Cawe-cawe Menuju 2024, Mempertahankan Demokrasi atau Syahwat Berkuasa

Jelang Pemilu, Quo Vadis Independensi Lembaga Negara?

Sabtu, 10/06/2023 14:25 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

law-justice.co - Hawa politik semakin memanas di tahun politik.Hanya beberapa bulan menuju Pemilu 2024, intrik politik mulai diluncurkan oleh para elite politik. Sehingga rakyat seolah dibikin melihat dinamika perpolitikan kini hanya seputar pertarungan antara kelompok politik penguasa pro status quo melawan kelompok oposisi yang menghendaki peralihan kekuasaan. 

Ikut campurnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam politik elektoral jelang Pemilu, semakin membuat panas iklim politik dalam negeri. Mulanya, gelagat politik ini terkesan samar-samar, namun belakangan justru Jokowi mengakui dirinya sedang cawe-cawe untuk pemenangan capres dari partainya, PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo. 

Cawe-cawe sebuah frasa lama yang secara harafiah, menurut Kamus besar Bahasa Indonesia,  memiliki makna ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani. Namun, saat memasuki khazanah politik, kecenderungan aksi akan menentukan nilai dari kata cawe-cawe ini.

Pengamat Politik dan Sosilog dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai Jokowi salah kaprah memahami praktik politik kenegaraan dengan keinginannya untuk cawe-cawe di Pilpres 2024. Padahal, hal itu sebelumnya sudah pernah dicontohkan di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Bahwa urusan capres–cawapres dalam konteks Pemilu itu adalah urusan partai politik,” kata Ubed dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (9/6/2023).

Ubed menekankan, cukup partai politik atau parpol yang sibuk dengan urusan capres dan cawapres bukan malah presiden. Ubed menerangkan, sesuai dengan konstitusi UUD 1945 pasal 6A pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan parpol peserta pemilihan umum (Pemilu).

“Ini maknanya urusan capres-cawapres itu urusan Partai Politik bukan urusan Presiden. Apalagi Jokowi dalam PDIP hanya sekedar Petugas Partai bukan Ketua Umum Partai Politik,” jelas Ubed.

Pengamat Politik dan Sosilog dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun.

Ubed mengingatkan, para ketua umum (ketum) parpol yang pernah menjabat sebagai presiden selalu netral dalam Pemilu. Ubed menambahkan, kesalahan fatal jika Jokowi dalam konteks ini tetap sibuk dan ikut mengurus musyawarah rakyat atau musra untuk mencari calon Presiden.

Sementara itu, polemik cawe-cawe semakin tajam kala Pakar Hukum Tatanegara Denny Indrayana secara tegas mengkritisi cawe-cawe politik ala Jokowi. “Peran beliau (Jokowi) adalah wasit. Kompetisi harus dibiarkan berjalan adil buat semua. Tidak boleh wasit mendukung Prabowo-Pranowo, sambil berusaha mendiskualifikasi Anies Baswedan. Presiden yang tidak netral, melanggar amanat konstitusi untuk menjaga pemilu yang jujur dan adil,” kata dia dalam keterangannya, akhir Mei lalu. 

Menurutnya, intervensi Jokowi juga kentara dalam perkara Moeldoko vs elite Partai Demokrat yang sedang ditangani Mahkamah Agung (MA). “Cawe-cawe Presiden Jokowi yang nyata adalah saat membiarkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ”mencopet” Partai Demokrat. PK Moeldoko sudah diatur siasat menangnya. Ada sobat advokat yang dihubungi para tersangka korupsi yang sedang berkasus di KPK. Para terduga mafia kasus di MA tersebut mengatakan, mereka dijanjikan dibantu kasusnya dengan syarat, memenangkan PK Moeldoko di MA,” tutur Denny. 

Begitu pun di isu perpanjangan pimpinan KPK, Denny menyebut ada kepentingan politik di baliknya dengan instrumen hukum oleh Hakim MK yang dinilai tidak independensi. 

“Selain merupakan gratifikasi jabatan kepada Firli Bahuri Cs. Putusan MK tersebut, adalah bagian dari strategi pemenangan Pilpres 2024. Dengan tetap memimpin KPK, Firli Bahuri dkk. tetap bisa melanjutkan strategi menutup dugaan kasus korupsi kawan-koalisi, sambil terus berusaha melakukan kriminalisasi korupsi lawan-oposisi,” ujar dia. 

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Sidang pengucapan Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 digelar di MK, pada Kamis (25/5/2023).

“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata  Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan UU KPK dengan didampingi delapan hakim konstitusi.

Dalam amar putusan tersebut, Mahkamah juga menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.

Kemudian menyatakan Pasal 34 UU KPK yang semula berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”.

Ihwal putusan ini tidak diperoleh secara bulat. Dari 9 hakim konstitusi 5 setuju dan 4 menyatakan berbeda pendapat. Empat Hakim Konstitusi tersebut yakni: Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih. Keempat hakim ini beda pendapat dengan lima hakim lainnya yang memutus mengabulkan gugatan Ghufron.

"Kami berpendapat, petitum pemohon yang memohon kepada mahkamah untuk memaknai norma pasal 34 UU 30/2002 menjadi `Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 tahun` adalah tidak beralasan menurut hukum sehingga seharusnya mahkamah menolak permohonan a quo," kata Hakim Konstitusi Enny saat membacakan dissenting opinion atas putusan MK yang mengabulkan gugatan Nurul Ghufron.

Enny menjelaskan, argumen yang dibangun oleh pemohon sama sekali tidak menyinggung soal keterkaitan masa jabatan pimpinan KPK dengan konteks kelembagaan.

Pakar Hukum Tatanegara Denny Indrayana. (Media Indonesia)

 

Uji Netralitas Mahkamah Konstitusi?

Belakangan, Denny juga mengemukakan pernyataan yang mengundang polemik ihwal bocoran informasi Hakim MK bakal memutus judicial review sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. Ia menduga ada setting agenda yang dapat menguntungkan kekuatan partai politik tertentu. “Saya khawatir soal hukum yang dijadikan alat pemenangan pemilu 2024. Karena soal pilihan sistem pemilu legislatif bukan wewenang proses ajudikasi di MK, tetapi ranah proses legislasi di parlemen (open legal policy).” ucapnya. 

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra Habiburokhman menilai seharusnya dari polemik soal Denny Indrayana yang perlu jadi perhatian bagi MK. Menurutnya, jangan sampai MK mengeluarkan keputusan perkara soal sistem pemilu sebelum selesainya tahapan pemeriksaan, sebab hal itu akan menjadi masalah. "Menurut saya yang perlu diperhatikan adalah bagaimana MK memutus. Kalau MK memutus sebelum selesainya tahapan pemeriksaan, itu pasti bermasalah," kata Habiburokhman saat dihubungi.

Habiburokhman mengungkapkan, selama ini MK belum mendengar penjelasan dari para pihak terkait dalam perkara tersebut. "Kami-kami para pihak belum semua menyampaikan kesimpulan. Kalau sudah ada kesimpulan apa namanya sudah ada keputusan sudah ada putusan sebelum para pihak lengkap memberikan kesimpulan kan berarti dilanggar hak para pihak ini," tuturnya.

Kemudian yang perlu diperhatikan lagi, menurutnya jika MK benar-benar memutuskan untuk mengubah sistem pemilu ke proporsional tertutup. Hal itu dianggapnya akan membahayakan di tengah tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Bahkan, Habiburokhman menyebut, jika pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup atau hanya coblos partai, maka akan terjadi chaos politik. Sebab tahapan Pemilu 2024 dijalankan dengan sistem terbuka saat ini.

"Karena situasinya hampir semua parpol format penyusunan daftar caleg itu orientasinya terbuka. Kalau tiba-tiba tertutup ini bisa agak chaos secara politik karena orang-orang akan ribut yang sudah didaftarkan bisa mundur dan kita akan kesulitan mencari penggantinya," katanya.

"Ini bukan hanya di level DPR RI, ada kabupaten, kota, provinsi sehingga ini bisa di mana-mana. Gitu lho, apa namanya ya ada masalah politik cukup genting di mana-mana," sambungnya.

Untuk itu, kata dia, yang menjadi taruhannya adalah penyelenggaraan Pemilu 2024 yang sudah berjalan. "Jadi taruhannya malah bisa terkait penyelenggara pemilunya, bagaimana pemilu bisa terselenggara dengan baik kalau ada ke kisruhan politik terkait dengan penetapan daftar caleg yang berubah orientasi dari terbuka menjadi tertutup," pungkasnya. 

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra Habiburokhman. (Bimata) 

Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI Roberth Rouw juga memberikan tanggapan bila sebaiknya Pemilu dilaksanakan pada sistem proporsional terbuka. Untuk itu, Roberth mengatakan saat ini merupakan saat yang tepat bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan dalam polemik gugatan sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Menurutnya, Jokowi harus mendukung keinginan rakyat agar pesta demokrasi lima tahunan digelar dengan sistem proporsional terbuka.

"Maka saya minta supaya enggak cuma MK (Mahkamah Konstitusi) yang kami minta, kami minta juga Presiden bisa mendukung apa yang menjadi harapan dari masyarakat," kata Roberth kepada Law-Justice

Dalam kesempatan itu, Roberth juga menyoroti pernyataan Jokowi yang akan melakukan cawe-cawe demi kepentingan bangsa dan negara. Politisi Partai Nasdem itu menyatakan bila saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Jokowi untuk merealisasikan komitmen tersebut. "Saya kira apa yang disampaikan dari kami yang mendukung sistem proporsional terbuka sangat setuju satu saja yang ingin kami sampaikan bahwa Presiden kami minta beliau sendiri sampaikan beliau harus ikut cawe-cawe untuk menjaga kelanjutan pembangunan dan stabilitas negara dalam rangka pemilu 2024," tegasnya. 

Roberth menekankan pelaksanaan sistem proporsional terbuka merupakan harapan rakyat.  Dia berkeyakinan masyarakat tengah menunggu sikap Jokowi terkait persoalan tersebut. "Bersuratlah kepada MK agar MK tidak buat gaduh politik yang sudah kami jalani sudah lebih dari setahun proses pemilu ini kami lakukan," ucapnya.

Terakhir, Roberth mengingatkan jika proses pelaksanaan Pemilu 2024 sudah hampir rampung. Ia khawatir perubahan sistem itu justru bakal membuat gaduh perhelatan pesta rakyat tersebut, khususnya di tingkat calon legislatif yang sudah mendaftarkan diri. "Jadi sekali lagi kami mohon agar sebagai pimpinan tertinggi kepala negara ikut juga untuk memberikan dukungan agar MK tidak bermain-main," ujarnya.

Seperti diketahui bila dalam usulan sistem proporsional pemilu, dari sembilan fraksi yang berada di Parlemen hanya PDIP yang mendukung bila sistem pemilu digelar secara tertutup. Meski begitu Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan bila partainya percaya sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi (MK), terkait keputusan sistem pemilu Indonesia. 

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto.

Dimana sistem proporsional terbuka yang telah digunakan sejak Pemilu 2009, saat ini digugat untuk dikembalikan ke sistem proporsional tertutup. Menurutnya, PDIP selama ini taat terhadap apapun aturan main terkait sistem pemilu. PDIP menyiapkan daftar bakal caleg untuk bertarung di Pemilu 2024 dengan asumsi sistem proporsional terbuka. 

Awalnya Hasto mengatakan, jika sistem pemilu saat ini sudah berjalan untuk Pemilu 2024. Ia lantas menyinggung dan mengingatkan eks Wamenkumham, Denny Indrayana, bahwa yang mengubah sistem pemilu dari proporsional tertutup ke terbuka itu terjadi di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

"Terkait sistem pemilu, ini sudah berjalan. Yang merubah, ini untuk Pak Indrayana, Pak Denny, yang merubah sistem pemilu menjelang pencoblosan itu adalah zaman Pak SBY di bulan Desember 2008. Pemilu April. Itu dari tertutup menjadi terbuka," ujar Hasto melalui keterangan yang diterima Law-Justice

Dia menegaskan bila PDIP saat ini taat terhadap aturan main yang ada. Apalagi pihaknya menyiapkan Pemilu 2024 dengan asumsi dan strategi adalah masih  menggunakan sistem proporsional terbuka. "PDIP taat aturan main. Aturan main saat ini bagaimana, pemilu sistem proporsional terbuka, maka kami menetapkan 32.000 bacalon, plus minus, dari seluruh Indonesia dengan sistem proporsional terbuka," katanya. 

Oleh sebab itu, lanjut dia, bahwa mengajak semua pihak untuk percayakan sepenuhnya kepada MK terkait putusan perkara sistem pemilu.  "Kita percayakan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengambil suatu keputusan politik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau mau belajar dari pemilu serentak, dulu kan ada pemilu serentak yaitu pilpres dan pileg yang dilakukan bersamaan, itu kan tidak otomatis berlaku. Itu kalau kita analogikan dari pemilu serentak," kata Hasto.

Hasto mengaku, PDIP tidak akan mencari tahu informasi A1 atau yang bersifat rahasia. Pasalnya, kata dia, hal tersebut hanya akan menciptakan konflik yang tidak perlu. Apalagi informasi dari sumber rahasia yang diklaim sebagai sebuah kebenaran, seperti yang awal-awal diungkap Denny Indrayana yang mengaku MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup. 

"Tapi kami belum tahu dan kami tidak mencari-cari informasi yang rahasia, A1, itu harus dipertanggungjawabkan, informasi yang kemudian menciptakan konflik yang tidak perlu, informasi yang A1 dari sumber rahasia yang dirahasiakan yang diklaim sebuah kebenaran. Kita percayakan, sikap PDIP, terhadap pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi, jangan kita berspekulasi sebelum putusan diambil," ujar Hasto.  

"PDIP secara ideologis memang mendorong proporsional tertutup tapi kami taat pada aturan main bahwa sekarang ini kami menyusun caleg dengan sistem proporsional terbuka," sambungnya.

Skeptisme independensi yang anggap MK di bawah kontrol kekuasaan, lantas kemudian dibantah oleh MK. Pertanyaan soal apakah MK dalam posisi menguntungkan salah satu kekuatan kelompok politik dijawab secara diplomatis. “MK memutus berdasarkan pertimbangan hukum berdasarkan konstitusi sebagaimana terbaca dalam putusan. MK tidak ikut-ikutan berpolitik praktis, betapapun kewenangannya beririsan dengan ranah politik,” kata juru bicara MK Fajar Laksono kepada Law-justice, Selasa (6/6/2023). 

“MK memeriksa, mengadili, dan memutus perkara berdasarkan hukum acara dengan sidang-sidang yang terbuka untuk umum, dapat melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan menjadi pihak terkait dalam persidangan, dan prosesnya dapat dimonitor publik. MK memutus berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, alat bukti, dan keyakinan hakim. Bahwa ada pihak yg tak sependapat atau tak puas dengan putusan MK, itu wajar, karena putusan MK tak akan mungkin dapat memuaskan secara mutlak semua pihak,” imbuhnya. 

Berdasarkan data yang diperoleh, Law-Justice mencoba untuk merangkum rekam jejak sembilan hakim MK. Anwar Usman (Ketua MK) MK sendiri saat ini diketuai oleh Anwar Usman, Sebelumnya, Anwar Usman sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi ke-5. Jauh sebelum menjadi Ketua MK, Anwar Usman pernah menjadi Asisten Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA). Sebelum pada akhirnya di Tahun 2011, Anwar dilantik sebagai hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung.

Beberapa waktu lalu, setelah istri pertama Anwar meninggal, satu tahun berselang Anwar menikahi Idayati adik kandung presiden Joko Widodo. Hal tersebut sempat menjadi perdebatan publik dan bahkan ada beberapa pihak yang menilai bila pernikahan tersebut dilandasi oleh politik. Namun, ia secara tegas membantah bila perkawinan tersebut bukan merupakan perkawinan politik.

Selain Anwar Usman, hakim MK yang sudah menjabat selama lebih dari 10 tahun adalah Arief Hidayat. Ia dilantik menjadi hakim MK sejak tahun 2013. Selama menjabat sebagai Hakim MK, Arief juga dinilai kerap kali membuat kontroversi salah satunya adalah munculnya kejanggalan saat ia kembali terpilih menjadi Hakim MK di periode kedua. 

Bahkan, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Junaidi Mahesa menyebut bila ada dugaan lobi-lobi politik guna memuluskan langkah Arief menjadi hakim konstitusi kembali. Lantaran Komisi III hanya membuka seleksi fit and proper test kepada calon tunggal Arief Hidayat. Namun, Arief Hidayat membantah adanya lobi politik dalam hal tersebut dan menurutnya itu hanya sebuah opini yang dihembuskan oleh orang yang tidak suka padanya.

Wahidudin Adams sudah menjabat sebagai hakim MK selama 9 tahun sejak dari tahun 2014, ketika itu ia mengikuti seleksi Hakim MK yang diadakan DPR. Terpilihnya Adams ke MK dikritik oleh beberapa kalangan dari lembaga swadaya masyarakat dan koalisi masyarakat sipil yang menilai bahwa kompetensi dan integritasnya "cacat". Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyayangkan DPR memilih Wahiduddin. Pasalnya, berdasarkan rekam jejak dan pemantauan koalisi masyarakat sipil terhadap calon selama seleksi, Wahiduddin.

Meski begitu, Anggota Komisi III Muhammad Nasir Djamil menilai bahwa terpilihnya kembali Adams ke MK adalah karena faktor "reputasinya tidak begitu jelek, kinerja selama jadi hakim Mahkamah Konstitusi tidak buruk, [dan] tidak ada catatan yang membuat masyarakat tidak respek.

 

Suhartoyo menjabat sebagai Hakim Konstitusi Republik Indonesia mulai 7 Januari 2015. Sebelum berkarir sebagai hakim konstitusi, Suhartoyo merupakan seorang hakim karier di lingkungan Peradilan Umum, dengan penugasan terakhir di Pengadilan Tinggi Denpasar. Suhartoyo juga pernah menjabat sebagai Ketua PN Jakarta Selatan, saat menjabat sebagai Ketua PN Jaksel salah satu kontroversi dari Suhartoyo adalah peran Suhartoyo dalam pembebasan tersangka BLBI Sudjiono Timan, dan klaim bahwa ia sering bepergian ke luar negeri.

Manahan Sitompul dipilih menjadi Hakim Konstitusi usulan Mahkamah Agung untuk menggantikan Hakim Muhammad Alim pada tahun 2015. Manahan mendapatkan rekomendasi dari Komisi Yudisial di antara 10 orang calon yang mendaftar kepada panitia seleksi MA. Manahan dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 28 April 2015. 

Salah satu kontroversi dari Manahan adalah ia termasuk di antara beberapa hakim MK yang ikut diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap yang melibatkan mantan hakim MK Patrialis Akbar pada bulan Februari dan Maret 2017.  Ia diperiksa oleh karena kapasitasnya sebagai ketua panel hakim yang memeriksa uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, di mana pemohon pada perkara tersebut kemudian terbukti menyuap Patrialis

 

Saldi Isra saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua MK, Saldi dilantik sejak 11 April 2017, Saldi Isra menjabat sebagai hakim Mahkamah Konstitusi, menggantikan Patrialis Akbar yang terseret kasus korupsi. Saldi dipilih oleh Presiden Jokowi untuk menjadi Hakim konstitusi pada saat itu, hingga akhirnya ia terpilih menjadi Wakil Ketua MK.

Sebelum menjadi Hakim MK, Saldi pernah mengkritik Presiden Jokowi pada tahun 2015 lalu. Hal tersebut terkait dengan kontroversi pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, ia menyebut bila itu akan menjadi bom waktu bagi Presiden Joko Widodo. Saat itu Saldi menilai seharusnya lebih mudah bagi Jokowi untuk segera mencabut surat pengajuan calon tunggal kapolri dari DPR.

Dia pun membandingkan tindakan Presiden Jokowi dengan presiden sebelumnya yakni Susilo Bambang Yudhoyono. Ia ingat ketika menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II ditetapkan sebagai tersangka, mereka langsung `dipaksa` mengundurkan diri atau dicopot dari jabatannya.

"Di zaman SBY menteri tersangka korupsi dicabut dari jabatannya. Lha ini kan jadi saja belum. Baru pencalonan, kok tidak dicabut. Harusnya kan lebih mudah," ujar Saldi ketika itu.

Enny Nurbaningsih Enny mulai menjabat sebagai Hakim Konstitusi Republik Indonesia mulai 13 Agustus 2018. Sebelum menjadi hakim konstitusi, Enny merupakan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional. Enny merupakan salah satu hakim konstitusi yang diusulkan oleh Presiden Jokowi pada Tahun 2018 lalu. Bersama dengan Saldi Isra, Suhartoyo dan Wahidudin Enny termasuk dalam empat hakim MK yang menolak memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK.

Pernyataan Enny sebagai Hakim MK juga pernah menuai kontroversi karena ia mengaku bingung dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengajukan gugatan soal ambang batas pencalonan presiden (capres) atau presidential threshold (PT) 20 persen. Enny bingung karena PKS menggugat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum padahal ikut proses pembuat UU Pemilu tersebut. 

Di sisi lain, Enny mengabaikan argumentasi PKS yang menegaskan saat proses pembuatan UU Nomor 7 tahun 2017 kala itu, mereka melakukan aksi walk out. Sikap Enny ini yang dinilai sejumlah kalangan memperlihatkan keengganan MK untuk menerima gugatan soal UU Pemilu. Pasalnya, PKS merupakan partai politik yang punya kedudukan hukum atau legal standing. 

Guntur Hamzah dilantik menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tahun 2022 atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Ia dilantik oleh Presiden Republik Indonesia menurut Keputusan Presiden Nomor 114 B tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang Diajukan oleh DPR RI. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dari 18 Mei 2015 sampai 2022.

Seperti diketahui bila Guntur Hamzah menggantikan posisi Aswanto yang dievaluasi oleh DPR pada tahun lalu.

Salah satu kontroversinya adalah terungkap oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melalui putusan No. 01/MKMK/T/02/2023 dimana Guntur terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, khususnya pada bagian penerapan prinsip integritas. Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan  menyayangkan putusan MKMK tersebut karena tidak memberhentikan dan hanya memberikan teguran tertulis kepada Guntur yang telah terbukti melanggar etik. Bukan cuma itu, putusan MKMK juga masih menyisakan sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. 

Daniel Yusmic Pancastaki Foekh menjabat sebagai Hakim Konstitusi Republik Indonesia mulai 7 Januari 2020. Sebelum berkarir sebagai hakim konstitusi, Daniel merupakan seorang akademisi yang mengajar di Universitas Atma Jaya Jakarta. Daniel menggantikan I Dewa Gede Palguna yang memasuki purna tugas dalam menjalani tugasnya sebagai Hakim Konstitusi.  

Daniel termasuk dari salah satu dari lima hakim yang menyetujui masa perpanjangan jabatan pimpinan KPK. Sebelum menjabat sebagai Hakim MK, Daniel pernah mengatakan bila Jokowi tidak perlu mengeluarkan Perppu untuk KPK. Hal tersebut berkaitan dengan revisi UU KPK pada Tahun 2019 lalu.

Menurutnya saat itu, Perppu bisa dikeluarkan oleh Presiden bila situasi sedang berada dalam kondisi darurat. Sedangkan saat itu menurutnya, KPK masih bisa bekerja seperti biasanya dan negara tidak dalam kondisi genting. 

Seperti diketahui, bila pada tahun 2019 lalu revisi UU KPK mendapatkan pertentangan dari beberapa pihak baik dari kalangan mahasiswa hingga beberapa ahli. 

Revisi UU KPK saat itu diklaim berpotensi bisa memperlemah KPK dalam melakukan tugasnya maka dari itu sejumlah pihak mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu. Bila melihat latar belakang dari sembilan Hakim MK tentu memiliki rekam jejak yang beragam dan sampai saat ini MK masih enggan untuk bersikap soal sistem proporsional pemilu.

 

Majelis Hakim Konstitusi. (Mahkamah Konstitusi)

Menyikapi polemik ini, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie memiliki pandangan lain yang leih komprehensif. Dia mengkritik salah satu aturan yang nantinya akan ada dalam revisi keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Materi muatan tersebut adalah terkait evaluasi hakim. Jimly menilai di tengah polemik saat ini artinya seorang hakim konstitusi dapat dievaluasi oleh pengusulnya, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung (MA), presiden, dan DPR. 

Materi muatan tersebut dinilainya dapat mengganggu independensi hakim yang saat ini tengah dihadapkan pada putusan sistem pemilu. "Maka jangan dikaitkan dengan evaluasi, tidak ada pak di seluruh dunia. Ini akan merusak independence of judiciary," kata Jimly saat dihubungi.  

Jimly menyatakan dalam konteks pengisian jabatan hakim konstitusi, DPR, presiden, dan Mahkamah Agung (MA) diberi amanat untuk mengisi jabatan hakim MK dengan cara memilih atau mengajukan masing-masing sebanyak tiga orang hakim konstitusi. Itu diatur dalam Pasal 18a UU MK saat ini. Jika pasal evaluasi itu ada, artinya hakim MK yang dipilih oleh DPR juga nantinya akan dievaluasi oleh lembaga legislatif itu sendiri atau oleh eksekutif.  Sedangkan, hakim MK yang dipilih atau diajukan oleh MA akan dievaluasi oleh lembaga yang juga merupakan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman itu. 

Padahal tujuan awal diaturnya ketiga lembaga tersebut mengusulkan tiga orang hakim adalah untuk menjaga independensi MK. Ia mencontohkan jika adanya pemakzulan atau impeachment terhadap presiden, MK akan netral karena masih ada enam hakim lainnya yang tak diusulkan oleh presiden. "Jadi saya kembali ke evaluasi itu, karena kesalahpahaman kita mengenai kata dari dan kata oleh, itulah jadi sumber masalah, gitu loh. Jadi padahal kenapa kita bikin tiga, tiga, tiga, maksudnya supaya MK itu independen," ujar Jimly. 

Di samping itu, Pakar Hukum Tata Negara tersebut mengusulkan adanya aturan yang lebih detail terkait prosedur seleksi, pencalonan, dan pemilihan hakim MK di MA, presiden, dan DPR. Tujuannya, untuk menguatkan prinsip objektif, akuntabel, partisipatif, dan transparan dalam prosesnya. "Jadi saran saya, sistem rekrutmen ini diperbaiki dengan mengatur ulang, baik di tatib DPR, maupun harus terbit Perma (peraturan MA) dan Perpres (peraturan presiden). Kalau bisa tolong DPR, terutama Komisi III mengingatkan kepada pemerintah supaya diterbitkan perpres," katanya.

Terkait dengan sistem proporsional pemilu, Jimly juga memberikan tanggapan mengenai hal tersebut. Ia menyatakan bila secara pribadi dan jangka panjang ia lebih setuju bila sistem pemilu diberlakukan secara tertutup. “Secara jangka panjang, saya tentu sistem pemilu diberlakukan tertutup,” katanya. 

Namun, untuk saat ini Jimly menyebut bila sistem proporsional pemilu sebaiknya jangan diberlakukan secara tertutup. Salah satunya karena persiapan pemilu untuk 2024 yang sudah dipersiapkan oleh panitia penyelenggara pemilu yaitu KPU. Selain itu, bila saat ini sistem pemilu diberlakukan secara tertutup itu dapat memberikan kekuasaan yang lebih kepada para Ketum Partai. “Itu memberikan power lebih kepada para Ketum partai,” imbuhnya.

Menurutnya, hal tersebut tentu bisa menimbulkan bahaya karena setiap legislator akan ditentukan oleh pucuk tertinggi parpol. “Ini bisa bahaya bila melihat kondisi saat ini,” ujarnya. Selain itu, akhir-akhir ini juga MK tengah berada dalam sorotan publik, hal tersebut karena adanya kritik atas berlakunya putusan MK soal perubahan masa jabatan pimpinan KPK yang berlaku untuk pimpinan Firli Cs. 

Menurutnya, bisa saja jika keputusan MK diberlakukan untuk masa jabatan Firli Cs. Karena, konteks putusan MK berlaku sejak ditetapkan dan bukan sebagai asas putusan yang berlaku surut. "Kok berlaku surut kan tidak berlaku surut. berlaku sejak diputuskan, sejak ditetapkan. kenapa dibilang berlaku surut. kalau berlaku surut ini putusan ini diberlakukan, untuk tahun yang lalu," katanya. 

Jimly menjelaskan bahwa keputusan MK berbeda dengan pembuatan undang-undang yang bisa berlaku surut. Termasuk pemberlakuan, hukum berlaku surut itu adalah hak asasi yang tidak bisa diubah-ubah, seperti menyangkut hak asasi manusia (HAM) "Kalau ini enggak, kan putusan MK berlaku sejak ditetapkan jadi dia perspektif. Jadi UU-nya itu mengalami perubahan, dan berlakunya mulai hari ini. Jadi nggak berlaku surut enggak, dia (putusan MK) berlaku ke depan," jelasnya.

Meski demikian, Jimly memandang dalam putusan seperti masa jabatan KPK biasanya akan ada aturan peralihan untuk mengatasi polemik yang ada.  Namun jika itu tidak ada, maka yang berlaku adalah prinsip hukum secara universal. Prinsip tersebut menuangkan pegangan bagi para hakim untuk memberlakukan aturan yang lebih menguntungkan kepada pihak penggugat atau yang bersangkutan, sebagaimana diatur dalam KUHP. 

"Jadi kalau ditanya ini KPK ini, terikat gak dengan UU baru sebagaimana berubah dengan putusan MK ya dia bisa mendapatkan keuntungan dari situ. Ya jadi dia 5 tahun. Tapi jangan dipolitisir dulu soal pemilu dan segala macam," tuturnya.

Pakar Hukum Tatanegara dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie.

 

Pengamat politik dari Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah berpandangan, celah sistem pemilu tutup ini sudah dalam skema elite parpol. Jadi, ujungnya mekanisme hukum di MK merupakan finalisasi siasat politik. Peranan institusi kepemiluan macam Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengaturi soal teknis elektoral disinyalir juga masuk dalam skema yang ada.   

“Peristiwa yang berlangsung sejauh ini tampaknya saling berkaitan. Misalnya ketika KPU menutup akses untuk SILON (Sitem informasi pencalonan), juga KPU membuat regulasi yang menyatakan bahwa partai politik itu boleh mengubah nomor urut dan nama calon sampai di akhir batas masa pencalonan. Padahal regulasi sebelumnya, tidak boleh seperti itu. Kok tampaknya peristiwa2 ini saling berkaitan dan memperkuat kecurigaan publik bahwa arahnya memang akan ke pengembalian sistem tertutup,” katanya. 

Ketika bola panas soal putusan jenis sistem pemilu sudah masuk ke MK, Hurriyah mewanti-wanti independensi para hakimnya. Ia bilang, ada kecenderungan MK itu terkesan menunda-nunda proses terhadap judicial review yang diajukan pemohom pada 2022. Namun, seolah santer akan diputus pada masa awal tahapan Pemilu. 

“Ini kan yang membuat kita khawatir, tiba-tiba ada disrupsi begitu MK memutuskan dan keputusannya sejalan dengan keinginan partai politik. Ada dugaan kuat MK akan akomodatif terhadap kepentingan partai,” kata dia. 

 

Pertarungan Elit Hanya Untungkan Oligarki, Rakyat Dapat Apa?

Pakar politik dari International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden, Iqra Anugrah, mengungkapkan dinamika politik yang terjadi hari-hari ini jelang Pemilu merupakan pertikaian antar oligarki. Baik mereka yang berada dalam status quo kekuasaan maupun mereka kelompok oposisi. Ia menjelaskan, tesis oligarki dalam politik Indonesia ini merujuk ke bagaimana politik, bahkan dalam sistem demokrasi elektoral sekalipun, itu seringkali didominasi oleh jejaring elite ekonomi dan politik yang bermuara pada kepentingan segelintir elite. 

“Terkait dinamika politik hari ini, yang saya ingin tekankan jangan sampai kita lupa gambaran besarnya bahwa yang terjadi adalah sebenarnya kompetisi intra oligarki di antara aktor-aktor dalam jejaring oligarki itu sendiri. Mereka memiliki pertemuan kepentingan yang sangat erat. Jadi, kita bukan berbicara individu ke individu, tokoh ke tokoh, tapi mengenai jejaring elite politik yang senantiasa mereproduksi dirinya sehingga bisa membajak proses dan juga juga tujuan dari mekanisme demokrasi itu sendiri,” kata Iqra saat dihubungi Law-justice, Rabu (7/6/2023). 

Iqra menitikberatkan praktik oligarki yang menggerogoti sistem politik Indonesia hari ini merupakan manifestasi wajah politik Tanah Air sejak lama. Meski ada letupan-letupan kecil dari kalangan reformis pasca era Orde Baru untuk mengubah karakteristik politik, akan tetapi pada akhirnya luruh pada kekuasaan.  “Politik Indonesia pasca Reformasi bisa dibilang bagian dari reproduksi dari proses oligarki tersebut. Meskipun kerap disebut Jokowi di awal-awal kemunculannya sebagai tokoh reformis ketika naik takhta kepemimpinan nasional di 2014. Tapi pada perjalanannya, ia masuk dalam jejaring oligarki itu” ujar dia. 

Iqra Anugrah, Pakar politik dari International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden.

Ia berkata, dalam relasi oligarki, para elite partai politik yang ada ini memiliki kuasa untuk memframing arah demokrasi berdasar kepentingan. Lalu, berdaulat atas kontrol sumber daya politik, ekonomi dan sumber daya alam, macam tanah hingga batubara. Jika ditilik, di antar kubu politik yang tengah bertikai, terdapat karakteristik oligarki tersebut. Misal para elite politik yang memiliki jejaring bisnis di sektor ekstraktif.

Di kubu Jokowi, ada nama Luhut Binsar Pandjaitan yang memiliki korporasi tambang batubara bernama PT Toba Sejahtera. Sedangkan, di kubu Anies, bercokol Surya Paloh yang memiliki kapital melalui perusahaan tambang seperti PT Emas Mineral Murni dan PT Surya Energi Raya.   

Mendengar adanya pertikaian antar elite politik jelang pemilu, juga membuat Hurriyah berpikir apa yang dipertontonkan kepada publik saat ini adalah orkestrasi pertarungan antar oligarki. Dia tidak melihat adanya pertarungan antar elite parpol dalam tataran ide, nilai dan prinsip seperti karakteristik diskursus politik saat pasca Reformasi.  “Jadi hanya tataran kekuasaan saja. Jadi kalau dilihat pertarungannya antara oligarch satu dengan oligarch lainnya. Nanti kalau sudah berkuasa, ya mesra-mesra lagi. Buat para oligarch itu tidak hanya musuh. Menjadi musuh hari ini tetapi menjadi sekutu di kemudian hari,” kata dia kepada Law-justice, Kamis (8/6/2023). 

Analisis dia merujuk pada gelagat para elite politik yang duduk di parlemen hari ini. Sebab, permufakatan bersama antar partai, baik koalisi pemerintahan dan oposisi kerap terjadi ketika dihadapkan menggarap beleid hukum untuk satu isu tertentu dan bahkan hampir keseluruhannya, seperti pengesahan revisi Undang-undang KPK pada 2019 lalu yang disahkan oleh seluruh fraksi.

“Saya tidak melihat ini sebagai pertarungan status quo dengan oposisi. Karena partai politik di Indonesia semuanya pragmatis sekali. Oposisinya ini hanya sebatas soal sirkulasi kekuasaan saja. Jadi, yang terjadi hari ini parpol yang berkuasa berusaha melanggengkan kekuasaannya. Lalu, partai yang mendapatkan kekuasaan berusaha mencari cara untuk mendongkel partai yang berkuasa hari ini,” kata dia. 

Hurriyah bilang relasi oligarki inilah yang membuat tensi politik panas jelang pemilu. “Itu sebabnya Presiden Jokowi berusaha cawe-cawe karena dia memiliki kepentingan melanggengkan kekuasaan di tengah pembatasan kekuasaan karena tidak bisa mencalonkan lagi. Itu sebabnya kita bisa lihat Moeldoko berusaha merebut Demokrat. Padahal bisa saja kalau dia ingin punya partai, bisa saja bikin. Tapi karena ongkos bikin parpol mahal, ya jadi kalau bisa membajak partai lain, ya dibajak aja,” tutur dia. 

Tangan oligarch elite politik juga, kata dia, bermain di isu sistem pemilu tertutup. Ia melihat ada kecenderungan bahwa tidak hanya PDI-P saja mendukung sistem pemilu beralih dari terbuka. Sebagaimana diketahui, ada 8 fraksi di parlemen menolak sistem pemilu tertutup, tetapi penolakannya hanya sebatas lisan tanpa upaya yuridis. 

“Sebenarnya partai-partai tidak mempunyai resistensi yang cukup kuat terhadap penolakan ini. Ketika ada JR yang diajukan untuk sistem pemilu tertutup ini, partai-partai lain juga kan tidak bereaksi misalnya untuk mengajukan JR untuk menolak itu,” ucap dia.

Menilik kepentingan politik dalam sistem pemilu tertutup ini, Hurriyah menekankan partai-partai besar mempunyai keuntungan secara elektoral. Sebaliknya, menutup ceruk suara bagi partai-partai yang tidak memiliki basis suara yang kuat atau partai-partai baru. 

“Penerapan sistem tertutup ini kan menguntungkan partai-partai besar yang sudah memiliki basis suara. PDIP sebagai partai dengan perolehan suara terbanyak tentu saja berpotensi paling diuntungkan. Apalagi PDIP punya pemilih loyalis dan memilki basis suara yang cukup. Di beberapa daerah, misal Jawa Tengah dan Bali,” ujarnya. 

Menukil hasil survei Indikator Politik Indonesia yang rilis awal Juni 2023, tingkat elektabilitas PDI-P dalam posisi teratas sebesar 20,7 persen. Masih dalam besaran dua digit, Partai Gerindra berada di urutan kedua dengan elektabilitas 17,4 persen. Dalam 6 besar, Golkar di posisi ketiga (7,7 persen), lalu disusul PKB, Nasdem dan Demokrat dengan elektebilitas sama, 6 persen.

Hurriyah menuturkan kepentingan lain sistem pemilu tertutup ini adalah bagaimana melanggengkan kekuasaan dinasti politik. Hal ini merujuk pada beberapa elite parpol yang berupaya menancapkan lebih lama pengaruhnya dengan mencalonkan kolega dan keluarganya. Salah satu yang mencolok adalah pencalonan Pinka Hapsari, anak Ketua DPR RI Puan Maharani yang maju sebagai caleg DPR RI dari PDI-P pada Pileg 2024. 

Menurutnya, sistem pemilu tertutup memberi ruang yang sangat besar bagi partai untuk menentukan siapa saja orang-orang yang mereka calonkan. Dimana para calon yang sudah diatur itu akan ditempatkan dan dinomor urutkan sesuai kontribusi secara materil ke partai. “Konteks Puan Maharani yang anaknya maju caleg, kita melihat bagaimana ada praktik politik dinasti yang dimanfaatkan partai. Betapa mekanisme demokrasi di internal partai tidak berjalan pada saat proses pencalonan, seolah-olah kita punya pemilu demokratis dimana masyarakat bisa menentukan sendiri wakil-wakil. Tapi sebenarnya mekanisme pencalonan itu sudah dikunci dan dimanfaatkan oleh partai melanggengkan dinasti dan bahkan membangun dinasti,” tutur dia. 

Pengamat politik dari Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah.

Melihat orkestrasi oligarki yang kini disuguhkan, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiatri menitikberatkan posisi rakyat. Selain dapat mengatur seenaknya caleg yang dipasang dalam kontestasi, celah lain yang diduga kuat dimanfaatkan parpol adalah soal mekanisme kontrol dari publik atau prinsip check and balance. Padahal, kerja-kerja wakil rakyat di parlemen semestinya sejalan dengan aspirasi dan kepentinggan rakyat yang diwakili daerahnya sehingga mesti ada pengawasan dari rakyat. 

“Publik tidak memiliki kewenangan sejauh itu untuk memilih siapa yang duduk di parlemen. Sehingga kita tidak dapat mengontrol, apakah partai politik benar menjalankan fungsinya atau tidak kalau dalam kondisi sekarang saja ketika sistem pemilu terbuka, problem-problem misalnya seperti politik dinasti kemudian oligarki menjerat partai politik,” kata Aisah saat dihubungi Law-justice, Kamis (8/6/2023). 

Kata Aisah, yang bermasalah bukan di sistem kepemiluannya, akan tetapi sistem parpol yang justru perlu dibenahi. Menurutnya, alasan parpol yang anggap sistem pemilu terbuka lebih boros anggaran dan alasan lain seperti caleg yang tidak loyal merupakan masalah yang disebabkan kultur sistem parpol selama ini. 

“Seharusnya partai bekerja lebih giat dalam tahapan kaderisasi dan rekrument ketika proses pencalonan. Tapi kan partai politik tidak melakukan kaderisasi dengan baik, rekrutmen yang baik, jatuhnya (caleg) karbitan. Kemudian, mereka mencalonkan kader-kader yang memiliki kemampuan finansial berlebih dan yang punya kedekatan maupun kekerabatan dengan anggota legislatif sekarang atau yang powerful di level kepengurusan partai. Jadi, partainya sendiri problematik. Jadi, bukan kemudian partai politik menjustifikasi sistem pemilu yang salah,” urai Aisah. 

Justru, kata Aisah, sistem pemilu terbuka atau tertutup bukan satu-satunya instrumen kepemiluan yang mesti diperbarui dalam meramu formula sistem yang progresif. Sebab, masih ada regulasi lain dalam kepemiluan, misal aturan luasan dapil hingga mekanisme ambang batas. Semestinya, wacana perbaikan tata kepemiluan digodok secara komprehensif melalui UU Pemilu.  

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiatri.

Yang kemudian jadi masalah ketika revisi UU pemilu itu kan ditutup pintunya oleh pemerintah sendiri saat itu. Padahal itu (revisi) menjadi cara yang paling tepat karena itu cara yang elegan. Dilakukan dulu evaluasi yang secara menyeluruh, kemudian dilihat poin-poin, didiskusikan antara pemerintah dan parlemen, melibatkan publik. Itu jelas secara proses produksi UU pemilu termasuk sistem pemilu menjadi lebih adil,” tutur dia. 

Ihwal posisi rakyat, Iqra juga berpendapat bahwa rakyat akan menjadi objek saja dalam kontestasi pemilu. Posisi rentan rakyat tidak berubah sejak dulu sistem pemilu tertutup, apalagi kini dengan sistem tertutup.  

“Rakyat tidak ditempatkan sebagai subjek yang dia terus-menerus berpartisipasi dalam proses politik. Tapi justru ditempatkan sebagai penonton, di mana partisipasinya dia dibatasi, diarahkan, diperkecil hanya untuk momen-momen tertentu, momen elktoral, momen kampanye. Momen elektoral pun dalam konteks yang sangat ritualistik misalnya hanya dengan mencoblos saat hari H pemilihan,” tukas Iqra. 

Pemilu sejatinya bukan sekedar ritual sirkulasi demokrasi yang dilakukan lima tahun sekali. Dalam demokrasi yang sehat, Pemilu sekaligus merupakan mahkamah rakyat yang bakal mengevaluasi penguasa dan partai politik. Sejauh mana mereka telah menjalankan amanah untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Namun, fakta yang jelas terlihat hari ini, rakyat bukan lagi diposisikan sekedar penonton. Kini rakyat seolah adalah liyan dalam kehidupan bernegara. Dalam pemilu pun, perannya sebatas meramaikan kampanye, lantas kemudian menjadi ujung tombak demokrasi prosedural dengan melakukan pencoblosan an sich. Dalam praktik money politic, suara rakyat ini telah dikonversi dalam mata uang politik elektoral.

kekhawatiran sejumlah pakar dan pengamat tehadap hajatan Pemilu 2024 bukan tanpa alasan. Kuatnya syahwan berkuasa elit-elit partai telah mengancam demokrasi itu sendiri. Cawe-cawe presiden yang diharapkan adalah dalam posisi netral menjaga dan mempertahankan demokrasi sebagai bagian menjaga marwah bangsa ini. Kenyataan, justru secara tegas Presiden Jokowi menyatakan cawe-cawenya sebatas memenangkan Capres pilihan partainya. 

Guliran Pemilu semakin rapat, namun masih ada secercah harap. Bahwa bandul politik akan menemukan titik equilibrium dan membawa momentum ke arah keadilan soisial bagi seluruh rakyat Indonesia. Praktik pembajakan demokrasi oleh elit oligarki ini mesti disadari oleh Presiden. jika ingin dikenang sebagai negarawan, maka pilihannya hanya satu: berpihak pad kepentingan rakyat. Sesuai amanah konstitusi dan Pancasila.

 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

 

 





 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar