Siapa Bermain Di Balik Tragedi Buruh GNI Morowali

Sengkarut Tata Kelola Nikel, Negara Bisa Rugi Triliunan

Sabtu, 28/01/2023 15:00 WIB
Suasana PT GNI paska kerusuhan. (kompas.com)

Suasana PT GNI paska kerusuhan. (kompas.com)

Jakarta, law-justice.co - Bentrokan maut terjadi di area smelter milik PT Gunbuster Nikel Industri (GNI) di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, pada Sabtu malam (14/1/2023). Bentrokan maut itu terjadi antara Warga Negara Asing (WNA) dan juga warga lokal. Bentrokan yang memakan dua korban jiwa ini merupakan alarm puncak gunung es sengkarut kebijakan industri nikel yang bisa menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan, kerusuhan yang terjadi di PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tengah berawal dari ajakan mogok kerja. "Bentrokan yang terjadi di perusahaan smelter GNI ini dipicu karena adanya provokasi yang muncul karena ada ajakan mogok kerja," kata Sigit dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/1/2023). Sigit menuturkan, ajakan mogok kerja itu muncul karena ada beberapa peristiwa terkait masalah industrial yang sedang dirundingkan.

Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan bila pihak kepolisian saat ini dalam status terus memantau kondisi di PT GNI pasca terjadinya kerusuhan. Dedi menyebut bila Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bersama Pemerintah Daerah (Pemda) sudah melakukan dialog kepada para pihak terkait, pasca bentrokan dua kelompok buruh PT GNI. "Saat ini terus dilakukan dialog dipimpin Kapolres dan Pemda Morowali dan para pihak baik serikat buruh dan perusahaan," kata Dedi saat dikonfirmasi.

Namun, ia tak merincikan berapa jumlah orang serta materi dalam dialog tersebut. Dedi menambahkan, situasi di sekitar lokasi saat ini juga telah kondusif. "Saat ini situasi berangsur-angsur kondusif," ujarnya.

Sementara itu, Kapolres Morowali Utara AKBP Imam Wijayanto mengatakan bila sebanyak 909 aparat TNI dan Polri hingga kini masih disiagakan untuk pengamanan kawasan industri PT GNI. Ia juga menyebut bahwa Satuan Brimob Polda Gorontalo bahkan mengirim 200 personel satuan setingkat kompi untuk ikut membantu pengamanan sebagai bentuk sinergi.

Ia juga menambahkan bahwa hingga kini situasi di kawasan PT GNI makin kondusif dan kegiatan operasional perusahaan sudah berjalan normal. "Kami berterima kasih kepada Polda Sulteng, jajaran Brimob, dan Polda Gorontalo yang sudah mendukung langkah ini untuk menciptakan situasi kondusif," kata Imam melalui keteranganya yang diterima Law-Justice. Menurut laporan Polda Sulteng, pengamanan di kawasan industri pertambangan nikel tersebut tersebar di sejumlah titik sentral, yakni pintu masuk perusahaan, pondok karyawan tenaga kerja asing (TKA), Kantor PT GNI, dan mendirikan sejumlah pos yang dinilai rawan. Kepolisian mengajak warga menciptakan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) yang sejuk agar citra daerah makin positif.

 Menanggapi pernyataan Kapolri tentang sebab kerusuhan, Jaringan Tambang (JATAM) memiliki pandangan berbeda. Menurut Koordinator JATAM Melky Nahar, bentrokan antara tenaga kerja asing asal China dan tenaga kerja Indonesia di area pabrik smelter PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), sesungguhnya bukan sebatas dipicu oleh kekecewaan antara buruh Indonesia dan TKA. Bentrokan itu adalah akumulasi dari rentetan kebijakan dan regulasi pemerintah yang, selain hanya mementingkan pelaku industri, juga cenderung abai dengan segudang kejahatan korporasi atas buruh, masyarakat terdampak, dan lingkungan.

Jauh sebelum smelter nikel PT GNI diresmikan Presiden Joko Widodo hingga terjadi bentrokan pada 14 Januari kemarin, operasi perusahaan asal China ini bukan tanpa cacat, JATAM menemukan sejumlah kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan PT GNI, termasuk sejumlah arogansinya kepada buruh. Menurut Melky, ada sejumlah temuan JATAM yang telah dipublikasikan menyangkut kejahatan lingkugan dan kemanusiaan yang dilakukan PT GNI. Pertama kali beroperasi di Bunta, Petasia Timur pada 2018 lalu, pembangunan pembangkit listrik (PLTU batubara)  dan pabrik smelter, telah membendung  sungai Lampi tanpa ada proses konsultasi dan pembebasan lahan. Lahan-lahan produktif warga diklaim sepihak perusahaan, dan melarang warga untuk mengelola lahan-lahan itu.

Operasi bendungan tersebut menggenangi rumah warga dan ruas jalan serta menutup akses ekonomi warga transmigran. Warga pernah melakukan perlawanan dengan menghentikan alat berat, namun perusahan bergeming dan kini sekitar 300 hektar lahan di lokasi transmigrasi dan dua dusun tergenang air, berdampak terhadap perekonomian ribuan warga.

Operasi PLTU batubara dan pabrik smelter, serta arogansi PT GNI yang menggunakan jalan umum dalam operasionalnya, juga memicu terganggunya kesehatan warga. Sejumlah warga yang JATAM temui pada September 2022 lalu mengaku, pasca perusahaan beroperasi, banyak warga yang mengeluh sesak nafas, diduga terinfeksi ISPA. Selain itu, polusi debu dari aktivitas perusahaan itu, menyebabkan peralatan rumah tangga terutama yang berbahan logam cepat rusak.

Operasi PT GNI yang memanfaatkan wilayah teluk Tokonaka sebagai tempat sandar dan bongkar muat kapal-kapal besar dan tongkang batubara, telah berdampak pada terjadinya pencemaran. Sisa bongkar muat batubara dibuang ke laut yang, selain mencemari perairan sekitar juga berdampak pada menyempitnya wilayah tangkap dan menurunnya produktivitas nelayan. Bahkan, ratusan keramba ikan milik nelayan ditabrak kapal dan tongkang perusahaan.

Gunbuster Nickel Industry (GNI) merupakan perusahaan asal China yang membangun pabrik smelter nikel di Bunta, Petasia Timur, Morowali Utara. Meski berlokasi di Morowali Utara, peresmian perusahaan ini dilakukan di kawasan industri Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara oleh Presiden Jokowi bersama sejumlah Menteri dan Kepala Daerah pada 27 Desember 2021 lalu.

Dalam rilis JATAM disebutkan Tony Zhou Yuan, yang kini tercatat sebagai direktur PT GNI, juga menjabat sebagai presiden direktur di dua perusahaan smelter nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yakni PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS).

GNI merupakan salah satu pabrik smelter yang memperoleh karpet merah di Indonesia seiring dengan kebijakan hilirisasi hasil tambang nikel. Sepuluh tahun terakhir, seiring trend kendaraan listrik/electric vehicle (ev) permintaan nikel dunia semakin menanjak. Industri nikel dari hulu ke hilir mendapat angin segar secara signifikan.

Program Hilirisasi

Indonesia telah menempatkan diri sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia pada tahun 2019. Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribun ton Ni).

Kebijakan hilirisasi bahan tambang, khususnya nikel, ditegaskan Presiden Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Investasi Tahun 2022 di The Ritz-Carlton, Jakarta, Rabu (30/11/2022) pagi.  “Ini sudah bolak-balik saya sampaikan, ini urusan nilai tambah yang ingin kita peroleh, yang ingin kita kejar dari hilirisasi, dari downstreaming itu. Enggak bisa lagi kita mengekspor dalam bentuk bahan mentah, mengekspor dalam bentuk raw material, sudah. Begitu kita dapatkan investasinya, ada yang bangun, bekerja sama dengan luar dengan dalam atau pusat dengan daerah, Jakarta dengan daerah, nilai tambah itu akan kita peroleh,” ujarnya.

Presiden menyampaikan, beberapa tahun silam Indonesia masih mengekspor nikel dalam bentuk bahan mentah yang nilainya hanya mencapai 1,1 miliar dolar Amerika Serikat. Setelah adanya  smelter di tanah air dan pemerintah menghentikan ekspor bijih nikel, pada tahun 2021 ekspor nikel melompat 18 kali lipat menjadi 20,8 miliar dolar AS atau Rp300 triliun lebih.

Sinyal yang disampaikan oleh presiden ini dibatah oleh ekonom senior Faisal Basri. Dia meyakini, Indonesia tidak menikmati nilai tambah dari hilirisasi nikel ini. “Mungkin ada nilai tambah, tetapi sangat kecil. Angka moderat yang saya tawarkan maksimal 10 persen saja yang dinikmati oleh republik. Sisanya dinikmati oleh pengusaha China,” ujarnya kepada Law-Justice.

Grafik Ekspor Bijih NIkel Indonesia. (Sumber: Makalah Faisal Basri)

Dia menguraikan, nilai ekspor nikel secara statistik kurvanya memang naik tajam. “Namun, coba diteliti lagi, itu transaksi siapa dengan siapa?” ujarnya. Dia menjelaskan, transaksi itu terjadi antara perusahaan China di Indonesia dengan perusahaan China di China.

Dia menjelaskan nilai tambah pengolahan tambang itu secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: Nilai tambah dinikmati oleh Pengusaha berupa laba, Pekerja berupa upah, Bank berupa bunga, Pemilik tanah berupa sewa; dan Royalti dan pajak yang masuk sebagai penerimaan negara. Dengan pola hilirisasi nikel saat ini, menurut Faisal, maka nilai tambah itu mayoritas dinikmati oleh pengusaha China dengan penjabaran sebagai berikut.

Perusahaan tambang (lokal) bayar royalti, smelter tidak, pengusaha smelter (asing) dapat laba, tidak bayar pajak badan karena dapat tax holiday (sampai 25 tahun). Seluruh labanya dibawa pulang. Perusahaan tambang bayar pajak ekspor, perusahaan smelter tidak. Hampir seluruh produksi perusahaan smelter diekspor.  Harga produk tambang yang dibeli perusahaan smelter sangat murah, Laba lebih besar ketimbang smelter di negara asalnya. Karena itu perusahaan asing berbondong-bondong masuk.

Perusahaan tambang bayar PPN, perusahaan smelter tidak. Semua barang yang diimpor oleh perusahaan smelter bebas bea masuk.  Perusahaan smelter bebas membawa puluhan ribu pekerja asing walaupun sedang pandemi COVID-19 tidak dengan visa pekerja sehingga tak bayar pajak dan pungutan.

Diskriminasi dan Disparitas Upah Pangkal Petaka

Hal lain yang mengemuka dari kerusuhan PT GNI itu adalah adanya diskriminasi dan disparitas pengupahan terhadap tenaga kerja. JATAM meyakini, praktik di GNI ini merupakan common practice di industri smelter. JATAM menilai, baik TKI maupun TKA adalah sama-sama korban. Pemerintah dan aparat keamanan justru sibuk mengkambing-hitamkan TKI, lalu menghindari realitas konflik struktural sesungguhnya.

Situasi ini tak hanya terjadi di Morowali, tempat dimana PT GNI beroperasi, melainkan di hampir seluruh wilayah operasi perusahaan tambang. Hal ini tentu saja bak bom waktu yang pada akhirnya, selain merugikan para buruh, juga mengorbankan rakyat dan ruang hidupnya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai Pemerintah sangat lemah hadapi manajemen PT GNI. Mulyanto mengatakan bila Sebagai pemegang otoritas kekuasaan seharusnya Pemerintah bisa memaksa pihak GNI membuka semua data operasional perusahaan. Hal tersebut termasuk dengan bentrok yang terjadi beberapa waktu lalu hingga menewaskan dua pegawai PT GNI.  "Bukan malah sekedar meminta atau sebatas mengimbau, Pemerintah harus hadir dalam perkara yang serius seperti ini," kata Mulyanto kepada Law-Justice.

Mulyanto menyatakan bila pemerintah harus mengusut akar masalah bentrok ini secara objektif sehingga tidak ada satu pihak yang dirugikan. Selain itu, pemerintah juga punya kewenangan memaksa PT. GNI bersikap terbuka dan profesional terkait tenaga kerja mereka serta menjamin suasana yang kondusif bagi produktivitas kerja. "Dengan kewenangan yang ada seharusnya Pemerintah bisa bergerak cepat menemukan akar masalahnya. Bukan sekedar mengimbau. Kalau sekedar mengimbau siapapun bisa," ujarnya.

Mulyanto menyebut sikap lemah seperti itu menunjukan Pemerintah tidak punya wibawa di hadapan PT. GNI.  Padahal negara yang diwakili Pemerintah memiliki kewenangan yang bersifat mengikat dan memaksa siapapun untuk mematuhi aturan yang berlaku.

Melalui instrumen regulasi dan kelembagaan kementerian yang ada, Pemerintah harus dapat melakukan pengaturan dan pengawasan untuk memastikan, bahwa berbagai upaya investasi pengelolaan SDA di Indonesia sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran masyarakat.  "Pemerintah jangan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Terkesan lembek kepada investor China dan keras terhadap pekerja lokal," jelasnya.

Mulyanto menambahkan akar masalah yang memicu mogok kerja yang berbuntut bentrok antar kelompok pekerja di atas adalah soal ketidakadilan upah dan K3. Dan ini tidak ditanggapi secara proporsional oleh PT.GNI, bahkan sampai kasus terjadinya ledakan kebakaran smelter yang menewaskan dua orang pekerja. "Ini kan soal serius bagi keamanan dan keselamatan kerja dan masyarakat yang menuntut peran pengaturan dan pengawasan Pemerintah," tambahnya.

Untuk itu, Politisi PKS tersebut mendesak kepada pemerintah bahwa negara harus hadir agar dirasakan kehadirannya oleh masyarakat.  Pemerintah perlu untuk menginvestigasi lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan, audit atau penilaian kelayakan teknologi, mesin, peralatan serta SOP operasi perusahaan khususnya smelter. "Kalau melanggar, maka Pemerintah jangan sungkan-sungkan untuk mencabut izin operasional PT.GNI ini," tegasnya.

Perihal disparitas upah antara TKI dengan TKA diungkap oleh Pengamat Energi Marwan Batubara. Dia menyatakan bila kericuhan di smelter PT GNI pemicunya ketidakadilan. Bumi dan langit, gaji pekerja lokal dan TKA China. Marwan memberikan beberapa temuannya kepada Law-Justice terkait dengan besaran gaji untuk jabatan dengan tingkat pendidikan yang sama, antara pekerja lokal dengan TKA China dan ada perbedaan mencolok. “Rata-rata gaji TKA China mencapai Rp 21 juta, sementara pekerja lokal hanya Rp3 juta per bulan. Artinya, gaji TKA China tujuh kali lipat pekerja lokal. Dengan jabatan dan tingkat pendidikan sama,” kata Marwan kepada Law-Justice.

Marwan juga menyatakan bila dari segi pendidikan, TKA China yang mencoba peruntungan di Indonesia, tidak memiliki kualitas yang mumpuni.  Sebagian besar hanya lulusan SD, SMP dan SMA. Namun, mereka mendapatkan pendapatan yang luar biasa dan bisa mendapatkan gaji kisaran Rp15 juta hingga Rp35 juta per bulan.

“Pekerja lokal dan nasional yang bekerja di smelter-smelter milik China dan konglomerat oligarkis sangat tragis. Kesempatan mereka terbatas karena porsinya dirampok TKA China. lebih miris lagi, gajinya sangat rendah. Satu berbanding tujuh,” ungkapnya.

Ketika pandemi COVID-19 masuk Indonesia di awal 2020 hingga kini, Direktur IRRES itu mencatat, sedikitnya 10.482 tenaga kerja asing (TKA) China masuk Indonesia. Menurutnya, dalam hal ini pemerintah seperti memberikan karpet merah kepada TKA China untuk bisa masuk dan bekerja di Indonesia.

“Saya ingat waktu pandemi, pemerintah ketat melarang masuk warga negara asing. Tapi, TKA China malah leluasa masuk,” kata Marwan.

Marwan menyebut ribuan TKA asal China itu, masuk melalui PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) sebanyak 49 TKA, pada Februari 2020. Pada April 2020, VDNI memasukkan 500 TKA China. Pada Oktober 2020, PT Gunbuster Nikel Industry (GNI) menggunakan pesawat sewa memasukkan 260 TKA melalui Bunta, Morowali Utara. Berlanjut pada 10 Oktober 2020.

Sekitar Januari 2021, sebanyak 433 TKA China masuk ke berbagai proyek. Bulan kedua 2021, sebanyak 1.027 TKA China masuk lagi ke Indonesia. Pada Maret 2021, PT Bintan Alumina Indonesia mendatangkan 39 TKA.  Sepanjang April-Mei 2021, ratusan TKA China masuk Indonesia melalui Bandara Soekarno Hatta (Soetta).  “Dan, kami duga ribuan TKA China masuk ke Indonesia menggunakan visa 212,” ungkapnya.

Sekedar informasi, Visa 212 merupakan izin yang memperbolehkan warga negara asing untuk berkunjung dan meninggalkan wilayah Indonesia beberapa kali.  Izin ini berlaku maksimum lima tahun, tiap kunjungan maksimal 60 hari. Visa ini biasanya digunakan untuk kunjungan sosial dan keluarga, urusan bisnis atau tugas pemerintah. “Kalau tujuannya bekerja, seharusnya TKA memiliki visa kerja bukan visa 212. Kalau menggunakan visa 212 maka pemerintah tidak bisa mengutip pajak dari para TKA itu,” papar Marwan.

Karena menggunakan Visa 212, lanjutnya, pemerintah berpotensi kehilangan pendapatan dari Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) yang harus dibayarkan investor kepada pemerintah, tercatat sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tak berhenti di situ. Gaji para TKA China itu, disetorkan perusahaan kepada keluarganya di China. Artinya, duit TKA China tidak ‘parkir’ di Indonesia. "Akibatnya, tidak memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian daerah, apalagi nasional," pungkasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Supriansa menilai bahwa bentrokan tenaga kerja asing dengan tenaga kerja lokal Indonesia yang terjadi di PT GNI ini tidak mungkin terjadi tiba-tiba tanpa ada sebab akibatnya. Jika melihat sedikit ke belakang, ia menyebut alasan ada bentrokan karena diawali dengan unjuk rasa atau berdemonstrasi dengan beberapa tuntutan. "Nah kesemuanya itu harus dipecahkan dulu sehingga kita bisa melihat bahwa terjadinya demonstrasi ini yang berakibat ada meninggal dunia karena ada permintaan misalnya tenaga kerja yang ada di sana untuk minta APD yang lebih bagus supaya dia bisa mengedepankan keselamatan kerja," ujar Supriansa kepada Law-Justice.

Supriansa juga mempertanyakan sebelumnya PT GNI sudah pernah menyepakati tuntutan para pekerja agar disiapkan APD K3 tetapi pada kenyataannya belum juga terealisasi. Belum selesai masalah APD K3 disusul kembali demo para pekerja terkait isu perbedaan gaji antara TKA dengan tenaga kerja lokal Indonesia. Menurutnya, hal itu yang mengusik pikirannya kenapa dalam perusahaan yang sama pekerjaan yang sama tetapi tenaga kerja asing berbeda dengan pekerja lokal.

"Dalam bekerja ini menurut pengakuan yang kita dengarkan bahwa ini sudah pernah disepakati antara manajemen GNI dengan para pekerja untuk disiapkan APD K3 dan lain sebagainya tetapi realisasinya belum karena terlambat realisasinya sehingga terjadi demonstrasi,” imbuhnya.

Politisi Partai Golkar itu juga mengatakan terdapat pula isu yang menyatakan bahwa demonstrasi ini dipicu oleh karena perbedaan gaji antara tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing.  Hal itu juga yang menjadi pertanyaan dirinya kepada manajemen dan tentu ini harus diberikan pemahaman kepada publik. "Jadi kenapa mereka di dalam perusahaan yang sama di dalam pekerjaan yang sama tetapi tenaga kerja asing berbeda dengan tenaga kerja lokal gajinya. Nah apakah ini benar ini juga harus dijawab," katanya.

Supriansa menambahkan belum juga selesai isu perbedaan gaji antara TKA dengan tenaga kerja lokal timbul kembali dugaan adanya pemotongan gaji. Ia juga dengan tegas meminta pihak manajemen untuk menelusuri jika ada pihak-pihak yang dengan sengaja membuka isu-isu sensitif seperti ini. Terakhir, Supriansa menyayangkan sebelum terjadinya bentrokan tenaga kerja ini sudah ada peristiwa atau kecelakaan kerja yang menewaskan operator crane dan anak magang yang terpanggang dalam ruang kendali crane, ini menjadi salah satu pemicu tuntutan para pekerja dalam demonstrasi ini agar segera direalisasikan APD K3 dalam bekerja.

"Olehnya itu ini tidak bisa dibiarkan karena kalau dibiarkan maka ini menjadi persoalan bukan hanya di GNI ini maka bisa menjadi persoalan-persoalan juga di tempat-tempat lain perusahaan lain. Maka ketegasan pemerintah harus ada di sini supaya tidak ada lagi terulang seperti ini, rugi kalau terjadi bentrokan di situ,” katanya.

“Terganggu ekonomi, terganggu produksi, terganggu yang lainnya sehingga yang ada dalam kerugian bukan datang saling kita saling menguatkan tetapi saling melemahkan jadinya," sambungnya.

Polisi sendiri telah menetapkan 17 tersangka setelah melakukan penahanan dan pemeriksaan. Namun sikap pemerintah ini dianggap tak berpihak pada buruh lokal. Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Morowali dan Morowali Utara, Katsaing, menyebutkan polisi seharusnya juga menindak tenaga kerja asing asal Cina yang melakukan perusakan. Mereka melakukan aksi kekerasan dan perusakan kendaraan roda dua ketika massa buruh menjemput pekerja untuk melakukan aksi mogok kerja.

“Maksudnya, kami ingin penegakan hukum dilakukan secara adil ke kedua belah pihak. Tenaga kerja dari buruh melanggar maka diproses sesuai proses hukum, demikian sebaliknya, TKA sudah melakukan perusakan kepada motor pekerja,” ucapnya sebagaimana dirilis Betahita.

Ia menyebutkan SPN tengah membicarakan soal pendampingan hukum terhadap buruh yang ditetapkan sebagai tersangka. Pada kunjungan Komisi III DPR lalu, anggota dewan sudah meminta polisi untuk menerapkan restorative justice. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan polisi untuk melakukan penindakan. Katsaing mengatakan pemerintah sendiri seharusnya memahami tuntutan buruh ketika melakukan aksi mogok. Mereka menuntut perusahaan untuk memenuhi standar keselamatan bagi buruh, kesejahteraan, dan manajerial dengan baik.

Tuntutan ini sudah dilontarkan pada sejak September dan pemerintah sudah mengetahui duduk perkaranya. Namun mereka tak bertindak apapun. Padahal pemerintah bisa menekan perusahaan untuk memenuhi hal itu sesuai dengan hukum. “Nah sekarang intimidasi terus berlanjut. Saya dengan beberapa buruh juga di PHK secara sepihak. Kalau diam saja berarti pemerintah tidak berpihak kepada buruh,” tandasnya.

 

Konflik Kepentingan, Penegakan Hukum dan Potensi Kerugian Negara

 Sengkarutnya regulasi dan penegakkan hukum di sektor industri nikel ini dinilai oleh Melky Nahar sebagai sebuah bentuk kesengajaan dari pengampu kepentingan. Dia menilai regulasi dan penegakan hukum di sektor pertambangan, terutama nikel, sudah rusak akibat praktik korupsi di sepanjang jalur. “Dugaan korupsi di sektor tambang, terutama nikel, terjadi dari hulu hingga hilir. Dari perencanaan sampai subsidi di produk jadi,” ujarnya.

Namun, sayangnya dia melihat selama ini, penegak hukum yang menindak kejahatan di sektor pertambangan masih bertindak parsial dan masih ada ego sektoral. Misalnya, selama ini yang dibelejeti hanya di dugaan korupsi perizinan saja. Baik itu di level daerah maupun pusat. Namun, dampak ekologis dan hilangnya sumberdaya alam ini belum pernah dihitung sebagai bentuk kerugian kekayaan negara.

Praktis, upaya-upaya penegakan hukum terhadap kejahatan pertambangan terutama dengan delik korupsi masih sebatas basa-basi saja dengan adanya penanganan kasus suap. Misalnya yang pernah ditangani oleh KPK dalam kasus mantan bupati konawe utara.

Padahal, menurut Melky, dia melihat adanya sejumlah konflik kepentingan yang terjadi dari hulu hingga ke hilir. Dia mencotohkan sejumlah pejabat yang ramai-ramai mengendorse mobil listrik sebagai salah satu produk hilir dari industri nikel. “Industri nikel ini kan salah satu yang mendapat angin segar dari isyu transisi energi yang dibawa dalam sidang COP 26. Batere sebagai komponen utama mobil listrik, menggunakan bahan baku dominan dari nikel,” ujarnya.

Dia menilai sejumlah pejabat yang menggandeng industri mobil listrik berpotensi konflik kepentingan, sebab di saat yang sama pemerintah telah memutuskan subsidi pembelian kendaraan listrik dan pengadaan mobil listrik untuk pejabat negara.

Sejumlah menteri yang diketahui berelasi dengan kendaraan listrik, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) terlibat dalam ekosistem kendaraan listrik dengan memiliki saham di PT Toba Bara Sejahtera Energi Utama Tbk (TOBA). Perusahaan itu membangun usaha patungan (joint venture) bersama Gojek, Electrum. Usaha itu dibangun untuk membangun ekosistem motor listrik dalam negeri.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga tercatat sebagai salah satu pejabat yang terlibat langsung dalam industri kendaraan listrik. Ia membangun PT Mobil Anak Bangsa (MAB) yang memproduksi bus bertenaga listrik pada 2016. Seiring berjalannya waktu, PT MAB tak cuma memproduksi bus listrik. Juli tahun ini, Moeldoko membocorkan bahwa MAB turut mengembangkan motor listrik dengan dinamo buatan sendiri.

Ketua MPR Bambang Soesatyo juga diketahui terlibat dalam industri motor listrik. Ia tercatat sebagai pemilik merek sepeda motor listrik bernama Bike Smart Electric (BS Electric).

“Mungkin saat ini belum terjadi korupsinya, tetapi konflik kepentingan akan terjadi melihat kebijakan mobil listrik ke depan,” ujar Melky. Dia juga mengkritik kebijakan pemerintah membeli mobil listrik untuk pejabat. Menurutnya, kalau mau konsisten mestinya pemerintah memfasilitasi kendaraan listrik untuk angkutan umum terlebih dahulu.

Dia juga menilai, sengkarut tata laksana di industri nikel ini mirip dengan sengkarut di industri batubara beberapa dekade lalu. “Sebagai komoditas primadona baru yang masih belum terlalu dikenal, tetapi memiliki nilai ekonomis tinggi. Nikel ini tentunya menjadi incaran primadona semua orang. Terutama yang memiliki kekuasaan,” ujarnya. Dia memprediksikan sengkarut yang terjadi di nikel ini berpotensi merugikan negara.

Sinyal senada disampaikanjuga oleh Marwan Batubara. Dalam data yang dirilis oleh IRESS, dari sengkarut tenaga kerja asing potensi kerugian negara akibat manipulasi pajak dan DKPTKA sekitar Rp 37,92 juta per TKA per tahun. Jika jumlah TKA China yang bekerja adalah 5.000 orang, maka potensi kerugian negara adalah Rp 189 miliar per tahun. Jika diasumsikan jumlah smelter 20 buah (@ 5.000 TKA), maka total potensi kerugian negara Rp 3,78 triliun per tahun.

Perhitungan kalkulasi dugaan potensi kerugian negara dari TKA yang dipekerjakan di Smelter. (Sumber: Indonesia Resources Studies/IRESS)

 

“Permasalahan tidak hanya pada pelanggaran hukum ketenagakerjaan serta keimigrasian, namun untuk mengelabui hukum-hukum yang berlaku di Indonesia dan menutupi kejahatan ketenagakerjaan, maka sistem pembayaran gaji para TKA China dibayarkan kepada keluarganya di negara asalnya China, sehingga uang para pekerja tersebut tidak beredar di Indonesia dan tentunya terbebas dari PPH,” jelas Marwan.

Dari data IRESS, tingkat pendidikan tenaga kerja asing asal China yang bekerja di industri nikel Indonesia komposisinya adalah SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%, D3/S1 hanya 2% dan berlisensi khusus 7%. Dari komposisi tersebut, yang bekerja di smelter OSS kualifikasi TKA-nya adalah lulusan SD 23%, SMP 31% dan SMA 25%, lulusan D3/S1 17% dan TKA berlisensi khusus hanya 4%. Sedangkan pada VDNI hanya 1 dari 608 orang TKA yang memenuhi syarat pengalaman kerja 5 tahun.

Ternyata, masuknya investasi China berikut TKA-nya, tak memberikan dampak signifikan terhadap lapangan kerja, serta perekonomian nasional. Justru masalah yang muncul. Termasuk itu tadi, bentrokan buruh dan kebobolan pajak. "Jadi pemerintah ini seperti membiarkan negara ini dijajah dengan kebijakan seperti itu," pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Faisal Basri. Faisal Basri juga menambahkan adanya potensi opportunity cost senilai triliunan rupiah. Angka ini dia sajikan dari disparitas harga yang ditetapkan oleh pemerintah untuk penjualan nikel dalam negeri. Pihak tambang hanya bisa menjual bijih nikel di dalam negeri sesuai dengan harga pedonam mineral (HPM) yang ditetapkan oleh pemerintah.

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey sebagaimana dikutip nikel.co.id mengatakan selama ini dalam penentuan Harga Mineral Acuan (HMA) sebagai dasar perhitungan Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel di dalam negeri, pemerintah masih mengacu kepada salah satu bursa di Eropa, yang dihitung berdasarkan rata-rata tren harga nikel di bursa itu selama dua bulan ke belakang. Ketika pemerintah menetapkan HPM Nikel di dalam negeri yang  mengacu kepada bursa di negara itu potongannya sampai 45%.

Faisal Basri menjelaskan dalam terma akuntansi negara saat ini, hal ini belum menjadi kerugian. Namun, jika pemerintah tidak menetapkan batas harga yang terlalu jauh dari harga pasaran internasional, maka negara berpotensi memperoleh tambahan pendapatan dari pajak dan royalti bijih nikel. Dia juga membandingkan harga nikel ini dengan harga komoditas migas yang tidak berbeda jauh dengan harga pasar. “Ini sangat menguntungkan industri China,” ujarnya.

Ikhtisar Hasil Laporan Semester (IHLS) I 2022 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI). 

Sementara itu dari data yang diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan, dugaan adanya potensi kerugian negara juga terjadi dalam proyek pembangunan smelter di Halmahera. Pabrik feronikel yang berada di Halmahera Timur (Haltim) milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) direncanakan dapat mulai beroperasi pada semester II-2023.

Hingga periode November 2022, kemajuan konstruksi pabrik feronikel Haltim berkapasitas 13.500 ton nikel dalam feronikel (TNi) ini telah mencapai 98%. Sejalan dengan penyelesaian konstruksi dan commissioning pabrik, nantinya pabrik feronikel Haltim akan menambah portfolio total kapasitas produksi terpasang feronikel tahunan ANTM menjadi 40.500 TNi.

Jika smelter ini jadi beroperasi, maka ini merupakan salah satu smelter milik anak bangsa (BUMN) di antara puluhan smelter milik perusahaan China. Sayangnya, dalam Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2022 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) Hal ini mengakibatkan PT WIKA berpotensi kehilangan penerimaan sebesar Rp1,49 triliun atas klaim pada Proyek Pembangunan Pabrik Feronikel Halmahera Timur, yang di antaranya sebesar Rp364,37 miliar merupakan biaya riil yang telah dikeluarkan oleh PT WIKA.

Hal tersebut akibat klaim pembayaran tambahan atas pelaksanaan Proyek Pembangunan Pabrik Feronikel Halmahera Timur yang diajukan oleh PT WIKA sebesar Rp1,49 triliun belum disepakati oleh PT Antam. Klaim yang diajukan antara lain klaim atas penyesuaian waktu penyelesaian proyek, klaim atas percepatan progres pekerjaan, dan klaim atas uji kelayakan.

Sengkarut yang seolah diabaikan oleh pengemban kebijakan, semakin diperparah dengan lambannya penegak hukum untuk menindaklanjuti kejahatan di sektor pertambangan. Baik itu kejahatan lingkungan, kejahatan ketenagakerjaan maupun korupsi.

Dalam sejumlah kasus, negara bepotensi dirugikan hingga triliunan rupiah. Namun, sayangnya penegak hukum seolah tak berdaya untuk mengungkap kerugian negara tersebut. Persoalan lain yang terus ditimbun dan ditutupi adalah kejahatan yang berdampak sosial. Seperti misalnya masalah ketenaga kerjaan, masalah lingkungan, penyerobotan lahan dan lainnya yang akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja jika tidak segera dilakukan langkah perbaikan.

Lembaga-lembaga negara terkait dan aparat penegak hukum mesti mereformulasi definisi kerugian negara dan tindak pidana korupsi sektor pertambangan terutama nikel. Jangan sampai sengkarut regulasi dan lemahnya penegakan hukum dimanfaatkan terus oleh oknum-oknum yang tengah memiliki otoritas dan kekuasaan untuk terus mengeruk kekayaan alam negeri ini secara serampangan dan melanggar konstitusi. 

Kontribusi Laporan: Ghivari Apriman, Bandot DM

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar