triliun yang tercatat sejak awal Januari hingga Desember 2022.

Di balik tidak transparan dan tidak penuhnya realisasi anggaran, diduga ada penyimpangan hingga praktik korupsi anggaran untuk sejumlah hal penanganan Covid-19. Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono mengungkapkan bahwa dugaan bancakan besar terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa, bantuan sosial sampai dengan stimulus ekonomi yang sarat konflik kepentingan.

“Potensi penyimpangannya ada tidak? Ya sangat besar, mulai dari sektor pengadaan karena pengadaan untuk penanganan pandemi sangat banyak. Kalau mau dikumpulin (temuannya) banyak, belum muncul saja (kasusnya),” kata Agus kepada Law-justice, Kamis (10/8/2023).

Agus bilang minimnya keterbukaan informasi ihwal pengelolaan keuangan di KPC-PEN termasuk lintas kementerian yang ada di dalamnya jadi pintu masuk untuk membuka dugaan penyimpangan. Sejak badan ad-hoc itu terbentuk pada pertengahan 2020, sulit sekali untuk bisa mendapatkan informasi secara rigid dari pemerintah soal penggunaan anggaran.

Semisal pemakaian anggaran untuk pengadaan barang dan jasa, kata Agus, hampir seluruhnya pengadaan dilakukan atas dalih situasi darurat sehingga tidak melalui open tender. Menurutnya, hal itu sah-sah saja karena memang diatur dalam Perpres dan Peraturan LKPP. Akan tetapi, publik tidak mengetahui berapa anggaran yang digunakan dan untuk kepentingan apa saja.

Praktis, sejak KPC-PEN beroperasi mengelola anggaran, masyarakat hanya bisa mendapatkan informasi terbaru terkait anggaran penanganan pandemi khususnya program PEN melalui empat sumber semisal paparan pemerintah pusat saat konferensi pers, paparan pemerintah pusat pada  webinar, melalui kanal APBN Kita dan publikasi buku APBN Kita. Agus berkata, informasi yang diberikan pun hanya berupa akumulasi dari tiap pos anggaran PEN. Tidak banyak sumber informasi lainnya yang bisa didapatkan mengenai pergeseran anggaran, rincian alokasi anggaran, rincian realisasi penggunaan anggaran.

“(Soal) pengadaan vaksin, sampai sekarang kita tidak pernah mendapatkan informasi yang firm dari negara berapa total jumlah pengadaannya. Tapi yang diinformasikan negara (adalah) data persebaran penerima vaksin. Itu pun ada (penerima vaksin) setelah ada desakan,” kata Agus.

Bicara soal pengadaan vaksin, pemerintah juga memilih skema penunjukan langsung karena dalih situasi darurat. Terdapat tiga metode pengadaan vaksin yang diatur. Mulai dari skema penugasan kepada BUMN yakni PT Biofarma, skema penunjukan langsung badan usaha penyedia hingga skema kerja sama dengan lembaga atau badan internasional. Anggaran untuk vaksinasi ini tidak main-main. Pada 2021 saja pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp57,84 triliun dengan realisasi anggaran setara Rp33,28 triliun Namun, hingga saat ini dokumen kontrak pengadaan vaksin yang bersumber dari pembelian langsung belum dapat diakses masyarakat.

Menukil keterangan LPSE Kemenkes, pengadaan darurat berupa vaksin yang tercatat hanya ada satu saja. Itu pun hanya terkait soal logistik yang menunjang kegiatan vaksinasi pada 2021, tapi tidak menjelaskan terkait pengadaan vaksin.

Agus menekankan mekanisme pengadaan darurat memiliki celah penyelewengan yang tinggi karena minimnya transparansi. Di tengah tekanan yang besar untuk menghadirkan vaksin dalam jumlah banyak, potensi korupsi hadir dalam penetapan harga supplier kepada negara yang membeli.

Merujuk laporan TII, setidaknya potensi korupsi pengadaan vaksin bisa ditelisik dari dua fase. Pertama dari fase pra-penawaran saat tahap penentuan produk vaksin. Singkatnya produksi vaksin yang terpusat pada segelintir pihak dimainkan untuk mendatangkan untung secara tidak sah. Sedikitnya persaingan yang terjadi, maka kenaikan harga tak akan terelakkan. Dengan demikian, potensi kemahalan harga sangat mungkin terjadi dan masyarakat tidak mengetahui perusahaan vaksin mana saja yang dijajaki oleh pemerintah.

Di sisi lain, dengan adanya penyedia yang terbatas maka prosedur tender dapat dihindari yang menciptakan risiko korupsi di dalamnya. Selain penentuan produk vaksin, harga vaksin dan jumlah kebutuhan vaksin menjadi sangat rentan di-mark up.

Celah korupsi berikutnya terjadi saat fase penawaran. Terdapat risiko pejabat pemerintah menerima suap dari penawar dan penawar dengan sengaja menyesuaikan dokumen tender dengan berkomunikasi pada panitia pengadaan sehingga terjadi konflik kepentingan.

Masih soal pengadaan di sektor kesehatan semasa pandemi, diketahui keberadaan APD sangat vital bagi keselamatan tenaga kesehatan saat bertugas. Namun, pengadaan APD tak terlepas juga dari penyimpangan. Agus berpendapat celah yang dimanfaatkan adalah soal sengkarutnya data sehingga anggaran bisa dimainkan.

“Sejak lama kami sampaikan ke pemerintah untuk membuka data kebutuhan APD secara nasional. Data penting agar tidak double klaim. Jangan ketika pemerintah pusat lakukan pengadaan APD, kemudian didistribusikan ke daerah lewat BNPB, lalu di daerah juga bikin pengadaan APD dengan dana APBD. Artinya potensi pemborosannya sangat besar,” kata Agus.  

Jika pengadaan darurat Kemenkes masih tercatat dalam LPSE walau hanya ada satu-satunya, namun tidak begitu dengan BNPB. Padahal hampir semua pengadaan di BNPB semasa pandemi menggunakan skema pengadaan darurat.

Menukil LPSE BNPB pun, tidak ada sama sekali catatan pengadaan hingga kini. Menariknya, BNPB terlibat dalam pengadaan reagen yang tersiar kabar ada konflik kepentingan antara Kepala BNPB saat itu (Doni Monardo) dan perusahaan yang ditunjuk langsung.

Agus dalam posisi yang meyakini bahwa praktik tidak transparannya penggunaan anggaran dalam soal pengadaan tidak hanya ada di BNPB dan Kemenkes saja. “Saya yakin betul, di kementerian lain juga melakukan pengadaan dengan pendekatan darurat. Tapi tidak dilaporkan,” ujarnya.

Ketika pengadan vaksin dan sektor kesehatan semasa pandemi seolah belum tersentuh korupsinya, anggaran Covid-19 yang jelas-jelas dikorup ialah terkait bansos Jabodetabek yang menjerat eks Mensos sekaligus kader PDI-P, Juliari Batubara. Mantan penyidik KPK yang kini menjadi Ketua IM57+ Institute, Praswad Nugaraha mengungkapkan potensi kerugian keuangan negara akibat korupsi bansos jauh melebihi dibanding nilai bancakan Juliari--jumlahnya bisa triliunan.

Namun, penyidikan lebih lanjut tak bisa Praswad lakukan lantaran Ketua KPK Firli Bahuri lebih dahulu menonaktifkan dirinya atas dalih tidak lulus uji TWK. Padahal, kata Praswad, aktor-aktor yang bermain di balik korupsi bansos tidak hanya Juliari dan sejumlah orang yang kini dibui.

“Ada beberapa di instansi lain. Ada juga bagian dari lembaga negara dan ada partai politik. Banyak sekali pemeran para pihak terkait perkara itu, tidak hanya Menteri Sosial saja,” ujar Praswad kepada Law-justice, Kamis.

Untuk membuktikan keterlibatan sejumlah pihak, Praswad berupaya berkali-kali mengajukan gelar ekspos perkara kepada pimpinan KPK, namun tidak pernah berbalas. “Sampai sekarang bansos Jabodetabek itu yang 6,4 triliun tidak diurai, tidak diusut. Terutama kerugian keuangan negaranya. Saat saya jadi penyidik, saya ajukan beberapa sprindik tambahan dan tersangka tambahan. Tapi sampai hari ini Firli Bahuri dan pimpinan lainnya tidak pernah memberikan kesempatan untuk sprindik-sprindik itu naik,” ujar dia.

Di saat penyidikan kasus korupsi Bansos di Kemensos, Praswad juga meyakini potensi bancakan juga terjadi di kementerian lain dengan objek korupsi berbeda. “Jangan lupa saat itu ada pengadaan alkes, APD, masker. Itu kan banyak pengadaaan untuk nakes. Kami tidak sempat, ini bukan tidak ada korupsi ya. Tapi belum sempat karena diburu-buru dinonaktifkan,” tutur dia.

Tidak signifikan bangun ekonomi

Serapan anggaran untuk penguatan ekonomi semasa pandemi menjadi yang terbesar dibanding dua klaster lainnya. Pada 2020 saja, realisasi anggaran KPC-PEN sebesar 51 persen untuk penguatan ekonomi, sementara perlindungan sosial hanya 38 persen dan sisanya untuk penanganan kesehatan. Namun, realitas ekonomi tidak berbanding lurus dengan serapan anggaran yang besar.

Merujuk pada angka pengangguran, misalnya, yang tidak lebih kecil dibanding saat 2019 atau sebelum pandemi. Nilai persisnya adalah angka pengangguran pada 2022 berada di 5,86 persen, sedangkan dua tahun sebelumnya 5,23 persen.

Ekonom dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat merujuk parameter lain yakni soal pertumbuhan ekonomi. Alih-alih adanya percepatan pertumbuhan, justru yang ada kecenderungan perlambatan ekonomi.

“Data menunjukkan kalau dari kuarter ke kuarter itu tidak membaik. Dengan pertumbuhan sekarang kuarter kedua 5,17 persen. Artinya sedikit ada pelambatan. Di kuarter kedua di 2022 5,5 persen. Artinya pertumbuhan melambat dibanding 2022 dimana pandemi masih cukup dominan,” ujar dia kepada Law-justice, Kamis. 

Ia menekankan kinerja KPC-PEN dengan gelontoran dana triliunan justru mendatangkan koreksi negatif bagi stabilitas perekonomian. Pertama, bisa terlihat dengan naiknya rasio utang. Naiknya beban utang dikarenakan adanya defisit anggaran yang dipengaruhi oleh penurunan pendapatan negara dan kenaikan anggaran belanja negara.   

Sebelum terjadinya pandemi, jumlah utang pemerintah sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan dimana pada tahun 2015 terjadi lonjakan jumlah utang pemerintah dengan akumulasi utang mencapai Rp3.165,13 triliun dan rasio utang terhadap PDB mencapai 27,4 persen atau naik Rp556,35 triliun dari tahun 2014. Hingga tahun 2019 akumulasi utang pemerintah sudah mencapai Rp4.786,58 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 30,2 persen.

Lalu, lonjakan utang pemerintah kembali terjadi seiring dengan adanya pandemi covid-19 tercatat pada tahun 2020 jumlah utang meningkat Rp6.080,08 dengan rasio terhadap PDB mencapai 39,4 persen.

Hal lain yang terjadi pasca pandemi, kata Achmad adalah inflasi yang langsung berdampak pada masyarakat. “Ternyata dengan membagi-bagikan uang dalam bentuk bansos, itu punya cost juga, harga-harga jadi naik. Ketika bank sentral mengeluarkan likuiditas yang begitu besar, ternyata uang yang beredar menimbulkan masalah, karena likuiditasnya terlalu besar dan akhirnya nilai uang berkurang.

“Masyarakat mengeluhkan kenaikan harga barang. Artinya menunjukkan daya beli masyarakat belum pulih,” imbuhnya.

Ketimpangan ekonomi juga disoroti oleh Achmad. Katanya, gini ratio saat ini memang terlihat rendah, namun terdapat anomali. “Saat pandemi, gini ratio mengalami satu pertambahan, artinya semakin besar ketimpangannya. Saat ini pas masa pemulihan, memang terjadi sedikit penurunan. Tapi penurunan itu bisa diartikan, gap kemiskinan itu bukan berarti yang miskin itu naik dan yang banyak sejahtera. Yang terjadi adalah yang miskin makin miskin, tetapi yang kaya juga ikut turun. Itu yag membuat gap nya kelihatan turun. Bukan berarti orang miskin jadi kaya, dan orang kaya tetap kaya,” tutur dia.

Di sisi lain, dana PEN yang seharusnya menjadi instrumen untuk pemerataan ekonomi, justru yang terjadi adalah penguatan bagi segelintir orang saja. Setidaknya bisa terlihat ketika pemerintah menelurkan kebijakan insentif pajak semasa pandemi.

“Ternyata insentif pajak lebih banyak membantu kalangan orang-orang kaya. Bisa dilihat di data BI bagaimana pemilik tabungan di atas 100 juta itu meningkat tajam. Sementara pekerja berpenghasilan rendah itu lebih terdampak, contoh pekerja informal,” ujar Achmad.

Stimulus ekonomi dari anggaran PEN juga berlaku bagi BUMN. Achmad berpendapat kebijakan semacam itu tidak berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. Praktik yang terjadi justru adanya permainan anggaran untuk menyelamatkan BUMN yang ‘sakit’.

“Ternyata stimulus untuk BUNN ini tidak memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional karena pelaksana dari program infrastuktur dari PEN itu hanya putar-putar di kalangan BUMN saja dan anak usahanya. Misal BUMN Karya, ketika mendapat stimulus, itu bukan untuk ekspansi, tapi untuk reengineering laporan keuangan. Karena mereka defisit, lalu mendapat bantuan jadi seolah-olah sehat,” katanya.

 

Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari tulisan yang berjudul "KPC-PEN Bubar, Siapa Bertanggung jawab Rp1600 T Dana Covid?". Tulisan di atas dimuat terpisah untuk memfokuskan pada beberapa narasumber dan konteks.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar