Dugaan Korupsi Program KPC-PEN, Kenapa Penegak Hukum Bungkam?

KPC-PEN Bubar, Siapa Bertanggungjawab Rp1600 T Dana Covid?

Sabtu, 12/08/2023 10:16 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka Rakornas Transisi Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional 2023, Kamis (26/1/2023). (Dok Youtube Kemenko Perekonomian via Bisnis)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka Rakornas Transisi Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional 2023, Kamis (26/1/2023). (Dok Youtube Kemenko Perekonomian via Bisnis)

law-justice.co - Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (4/8/2023) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 Tahun 2023 tentang Pengakhiran Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019. Ini sekaligus membubarkan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN). Dengan ini, masa penanganan pandemi Covid-19 pun berakhir. Namun, beleid ini tidak menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban duit rakyat yang digunakan untuk penanganan Covid 19 yang angkanya mencapai lebih Rp 1600 triliun.

"Dengan Peraturan Presiden ini, Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional dinyatakan telah berakhir masa tugasnya dan dibubarkan," bunyi Pasal 1 dalam salinan Perpres. Pasal 2 beleid itu menyebut dengan dibubarkannya KPC PEN, maka pelaksanaan penanganan Covid-19 di masa endemi dilaksanakan Kementerian Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Dengan berakhirnya masa tugas dan pembubaran Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-18) dan Pemulihan Ekonomi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, pelaksanaan penanganan COVID-19 pada masa endemi dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi pasal 2.

Setelah diterbitkannya perpres ini, maka Perpres Nomor 82 Tahun 2O2O tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 1O8 Tahun 2O2O dinyatakan tidak lagi berlaku.

Jokowi juga menetapkan pelaksanaan penanganan Covid-19 pada masa endemi yang bersifat lintas kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah berpedoman pada standar operasional prosedur yang melibatkan kementerian/lembaga terkait. Sementara obat dan vaksin Covid-19, disebutkan dalam beleid tersebut, tetap dapat digunakan sampai dengan batas kedaluwarsa. Obat dan vaksin tetap dapat digunakan selama masih memenuhi persyaratan efikasi, keamanan, dan mutu. "Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Obat dan Vaksin Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan," bunyi beleid itu.

Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) dibentuk oleh pemeirntah sebagai bagian dari tata kelola yang baik untuk mendudukkan, menyusun dan mengorkestrasi semua program penanganan pandemi sekaligus pemulihan ekonomi. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan UU No 2 Tahun 2020 jo Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang digunakan sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia betul-betul menjadi game changer saat itu.  Hal ini diungkapkan oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara saat berbicara pada Rapat Koordinasi Nasional Transisi Penangananan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Kamis (26/01/2023) di Gedung AA Maramis Jakarta.

Wamenkeu mengatakan bahwa alokasi anggaran PEN berubah-ubah setiap tahunnya. Anggaran PEN pertama kali di tahun 2020 adalah Rp405,1 T lalu naik menjadi Rp 695,2 T dengan realisasi Rp 575,9. Pada tahun 2021, RAPBN menaruh anggaran sebesar PEN Rp403,9 T tetapi ketika varian Delta masuk maka bertambah menjadi Rp744,8 T dan akhirnya terealisasi sebesar Rp655,1 T.

“Alokasi anggaran PEN memang kita desain fleksibel sekali. Fleksibel itu bukan karena kita sradak-sruduk tetapi karena memang didudukkan satu per satu. Ini yang saya katakan tata kelola yang baik. Fleksibilitas tetapi dengan akuntabilitas yang terjaga dengan tetap diaudit, tetap dipertanggungjawabkan, dan tetap dilaporkan,” jelas Wamenkeu.

Total anggaran PEN dari tahun 2020 hingga tahun 2022 adalah Rp1.645 Triliun. Wamenkeu menegaskan bahwa pelaksanaan anggaran program PEN menjadi dasar pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga bisa baik dan tetap terjaga. Melalui pelaksanaan anggaran program PEN, kontraksi ekonomi bisa dijaga supaya tidak memburuk, angka pengangguran terbuka yang tinggi sekali pada tahun 2020 bisa diturunkan, dan jumlah penduduk miskin yang naik di 2020 juga bisa diturunkan. Selain itu, pelaksanaan anggaran program PEN juga mampu menurunkan tingkat kemiskinan dan gini ratio juga bisa ditahan.

Namun, dana sebesar itu belum jelas pertangungjawabannya. Sebab dalam keputusan presdien terkai pembubaran KPCPEN tidak ada beleid tentang penggunaan anggaran.

Padahal penggunaan dana sebesar Rp166 triliun lebih di masa darurat patut diduga rawan penyimpangan. Hal ini pernah diungkap oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Auditor negara ini menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 2,94 triliun dari 2.843 permasalahan dalam Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) pada semester II-2020.

Dalam laporan IHPS Semester II-2020, BPK mencatat permasalahan tersebut meliputi 887 kelemahan sistem pengendalian intern, 715 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dengan potensi Rp 2,73 triliun dan 1.241 permasalahan 3e (ketidakhematan, ketidakefisienan,ketidakefektifan) dengan potensi Rp 209,8 miliar.

Ketua BPK yang saat itu dijabat Dr. Agung Firman Sampurna, CSFA., CFrA., CGCAE dalam Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (Lkpp) Tahun 2020 Dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester Ii Tahun 2020 kepada DPR RI 22 JUNI 2021 menyatakan Pemeriksaan atas PC-PEN dilaksanakan dalam kerangka risk based comprehensive.

Audit yang merupakan gabungan dari tujuan ketiga jenis pemeriksaan dengan memperhatikan audit universe. Audit universe adalah keseluruhan keuangan negara dalam arti luas sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara. Alokasi anggaran PC- PEN pada pemerintah pusat, pemda, BI, OJK, LPS, BUMN, BUMD, dan dana hibah Tahun 2020 yang teridentifikasi oleh BPK sebesar Rp933,33 triliun, dengan realisasi Rp597,06 triliun (64%).

BPK mengapresiasi upaya pemerintah dalam PC-PEN seperti pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, penyusunan regulasi penanganan COVID-19, pelaksanaan refocusing kegiatan dan realokasi anggaran, serta kegiatan pengawasan atas pelaksanaan PC-PEN.

“Pemeriksaan tematik atas PC-PEN dilaksanakan pada 241 objek pemeriksaan. BPK menyimpulkan bahwa efektivitas, transparansi, akuntabilitas dan kepatuhan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dalam kondisi darurat pandemi COVID-19 tidak sepenuhnya tercapai,” ujar Agung. Hal tersebut karena: Pertama, alokasi anggaran PC-PEN dalam APBN belum teridentifikasi dan terkodifikasi secara menyeluruh serta realisasi anggaran PC-PEN belum sepenuhnya disalurkan sesuai dengan yang direncanakan. Kedua, pertanggungjawaban dan pelaporan PC-PEN, termasuk pengadaan barang dan jasa belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketiga, pelaksanaan program dan kegiatan manajemen bencana penanganan pandemi COVID-19 tidak sepenuhnya efektif.

RINGKASAN HASIL PEMERIKSAAN PENANGANAN PANDEMI COVID-19. (BPK RI: IHPS II 2020) 

Pada semester II tahun 2020, BPK telah memeriksa Program PC-PEN pada 27 objek pemeriksaan pemerintah pusat, 204 objek pemeriksaan pemerintah daerah, 10 objek pemeriksaan BUMN dan badan lainnya. Pemeriksaan  meliputi  111  objek  pemeriksaan  kinerja  dan  130  objek pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Hasil pemeriksaan atas PC-PEN mengungkapkan 2.170 temuan yang memuat 2.843 permasalahan sebesar Rp2,94 triliun. Permasalahan tersebut meliputi 887 kelemahan SPI, 715 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan 1.241 permasalahan 3E. Selama proses pemeriksaan entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti ketidakpatuhan tersebut dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara sebesar Rp18,54 miliar.

BPK menyimpulkan bahwa efektivitas, transparansi, akuntabilitas dan kepatuhan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam kondisi darurat pandemi COVID-19 tidak sepenuhnya tercapai, yang ditunjukkan dengan: (1) Alokasi anggaran PC-PEN dalam APBN belum teridentifikasi dan terkodifikasi secara menyeluruh serta realisasi anggaran PC-PEN belum sepenuhnya disalurkan sesuai dengan yang direncanakan;

(2) Pertanggungjawaban dan pelaporan PC-PEN, termasuk pengadaan barang dan jasa belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (3) Pelaksanaan program dan kegiatan manajemen bencana penanganan pandemi COVID-19 tidak sepenuhnya

efektif.

Hasil  pemeriksaan  menunjukkan  bahwa  alokasi  anggaran  PC-PEN dalam APBN belum teridentifikasi dan terkodifikasi secara menyeluruh serta  realisasi  anggaran  PC-PEN  belum  sepenuhnya  disalurkan  sesuai dengan yang direncanakan. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah sebagai berikut. Kementerian   Keuangan   (Kemenkeu)   belum   mengidentifkasi   dan mengkodifikasi secara menyeluruh biaya-biaya terkait dengan Program PC-PEN dalam APBN 2020. Pemerintah mempublikasikan biaya Program PC-PEN sebesar Rp695,2 triliun. Hasil pemeriksaan menunjukkan alokasi biaya Program PC- PEN dalam APBN 2020 adalah sebesar Rp841,89 triliun, karena ada beberapa skema pendanaan yang belum dimasukkan dalam   biaya yang dipublikasikan pemerintah tersebut. 

Dalam laporan tersebut BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan agar:  Melakukan identifikasi dan kodifikasi seluruh biaya PC-PEN yang akan dilaporkan dan dipertanggungjawabkan dalam LKPP Tahun 2020 sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2020.  Menentukan kriteria yang tepat untuk mengkategorikan Program PC-PEN Tahun 2021 dengan mempertimbangkan Program PC-PEN pada tahun sebelumnya.

Menetapkan ketentuan terkait dengan identifikasi dan jumlah seluruh alokasi biaya PC-PEN tahun 2021 dalam dokumen penganggaran serta mekanisme perubahannya. Mengoordinasikan pemenuhan data yang lengkap, valid, dan mutakhir sebagai dasar perencanaan dan penganggaran serta evaluasi atas efektivitas Program PC-PEN.

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati. (DPR)

Menanggapi realisasi anggaran itu, Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengungkapkan perlunya evaluasi penggunaan anggaran terutama terutama terkait dampak dari penggunaanya kepada masyarakat. “Jadi, pajak yang kita bayar dan pembiayaan dari utang bisa mubazir jika tidak dievaluasi penggunaan anggarannya,” ungkap Anis kepada Law-Justice, Rabu (09/08/2023).

Pernyataan tersebut juga sekaligus menyoroti realisasi klaster Pemulihan Ekonomi yang mampu menyerap anggaran hingga Rp 183.4 Triliun atau melebihi pagu Rp178,32 Triliun. Diketahui, terdapat tiga klaster penggunaan anggaran PC-PEN di tahun 2022, antara lain Klaster Kesehatan, Klaster Perlindungan Masyarakat, dan Klaster Pemulihan Ekonomi yang juga meliputi dukungan untuk UMKM termasuk subsidi KUR.

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas dan Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini memberikan dua catatan terkait penggunaan dana pada klaster Pemulihan Ekonomi. Catatan pertama, terkait dengan dampaknya ke masyarakat. Menurutnya, hal ini sering luput dari evaluasi anggaran karena hanya melihat target realisasi (belanja) sedangkan kualitasnya jarang dikalkulasi.

Catatan kedua adalah tentang pemerataan dan penyebaran bantuan pada UMKM mengingat persoalan mendasar di Indonesia adalah terkait data. “Saya amati, kita belum memiliki data UMKM yang valid dan ini tentu bisa memunculkan pertanyaan baru, yakni tentang realisasi anggaran yang dimaksud,” imbuh Politisi PKS ini.

Merujuk pada pernyataan Menteri Koordinator bidang Perekonomian, pemerintah akan tidak mengalokasikan dana khusus untuk PC-PEN di APBN 2023. Sebagian pihak khawatir akan dampak dari keputusan tersebut terutama pada dukungan bantuan sosial dan pemulihan ekonomi yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari permasalahan yang masih terjadi karena dampak ikutan dari pandemi.

Terkait hal tersebut, Anis melihat bahwa pemerintah sudah memiliki program-program, yang salah satunya adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Persoalan yang saat ini mendesak untuk diselesaikan, menurut Anis, adalah bagaimana pemerintah bisa mengurangi intervensi pada harga-harga barang yang diaturnya (administered price). Sehingga daya beli rakyat tidak terus tertekan.

Menurutnya, dalam transisi dari pandemi menuju endemi, hal utama yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga ketersediaan pasokan dan harga bahan pangan.  Sehingga, perlu dipikirkan apakah program bantuan langsung non tunai dikembalikan ke posisi semula (tunai) agar jaminan terhadap pemenuhan beras atau bahan pokok bagi rumah tangga prasejahtera dapat menjadi lebih baik.

  “Jadi, program-program tersebut saya pikir cukup dan tinggal bagaimana pemerintah berusaha maksimal untuk meningkatkan efektivitasnya. Perlu kita pahami bahwa kekuatan pertumbuhan ekonomi kita adalah konsumsi rumah tangga yang besar. Seraya berharap meski tanpa dana PEN pemerintah juga mampu menjaga daya beli masyarakat dan mempercepat penciptaan lapangan kerja,” tuturnya.

 Anis menilai bahwa penyerapan anggaran masih terus menjadi persoalan di Indonesia. Padahal, ekonomi nasional membutuhkan stimulus besar untuk mendukung pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.

 “Saya melihat penyerapan anggaran PEN ini memang cukup rendah sejak 2020. Dalam kaitannya dengan indikasi pemulihan ekonomi, kelihatan masih jauh dari kondisi sebelum pandemi Covid-19. Konsumsi belum sepenuhnya pulih bahkan dapat dikatakan menurun karena kenaikan inflasi. Dari lapangan usaha, indikasi pemulihan masih jauh. Justru yang terjadi masih terlihat penurunan. Bisa kita lihat bahwa industri manufaktur terus melambat. Perannya terhadap PDB terus menurun di tengah kebutuhan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar,” ujarnya.

Hutang LN Melonjak, Kinerja KPCPEN Kurang Efektif

Serapan anggaran untuk penguatan ekonomi semasa pandemi menjadi yang terbesar dibanding dua klaster lainnya. Pada 2020 saja, realisasi anggaran KPC-PEN sebesar 51 persen untuk penguatan ekonomi, sementara perlindungan sosial hanya 38 persen dan sisanya untuk penanganan kesehatan. Namun, realitas ekonomi tidak berbanding lurus dengan serapan anggaran yang besar. 

Merujuk pada angka pengangguran, misalnya, yang tidak lebih kecil dibanding saat 2019 atau sebelum pandemi. Nilai persisnya adalah angka pengangguran pada 2022 berada di 5,86 persen, sedangkan dua tahun sebelumnya 5,23 persen. 

Ekonom dari Narasi Institute Achmad Nur Hidayat merujuk parameter lain yakni soal pertumbuhan ekonomi. Alih-alih adanya percepatan pertumbuhan, justru yang ada kecenderungan perlambatan ekonomi. “Data menunjukkan kalau dari kuarter ke kuarter itu tidak membaik. Dengan pertumbuhan sekarang kuarter kedua 5,17 persen. Artinya sedikit ada pelambatan. Di kuarter kedua di 2022 5,5 persen. Artinya pertumbuhan melambat dibanding 2022 dimana pandemi masih cukup dominan,” ujar dia kepada Law-justice, Kamis (10/8/2023).  

Ia menekankan kinerja KPC-PEN dengan gelontoran dana triliunan justru mendatangkan koreksi negatif bagi stabilitas perekonomian. Pertama, bisa terlihat dengan naiknya rasio utang. Naiknya beban utang dikarenakan adanya defisit anggaran yang dipengaruhi oleh penurunan pendapatan negara dan kenaikan anggaran belanja negara.   

Sebelum terjadinya pandemi, jumlah utang pemerintah sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan dimana pada tahun 2015 terjadi lonjakan jumlah utang pemerintah dengan akumulasi utang mencapai Rp3.165,13 triliun dan rasio utang terhadap PDB mencapai 27,4 persen atau naik Rp556,35 triliun dari tahun 2014. Hingga tahun 2019 akumulasi utang pemerintah sudah mencapai Rp4.786,58 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 30,2 persen. 

Lalu, lonjakan utang pemerintah kembali terjadi seiring dengan adanya pandemi covid-19 tercatat pada tahun 2020 jumlah utang meningkat Rp6.080,08 dengan rasio terhadap PDB mencapai 39,4 persen. 

Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat. (Partai Gelora)

Hal lain yang terjadi pasca pandemi, kata Achmad adalah inflasi yang langsung berdampak pada masyarakat. “Ternyata dengan membagi-bagikan uang dalam bentuk bansos, itu punya cost juga, harga-harga jadi naik. Ketika bank sentral mengeluarkan likuiditas yang begitu besar, ternyata uang yang beredar menimbulkan masalah, karena likuiditasnya terlalu besar dan akhirnya nilai uang berkurang. 

“Masyarakat mengeluhkan kenaikan harga barang. Artinya menunjukkan daya beli masyarakat belum pulih,” imbuhnya. 

Ketimpangan ekonomi juga disoroti oleh Achmad. Katanya, gini ratio saat ini memang terlihat rendah, namun terdapat anomali. “Saat pandemi, gini ratio mengalami satu pertambahan, artinya semakin besar ketimpangannya. Saat ini pas masa pemulihan, memang terjadi sedikit penurunan. Tapi penurunan itu bisa diartikan, gap kemiskinan itu bukan berarti yang miskin itu naik dan yang banyak sejahtera. Yang terjadi adalah yang miskin makin miskin, tetapi yang kaya juga ikut turun. Itu yag membuat gap nya kelihatan turun. Bukan berarti orang miskin jadi kaya, dan orang kaya tetap kaya,” tutur dia. 

Di sisi lain, dana PEN yang seharusnya menjadi instrumen untuk pemerataan ekonomi, justru yang terjadi adalah penguatan bagi segelintir orang saja. Setidaknya bisa terlihat ketika pemerintah menelurkan kebijakan insentif pajak semasa pandemi.  “Ternyata insentif pajak lebih banyak membantu kalangan orang-orang kaya. Bisa dilihat di data BI bagaimana pemilik tabungan di atas 100 juta itu meningkat tajam. Sementara pekerja berpenghasilan rendah itu lebih terdampak, contoh pekerja informal,” ujar Achmad. 

Stimulus ekonomi dari anggaran PEN juga berlaku bagi BUMN. Achmad berpendapat kebijakan semacam itu tidak berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. Praktik yang terjadi justru adanya permainan anggaran untuk menyelamatkan BUMN yang ‘sakit’.

“Ternyata stimulus untuk BUNN ini tidak memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional karena pelaksana dari program infrastuktur dari PEN itu hanya putar-putar di kalangan BUMN saja dan anak usahanya. Misal BUMN Karya, ketika mendapat stimulus, itu bukan untuk ekspansi, tapi untuk reengineering laporan keuangan. Karena mereka defisit, lalu mendapat bantuan jadi seolah-olah sehat,” katanya.

 

Tak Melulu Soal Kesehatan, Duit PEN Juga Dipakai Biayai BUMN dan Infrastruktur

Berdasarkan Perpres 54 No.2020 disebutkan bahwa Kebijakan Fiskal Prioritas terletak pada tiga bidang. Pertama, Kesehatan, meliputi infrastruktur kesehatan, vaksin dan tenaga media. Kedua, Bantuan Sosial (Bansos), meliputi 65% penduduk Indonesia harus dicover bansos ini. Ketiga, Usaha Menengah Kecil Mikro (UMKM), untuk sektor riil dan pariwisata.

Namun, faktanya ada sekitar 12 BUMN yang mendapat suntikan dana segar PEN itu. Mulai dari dari PT PLN, PT Garuda Indonesia, PT Hutama Karya, PT Perkebunan Nusantara, PT Pertamina, PT Perumnas, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC), Bulog, PT Kereta Api Indonesia, PT Bahana, PT Krakatau Steel dan PT Permodalan Nasional Madani. 

Kedua belas BUMN ini menerima kucuran dana PEN dengan skema yang berbeda-beda. Ada yang skema penyertaan modal pemerintah, dana talangan investasi hingga dana kompensasi.

Garuda Indonesia misalnya, menerima skema dana talangan Rp8,50 triliun. PLN  mendapat dana Rp38,25 triliun, Pertamina  senilai Rp37,83 triliun. Lalu, Bulog mendapatkan dana bansos Rp10,5 triliun,  KAI dana talangan Rp3,50 triliun, PTPN sebesar Rp4 triliun, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk sebesar Rp3 triliun, Perumnas sebesar Rp650 miliar. Pemberian dana PEN melalui PMN diberikan kepada PT Hutama Karya Rp7,50 triliun, Bahana sebesar Rp6 triliun, PNM Rp1,5 triliun dan ITDC  Rp500 miliar.   

Pada tahun 2021 misalnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyalurkan cadangan dana di program pemulihan ekonomi nasional (dana PEN) sekitar Rp 33 triliun untuk penyertaan modal negara (PMN) kepada sejumlah BUMN dan lembaga yang langsung diawasi langsung oleh pemerintah. Salah satunya, untuk PT Hutama Karya (Persero).

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Sindonews) 

Dalam hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengungkapkan pemerintah menyalurkan PMN untuk Hutama Karya sebesar Rp9,1 triliun dari dana cadangan PEN 2021. PMN itu akan digunakan untuk pengembangan proyek Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS). "Kelanjutan pembangunan JTTS untuk empat ruas tol," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI, Senin (08/11/2021) silam. Empat ruas yang dimaksud adalah ruas Medan-Binjai, Pekanbaru-Dumai, Kuala Tanjung-Parapat, dan Binjai Langsa.

Menurut Sri Mulyani, PNM untuk Hutama Karya yang tertulis di APBN 2021 sebesar Rp6,2 triliun. Dana itu untuk menyelesaikan tiga ruas Tol Trans Sumatera sepanjang 66 km. "Hutama Karya semula di APBN 2021 dapat PMN Rp6,2 triliun, ditambah lagi dengan PMN dari PEN dan saldo anggaran lebih (SAL) Rp9,9 triliun, sehingga total untuk Hutama Karya tahun ini Rp25,2 triliun," papar Sri Mulyani.

Kemudian, PT Waskita Karya juga akan mendapatkan PMN dari cadangan dana PEN sebesar Rp7,9 triliun. Dana itu akan digunakan untuk investasi di tujuh ruas tol. 

"Tujuh ruas tol, yaitu Kayu Agung-Palembang-Betung, Bekasi-Cawang-Kampung Melayu, Bogor-Ciawi-Sukabumi, Cimanggis-Cibitung, Krian-Legundi-Bunder-Manyar, Pasuruan-Probolinggo, dan Pejagan-Pemalang," ujar Sri Mulyani. Selanjutnya, pemerintah juga menyalurkan PMN dari dana cadangan PEN untuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) sebesar Rp15 triliun. Lalu, Badan Bank Tanah sebesar Rp1 triliun.

Tak sampai di situ, pemerintah juga menyalurkan dana PMN lewat SAL dengan total Rp20,1 triliun. Dana itu dikucurkan untuk Hutama Karya sebesar Rp9,9 triliun, PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI Rp6,9 triliun, dan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) Rp3,3 triliun.

Sementara, ia merinci penyaluran PMN yang sebelumnya sudah tercatat di APBN 2021. Rinciannya, Hutama Karya sebesar Rp6,2 triliun, PT PLN (Persero) sebesar Rp5 triliun, PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF Rp2,25 triliun, PT Kawasan Industri Wijayakusuma (Persero) atau KIW Rp977 miliar, dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI Rp 470 miliar.

Kemudian, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebesar Rp5 triliun, PT PAL Indonesia (Persero) Rp1,28 triliun, PT Pelindo III (Persero) Rp1,2 triliun, dan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau BPUI Rp20 triliun. Selain itu, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) turut menyalurkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sejak Januari sampai September 2022, perseroan telah mengucurkan dana program itu sebanyak Rp 214,6 triliun.

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) turut menyalurkan bantuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sejak Januari sampai September 2022, perseroan telah mengucurkan dana program itu sebanyak Rp 214,6 triliun.

Berdasarkan informasi yang diperoleh penyaluran dana PEN itu, terdiri dari restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 sebesar Rp 116,45 triliun ke 1,99 juta debitur.

Lalu penjaminan kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebesar Rp 2,86 triliun ke 3.657 debitur, serta penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) super mikro sebesar Rp 22,42 triliun ke 2,55 juta debitur. Ada pula penjaminan kredit korporasi padat karya dan berorientasi ekspor sebanyak Rp 582,01 miliar yang meliputi terbitnya sertifikasi penjaminan atas fasilitas tujuh debitur sebesar Rp 582,01 miliar ke Lembaga Penjaminan Ekspor Indonesia (LPEI). Kemudian terdapat pipeline 25 debitur segmen menengah dengan total penambahan plafon Rp 229 miliar.

Selain untuk BUMN, dana PEN juga dipakai untuk membangun Jakarta International Stadium (JIS). Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri BUMN sekaligus Ketua Umum PSSI Erick Thohir. Erick mengatakan, sudah ada pembicaraan dari PT Jakarta Propertindo (Jakpro) soal renovasi JIS. Meski menyebut stadion tersebut milik Pemprov DKI, namun Erick mengingatkan ada sumbangsih pemerintah pusat dalam pembangunan JIS.

"Tetapi tadi Pak Bas (Menteri PUPR Basuki Hadimuljono) cerita ke saya, Jakpro DKI akan merenovasi di dalam JIS karena memang ini kan aset yang dimiliki DKI, walaupun pemerintah pusat membantu loh aset itu, karena pembangunan itu pakai dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional)," katanya di Jakarta, Senin (07/08/2023).

Apakabar Potensi Korupsi Penanganan Covid19?

Tanggung jawab negara adalah menjabarkan secara persis bagaimana pengelolaan keuangan periode 2020-2022 sebesar Rp1.645 triliun yang dikucurkan kepada KPC-PEN yang anggarannya berasal dari uang rakyat alias APBN. Ketika permasalahan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dana yang digarap sejumlah lintas kementerian dalam KPC-PEN belum kelihatan juntrungannya, masalah lain yang kentara ialah soal realisasi anggaran ribuan triliunan dalam tiga tahun terakhir. Menukil data Kementerian Keuangan, anggaran PEN tidak sepenuhnya terserap untuk kepentingan tiga klaster yang menjadi fokus penganggaran, yakni: penanganan ekonomi, perlindungan sosial dan penanganan kesehatan. 

Realisasi anggaran pada 2020 adalah sebesar Rp575,9 triliun dari pagu anggaran Rp695,2 triliun atau ada celah sekira Rp100 triliun. Lalu, pada tahun 2021 anggaran PEN melonjak hingga Rp744,8 triliun atau yang menjadi tertinggi dibanding 2020 dan 2022, akan tetapi serapan anggarannya sebesar Rp655,1 trliun.   

Di tahun 2022 pemerintah kembali menggulirkan anggaran PEN sebesar Rp455,62 triliun. Adapun realisasi anggaran terhitung rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya, yaitu hanya 72,6 persen atau Rp330,7 triliun yang tercatat sejak awal Januari hingga Desember 2022. 

Di balik tidak transparan dan tidak penuhnya realisasi anggaran, diduga ada penyimpangan hingga praktik korupsi anggaran untuk sejumlah hal penanganan Covid-19. Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Agus Sarwono mengungkapkan bahwa dugaan bancakan besar terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa, bantuan sosial sampai dengan stimulus ekonomi yang sarat konflik kepentingan. “Potensi penyimpangannya ada tidak? Ya sangat besar, mulai dari sektor pengadaan karena pengadaan untuk penanganan pandemi sangat banyak. Kalau mau dikumpulin (temuannya) banyak, belum muncul saja (kasusnya),” kata Agus kepada Law-justice, Kamis (10/8/2023). 

Agus bilang minimnya keterbukaan informasi ihwal pengelolaan keuangan di KPC-PEN termasuk lintas kementerian yang ada di dalamnya jadi pintu masuk untuk membuka dugaan penyimpangan. Sejak badan ad-hoc itu terbentuk pada pertengahan 2020, sulit sekali untuk bisa mendapatkan informasi secara rigid dari pemerintah soal penggunaan anggaran. 

Semisal pemakaian anggaran untuk pengadaan barang dan jasa, kata Agus, hampir seluruhnya pengadaan dilakukan atas dalih situasi darurat sehingga tidak melalui open tender. Menurutnya, hal itu sah-sah saja karena memang diatur dalam Perpres dan Peraturan LKPP. Akan tetapi, publik tidak mengetahui berapa anggaran yang digunakan dan untuk kepentingan apa saja. 

Praktis, sejak KPC-PEN beroperasi mengelola anggaran, masyarakat hanya bisa mendapatkan informasi terbaru terkait anggaran penanganan pandemi khususnya program PEN melalui empat sumber semisal paparan pemerintah pusat saat konferensi pers, paparan pemerintah pusat pada  webinar, melalui kanal APBN Kita dan publikasi buku APBN Kita. Agus berkata, informasi yang diberikan pun hanya berupa akumulasi dari tiap pos anggaran PEN. Tidak banyak sumber informasi lainnya yang bisa didapatkan mengenai pergeseran anggaran, rincian alokasi anggaran, rincian realisasi penggunaan anggaran. 

“(Soal) pengadaan vaksin, sampai sekarang kita tidak pernah mendapatkan informasi yang firm dari negara berapa total jumlah pengadaannya. Tapi yang diinformasikan negara (adalah) data persebaran penerima vaksin. Itu pun ada (penerima vaksin) setelah ada desakan,” kata Agus. 

Bicara soal pengadaan vaksin, pemerintah juga memilih skema penunjukan langsung karena dalih situasi darurat. Terdapat tiga metode pengadaan vaksin yang diatur. Mulai dari skema penugasan kepada BUMN yakni PT Biofarma, skema penunjukan langsung badan usaha penyedia hingga skema kerja sama dengan lembaga atau badan internasional. Anggaran untuk vaksinasi ini tidak main-main. Pada 2021 saja pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp57,84 triliun dengan realisasi anggaran setara Rp33,28 triliun Namun, hingga saat ini dokumen kontrak pengadaan vaksin yang bersumber dari pembelian langsung belum dapat diakses masyarakat.

Menukil keterangan LPSE Kemenkes, pengadaan darurat berupa vaksin yang tercatat hanya ada satu saja. Itu pun hanya terkait soal logistik yang menunjang kegiatan vaksinasi pada 2021, tapi tidak menjelaskan terkait pengadaan vaksin. 

Agus menekankan mekanisme pengadaan darurat memiliki celah penyelewengan yang tinggi karena minimnya transparansi. Di tengah tekanan yang besar untuk menghadirkan vaksin dalam jumlah banyak, potensi korupsi hadir dalam penetapan harga supplier kepada negara yang membeli. 

Merujuk laporan TII, setidaknya potensi korupsi pengadaan vaksin bisa ditelisik dari dua fase. Pertama dari fase pra-penawaran saat tahap penentuan produk vaksin. Singkatnya produksi vaksin yang terpusat pada segelintir pihak dimainkan untuk mendatangkan untung secara tidak sah. Sedikitnya persaingan yang terjadi, maka kenaikan harga tak akan terelakkan. Dengan demikian, potensi kemahalan harga sangat mungkin terjadi dan masyarakat tidak mengetahui perusahaan vaksin mana saja yang dijajaki oleh pemerintah. 

Di sisi lain, dengan adanya penyedia yang terbatas maka prosedur tender dapat dihindari yang menciptakan risiko korupsi di dalamnya. Selain penentuan produk vaksin, harga vaksin dan jumlah kebutuhan vaksin menjadi sangat rentan di-mark up.

Celah korupsi berikutnya terjadi saat fase penawaran. Terdapat risiko pejabat pemerintah menerima suap dari penawar dan penawar dengan sengaja menyesuaikan dokumen tender dengan berkomunikasi pada panitia pengadaan sehingga terjadi konflik kepentingan. 

Masih soal pengadaan di sektor kesehatan semasa pandemi, diketahui keberadaan APD sangat vital bagi keselamatan tenaga kesehatan saat bertugas. Namun, pengadaan APD tak terlepas juga dari penyimpangan. Agus berpendapat celah yang dimanfaatkan adalah soal sengkarutnya data sehingga anggaran bisa dimainkan. 

“Sejak lama kami sampaikan ke pemerintah untuk membuka data kebutuhan APD secara nasional. Data penting agar tidak double klaim. Jangan ketika pemerintah pusat lakukan pengadaan APD, kemudian didistribusikan ke daerah lewat BNPB, lalu di daerah juga bikin pengadaan APD dengan dana APBD. Artinya potensi pemborosannya sangat besar,” kata Agus.  

Jika pengadaan darurat Kemenkes masih tercatat dalam LPSE walau hanya ada satu-satunya, namun tidak begitu dengan BNPB. Padahal hampir semua pengadaan di BNPB semasa pandemi menggunakan skema pengadaan darurat. 

Menukil LPSE BNPB pun, tidak ada sama sekali catatan pengadaan hingga kini. Menariknya, BNPB terlibat dalam pengadaan reagen yang tersiar kabar ada konflik kepentingan antara Kepala BNPB saat itu Doni Monardo dan perusahaan yang ditunjuk langsung. 

Agus dalam posisi yang meyakini bahwa praktik tidak transparannya penggunaan anggaran dalam soal pengadaan tidak hanya ada di BNPB dan Kemenkes saja. “Saya yakin betul, di kementerian lain juga melakukan pengadaan dengan pendekatan darurat. Tapi tidak dilaporkan,” ujarnya. 

Ketika pengadan vaksin dan sektor kesehatan semasa pandemi seolah belum tersentuh korupsinya, anggaran Covid-19 yang jelas-jelas dikorup ialah terkait bansos Jabodetabek yang menjerat eks Mensos sekaligus kader PDI-Perjuangan, Juliari Batubara. Mantan penyidik KPK yang kini menjadi Ketua IM57+ Institute, Praswad Nugaraha mengungkapkan potensi kerugian keuangan negara akibat korupsi bansos jauh melebihi dibanding nilai bancakan Juliari--jumlahnya bisa triliunan. 

Ketua IM57+ Institute Mochamad Praswad Nugraha. (Detik)

Namun, penyidikan lebih lanjut tak bisa Praswad lakukan lantaran Ketua KPK Firli Bahuri lebih dahulu menonaktifkan dirinya atas dalih tidak lulus uji TWK. Padahal, kata Praswad, aktor-aktor yang bermain di balik korupsi bansos tidak hanya Juliari dan sejumlah orang yang kini dibui. 

“Ada beberapa di instansi lain. Ada juga bagian dari lembaga negara dan ada partai politik. Banyak sekali pemeran para pihak terkait perkara itu, tidak hanya Menteri Sosial saja,” ujar Praswad kepada Law-justice, Kamis (10/8/2023). 

Untuk membuktikan keterlibatan sejumlah pihak, Praswad berupaya berkali-kali mengajukan gelar ekspos perkara kepada pimpinan KPK, namun tidak pernah berbalas. “Sampai sekarang bansos Jabodetabek itu yang 6,4 triliun tidak diurai, tidak diusut. Terutama kerugian keuangan negaranya. Saat saya jadi penyidik, saya ajukan beberapa sprindik tambahan dan tersangka tambahan. Tapi sampai hari ini Firli Bahuri dan pimpinan lainnya tidak pernah memberikan kesempatan untuk sprindik-sprindik itu naik,” ujar dia. 

Di saat penyidikan kasus korupsi Bansos di Kemensos, Praswad juga meyakini potensi bancakan juga terjadi di kementerian lain dengan objek korupsi berbeda. “Jangan lupa saat itu ada pengadaan alkes, APD, masker. Itu kan banyak pengadaaan untuk nakes. Kami tidak sempat, ini bukan tidak ada korupsi ya. Tapi belum sempat karena diburu-buru dinonaktifkan,” tutur dia. 

Mesti diakui, kinerja KCP PEN selama pandemi Covid19 layak diacungi jempol. Setidaknya, Indonesia selamat dari terjangan krisis. Di samping tentu saja, pemerintah berhasil menekan jumlah korban jiwa.

Namun, tetap ada sisi lain yang mesti diawasi. Penggunaan dana dalam jumlah luar biasa besar, di dalam kondisi yang tidak normal tentunya sangat berpotensi untuk diselewengkan. Apalagi, secara umum dunia sedang dalam kondisi darurat. Tetapi, Auditor negara tidak lengah. Sejumlah temuan tak luput dari pengamatan auditor BPK. Temuan yang merujuk pada potensi kerugian negara triliunan rupiah.

Namun, sayangnya, penegak hukum terkesan tidak mau menangani potensi kerugian negara yang terjadi di sektor ini. Bahkan, dalam kasus OTT eks Menteri Sosial Juliari Batubara, Komisi Pemberantasan Kourpsi (KPK) berenti di delik suap saja. Tidak ada itikad untuk mendalami kasus korupsinya, bagamana bancakan yang telah terjadi dan siapa saja yang bermain di saat terjadi bencana. Padahal, UU Korupsi menyatakan Korupsi yang dilakukan di saat bencana bisa dihukum mati.

Rohman Wibowo/Ghivary Apriman

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar