Upacara Hari Kesaktian Pancasila, Sudahkah Melihat Dua Sisi? (3)

Sabtu, 01/10/2022 09:35 WIB
Sebuah karya film yang mengangkat peristiwa G30S produksi tahun 2014 (Net)

Sebuah karya film yang mengangkat peristiwa G30S produksi tahun 2014 (Net)

Jakarta, law-justice.co - Setelah organisasi PKI berhasil ditumpas, muncul pembantaian pada orang orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI. Mereka yang banyak terdiri dari pada buruh dan tani dimasukkan ke dalam kamp untuk diinterogasi bahkan disiksa sebelum dikeluarkan dan dibawa kepada para jagal untuk dieksekusi mati. Catat, ini semua tanpa peradilan hukum.

Disutradarai Joshua Oppenheimer, Jagal mengambil sudut pandang tentang pembunuh anti-PKI, bernama Anwar. Film ini memang menggambarkan kisah genosida 1965-1966 khususnya di Sumatra, yang diangkat dari kisah salah satu algojonya yang sudah membunuh sekitar 1000 orang. Jagal menjabarkan tentang aksi dan cara pembunuhan para algojo anti PKI terhadap terduga simpatisan PKI.

Cara dan aksi mereka kala itu disajikan oleh film ini dalam sebuah imajinasi para pelaku pembunuhan massal. Ironisnya, mereka dengan bebas berkelakar tentang kejahatan dan pelanggaran HAM yang mereka lakukan di waktu yang lampau.

Dikutip dari VOA, film ini bukan film sejarah yang kembali ke masa lampau, tapi bagaimana orang-orang yang membunuh para terduga partisipan PKI ini hidup di masa kini dalam bayang-bayang masa lalu yang masih teringat jelas.

Joshua berharap, bahwa film ini menjadi suatu sarana informasi dan edukasi terhadap sejarah yang telah berlalu dan bisa lebih bijak untuk menjalani kehidupan saat ini. Penayangan film ini sukses menuai tanggapan positif dari dunia internasional dan masuk nominasi Oscar, tapi sayangnya film ini dilarang ditayangkan di bioskop atau televisi Indonesia, bahkan oleh beberapa universitas di waktu kala itu.

Film Senyap, sekuel dari Jagal yang angkat kisah pilu keluarga korban pembantaian
Film kedua Joshua Oppenheimer yang bernama Senyap atau dalam bahasa Inggris The Look of Silence masih mengambil tema genosida 1965-1966. Pemutaranya dilakukan secara serentak pada 10 Desember 2014 bertepatan dengan peringatan Hari HAM sedunia.

Film ini telah diputar di sejumlah festival film ternama di dunia, seperti Toronto International Film Festival, New York Film Festival, Telluride Film Festival, dan Winner Venice Film Festival. Menariknya, peredaran film ini sempat menjadi sorotan karena dilarang oleh Lembaga Sensor Film (LSF) sejak 29 Desember 2014.


Senyap mengambil sudut pandang dari Adi Rukun, adik korban pembunuhan yang diduga simpatisan PKI bernama Ramli. Ia dan keluarganya dicap sebagai ‘keluarga lingkungan tidak bersih’ karena Ramli dieksekusi akibat diduga sebagai simpatisan PKI.

Film ini mengisahkan bagaimana para keluarga para korban pembunuhan dan para pembunuh atau keluarga pembunuh, berada dalam suatu lingkungan yang sama dan bahkan masih berkuasa hingga ke bangku-bangku pemerintahan.

Meski membuka luka lama baik bagi para korban maupun para pelaku, film ini berhasil menyentuh hati dan membuka pikiran banyak orang. Bahkan dalam film tersebut Adi dan keluarga pembunuh kakaknya saling berpelukan karena rasa penyesalan dan luka yang tertanam dalam hati mereka.

Film ini juga kembali masuk dalam nominasi Oscar untuk film dokumenter terbaik.


Baik film Pengkhianatan G30S/PKI, film Jagal, dan Senyap, semuanya menceritakan sisi kelam tahun 1965 dan 1966 di Indonesia yang masuk dalam kasus pelanggaran HAM berat genosida. Pembantaian yang dilakukan memang kejam, keji, tak kemanusiaan. Tetapi, para jagal yang membunuh terduga simpatisan PKI juga melakukan hal yang sama kejam, keji, dan tak kemanusiaan.

Terlebih para keluarga penyintas dan pembunuh pasti memiliki luka dan rasa bersalah yang tertanam.


Sejarah memang benar adanya dan terjadi, tapi kebenaran sejatinya hanya mereka yang terlibatlah yang tahu. Tidak sedikit yang sungkan untuk membuka suara karena ketakutan akan hal pahit dan mencekam yang bisa saja datang seperti dulu kala.

Hadirnya film-film ini sebagai suatu sarana pembelajaran bagi kita generasi muda yang akan melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara, agar hidup selalu dalam kebijaksanaan dalam bersikap, belajar dari kesalahan masa lalu, membangun peradaban yang lebih maju, adil, rukun, damai, sejahtera seperti cita-cita dan tujuan bangsa.

Memperingati momen bersejarah 30 September ini, mari temukan lebih banyak sisi dan pandangan dalam sejarah sehingga pemikiran kita bisa terbuka luas dan kritis, yang menjadikan kita lebih baik dalam bersikap dan bertindak.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar