Luka Penyintas Bom Bali Tersayat Lagi Usai Umar Patek Bebas (2)

Sabtu, 10/12/2022 08:00 WIB
Monumen peringatan korban Bom Bali (Net)

Monumen peringatan korban Bom Bali (Net)

Jakarta, law-justice.co - Kementerian Hukum dan HAM dalam siaran pers menyebutkan, pada Rabu (7/12/2022), Hisyam bin Alizein Alias Umar Patek dikeluarkan dari Lapas Kelas I Surabaya, dengan program pembebasan bersyarat.

Sebelum dinyatakan bebas bersyarat, Umar Patek telah mendapatkan remisi sebesar lima bulan dengan alasan menunjukkan perilaku baik pada Agustus lalu.

Sejak pembebasan itu, status Umar Patek sudah beralih dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan Surabaya. Dia pun diwajibkan mengikuti program pembimbingan sampai dengan 29 April 2030.

Koordinator Humas dan Protokol Ditjenpas, Rika Aprianti, mengatakan, program pembebasan bersyarat merupakan hak bersyarat yang diberikan kepada seluruh narapidana yang telah memenuhi persyaratan adminstratif dan substanstif.

“Persyaratan khusus yang telah dipenuhi oleh Umar Patek adalah telah mengikuti program pembinaan deradikalisasi dan telah berikrar setia NKRI. Pemberian pembebasan bersyarat kepada Umar Patek juga telah direkomendasikan BNPT dan Densus 88,” kata Rika.

‘Bom waktu’ yang bisa meledak kapan saja

Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh, Al Chaidar, menilai keputusan membebaskan Umar Patek seperti melepaskan ‘bom waktu’ yang dapat meledak suatu saat melalui aksi teror.

“Saya khawatir kalau dia dilepaskan bisa berakibat yang fatal dan menuai bencana nanti. Kalau nanti ternyata Umar Patek tiba-tiba melarikan diri atau melakukan teror bom, itu siapa yang akan bertangung jawab nanti,” kata Chaidar.

Dia melihat, Umar Patek dan para pelaku teror lainnya sebagai kelompok orang cerdas yang memiliki kemampuan untuk menginternalisasi kondisi lingkungannya dalam bentuk manipulasi dan kepura-puraan.

“Mereka ketika tertangkap mengembangkan sikap seakan-akan menerima, patuh, tidak radikal, dan seakan-akan telah berhasil dideradikalisasi. Padahal mereka adalah orang-orang cerdas dan memiliki kesadaran penuh bahwa basis ideologis mereka tidak mungkin berubah,” ujarnya.

Chaidar pun meminta negara untuk bersikap rasional dalam mengambil keputusan dan tidak terpengaruh oleh sikap-sikap yang diperlihatkan para teroris saat menjalani masa hukumannya.

“Mereka adalah pemain watak dan agen yang sangat bebas dalam menentukan sikap dan respon. Negara perlu menerapkan hukuman tegas bagi pelaku teror seperti dihukum seumur hidup atau mati,” katanya.

Di sisi lain, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Muhammad Syauqillah, melihat pembebasan bersyarat Umar Patek dilakukan setelah dia memenuhi beberapa kriteria progam deradikalisasi.

Indikator itu di antaranya adalah Umar Patek telah ikrar setia kepada NKRI, bertugas menjadi pengibar bendera Merah Putih, dan mengajukan pembebasan bersyarat.

“Dari konteks kajian jaringan teror di Indonesia, orang yang melakukan tiga hal itu adalah orang yang setidaknya kadar radikalismenya sudah menurun. Lalu dari sisi perilaku individual, hal itu adalah sesuatu yang buat kelompok jaringan teror adalah tabu dan dijadikan sebagai teman para thogut,” kata Syauqillah.

Berkaca dari itu, Syauqillah melihat, Umar Patek telah mengalami penurunan kadar radikalismenya. Walaupun demikian, tambahnya, program deradikalisasi harus terus berlanjut di luar penjara dengan melibatkan masyarakat, para ulama dan negara sebagai aktor pemimpin.

“Kita tidak bisa bilang sama sekali tidak ada potensi ancaman, akan tetapi kemudian bagaimana memperkecil dengan program deradikalisasi,” katanya.

Selain itu, Syauqillah melanjutkan, Umar Patek adalah sosok yang memiliki suara kredibel dalam menyampaikan pesan-pesan antiradikalisme dan antiterorisme, baik ke kelompok teror, ke para napi teroris di dalam penjara, hingga masyarakat umum.

“Pemerintah perlu melibatkan Umar Patek dalam upaya kontra narasi dengan membangun bahwa yang dilakukan Umar Patek di masa lalu adalah keliru dan masyarakat jangan sampai ikut-ikutan."

“Upaya itu dilakukan ke jaringan teroris, di lapas maupun masyarakat umum. Lalu, dia melakukan kontra narasi dengan menyebarkan konten-konten melalui media sosial, guna meredam munculnya lone wolf yang memiliki relasi kuat akibat peran media sosial,” katanya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar