Bisnis Nikel Ilegal Dikuasai Mafia, Negara& Apara t Hukum Tak Berkutik

Skandal Ekspor Ilegal 5 Juta Ton Nikel, Siapa Bermain?

Sabtu, 08/07/2023 15:28 WIB
Ilustrasi: Gedung KPK di Jakarta.

Ilustrasi: Gedung KPK di Jakarta.

law-justice.co - Lebih dari lima juta ton bijih nikel diduga telah diperdagangkan secara ilegal ke China. Presiden Joko Widodo alias Jokowi telah melarang ekspor nikel per 1 Januari 2020. Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019. Namun Bea Cukai China masih mencatat adanya barang masuk dari Indonesia lebih dari 5 juta ton senilai kurang lebih Rp 14,5 triliun.  Besarnya nilai selundupan menimbulkan spekulasi kalau praktik ini bukan sekdar permainan oknum. Diduga praktik berjalan terkoordinasi dan masif ini melibatkan mafia tambang yang berelasi dengan kekuasaan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi Wilayah V menemukan dugaan tersebut melalui data Bea Cukai China yang dikaji oleh lembaga antirasuah tersebut. "Januari 2020 sampai dengan Juni 2022. Sumber website Bea Cukai China," ujar Kasatgas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK Dian Patria. 

KPK menduga terdapat kerugian aktivitas dalam ekspor bijih nikel sebanyak 5,3 juta ton ke China. KPK belum menaksir potensi kerugian negara dari dugaan ekspor ilegal bijih nikel ini, akan tetapi data KPK mengemukakan selisih nilai ekspor terkait bijih nikel hingga Rp14,5 triliun. Temuan KPK menunjukkan, berdasarkan data Bea Cukai China, dilaporkan pada 2020 ditemukan negeri tirai bambu itu telah mengimpor ore atau bijih nikel dari Indonesia mencapai angka 3,4 miliar kilogram dengan nilai US$ 193 juta (sekitar Rp 2,89 triliun). 

Pada 2021, Cina kembali mengimpor 839 juta kilogram bijih nikel dari Indonesia dengan nilai US$ 48 juta (sekitar Rp 719,52 miliar). Pada 2022, Bea Cukai Cina kembali mencatat ekspor 1 miliar kilogram ore nikel dari Indonesia. Angka selisih itu didapatkan dengan mengkomparasi data ekspor bijih nikel di Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia dengan data impor bijih nikel di situs Bea Cukai Tiongkok.

Pasca KPK mengumumkan temuannya, perkembangan kasus hingga kini belum masuk dalam proses penyelidikan. Plh. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menuturkan bahwa KPK masih dalam upaya untuk lebih lanjut menelusuri temuan awal, sebelum akhirnya diproses secara hukum.

"Rencana tentu ada (penyelidikan). Tapi, kami sebelum penyelidikan itu ada tahap dimana pendalaman dahulu, mengumpulkan informasi dulu. Kemarin baru pendalaman informasinya," ujar Asep dalam keterangannya, Jumat (7/7/2023).

Hal tersebut mendapatkan beragam reaksi dari sejumlah pihak dari mulai Komisi VII DPR RI, para pakar hingga Kementerian ESDM itu sendiri. Seperti diketahui Jokowi telah melarang ekspor nikel sejak 1 Januari 2020. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11/2019. Harga bijih nikel untuk smelter dalam negeri ditetapkan hampir setengah dari harga internasional.

Dari data bea cukai China dilaporkan bahwa pada tahun 2020 ditemukan impor bijih nikel China dari Indonesia mencapai angka 3,4 miliar kilogram dengan nilai USD 193 juta. Kemudian pada 2021, China kembali mengimpor 839 juta kilogram ore nikel dari Indonesia dengan nilai USD 48 juta. Sedangkan pada tahun 2022 sebesar 1 miliar kilogram ore nikel.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara. (Migasnesia) 

Cerita adanya dugaan ekspor ilegal nikel ternyata tidak mengejutkan bagi Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara. Sejak awal pelarangan ekspor nikel tahun 2020, pihaknya sudah mendeteksi adanya peluang ekspor ilegal atau penyelundupan bijih nikeh. Menurutnya ada dua faktor utama penyelundupan itu, pertama adanya disparitas harga kemudian yang kedua adalah keterbatasan permintaan karena kapasitas smelter dalam negeri masih sangat terbatas.

“Pemerintah, atas nama hilirisasi nikel, telah membatasi---bahkan menutup--- pasar ekpor bijih nikel. Sementara, smelter di dalam negeri masih terbatas kapasitasnya. Ditambah lagi, harga penjualan ke smelter dalam negeri ini pun nilainya ditetapkan oleh pemerintah melalui HPM (harga pedoman mineral),” ujar Marwan, Jumat (7/7/2023).

Namun, yang terjadi kemudian, larangan ekspor sepertinya tidak menyurutkan laju ekspor bijih nikel, terutama ke China. Dia mencatat, bahkan di tahun 2021 saja, bea cukai China mencatat ada bijih nikel dengan kode HS 02604 dari Indonesia masuk ke negara itu sebesar 3,4 juta ton lebih. “Artinya, larangan presiden sedari awal hanya basa basi saja. Padahal, dengan adanya larangan ekspor nikel, pemerintah secara sadar telah mengamputasi pendapatan negara karena meniadakan pajak dan royalti untuk perdagangan lokal,” ujarnya.

Kembali ke adanya dugaan pedagangan ilegal bijih nikel ke China sebesar 53 juta ton yang diungkap KPK. Marwan justru merasa surprise, tiba-tiba KPK mengumumkan telah menemukan dugaan perdagangan ilegal bijih nikel. “Meskipun temuan ini tergolong masih mentah, karena KPK hanya menghitung gap statistik antara BPS dengan Bea Cukai China. Namun, pilihan KPK mengumumkan isyu ini jelas mengundang tanda tanya. Ada motif apa?” kata Marwan.

Marwan menduga, kasus ini menyeruak tak lepas dari adanya pertarungan di dalam sirkel kekuasaan. Pemain-pemain yang berada di seputar penguasa mulai pecah kongsi dan saling buka-bukaan. “Parameternya sederhana saja, kasus ini tiba-tiba muncul di saat ramai diberitakan Presiden Joko Widodo cenderung memberikan dukungan ke Menhan Prabowo Subianto,” katanya.

Menurut Marwan, ekspor ilegal sebanyak 5,3 juta ton dalam waktu 2,5 tahun bukanlah permainan oknum ecek-ecek. Diperlukan koordinasi lintas instansi untuk memuluskan aksi ini. Apalagi, larangan ekspor ini merupakan produk pemerintah yang masih hangat menjadi perhatian presiden.

Tentunya, jika bukan orang dekat penguasa tak akan mampu mengkoordinasikan permainan ini. Apalagi, untuk urusan nikel dan perdagangan ke China, menurut Marwan, ada pejabat yang sudah memerankan diri sebagai koordinator.

Selain itu, dalam sejumlah kasus serupa keterlibatan orang dekat istana tak bisa dielakkan lagi. Misalnya saja keterlibatan salah seorang pimpinan relawan Joko Widodo asal Brebes, Jawa Tengah (Jateng) Windu Aji Sutanto. Dia sempat diperiksa Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Kejati Sultra) di Kota Kendari, pada Kamis (22/6/2023) sebagai saksi dalam perkara dugaan korupsi pertambangan ilegal dan penjualan bijih nikel di konsesi PT Antam UPBN Konawe Utara (Konut), Sultra.

Windu Aji Sutanto merupakan pemilik saham mayoritas PT Lawu Agung Mining, salah satu perusahaan yang bekerjasama dengan PT Antam untuk menambang di Blok Mandiodo.

“Dia itu (Windu) merupakan salah satu contoh orang dekat lingkar istana yang bermain di wilayah abu-abu sektor nikel. Tentunya dia memiliki rival bisnis yang sekelas degannya,” ujar Marwan.

Mereka inilah yang kini menurut Marwan tengah bertarung. Sebab, masing-masing akan memiliki calon Presiden yang berbeda. “Susah untuk tidak mengkaitkan persoalan duit haram nikel, juga tambang ilegal lainnya, ke ranah politik. Saat ini, bisnis yang bisa mendatangkan cash keras kan yaa salah satunya illegal mining seperti ini,” tandasnya.

Hal senada juga diungkap oleh pengamat kebijakan publik, Gigin Praginanto. Dia mengungkapkan ada keterlibatan pejabat negara di balik sengkarut nikel ilegal ini. Orang yang ia maksud ialah yang selama ini seolah mendukung hilirisasi di bawah kapital Tiongkok.  

“Orang yang sangat dekat dengan penguasa China dan Indonesia sekaligus. Mungkin dia sendiri pebisnis merangkap penguasa sekaligus. Karena untuk bisnis ilegal sebesar itu tak mungkin dilakukan tanpa beking kuat,” kata Gigin saat dihubungi Law-justice, Kamis (6/7/2023).

Lebih spesifik, ia menjabarkan pejabat yang dimaksud adalah, “Orang yang dekat dengan investor nikel dan suka pasang  badan ketika ada kritik keras terhadap banjir TKA China”. 

Orang tersebut, kata Gigin, yang memberikan kuasa kepada perusahaan Tiongkok untuk mengakses pelabuhan dan bandara agar dapat mengangkut ore nikel secara ilegal tanpa dihadang aparat keamanan setempat. 

“China mendominasi pertambangan dan hilirisasi nikel di Indonesia sehingga paham betul siapa saja orang paling berpengaruh dan bisa dimanfaatkan untuk bisnis ilegal. Apalagi kalau orang tersebut juga terlibat langsung sebagai pemegang saham atau pengelola perusahaan,” tuturnya. 

Peneliti JATAM Imam Shofwan menguraikan siapa saja pihak yang terlibat sebagai pemain tambang. Namun, ia tidak menyebut detail keterlibatannya terkait ekspor ilegal nikel yang diungkap KPK ini. Yang jelas, mereka dalam lingkar kekuasaan eksekutif dan legislatif.

“Orang-orang di lingkar Jokowi ini kan banyak juga yang bermain di nikel, pejabat atau mantan pejabat atau petinggi militer atau mantan petinggi militer. Bisa disebut Luhut Pandjaitan, Sandiaga Uno, Erick Thohir, Nadiem Makarim, Jusuf Kalla, Sintong Pandjaitan. Semuanya main di situ. Kalau kita bicara soal korupsi, mereka melanggar kode etik dalam hal berbisnis. Di legislatif juga begitu, Bambang Soesatyo, Ahmad Ali dan lain-lain. Orang-orang yang bermain di industri nikel, kalau bicara ilegal dalam konteks memanfaatkan posisinya sekarang untuk berbisnis itu, juga bagian dari ilegality,” tukas Imam. 

 

Sekedar Masalah Administrasi Atau Korupsi?

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengaku terkejut saat menerima informasi terkait adanya dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke Cina sejak Januari 2020 hingga Juni 2022. Untuk menelusuri lebih lanjut, Arifin mengatakan bila Kementerian ESDM akan langsung melaksanakan investigasi gabungan bersama lembaga pemerintah terkait. "Lima juta? Masa iya sebesar itu sih," kata Arifin di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (07/07/2023).

Selain itu, Arifin juga telah memberi instruksi kepada jajarannya untuk menindaklanjuti adanya dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke Cina lewat korespondensi dengan Kedutaan Besar RI (KBRI) di Beijing. Koordinasi itu ditujukan untuk mendapatkan klasifikasi pencatatan ekspor komoditas mineral dari otoritas Cina. Untuk itu, Arifin menuturkan bila saat ini Kementerian ESDM dan pemerintah terkait akan melakukan investigasi terlebih dahulu sebelum memberi pernyataan lebih jauh.

"Namun sejauh ini masih dalam proses investigasi karena itu kan temuan bea cukai Cina. Kami masih lakukan pendataan verifikasi," ujar Arifin.

Informasi mengenai dugaan ekspor nikel ilegal ke Cina pertama kali digaungkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun KPK merujuk pada data The General Administration of Customs of China (GACC) atau Administrasi Umum Kepabeanan Cina.

Menteri ESDM Arifin Tasrif. (ist)

Arifin mengatakan dugaan ekspor ilegal dapat terjadi karena adanya perbedaan persepsi dalam pencatatan ekspor komoditas mineral antara Indonesia dan Cina. Adapun Indonesia masih membuka ekspor bijih besi yang kemungkinan masih mengandung mineral ikutan dalam bentuk bijih nikel. "Perbedaan persepsi juga mungkin, tapi kami lihat dulu, sejauh ini tunggu dulu karena kami juga komunikasi dengan bea cukai," katanya.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Muhammad Wafid menyebut perbedaan persepsi itu mengacu pada cara masing-masing negara dalam menentukan kode penjualan barang tambang. Wafid menjelaskan, perbedaan persepsi itu mengacu pada cara masing-masing negara dalam menentukan kode penjualan barang tambang. Wafid mencontohkan, Indonesia masih membuka ekspor bijih besi yang kemungkinan masih mengandung mineral ikutan dalam bentuk bijih nikel. "Umpamanya di dalam bijih besi masih ada nikel, taruhlah di bawah 2-1%, bagi Indonesia itu tidak masalah dan itu bukan bagian dari nikel. Tapi di Cina mungkin dianggapnya sebagai nikel, lalu dihitung," kata Wafid di Kantor Kementerian ESDM pada Selasa (04/07/2023). 

Maka dari itu, Wafi menyatakan bahwa pemerintah belum merilis kesimpulan soal adanya kebocoran ekspor bijih nikel ke Cina. Menurutnya metode perhitungan tersebut perlu ditelusuri terlebih dahulu sebelum disimpulkan. "Belum ada dugaan kesimpulan, karena biasa soal metode perhitungan itu beda-beda," ujarnya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menilai positif temuan awal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ihwal dugaan praktik ekspor bijih atau ore nikel ilegal dari Indonesia ke China sepanjang Januari 2020 hingga Juni 2022. Luhut berharap temuan awal dari komisi antirasuah itu dapat membuka jalan pembenahan tata kelola industri nikel domestik seiring dengan komitmen pemerintah melakukan hilirisasi mineral logam di dalam negeri. 

“Ya, bagus kalau ketemu, nanti kita cari siapa yang ekspor,” kata Luhut saat ditemui di Kemenko Marves, Jakarta, Jumat (23/6/2023).  Luhut mengatakan, penyelundupan ekspor bijih nikel ke luar negeri itu mengandung unsur pidana yang kuat untuk dapat diselidiki lembaga penegak hukum terkait.  “Bisa kita pidanakan,” kata Luhut.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, menegaskan jika penyelundupan ini benar terjadi jelas ulah mafia tambang. “Negara kalah dengan mafia tambang, jika tak bisa ungkap tuntas ini,” tegasnya.

“Berdasarkan keterangan pejabat penting di atas, sudah dapat dipastikan ini pekerjaan mafia tambang, sistemik, terstruktur dan masif,” kata Yusri, Kamis (6/7/2023). Menurut Yusri, jika pejabat KPK hanya bicara di media dan bukan melakukan penindakan nyata, hal tersebut akan dibaca publik sebagai ketidakmampuan KPK menindaknya diduga lantaran dilindungi backing yang sangat kuat. Wajar jika publik akan berspekulasi ada oknum istana yang bermain. 

Makanya, kata Yusri, CERI sangat berharap dari dokumen yang bocor di KPK yang berisi dugaan tindak pidana korupsi dari proses rekomendasi ekspor itu wajib ditindak lanjuti serius. “Lantaran ada ratusan triliun uang negara bocor akibat praktek kongkalikong tata kelola tambang, mulai batubara, nikel, bauksit, timah dan lainnya,” kata Yusri. 

Dijelaskan Yusri, untuk ore nikel sejumlah 5 juta metrik ton, dengan asumsi 1 dump truk mampu mengangkat 20 metrik ton, ada 250 ribu dump truk membawa nikel ilegal dan tidak terpantau aparat penegak hukum, ini aneh. Karena jumlah ekspor ilegal cukup besar, pelakunya mungkin terkait dengan fasilitas pengolahan nikel yang dapat langsung mengirimkan produknya ke luar negeri. “Bijih nikel yang diekspor secara ilegal kemungkinan besar konsentrasinya kurang dari 1,8 persen (kadar yang dibutuhkan smelter),” katanya.

Yusri menyarankan agar pemerintah membuat platform informasi nikel digital terintegrasi, dengan data seperti produksi nikel dari penambang dan perusahaan pengolahan serta penjualan domestik dan ekspor pakaian ini. Platform harus dapat diakses oleh berbagai lembaga pemerintah untuk memungkinkan pengawasan yang lebih ketat dan mencegah ekspor ilegal.

“Penegakkan hukum harus diprioritaskan, KPK harus bertindak serius mengungkapnya. Banyak UU yang dilanggar. Setidaknya melanggar UU Minerba Pasal 158 dan Pasal 170 A, UU Kepabeanan, Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup,” ungkap Yusri. Lebih lanjut Yusri mengatakan, mengingat hilirisasi bijih nikel itu program utama presiden Jokowi, maka segenap unsur penegak hukum wajib mengamankannya.

Yusri Usman Direktur Eksekutif CERI. (Waspada)

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah memproses perusahaan eksportir lima juta ton nikel ilegal ke China yang mengakibatkan negara rugi triliunan rupiah. “Tunggu apalagi? Segera pidanakan. Menko Marves juga jangan sekedar obral wacana. Begitupula KPK agar segera memeriksa lembaga-lembaga pengawas ekspor yang main mata,” kata Mulyanto kepada Law-Justice, Rabu (05/07/2023).

Mulyanto menduga praktik ekspor ilegal ini dilakukan oleh jaringan yang melibatkan perusahaan swasta, oknum pemerintah dan oknum lembaga pengawasan ekspor. Sebab, jumlah mineral yang diekspor sangat besar, sehingga tidak mungkin lembaga pemberi izin ekspor tidak mengetahui.

Oleh karena itu, Mulyanto meminta KPK segera menindaklanjuti temuan ini. Menurutnya, sangat mudah menelusuri siapa pelaku ekspor nikel ilegal ini karena kegiatannya dilakukan melalui pelabuhan-pelabuhan resmi. Sehingga dokumen dan data ekspor bisa ditelusuri.

“Masalahnya mau tidak KPK memeriksa oknum pejabat yang menjadi backing ekspor ilegal ini? Melihat jumlah mineral yang diekspor kuat dugaan bekingnya bukan orang sembarangan. Karena itu perlu kemauan yang keras bagi KPK dan Kepolisian untuk mengusut perbuatan melawan hukum ini,” tegasnya.

Mulyanto menyebutkan secara aturan harusnya ekspor ilegal sangat tidak mungkin terjadi sebab banyak pihak yang melakukan pengawasan seperti Bakamla, Bea Cukai, Pol Air dan Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP).

“Ini kan perlu dievaluasi secara sungguh-sungguh. KPK dapat mendalami kinerja para pengawas ekspor ini. Jangan-jangan ada pembiaran atau main antara petugas dan eksportir ilegal,” kata Mulyanto.

Mulyanto meminta pemerintah mengambil langkah tegas pada ekspor bijih nikel ilegal sebanyak 5 juta ton ke China. Dia meminta pemerintah harus tegas kepada semua pihak yang terlibat dalam ekspor nikel ilegal senilai Rp 14,5 triliun tersebut. Sebab, telah berlangsung lama, sejak 2020. "Bila perlu evaluasi semua tim pengawasan ekspor," ungkap Mulyanto.

Sementara itu Anggota Komisi XI DPR RI Masinton Pasaribu menegaskan dugaan kasus ekspor nikel ilegal ke China harus diusut tuntas sampai kepada akar-akarnya. "Dugaan ekspor hasil tambang sebanyak 5 juta ton ore nikel ilegal ke China harus diusut tuntas hingga ke aktor pemain utamanya, juga terhadap korporasi atau perusahaan yang terlibat," ujar Masinton kepada Law-Justice, Selasa (04/07/2023).

Masinton menyebut bila tindakan ekspor nikel ilegal itu terang-terangan melawan keputusan negara yang melarang ekspor nikel yang sangat jelas merugikan negara. "Selain melawan keputusan negara melalui perintah Presiden Jokowi tentang pelarangan ekspor nikel, juga mengkhianati kepentingan industri nasional Indonesia tentang hilirisasi hasil tambang Indonesia seperti nikel, dan lain-lain," ungkapnya.

Politisi PDIP tersebut juga menuturkan kegelisahannya lantaran usai menghitung, soal potensi kerugian negara akibat kasus penyelundupan ekspor 5 juta ton nikel ke China mencapai Rp 15 triliun, yang semestinya bisa menjadi penerimaan negara.

Sehingga Masinton menyebut Bea Cukai jangan hanya banyak basa basi. Pasalnya, kerugian negara dari penyelundupan ekspor nikel ini berpotensi merugikan negara dengan jumlah yang besar.

"Bea Cukai jangan cuma basa-basi dengan kasus penyelundupan ekspor nikel yang berpotensi merugikan negara Rp 15 triliun rupiah," tuturnya.

"Ini kejahatan serius terhadap negara dan industri nasional melalui hilirisasi nikel. Dugaan keterlibatan 85 perusahaan eksportir nikel ilegal harus dibuka ke publik oleh Bea Cukai. Termasuk keterlibatan pejabat dan pegawai Bea Cukai yang membantu meloloskan ekspor nikel ilegal tersebut," sambungnya.

Masinton juga meragukan jika tidak ada keterlibatan para petinggi terkait, dalam rangkaian kejahatan tersebut, dan menerangkan bahwa larangan komoditi ekspor sudah tercantum dalam sistem portal Indonesia National Single Window (INSW).

"Mustahil jika tidak ada keterlibatan pejabat Bea Cukai dalam persekongkolan ekspor nikel ilegal sejak pelarangan ekspor nikel ke luar negeri oleh pemerintah. Dokumen PEB ekspor tidak mungkin bisa keluar dengan mudah, karena larangan komoditi ekspor sudah tercantum dalam sistem portal INSW," imbuhnya.

Selain itu, dijelaskannya lagi bahwa telah terjadi upaya mendiamkan, kemudian terungkap setelah ada pihak di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membeberkan. "Selama ini Bea Cukai mendiamkan dan baru bicara setelah bagian koordinasi dan supervisi KPK menyampaikan ke publik tentang adanya kegiatan ekspor nikel ilegal. Ini perbuatan pidana dan kejahatan serius melawan kebijakan negara," bebernya.

"KPK harus ambil alih penyelidikan kasus ekspor nikel ilegal. Ini persekongkolan jahat yang dugaan saya dalam modus operandinya melibatkan orang-orang dalam Bea Cukai. Kasus ini bukan pelanggaran administrasi biasa dalam UU Kepabeanan," tambahnya.

 

Anggota Komisi XI DPR RI Masinton Pasaribu. (Rilisid)

 

Muka Presiden Ditampar Ekspor Bodong Nikel

Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain besar dalam industri nikel dunia, tampaknya menemui jalan terjal. Regulasi soal larangan ekspor bijih nikel dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 yang mengarahkan kebijakan hilirisasi industri nikel, justru menjadi bumerang untuk pemerintah. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menemukan adanya dugaan eskpor ilegal bijih nikel ke Tiongkok sebanyak 5 juta ton lebih sepanjang periode 2020-2022. Padahal, regulasi itu baru mulai berlaku Januari 2020. 

Menurut peneliti Transparency International Indonesia (TII), Gita Atikah, praktik ekspor ilegal bijih nikel itu jelas sebagai tindak pidana yang mengarah laku korupsi. Titik celah yang dapat digunakan aparat penegak hukum untuk membuktikan adanya korupsi ialah melalui penelusuran alur proses ekspor ilegal itu terjadi. Artinya, mesti ada penelusuran bagaimana peranan APH di kawasan yang menjadi pintu masuk ekspor ilegal itu. 

“Ini bukan lagi kecolongan, tapi indikasi korupsi yang sistematis,” kata Gita saat dihubungi Law-justice, Kamis (6/7/2023). 

“Titik penelusurannya ada di proses alur ekspornya, dari sana bisa kelihatan siapa saja yang terlibat. Ditelusuri juga aparat penegak hukum atau pengawas yang ada di perairan seperti aparat penegak hukum yang patroli. Agak aneh kalau tidak kelihatan ada proses muat ekspor itu. Kemudian di Bea Cukai, perlu dicek lagi dokumen ekspornya, apakah memang ada pemalsuan dokumen atau apakah ada pihak tertentu yang melakukan kecurangan secara sistematis yang berkongkalikong dengan pegawai Bea Cukai,” ia menambahkan.  

Penekanan soal keterlibatan aparatur negara dan APH, kata Gita, memang sudah sepatutnya dikemukakan lantaran mereka menjadi bagian dari kelompok yang memuluskan praktik ekspor ilegal. Selain karena otoritas yang dimiliki, celah lain yang dimainkan adalah melalui regulatory capture (korupsi peraturan) sebagai akses khusus untuk melayani kepentingan kelompok-kelompok yang mendominasi aktivitas pertambangan. 

Dalam pandangannya, relasi kekuasaan, baik level pejabat publik maupun APH daerah hingga level nasional, juga saling berkoordinasi demi keuntungan dari praktik tambang ilegal. Misal dalam kasus Ismail Bolong, seorang mantan polisi di Polres Samarinda yang mengaku dirinya menyetor duit ke Kabareskrim dari hasil mengelola pertambangan ilegal. Gita lantas menguatkan asumsinya dalam kasus ekspor ilegal nikel ini bahwa diduga kuat pihak yang berada di sirkulasi kekuasaan mendapat untung dari selisih neraca perdagangan nikel.  

“Kasus ekspor yang dilakukan secara ilegal tentunya merugikan negara, kerugian dapat dilihat dari adanya selisih neraca perdagangan nikel antara Indonesia dengan Tiongkok. Selisih neraca perdagangan yang tinggi menciptakan ruang rente ilegal yang dapat menjadi insentif bagi aparatur untuk terlibat dalam perilaku berburu rente,” katanya.

Apalagi, kata Gita, relasi kekuasaan yang melibatkan pejabat publik, APH hingga politisi memang terbukti secara faktual. Berdasar indeks persepsi korupsi Indonesia akhir-akhir ini yang semakin anjlok menempatkan pangkal masalahnya karena konflik kepentingan antara politisi dan pebisnis. Dalam praktiknya, terjadi suap dari pebisnis untuk urusan izin ekspor-impor. 

“Hal tersebut juga diperparah dengan tidak adanya pasal yang mengatur tentang larangan konflik kepentingan akan membuka ruang berbisnis seluas-luasnya bagi politically-exposed person (PEPs) di sektor tambang,” ujarnya. 

Peranan politisi yang menjadi pejabat negara dalam pusaran korupsi di sektor tambang kian kentara lantaran posisi penting mereka kini tidak terlepas dari bantuan uang industri tambang. Baik mereka yang berafiliasi dengan pebisnis tambang maupun politisi yang sukses berkuasa berkat menguasai industri tambang. 

“Sektor tambang itu jadi salah satu sumber untuk mendanai ongkos politik, baik itu Pilkada maupun Pemilu. Maraknya izin pertambangan sebagai imbalan untuk pemodalan politik,” kata Gita. 

Karena itulah, kata Gita, instrumen hukum yang ada justru menjadi celah yang dimanfaatkan untuk korupsi. Menurutnya, sejak UU Minerba tahun 2009 direvisi pada 2020, fungsi pengawasan di sektor tambang menjadi semakin tidak ketat. Segala urusan soal tambang, termasuk izin menjadi kuasa pemerintah pusat yang sebelumnya dipegang pemerintah daerah. Di sisi lain, pengawasan tambang tidak diperkuat dengan kuantitas inspektorat, sehingga membikin ruang-ruang gelap dalam industri tambang terbuka lebar. 

“Antara sentralisasi, lemahnya pengawasan dan patronase dalam perpolitikan saling berkaitan. Ketika semua ditarik ke pusat, justru tidak ada anggaran yang cukup dan kasus lebih banyak dibanding inspektorat yang ada. Relasi konflik kepentingan, antara pejabat negara, politisi dan pebisnis. Jadi, itu semua menjadi pusaran yang melanggengkan korupsi di pertambangan,” ungkap Gita. 

Dia juga menitikberatkan Permen ESDM soal pelarangan ekspor bijih nikel itu juga, justru menjadi celah korupsi, alih-alih menguntungkan negara. Kebijakan hirilisasi pada konsepnya berkutat pada proses mulai penambangan, operasional pabrik smelter hingga produksi olahan nikel yang berpusat di dalam negeri. Tetapi, realitasnya kini bisa berpotensi sebaliknya.   

“Apakah pelarangan ekspor memang jalan yang benar. Di sisi lain banyak pihak yang menolak, dan sekarang terjadi kasus ekspor ilegal ini. Itu mungkin karena untungnya lebih besar kalau diekspor bagi segelintir pengusaha, tapi bagi negara justru merugi. Jadi, seperti dibuat secara ilegal supaya lebih murah ongkosnya,” tutur Gita. 

Imam Shofwan, peneliti dari Jaringan Tambang (JATAM). (ist)

Menurut Imam Shofwan, peneliti dari Jaringan Tambang (JATAM), pembuktian pelanggaran hukum, termasuk korupsi yang dilakukan perusahaan tambang nikel bakal menjadi pekerjaan berat. Soalnya, transparansi atau keterbukaan segala aktivitas pertambangan nikel menjadi suatu hal yang sulit didapatkan. 

“Negara tidak punya kuasa untuk mengontrol ore (bijih nikel) itu walaupun ada kebijakan hilirisasi. Negara tidak bisa kontrol penuh terhadap alur masuk keluar ore ini. Dan ini diperparah karena izin-izin produksi nikel dikeluarkan oleh pemerintah pusat sehingga efeknya pemerintah daerah tidak punya kontrol terhadap aktivitas tambang yang ada di wilayah mereka,” kata Imam kepada Law-justice, Rabu (5/7/2023). 

Soal sulitnya keterbukaan informasi yang menyangkut korporasi tambang nikel, ia berkaca pada kasus kerusuhan pada awal Januari 2023 di PT Gunbuster Nickel Industri (GNI)—perusahaan tambang nikel asal Tiongkok. Saat itu unjuk rasa buruh pabrik yang memperjuangkan keselamatan kerja justru berujung pertumpahan darah. Dikabarkan, terdapat korban tewas dari aksi massa itu. Namun, hingga kini investigasi soal kerusuhan unjuk rasa dan siapa saja korban tewas belum tersiar kabarnya. Pihak kepolisian dinilai Imam justru seolah dalam posisi yang berpihak pada korporasi, alih-alih melakoni tugasnya mencari kebenaran dan menangkap pelaku kerusuhan yang menyebabkan tewasnya buruh. 

Menurutnya, pabrik smelter yang memproduksi bijih nikel yang bercokol di Indonesia didominasi oleh kapital Tiongkok. Kepemilikan modal Negeri Tirai Bambu dalam membangun smelter sejalan dengan kebijakan luar negerinya bernama One Belt One Road (OBOR). Sederhananya kebijakan ini menginginkan pengaruh Tiongkok di seluruh kawasan Asia Pasifik, mulai dari ekonomi hingga kebudayaan. Dalam relasi kerja sama ini, Indonesia berada dalam posisi yang tidak setara dengan Tiongkok. 

Menukil keterangan dari Kementerian ESDM, hingga akhir 2022 terdapat 20 smelter nikel. Jumlah smelter berpotensi semakin bertambah seiring target dari kebijakan hilirisasi garapan Jokowi yang menginginkan 54 smelter dibangun di kawasan-kawasan yang menyimpan deposit mineral dan logam. Adapun untuk target hilirisasi tambang nikel membutuhkan 30 smelter yang berpusat di Sulawesi, Maluku Utara hingga Papua.   

Dalam pembangunan smelter ini, Imam menduga negara justru memberikan previlige bagi korporasi untuk berbuat apapun atas nama operasional industri. Dikabarkan di sekitar kawasan pabrik dibangun bandara dan pelabuhan khusus yang mengangkut hasil tambang nikel. Di masa sebelum pemberlakuan larangan ekspor nikel, sarana transportasi itu digunakan untuk keperluan ekspor. Namun, di masa kini, pelabuhan dan bandara khusus tersebut menjadi ruang tertutup bagi korporasi untuk menyelundupkan bijih nikel.

“Pertambangan nikel ini kan yang dibangun enggak cuma infrastruktur smelternya. Di Halmahera begitu, di Weda begitu, di IMIP dan IWIP juga begitu. Rata-rata mereka mempunyai sarana transportasi yang memudahkan itu semua di lokasi,” ucap Imam. 

Masih soal ketertutupan perusahaan tambang nikel, kata Imam, keamanan di kawasan perusahaan dalam status high security. Berbagai elemen masyarakat tidak diberi ruang untuk mengakses apa yang terjadi di balik tembok perusahaan.  

“Enggak ada orang yang sembarangan bisa keluar masuk ke lokasi tambang. Kalau kemudian bandaranya di dalam, kemudian mereka juga punya pelabuhan sendiri yang semuanya tidak bisa diprotes dan diawasi oleh warga, ya mereka bisa melakukan apa saja untuk kegiatan-kegiatan itu (ekspor ilegal),” kata dia.  

“Polisi yang harusnya memonitor, tapi mereka tidak melakukan tugasnya. Mereka justru malah jadi centengnya perusahaan untuk mengamankan operasional ilegal tersebut,” imbuhnya. 

Leluasanya akses perusahaan yang digaransi oleh negara, juga bisa ditunjukkan ketika masifnya tenaga kerja asing asal Tiongkok yang masuk ke Indonesia secara ilegal. “Banyak tenaga kerja Tiongkok yang diselundupkan ilegal. Itu kan ratusan tenaga kerja ilegal dan itu tidak bisa dideteksi, baik oleh negara dan aparat penegak hukum dan apalagi pihak luar selain mereka,” katanya.

Imam mengatakan, kompleksitas masalah ekspor ilegal yang diperparah karena ketertutupan informasi operasional smelter ini, juga berkaitan dengan pasokan ore nikel berasal darimana. Kata dia, ekspor bijih nikel ilegal berpotensi juga sumbernya dari korporasi ilegal. 

“Perusahaan ilegal itu kan banyak banget. Ore mereka mau dibuang kemana kalau enggak ke smelter-smelter itu. Enggak semuanya, smelter-smelter itu diambil dari produksi sendiri karena mereka menampung juga ore dari pemain lokal. Kita sampai sekrang tidak punya data, darimana saja ore mereka diambil kan. Enggak ada keterbukaan data soal itu,” ujarnya. 

Imam meyakini ihwal ekspor ore nikel secara ilegal ini merupakan efek dari berlebihnya produksi. Sedangkan, permintaan dalam negeri tidak sebanding dengan kuantitas produksinya. 

“Hilirisasi itu ada persoalan, yang seharusnya keberadaan smelter dalam negeri, harusnya bisa mendongkrak harga ore di lapangan, tapi pengusaha-pengusaha nikel di lapangan karena hilirisasi smelter ini tidak mampu mendongkrak harga jual ore di dalam negeri. Artinya itu enggak memberikan benefit apa-apa bagi para penambang ore. Kalau namanya pengusaha kan cari alternatif mana harga yang lebih mahal, itu yang kemudian dibuang karena mau cari untung.” tuturnya.  

Sementara itu, Pakar Ekonomi Achmad Nur Hidayat menyebut bila adanya kajian dari KPK soal 5,3 juta ton bijih nikel (nickel ore) telah diekspor secara ilegal ke China berdasarkan data customs dari Pemerintah China.

Berdasarkan data KPK, penyelundupan bijih nikel terjadi di Pelabuhan China dan kerap dilakukan dengan memakai dokumen pelaporan kode barang yang diekspor yakni HS Code 2604 atau HS0 2604. HS Code 2604 adalah kode untuk nikel olahan atau nikel pig iron atau sejenisnya. Langkah tersebut digunakan untuk memanipulasi petugas agar diloloskan oleh Bea Cukai.

"Beacukai menilai HS Code 2604 bukan bijih nikel namun nikel olahan, sehingga bisa diizinkan keluar dari kawasan kepabeanan pelabuhan di Maluku dan Sulawesi," kata Achmad saat dihubungi, Kamis (06/07/2023).

Achmad menyebut bila hal tersebut adalah kebobolan besar yang diduga melibatkan oknum surveyors, bea cukai dan oknum petugas pengawasan.

Menurutnya, para pengambil kebijakan (policy makers) perlu melakukan evaluasi terkait implementasi kebijakan hilirisasi terutama tata kelola hilirisasi dan sistem pengawasan sektor pertambangan.

"Buruknya tata kelola hilirisasi telah merugikan keuangan negara dan perekonomian nasional. Perbaikan tata kelola industri tambang menjadi syarat mutlak yang harus segera dilakukan seiring gencarnya upaya pemerintah mengembangkan hilirisasi industri tambang belakangan ini," ujarnya.

Achmad menyatakan bila Indonesia adalah salah satu negara yang paling banyak dirugikan oleh praktik aliran dana tak wajar yang umum terjadi di sektor ekspor ilegal barang tambang.

Achmad menyatakan bila pada periode 2008-2017, nilai rata-rata aliran dana mencurigakan di sektor pertambangan mencapai 43 miliar dollar AS, yang berarti Indonesia berpotensi mengalami kerugian sekitar Rp 610,09 triliun dalam bentuk kehilangan pendapatan pajak dan pos penerimaan lainnya.

"Salah satu contohnya adalah pelanggaran ekspor bijih nikel yang berujung kepada ekspor ilegal nikel di masa lalu. Indonesia sempat mengharamkan ekspor bijih nikel di zaman SBY 2014. 2 tahun kemudian yaitu pada 2016, General Administrations of Customs of China (GACC) melaporkan ekspor bijih nikel dari Indonesia senilai 4 juta dollar AS. Data itu tidak tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kebocoran ekspor ini diperkirakan merugikan negara Rp 2,8 miliar," paparnya.

Achmad mengurai bila kasus serupa juga terjadi pada 2020. BPS tidak mencatat adanya ekspor bijih nikel (kode HS 2604), tetapi GACC lagi-lagi mencatat, ada impor 3,4 juta ton bijih nikel dari Indonesia senilai 193,6 juta dollar AS atau setara Rp 2,8 triliun pada 2020.

Ia menyatakan bila permasalahan tersebut tidak mungkin sekedar salah mencatat code HS 02604 antara customs pihak Indonesia dan China. "Tata kelola Hilirisasi yang buruk selain dari kebocoran ekspor ilegal nikel oleh produsen nikel, juga terjadi dari proses pengawasan oleh pihak surveyors. Persoalan pengukuran kadar menjadi permainan kebijakan hilirisasi," urainya.

CEO Narasi Institute itu mengatakan tata kelola buruk memberikan insentif bagi surveyors, produsen dan eksportir ilegal bermain ekspor ilegal. Perbedaan pengukuran kadar bijih nikel antara penambang di hulu dan pengusaha smelter di hilir adalah permainan para Surveyor. Pengusaha smelter kerap menetapkan kadar yang lebih rendah dibandingkan di hulu.

"Kebijakan hilirisasi nikel yang gencar dikampanyekan pemerintah saat ini lebih banyak menguntungkan eksportir ilegal dan pemain industri smelter di negara lain, khususnya China," katanya.

Achmad menyatakan bila hilirisasi tambang justru tidak diiringi dengan industrialisasi di dalam negeri yang bisa memperkuat struktur industri nasional dari hulu ke hilir. Contohnya 100 persen ekspor feronikel dan nickel pig iron (produk olahan nikel di sektor antara) Indonesia pada 2022 adalah ke China.

"Bukannya Indonesia pakai untuk mendukung dan memperkokoh struktur industri dalam negeri, melainkan malah dikirim untuk mendukung industrialisasi di China," ungkapnya.

Ia juga menyebut bila kebijakan hilirisasi juga diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mengizinkan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dari China. Penggunaan TKA itu tidak hanya untuk tenaga ahli, tetapi juga untuk pekerja kasar, seperti petugas keamanan, pengemudi, koki, pekerja bongkar-muat, dan manajer gudang.

 "Ini menunjukan bahwa tata Kelola Hilirisasi sudah sangat Buruk dan tidak boleh terus dibiarkan," tutupnya.

Pakar Ekonomi dan CEO Narasi Insitute Achmad Nur Hidayat. (Media Indonesia)

Marwan Batubara berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi tata kelola mineral di Indonesia. Sembari dia menekankan perlunya DPR membentuk Pansus untuk mengevaluasi seluruh tata kelola mineral yang ada. Terutama yang berkaitan dengan modal asing dari China. Dia meminta salah satunyang harus segera dihentikan adalah mengistimewakan investor China.

Dalam kasus perdagangan ilegal nikel ini,dia menengarai, salah satu hal yang menyebabkan ini terjadi dengan mudah adalah rangkaian usaha milik pemodal China sejak dari tambang, kawasan industri, smelter hingga pelabuhan internasional dalam satu jejaring.

Dalam kasus perdagangan ilegal nikel ini, pemerintah harus bisa tegas. Sebab ini bukan sekedar modus pencolengan kekayaan negara biasa. Dalam kasus ini, selain nilai dan modusnya yang fantastis. Kasus ini juga secara langsung akan mempertaruhkan harga diri Republik ini di dunia internasional. Apalagi, saat ini mata dunia tengah sinis dengan keakraban Indonesia-China dalam hal trading nikel ini.

Presiden Joko Widodo harus segera memerintahkan KPK untuk segera melakukan penyelidikan yang serius untuk membongkar praktik perdagangan dan pertambangan ilegal sektor nikel. Ditambah lagi, sejumlah pihak menghembuskan sinyalemen adanya keterlibatan orang-orang dekat istana dalam bisnis itu.

Selain penegakan hukum, perlu juga dilakukan perbaikan regulasi. Hal ini tentunya menjadi kewajiban DPR untuk melakukan perbaikan tersebut. DPR mestinya bisa segra membentuk Pansus untuk menangani persoalan ini.

Jika kasus ini tidak segera dituntaskan, dan terjadi lagi konsolidasi antar pemain mafia tambang ini maka rakyat dan bangsa ini akan semakin dirugikan. Selagi mereka sedang terpecah dan saling buka-bukaan, maka DPR dan Penegak hukum harus ambil peran aktif. Segera berantas tuntas mafia tambang.

Ghivary Apriman

Rohman Wibowo

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar