Kala Audit BPKP Buka Tabir Lain Kepentingan Impor KRL Bekas

Minggu, 14/05/2023 21:19 WIB
Penumpang KRL saat hendak masuk gerbong KRL trayek Bogor-Jakarta Kota di saat masa awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Foto: Rohman Wibowo (law-justice.co)

Penumpang KRL saat hendak masuk gerbong KRL trayek Bogor-Jakarta Kota di saat masa awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Foto: Rohman Wibowo (law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Media Jepang, The Mainichi, menyebut Indonesia sebagai gudang kereta bekas dari Jepang. Julukan demikian tak terlepas dari relasi ketergantungan Indonesia terhadap Jepang dalam penyediaan KRL di Tanah Air. Indonesia secara historis bergantung pada penggunaan unit KRL dari Negeri Sakura secara masif, yang didominasi unit KRL bekas.

Memasuki 2023, wacana impor KRL bekas digaungkan oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Anak usaha BUMN dari PT Kereta Api Indonesia (KAI) itu melayangkan surat permohonan impor ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada September 2022. Impor KRL bekas diminta PT KCI dalam jumlah besar, sebanyak 348 unit. Ratusan unit digadang-gadang untuk menambal kesediaan armada layak yang menipis, sebab 10 rangkaian kereta akan pensiun pada 2023 dan menyusul 19 rangkaian kereta pada 2024.    

Ratusan KRL bekas Jepang yang minta diimpor berusia 29 tahun atau pembuatan pada 1994 silam, dengan seri E217 buatan produsen besar kereta api dari Jepang bernama East Japan Railway Company (JR East). Dari 348 unit, PT KCI mengklaim butuh kereta bekas tua itu sebanyak 120 unit untuk operasional 2023 dan sisanya untuk 2024. Impor ratusan unit KRL bekas ini disebut KCI sebagai hal mendesak karena menyangkut nasib 200 ribu penumpang yang diklaim terancam tidak bisa terlayani.  

Wacana Kebijakan Impor Berujung di Audit BPKP

Permintaan impor ini yang kemudian menjadi polemik. Ketika pihak PT KCI bersikukuh ingin impor KRL bekas, tetapi pihak Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak mendukung karena dianggap tidak sejalan dengan fokus pemerintah yang ingin meningkatkan produksi dalam negeri serta substitusi impor melalui Program Peningkatan Pengguna Produk Dalam Negeri (P3DN).

Lantas, Kemenperin meminta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) untuk melakukan audit atau review atas kemauan impor ini melalui Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Namun, hasil audit BPKP yang disampaikan ke Menko Luhut Binsar Pandjaitan pada akhir Maret 2023, juga tidak mendukung kebijakan impor KRL bekas karena sejumlah pertimbangan.

Pertama, BPKP sepakat dengan Kemenperin dalam kepentingan produksi dalam negeri. BPKP menilai rencana impor KRL bekas dari Jepang tidak mendukung pengembangan industri perkeretaapian nasional sesuai Peraturan Menteri Perhubungan No. 175/2015 yang mengharuskan mengutamakan produksi nasional. Lain itu, BPKP beranggapan, KRL bekas yang akan diimpor dari Jepang tidak memenuhi kriteria sebagaimana barang modal bukan baru yang dapat diimpor sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 tahun 2021 dan Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur kebijakan dan Pengaturan Impor.

Faktor berikutnya, menyoal tidak relevannya kebutuhan mendesak penambahan KRL karena alasan lonjakan jumlah penumpang. Menurut BPKP, klaim overload penumpang memang benar, akan tetapi hal itu hanya terjadi saat jam-jam sibuk. Melalui hitung-hitungan BPKP, armada KRL sebanyak 1.114 unit yang kini layak jalan dinilai cukup mengangkut penumpang dengan okupansi tahun 2023 sebanyak 62,75 persen hingga 2025 yang diprediksi okupansi mencapai 83,04 persen. 

Penilaian BPKP berpatokan pada data 2019 yang menunjukkan jumlah armada yang siap pakai sebanyak 1.078 unit, ternyata mampu mengangkut 336,3 juta penumpang. Oleh karena itu, armada sebanyak 1.114 unit semestinya dapat melayani jumlah penumpang yang diperkirakan tembus sebanyak 273,6 juta orang pada 2023.

Alih-alih kekurangan armada, hasil audit BPKP justru menemukan adanya penempatan rangkaian kereta pada jalur yang tidak sesuai dengan kepadatan penumpang pada jam sibuk. Temuan BPKP merujuk pada tidak sesuainya kapasitas gerbong kereta yang ada di jalur, Bogor dan Cikarang. Ketersediaan gerbong KRL saat jam padat hari kerja di jalur tersebut hanya ada sebanyak 8 gerbong kereta dengan 15 rangkaian kereta.

Sedangkan, jalur yang relatif tidak begitu padat penumpang pada jam yang sama seperti jalur Serpong dan Tangerang, justru tersedia kereta dalam jumlah lebih banyak, yakni 10 gerbong dengan 26 rangkaian kereta. 

Masalah harga yang mahal juga menjadi temuan BPKP. Biaya impor KRL bekas dari Jepang diperkirakan mencapai Rp705,3 juta per keretanya. Jumlah ini sudah biaya keseluruhan yang diterima JR East dengan komponen pekerjaan design, modifikasi, rata-rata nilai buku dan biaya administrasi tanpa biaya transportasi. Dengan asumsi satu unit kereta dimaksudkan untuk satu rangkaian yang berisi 8 gerbong, maka 348 unit kereta menelan ongkos kirim sekitar Rp30,69 miliar.

Jumlah ongkos kirim tersebut masih bisa lebih tinggi, jika yang menjadi acuannya per unit kereta itu hanya satu gerbong saja. Berarti dibutuhkan dana sekitar Rp245,45 miliar. Biaya bisa lebih besar lagi, jika merujuk temuan BPKP. Sebab kewajaran biaya handling dan transportasi dari Jepang ke Indonesia yang diajukan PT KCI tidak dapat diyakini karena perhitungannya tidak berdasarkan survei harga kekinian.

Harga pengadaan KRL yang diajukan merujuk biaya tahun 2018, yang hanya ditambah 15 persen. Sedangkan, kapasitas angkut kontainer hanya tersedia dari PT Pelindo dalam ukuran 20 feet dan 40 feet. Sehingga, pengangkutan dan pengiriman kereta harus dilakukan menggunakan kapal kargo khusus yang berarti penghitungan biaya pengiriman seharusnya bukan per gerbong, tetapi kuota angkut per kapal.

Kemenko Marves melalui Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Septian Hario Seto, sepakat dengan hasil audit BPKP. Jadi, proposal pengajuan KRL bekas Jepang dari PT KCI ditolak. Opsi yang paling rasional selain menunggu KRL buatan INKA, kata Septian, adalah retrofit atas KRL yang ada dan yang akan pensiun.

"Saat ini tidak direkomendasikan untuk melakukan impor. dari hasil reviu BPKP sudah cukup jelas, kita akan mengacu pada hasil reviu," kata Septian pada konferensi pers, Kamis (6/4/2023).

Audit BPKP Jadi Pembuka Dugaan Bancakan

Jauh sebelum tahun 2023, impor KRL dari Jepang sudah masuk ke Indonesia sejak medio 1970-an. Mengutip Historia, KRL yang diimpor adalah barang baru, yang pada saat itu Jepang memasok sebanyak 10 rangkaian kereta. KRL baru itu beroperasi melintasi jalur Manggarai-Bogor dan sekaligus menandakan pengaruh Negeri Sakura dalam industri perkeretaapiaan nasional.

Jepang melalui kebijakan JICA (Japan International Cooperation Agency) tercatat banyak membantu pembangunan infrastruktur KRL di Tanah Air. Semua bantuan Jepang tercantum dalam Rencana Induk KRL Jabotabek yang diproyeksikan rampung pada tahun 2000. Bantuan mulai dari penyediaan rel ganda, renovasi stasiun hingga pemutakhiran depo.

Masuk di awal milenium, bantuan Jepang makin kentara. Saat itu, terdapat 72 unit KRL yang dihibahkan ke Indonesia. Saat itu diperuntukkan sebagai operasional kereta ekspres. Selanjutnya, saat tidak lagi mendapatkan hibah, KAI justru membeli kereta bekas dari Jepang sejak 2004. Kereta yang dibeli adalah seri 103 yang dibuat sekitar 1966-1967.

Pembelian KRL bekas terus berlanjut hingga 2015, tercatat sedikitnya 784 unit KRL bekas telah didatangkan dari Jepang.

Merujuk laporan tahunan PT KCI, kebijakan impor KRL bekas selalu tercantum dalam rencana pengadaan armada. Untuk tipe E217 yang rencananya dipesan pada 2023 ini ternyata masuk dalam proyeksi yang digodok sejak tahun 2020. Namun karena pandemi Covid-19 menerpa, lantas rencana ditunda. Tahun-tahun sebelumnya, PT KCI selalu menjalin kerjasama dengan JR East. Misal, studi banding yang kerap dilakukan sampai inspeksi KRL bekas yang diimpor.

Melihat rekam jejak impor ini, Pengamat Kebijakan Publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat mewanti-wanti adanya potensi bancakan. Dugaannya merujuk kasus korupsi pengapalan KRL hibah dari Jepang pada 2006. Saat itu, eks Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Soemino Eko Saputro, divonis 3 tahun bui karena bersalah menyetujui penunjukan langsung kepada Sumitomo Corporation dalam proyek pengangkutan kereta bekas tersebut senilai Rp48,7 miliar. Dalam kasus ini, adik mantan Menteri Perhubungan, Hatta Rajasa saat itu, Achmad Hafiz Thohir, juga disebut ikut bermain dalam proyek hibah ini.

“Kalau impor ini, ya pasti ada permainan. Ya saya kira ini rahasia umum bahwa dalam proses impor ini ada orang yang mendapat manfaat. Temuan adanya korupsi di 2006 yang menurut investigasi media melibatkan kerabat menteri, itu jadi salah satu pegangan buat kita, presiden untuk mengambil sikap tegas,” ujar Achmad saat dihubungi Law-justice, Rabu (5/4/2023).

Terlebih, katanya, potensi korupsi bisa saja terendus dalam laporan BPKP sehingga kemungkinan besar menjadi pertimbangan lain mengapa impor tidak direkomendasikan.

“Ini besar kaitannya ada vested of interest atau bancakan dari berbagai pihak. BPKP ini kan bukan audit barang saja, tapi mengaudit apakah ini ada permainan atau tidak, sebagai langkah pencegahan tindak korupsi,” ucapnya.

Sementara itu, menurut Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman, dalih kebutuhan mendesak yang digaungkan PT KCI dalam rencana impor KRL bekas ini perlu diwaspadai sebagai gelagat korupsi.

“Rencana pengadaan itu kan bisa beli bekas atau baru, tapi kok ini langsung bilang beli bekas. Berarti kan sebenarnya ada maksud. Dan selalu pada posisi dugaan penyimpangan itu dimulai dari kalimat bahwa ini mendesak. Ya mendesak ini seakan-akan menabrak aturan, mengesampingkan segala macam. Justru karena mendesak itu kemudian dipakai sebagai psikologis untuk melegalkan hal-hal yang diduga tidak legal,” katanya saat dihubungi Law-justice, Kamis (6/4/2023).

Ia juga mengatakan, potensi bancakan bisa saja terjadi, jika dikaitkan dengan momen politik tahun depan yang membutuhkan aliran dana tidak sedikit.

“Apalagi ini jelang pemilu, dikhawatirkan ada orang yang mencari anggaran untuk pemilu. Ujungnya ada konflik kepentingan, KKN,” tuturnya. 

Berdikari dengan KRL Bikinan Dalam Negeri

Di sisi lain, desakan publik untuk impor KRL bekas mengemuka. Publik berpandangan perlu adanya penambahan armada KRL untuk mengakali lonjakan jumlah penumpang.

Asumsi publik berdasarkan pada realita bahwa hari ini penumpang berjibaku mengakses KRL di jam-jam sibuk, misal jam berangkat maupun pulang kerja. Penumpang acap kali berebut untuk bisa naik KRL dan setelahnya mesti harus berdesak-desakan di dalam gerbong setiap harinya.

“12 kereta aja kadang kurang, ini mau diperpendek jadi 8 atau 10. Wah gak kebayang nanti sesaknya seperti apa. Ya mudah-mudahan segera saja ditambah atau diremajakan armadanya. Kalo dari saya berharap jadwalnya lebih banyak atau formasi nya dipanjangkan misal 15-17 kereta,” kata netizen dengan akun Instagram @adekijangindonesia di kolom komentar akun @Sahabat_Kereta.

“Coba deh itu yang ga pernah naik KRL sesekali coba naik KRL ga usah diperlakukan istimewa perlakukan yang tidak pernah naik KRL seperti penumpang biasa yang setiap hari harus berlari dan berdesakan naik KRL, tulis akun @rchmdnur dalam kolom yang sama.

Impor KRL bekas sempat ditentang oleh DPR. Salah satunya datang dari Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade. Politisi Gerindra ini sampai menggebrak meja saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan pihak PT KAI pada akhir Maret 2023.

Ia saat itu dalam posisi bahwa impor KRL bekas tidak perlu dilakukan karena PT Industri Kereta Api (INKA) dinilai sanggup memenuhi kebutuhan armada kereta. Andre menuturkan asumsi PT KAI dan PT KCI yang menyebut PT INKA tidak dapat membuat KRL sesuai jumlah kebutuhan dalam waktu cepat, tidak beralasan. Sebab, katanya, pemesanan KRL ke PT INKA dilakukan dalam waktu yang mepet dengan tenggat waktu kebutuhan KRL pada 2023 dan 2024.

Namun, sikap Andre tersebut tampak berubah seusai keluar hasil reviu BPKP yang seakan mempertegas bahwa impor KRL tak perlu dilakukan saat ini. Andre mencoba membuktikan sendiri sekaligus menjawab tantangan netizen ihwal bagaimana suka-duka menaiki KRL di jam-jam sibuk. Ia mengunggah momen berangkat kerja menuju Gedung DPR via KRL dalam laman Instagramnya.

Pengalaman menaiki KRL di jam padat sontak mengubah pola pikirnya. Ia berkata bahwa memang perlu ada penambahan armada.

"Kita lihat memang betul bahwa kepadatannya luar biasa. Jadi memang butuh tambahan-tambahan KRL untuk di jam-jam sibuk ini," ucap Andre.

Tak lama berselang, Komisi VI kembali membicarakan wacana kebijakan impor KRL. Andre bilang pihaknya sedang dalam usaha bersama Kementerian BUMN untuk mempercepat mencari solusi atas polemik impor ini.

Mendengar adanya hasil audit BPKP yang tidak merekomendasikan impor, Achmad satu suara. Menurutnya, produksi dalam negeri melalui PT INKA menjadi kepentingan yang perlu diupayakan. Lantaran hal ini menjadi upaya Indonesia perlahan lepas dari ketergantungan impor KRL bekas Jepang. 

“Kalau kita bisa mengurangi impor, itu KCI bersama pemangku kepentingan lainnya bisa bangga. Kalau masih impor juga ya saya kira tidak ada yang bisa dibanggakan dari KCI ini. Berarti setiap tahun tidak banyak belajar bahwa kita punya pasar yang banyak kebutuhan,” ujar Achmad.

Perlu diketahui, PT KCI dan PT INKA pada Maret 2023 telah menandatangani nota kesepakatan rencana produksi KRL yang diperkirakan rampung pada periode 2025. Dana sebesar Rp4 triliun digelontorkan untuk membeli sebanyak 16 rangkaian KRL. Namun, karena klaim kebutuhan mendesak, maka impor KRL bekas Jepang menjadi opsi pertama PT KCI.

Menurut Direktur Asia Tenggara Institute for Transportation & Development Policy (ITDP), Faela Sufa, opsi impor KRL menjadi sebuah keniscayaan di tengah kebutuhan armada yang dianggap kurang dan kapabilitas PT INKA yang dinilai tidak dapat produksi KRL dalam waktu cepat serta masif. Ia mengatakan semangat nasionalisme untuk mandiri, harus diimbangi dengan kemampuan produksi dalam negeri. 

“Kalau pemerintah itu pengen local component atau TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) diprioritaskan, (maka) harus melihat kesiapan kita sendiri. Jangan-jangan memang walaupun sudah dikasih tahu lama, INKA tidak punya kapasitas untuk itu. Pemerintah tidak bisa mengabaikan demand yang sudah ada. Karena harus pertimbangkan juga dampaknya ada sekian juta trip yang terganggu karena ketiadaan armada gerbong KRL,” tutur Faela kepada Law-justice, Selasa (4/4/2023).

Pemerintah, katanya, hingga kini belum kelihatan visinya dalam menjadikan PT INKA sebagai produsen besar di industri perkeretaapian nasional. Alhasil, berdampak pada kapabilitas dalam memproduksi KRL. Ia tidak melihat pemerintah Indonesia layaknya pemerintah Tiongkok yang fokus pada pembangunan industri secara mandiri.

“Contoh di Cina, untuk kendaraan listrik, mereka ingin kuasai dunia bahkan 97 persen market itu ada di Cina. Cina memberikan subsidi untuk perusahaan pembuat kendaraan listrik. Jadi kalau memang pemerintah melihat akan ada kebutuhan KRL lebih banyak lagi, maka itu pemerintah harus effort lebih agar PT INKA bisa produksi masif dengan kualitas baik. Jadi Kemenhub pengen punya KRL di berbagai kota di luar Jabodetabek misalnya, itu PT INKA-nya harus disiapkan, mulai dari peningkatan kapasitas produksi, pemberian insentif tertentu biar bisa berproduksi dan bersaing.” urai dia. 

Skeptisme terhadap kemampuan PT INKA, juga datang dari pengamat Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno. Saat dihubungi Law-justice, ia mengatakan opsi impor yang diajukan PT KCI telah melihat berbagai pertimbangan, termasuk kesiapan produksi KRL dalam negeri.

“Melihat kapablitas PT INKA, sanggup tidak, dan itu sudah banyak pertimbangan. Jadi, itu bukan semata pengen impor (KRL) bekas,” kata dia, Selasa (4/4/2023).

Menurut Djoko, hal lain yang perlu diperhitungkan dalam membeli KRL buatan dalam negeri adalah harga yang cenderung lebih mahal dibanding KRL bekas. Semangat nasionalisme boleh saja, akan tetapi harus melihat dampaknya. Sebab, dengan ongkos produksi yang jauh lebih mahal, maka otomatis bakal ada penyesuaian tarif bagi penumpang.

“Kalau seandainya membeli (dari PT INKA), kemudian itu nanti pemerintah tidak bisa memberikan subsidi, nah nanti yang rugi itu penggunanya karena akan mahal tarifnya. Impor jelas murah, kalau beli baru, kalau tidak subsidi (bisa) 50 ribu” ujarnya.

Sementara itu, kata Achmad, isu kenaikan tarif KRL karena membeli unit baru bisa jadi akal-akalan belaka. Ada kepentingan di balik isu impor KRL bekas yang seakan dinarasikan tidak berdampak pada kenaikan tarif.

“Kalaupun nanti akan ada kenaikan tarif KRL, saya kira ini yang mengancam ini punya konflik kepenitngan dari impor KRL. Kalau dia pejabat misal dari KCI, dia seharusnya memikirkan kemandirian ekonomi, kebanggaan produksi dalam negeri. Tapi kalau dia menakut-nakuti, kita perlu periksa, jangan-jangan ada vested of interest dari impor KRL bekas ini,” ujarnya.

Adapun subsidi KRL pada 2023 ini mengalami penurunan. PT KCI yang mendapat anggaran subsidi 1,8 triliun pada tahun lalu, kini turun menjadi 1,6 triliun. Sehingga muncul wacana kenaikan tarif bagi warga berpenghasilan tinggi. Asumsi yang digunakan PT KCI ialah jumlah penumpang yang semakin naik sehingga tidak dapat sepenuhnya disubsidi.

Menurut Djoko, sejauh ini subsidi KRL oleh pemerintah tidak tepat sasaran. Padahal, subsidi ini bisa dialihkan untuk pengadaan KRL baru alias tidak impor lagi, jika anggaran subsidi bisa efisien. Dalam hitungannya, setidaknya efisiensi anggaran subsidi yang bisa diserap mencapai Rp208,9 miliar hingga Rp496 miliar per tahunnya. Hitungan ini jika mengurangi subsidi pada hari libur atau bukan hari kerja.

“Tidak perlu hari libur disubsidi karena mereka yang tidak commuter (pengguna harian KRL). Kalau bisa memangkas itu lumayan, bisa sepertiganya subsidinya,” ucapnya.

Jika dihitung besaran dana subsidi yang dapat diserap, maka setidaknya PT KCI dapat membeli armada baru dari PT INKA kurang lebih 19 rangkaian kereta atau 190 gerbong tiap tahunnya. Merujuk KRL yang akan dibangun PT INKA, disebut satu rangkaian kereta terdiri dari 10 gerbong. Oleh karena itu, harga satu rangkaian keretanya dapat mencapai Rp25 miliar. 

Kini, narasi yang berkembang apakah memang benar membeli KRL bekas bakal lebih murah ketimbang produksi KRL dalam negeri. Soal ini, Faela mengingatkan efek turunan dari impor KRL bekas. “Kita beli bekas, lebih murah, tapi berarti biaya maintenance juga ada, mungkin lebih mahal. Jadi mereka (PT KCI) harus hitung secara menyeluruh, operasionalnya juga harus dihitung kalau beli barang bekas,” katanya.

Senada, Achmad juga meyakini akan ada nilai tambah yang dihasilkan, jika pengadaan KRL bergantung pada produksi PT INKA. “Saya yakin buatan dalam negeri pasti lebih murah karena batas usia kereta bekas ini besar juga dalam operasionalnya. Manajemen KCI ini jangan melihat secara sempit dari price hari ini, tapi kita harus lihat kereta bekas 5 tahun sudah rusak, tapi buatan INKA bisa melebihi dan punya nilai ekonomi lebih murah,” tuturnya.

 

Catatan redaksi: Artikel ini merupakan bagian dari artikel kami yang sudah tayang sebelumnya, dengan judul "Ratusan Miliar Anggaran Belanja Kereta Bekas Rawan Bancakan". Artikel dimuat kembali dengan judul berbeda karena terdapat penambahan konteks terbaru ihwal polemik impor KRL ini. Tujuan artikel dimuat kembali untuk pengetahuan bersama.   

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar