Salamuddin Daeng, Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Soal PLN, Utang dan Aset Dijual Ketengan Melalui Sub Holding

Kamis, 22/09/2022 13:35 WIB
Salamudin Daeng. Foto: net

Salamudin Daeng. Foto: net

Jakarta, law-justice.co - Erick Tohir menteri BUMN akhirnya memutuskan PLN resmi disubholding (21/9/2022), dipecah pecah, dibagi bagi dalam sub sub yang independen, dijadikan perusahaan yang terpisah dari induknya, lalu setelah itu dijual ketengan, baik untuk cari utang maupun sebagian sahamnya dilego ke pasar modal.

Ada masalah apa sehingga PLN mesti dipecah pecah atau dipreteli seperti itu? Itu supaya gampang di jual.

Sebab kalau dijual gelondongan nanti ketahuan siapa pembelinya. Nanti kalau pembelinya ternyata oligarki maka akan katahuan ternyata privatisais PLN tersebut agar mereka bisa bawa pulang aset sebelum 2024.

Satu alasan yang digunakan menteri BUMN dalam memecah mecah PLN adalah alasan keuangan, untuk memperbaiki keuangan PLN.

Karena apa perlu diperbaiki? Karena utangnya PLN sangat besar. Jadi solusi atas utang adalah dengan mempreteli aset PLN. Kalau memang laku dilego buat bayar utang maka selesailah masalah utang tersebut.

Bagaimana sih keadaan Keuangan PLN?

Fitch Ratings Singapura 12 Ags 2021 menyatakan bahwa PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) yang berbasis di Indonesia berada di peringkat BBB stabil.

Agensi juga telah menegaskan peringkat senior tanpa jaminan pada program surat utang jangka menengah PLN, surat utang yang diterbitkan dalam program tersebut dan uang kertas dolar AS yang diterbitkan oleh anak perusahaannya, Majapahit Holding BV, dan dijamin oleh PLN, di ‘BBB’.

Tapi Peringkat utang PLN disamakan dengan peringkat Indonesia (BBB/Stabil), berdasarkan ekspektasi terhadap kemungkinan dukungan ‘Sangat Kuat’, sejalan dengan Kriteria Peringkat Entitas Terkait Pemerintah (GRE).

Jadi peringkat PLN tersebut sangat bergantung pada dukungan pemerintah.

Ketergantungan PLN pada pemerintah untuk memenuhi kekurangan pendapatan. Mengingat sebagian besar keuntungan PLN ditentukan jika subsidi dan kompensasi dibayar oleh pemerintah.

Rugi ditentukan subsidi. Untung ditentukan oleh hitungan kompensasi. Kalau pemerintah mau pencitraan maka akan dihitung untung.

Negara menyediakan ekuitas sebesar Rp5 triliun pada 2020 dan Rp6,5 triliun pada 2019 dan menjamin sekitar seperlima dari pinjaman PLN.

Jadi PLN tidak punya ruang secara internal untuk menyediakan belanja bagi dirinya sendiri. Semua bergantung pada asupan pemerintah. Ini memang para sekali.

Sekarang untuk menopang pendapatan PLN memindahkan harapan dari permintaan sektor perumahan, dengan harapan konsumsi listrik yang lebih tinggi. Perumahan mengambil alih lebih dari 40% dari total volume PLN.

Hal ini mungkin dasar dari skenario kenaikan tarif. Tapi bagaimana melakukan ini ditengah daya beli yang rendah? Perusahaan Yang Disuap APBN kok Dilego?

Ketergantungan PLN pada Subsidi dan Kompensasi sangat lah tinggi. Subsidi adalah keputusan DPR dan Pemerintah. Sementara kompensasi adalah akal akalan pemerintah melalui menteri keuangan.

Dengan kompensasi maka bisa diatur PLN untung atau rugi. Demi pencitraan maka akan diatur tetap untung.

PLN tidak dapat mempertahankan EBITDA tanpa subsidi dan pendapatan kompensasi, yang jika digabungkan, berjumlah sekitar Rp66 triliun pada tahun 2020, dibandingkan dengan EBITDA sebesar Rp74 triliun. Ini adalah yang negara dari pajak.

Bukan hasil usaha PLN. Sementara PLN sendiri harus fokus bayar utang. Sementara Pemerintah memiliki catatan melakukan penggantian subsidi kepada PLN, namun terjadi keterlambatan pencairan pendapatan kompensasi dalam tiga tahun terakhir.

Jadi sementara ini untung PLN itu masih sebatas data di atas kertas. Belum tentu juga ada uangnya.

PLN juga menerima dukungan negara dalam bentuk pinjaman langsung, pinjaman penerusan dari lembaga multinasional, suntikan modal dan jaminan pinjaman bank untuk beberapa proyek investasinya.

PLN akan mengeluarkan belanja modal sekitar Rp78 triliun pada tahun 2021 dan jumlah tersebut akan tetap sekitar Rp70 triliun – 75 triliun per tahun mulai tahun 2022 untuk mendukung rencana penambahan kapasitas pembangkit nasional pemerintah dan transisi energi terbarukan.

PLN berencana untuk meningkatkan kapasitas pembangkitnya dan memperkuat infrastruktur transmisi dan distribusi, sementara produsen listrik independen kemungkinan akan mendapatkan bagian yang lebih besar dalam penambahan kapasitas pembangkitan.

Jadi sebetulnya dukungan keuangan dari pemerintah hanya menjadikan PLN sebagai paralon air untuk menyalurkan uang kepada oligarki pemegang proyek PLN. Apalagi PLN hanya akan menguasai jaringan, sementara proyek pembangkitnya buat swasta. PLN memang bancakan yang paling empuk. Bagaimana Utang PLN

Saldo kas PLN sebesar Rp55 triliun pada akhir tahun 2020 cukup untuk memenuhi utang yang jatuh tempo pada tahun 2021 sekitar Rp39 triliun. PLN memiliki utang jatuh tempo yang tersebar ke berbagai jenis utang, dengan jatuh tempo tahunan sekitar Rp50 triliun.

PLN kalau beruntung akan menghasilkan sekitar Rp60 triliun-65 triliun arus kas tahunan dari operasi mulai tahun 2022, namun tetap bergantung pada pendanaan eksternal untuk rencana belanja modal tahunannya yang besar.

Utang PLN sangatlah besar, mereka menimbun utang untuk menopang belanja dan selanjutnya belanja untuk memperbesar kapasitas oligarki penikmat Take Or Pay (TOP) dari pemerintah.

Utang PLN dalam laporan keuangan semester I tahun 2022 mencapai Rp. 640,15 triliun, naik dari Rp. 631,51 triliun dari periode yang sama tahun lalu. Rupanya dalam laporan keuangan tahunan tahun 2021 dikatakan utang turun hanya untuk menunjukkan keberhasilan PLN menurunkan utang, setelah itu nambah lagi.

Tampaknya sub holding PLN yang kemarin diumumkan (21 September 2022), tampaknya merupakan langkah kebelet. Ada dua sebab karena APBN cekak sehingga tidak mungkin lagi menolong PLN, yang kedua ada kemungkinan ada yang mau bawa pulang aset ketengan PLN sebelum pemilu 2024. Ngono yo ngono sing ojo ngono

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar