Ketika KPK Disebut-sebut Jadi Senjata Politik 2024 (1)

Kamis, 20/04/2023 05:55 WIB
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dalam konferensi pers penahanan tersangka kasus suap lelang jabatan di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur pada Kamis (8/12/2022). (Foto: LAW JUSTICE/Amelia Rahima Sari)

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dalam konferensi pers penahanan tersangka kasus suap lelang jabatan di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur pada Kamis (8/12/2022). (Foto: LAW JUSTICE/Amelia Rahima Sari)

Jakarta, law-justice.co - Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana dengan tegas menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini menjadi senjata instrumen politik, termasuk urusan politik 2024.

"KPK sekarang itu bedanya dengan dulu, KPK sekarang menjadi senjata instrumen dalam politik dan termasuk di 2024," kata Denny dalam Political Show CNN Indonesia, Senin (17/4) malam.

Denny yang merupakan mantan Wamenkumham itu menyampaikan hal tersebut saat bicara mengenai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, merespons Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin yang menyebut KPK merupakan lembaga independen yang sudah diatur dalam UU itu.

Menurut Denny, UU KPK terbaru itu berada dalam rumpun eksekutif yang artinya justru rentan terhadap "titipan politik".

"Secara tata negara sebelum UU 19/2019 dan sesudah UU 19/2019, sebelumya itu KPK adalah lembaga independen yang bisa dikatakan lepas dari interest politik. Sekarang karena dia di bawah rumpun eksekutif maka dia rentan dengan titipan-titipan politik," ujar Denny.

Respons Ngabalin

Ngabalin sebelumnya mengatakan bahwa KPK merupakan lembaga independen yang sudah diatur dalam undang-undang.

Menurutnya, presiden tidak perlu sampai harus turun tangan untuk mengatasi kisruh perkara teknis lembaga itu.

Pernyataan Ngabalin ini disampaikan kala ditanya mengenai kemungkinan Presiden Joko Widodo turun tangan mengatasi gonjang-ganjing di tubuh KPK belakangan ini.

"Dalam hal penyelesaian perkara-perkara yang sedang berjalan dan teknis, kenapa kalian harus membawa presiden dalam menyelesaikan perkara?" kata Ngabalin dalam kesempatan yang sama.

Lembaga antirasuah belakangan menjadi pembicaraan setelah Brigjen Endar Priantoro dipecat dari jabatan Direktur Penyelidikan KPK.

KPK menjelaskan pencopotan Endar itu lantaran masa penugasan yang bersangkutan telah habis per 31 Maret 2023.

Endar lantas melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri dan Sekretaris Jenderal Cahya Hardianto Harefa ke Dewas KPK atas dugaan pelanggaran kode etik terkait keputusan pemberhentian dengan hormat dan pengembalian dirinya ke instansi Polri.

Endar mempermasalahkan surat keputusan perihal pemberhentian dengan hormat yang ditandatangani Cahya Harefa dan surat penghadapan ke instansi Polri yang ditandatangani Firli.

Menurut Endar, sebelum itu sudah ada surat yang dikirim Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tertanggal 29 Maret 2023 yang memerintahkan perpanjangan penugasan dirinya sebagai Direktur Penyelidikan KPK.

Selain masalah Endar, KPK juga dihujani kritik setelah beredar di media sosial dokumen diduga laporan hasil penyelidikan KPK.

Dokumen tersebut ditemukan saat Tim Penindakan KPK menggeledah kantor Kementerian ESDM, tepatnya di ruangan Kepala Biro Hukum dengan inisial X.

Padahal, laporan tersebut bersifat rahasia dan hanya diperuntukkan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas penyelidikan kepada Pimpinan KPK.

Atas temuan itu, X diinterogasi dan diketahui bahwa dokumen tersebut diperoleh dari Menteri ESDM Arifin Tasrif yang menerima dari Mr. F (Pimpinan KPK).

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar