Mafia Listrik Bisnis Tower PLN

Siapa Terlibat dalam Jaringan Mafia Listrik PLN?

Sabtu, 13/08/2022 13:44 WIB
Tower Listrik yang dibangun oleh PT Bukaka untuk distribusi listrik PLN

Tower Listrik yang dibangun oleh PT Bukaka untuk distribusi listrik PLN

Jakarta, law-justice.co - Kejaksaan Agung resmi menaikkan kasus dugaan korupsi pengadaan tower atau menara transmisi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero tahun 2016 ke penyidikan.

Hal itu disampaikan langsung oleh Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin pada 25 Juli 2022 lalu.

Menurut Jaksa Agung, kejaksaan telah menemukan sejumlah fakta perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana dalam kasus tersebut.

Ia mengatakan, PT PLN Persero tahun 2016 memiliki kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran pekerjaan sebesar Rp2,25 triliun.

Dalam pelaksanaannya, PT PLN, Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia atau Aspatindo, serta 14 penyedia pengadaan tower di tahun 2016 telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada.

Lebih lanjut, PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodasi permintaan dari Aspatindo sehingga mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan, yang dimonopoli oleh PT Bukaka, karena Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua Aspatindo.

Meski begitu, hingga kini Kejaksaan Agung belum menetapkan satupun tersangka. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah mengatakan, hingga kini Kejaksaan Agung masih fokus dalam pemeriksaan saksi-saksi dari unsur PLN maupun pihak swasta guna mencari siapa pihak yang paling bertanggungjawab untuk dijadikan tersangka.

"Kita masih mencari kesesuaian di kontrak-kontrak yang ada dengan pekerjaannya, kemudian fisiknya adalah proses ketika proses pekerjaan itu, apakah melalui penunjukkan atau apa," ujar Febrie ketika ditemui law-justice.co.

Terkait itu, Jampidsus membuka kemungkinan banyak pihak yang akan diperiksa terkait kasus tersebut. Dan ia mengatakan, bila perlu Kejagung akan memeriksa Direktur Utama PT PLN priode 2014-2019, Sofyan Basir dalam kasus yang merugikan negara Rp 2,2 triliun lebih ini.

“Kepentingan penyidikan perlu ya pasti kita periksa, intinya kepentingan penyidikan,” ujarnya singkat.

Selain itu, Febrie juga membuka satu lagi kemungkinan. Karena proses pemeriksaan masih berjalan dan semua keterangan dan bukti-bukti masih dihimpun, Febrie mengatakan, jumlah kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan akan bisa bertambah.

Karut Marut Proyek Pengadaan di PLN
Kasus dugaan korupsi pengadaan tower PT PLN (persero) yang kini tengah ditangani Kejaksaan Agung seakan jadi cermin mengenai carut marutnya proses tender proyek di perusahaan plat merah tersebut.

Kami bertemu dengan salah satu mantan konsultan PT PLN era 2004-2013, bernama Farid Fathur. Ia mengatakan, praktik korupsi dan kolusi di internal PLN sudah terjadi sejak lama, setidaknya sejak ia bekerja disana.

Praktik korupsi dan kolusi tersebut, ucap Fathur, salah satunya juga terjadi di proyek pengadaan, seperti pengadaan tower yang kini ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Fathur menyebut, dalam proses pemilihan rekanan dalam proyek pengadaan. PLN sebenarnya sudah memiliki panduan berupa prosedur operasi standar (SOP).

Ia mencontohkan SOP mengenai pemilihan mitra pemasok batu bara untuk kebutuhan PLN.

Menurut Fathur, ada sejumlah keriteria yang harus dipenuhi oleh calon rekanan agar bisa mendapatkan proyek pemasok batu bara tersebut, diantaranya harus memiliki tambang, produksinya sudah berjalan, profilnya jelas dan lain sebagainya.

Namun pada kenyataannya, lanjut Fathur, SOP tersebut seringkali tidak dijalankan oleh PLN itu sendiri. Dengan tegas Fathur menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk dari malpaktik dalam perusahaan.

"Skemanya sudah kami buat, tapi pada praktiknya ini (SOP) tidak dipakai," ujar Fathur kepada law-justice.co.

Fathur melanjutkan, sekalipun SOP tersebut dipakai, kadangkala ada beberapa poin yang tidak digunakan.

Hal tersebut dilakukan untuk mengakali agar calon mitra yang tidak memenuhi persyaratan tetap bisa mendapatkan proyek tersebut.

"Misalnya ada sebuah perusahaan yang dokumen tambangnya lengkap, tapi tidak memenuhi persyaratan kapasitas produksi, maka persyaratan tersebut bisa diakali," ungkap Fathur.

Sebelum masuk tahap teknis, menurut Fathur, dalam tahap penentuan pememang tenderpun cukup banyak permainan dan penyimpangan.

Ia mengatakan, tak sedikit proses tender di PLN dilakukan dengan rekayasa, dimana peserta tender yang diikutsertakan adalah hasil titipan dari pejabat tertentu.

Kata Fathur, pihak-pihak yang biasa melakukan kecurangan tersebut adalah para pejabat yang memiliki perusahaan. Ada juga yang menjadi makelar, dalam arti pejabat tersebut menjadi jembatan antara pemilik perusahaan dengan pihak PLN.

"Tak perlu punya perusahaan, dia bisa bawa orang lain, bisa jadi calonya, bisa juga ada dia disana tapi namanya nama orang lain," ungkap Fathur.

Proses pengadaan di PLN juga mendapat sorotan dari Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra).

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi mengatakan, pengadaan barang dan jasa dalam BUMN, termasuk PLN adalah lahan "basah" yang rawan dengan praktik korupsi.

Menurut Badiul, banyak faktor yang menyebabkan proses pengadaan barang dan jasa di PT PLN bermasalah, diantaranya adalah minimnya transparansi dalam tiap tahapannya, mulai dari hingga pada tahap pelaksanaannya.

"Hal itu dapat mempengaruhi pelaksanaan dan pada akhirnya akan menjadi beban negara juga," ujar Badiul kepada law-justice.co.

Salah satu kasus korupsi di PT PLN yang pernah disorot Fitra adalah kasus Pengadaan Flame Turbine pada pekerjaan Life Time Extention (LTE) Major Overhouls Gas Turbine (GT)-12 sekitar tahun 2013.

Kasus ini bermula saat penyidik Kejagung mendapat dokumen rahasia soal adanya mark-up dalam pengadaan mesin pembangkit di PLN Sumut.
Di dalam dokumen itu dipaparkan barang yang diterima tak sesuai spesifikasi Flame Turbin di PLN Belawan.

Disebutkan, pada tahun anggaran 2007, PT PLN KITSBU (Pembangkit Sumatera Bagian Utara) melakukan pengadaan barang berupa flame Turbine DG 10530 merek Siemens, yakni dua set Gas Turbine (GT) senilai Rp23,98 miliar, dengan perincian harga material Rp21,8 miliar ditambah Pajak Pertambahan nilai (PPn) Rp2,18 miliar.

Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan menetapkan lima pejabat PLN sebagai tersangka masing-masing Edward Silitonga (General Manajer Bidang Perencanaan PT PLN), Fahmi Rizal Lubis (Manager Bidang Produksi PT PLN), Albert Pangaribuan (General Manajer PT PLN Pembangkit Sumatera Bagian Utara), Robert Manyuzar (Ketua Panitia Pengadaan Barang Jasa) dan Ferdinand Ritonga (Kepala Tim Pemeriksa Mutu Barang).

Total kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp23.9 miliar. Menurut Badiul, selain kasus pengadaan tower PLN tahun 2016, kasus pengadaan flame turbine tersebut juga menjadi contoh, betapa rentannya sektor pengadaan barang dan jasa di PLN dengan tindak pidana korupsi.

Terlebih, sektor pengadaan melibatkan banyak pihak dan juga banyak kepentingan. Tak hanya PLN itu sendiri, tapi juga bisa melibatkan pejabat, pengusaha dan juga anggota dewan.

"Belajar dari kasus itu, bisa saja akan banyak orang atau pihak yang terseret dalam kasus pengadaan tower PLN," ujar Badiul.

Sulitnya Memutus Korupsi di Tubuh PLN
Setali tiga uang, LSM pemantau korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyatakan, sejak dulu PT PLN punya reputasi yang kurang baik terhadap proses pengadaan barang dan jasa.

Peneliti ICW, Egi Primayogha mengatakan, masalah pengelolaan serta pengadaan barang dan jasa di PLN kerap berpotensi berujung pada kasus korupsi.

Menurut Egi, hal ini diperkuat dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dimana pada periode 2014 hingga 2020 BPK menemukan, bahwa masalah pengadaan barang dan jasa jumlahnya paling banyak dibanding masalah lainnya.

Egi melanjutkan, BPK menemukan 23 masalah pengadaan barang dan jasa di PT PLN, 19 masalah pembangunan infrastruktur, dan 16 masalah perjanjian pihak ketiga.

Sementara itu, menurut catatan ICW, kasus korupsi yang berkaitan dengan PT PLN juga merupakan yang terbanyak. jika dibandingkan dengan BUMN lainnya di Indonesia.

"Sepanjang 2010-2018, sedikitnya terdapat 21 kasus korupsi yang berkaitan dengan PT PLN," sebut Egi.

Sementara, pada periode yang sama, kasus korupsi yang terjadi di PT Pertamina berjumlah 13 kasus, di BRI dan Bulog 12 kasus dan di BNI sebanyak 6 kasus.

Hal ini menunjukkan, PT PLN merupakan salah satu BUMN yang paling rentan terjadi tindak pidana korupsi di dalamnya.

Kemana Dana Rp2,2 Triliun Mengalir?
Sejauh ini, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tower PLN, Kejaksaan Agung sudah memeriksa sejumlah saksi, diantaranya pejabat PT PLN tahun 2016, pejabat Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), pejabat di Kementerian Perindustrian dan sejumlah perusahaan rekanan.

Namun Kejaksaan Agung belum juga menetapkan tersangka, pun juga Kejagung belum bisa menelusuri kemana uang negara senilai Rp2,2 triliun itu mengalir.

Ketika ditemui di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Supardi mengatakan, kini ia dan jajarannya masih fokus pada pemanggilan saksi-saksi untuk menemukan tersangka.

"Kalau aliran dana, belum yah," ujar Supardi kepada law-justice.co.

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi menyatakan, berdasarkan pengalaman dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa, ada sejumlah pihak yang bisa ikut kecipratan uang hasil korupsi tersebut.

Badiul hadi menyebut, karena proses pengadaan barang dan jasa melibatkan dua pihak, yakni pihak pemberi proyek dan penerima proyek, maka biasanya dua pihak itulah yang berpotensi menerima uang hasil bancakan.

Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tower ini, maka pihak-pihak yang berpotensi menerima uang hasil korupsi tersebut adalah internal PT PLN dan perusahaan-perusahaan pemenang tender.

Namun Badiul menyebut satu pihak lagi yang juga berpotensi menerima uang hasil korupsi tersebut, yakni Kementerian BUMN sebagai kementerian yang menaungi PT PLN.

"Bisa jadi aliran dananya sampai ke Kementerian BUMN, karena itulah pentingnya Kejaksaan Agung menelusuri aliran dananya dan menggandeng PPATK agar lebih mudah," kata Badiul Hadi.

Siapa yang Bermain di Korupsi Tower PLN
Selain masih mendalami keterangan para saksi yang terkait dengan kasus ini untuk menentukan siapa tersangkanya, Kejaksaan Agung juga masih menelusuri peran dari sejumlah perusahaan yang terkait dalam kasus ini.

Termasuk mendalami apakah perusahaan yang menjadi rekanan PT PLN tersebut adalah pemain baru atau pemain lama yang sudah berulangkali menggarap proyek-proyak PLN.

Terkait hal itu, Direktur Penyidikan di Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Supardi menolak untuk mengungkap lebih jauh profil dan rekam jejak dari perusahaan rekanan PLN tersebut.

"Belum, kita tidak bisa ekspose siapa saja (perusahaan rekanannya), biarkan (pemeriksaan) berjalan dulu lah," ujar Supardi kepada law-justice.co.

Sejauh ini, satu nama yang baru disebut Kejagung dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Tower PT PLN ini adalah PT Bukaka Teknik Utama Tbk.

Jika dilihat dari laman resmi perusahaan ini, disebutkan bahwa PT Bukaka didirikan pada 1978 berdasarkan Akta Notaris Haji Bebasa Daeng Lalo, SH, No. 149 dan telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman RI melalui Surat Keputusan No. Y.A.5/242/7 tanggal 21 Mei 1979.

PT Bukaka bergerak di bidang penyediaan produk dan layanan yang berkualitas terhadap sektor-sektor strategis, seperti energi, transportasi dan komunikasi.

Dan yang menarik, perusahaan ini merupakan milik salah satu mantan pejabat di Indonesia, yakni mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sempat menjabat selama dua kali, yakni periode 2004-2009 dan 2014-2019.

Karena itulah PT Bukaka dijalankan oleh keluarga Jusuf Kalla dan kerabat dekatnya. Komisaris utama perusahaan tersebut dipegang oleh adik Jusuf Kalla, yakni Suhaeli Kalla.

Sementara salah satu komisarisnya dijabat oleh anak keempat Jusuf Kalla, yakni Solihin Jusuf Kalla.

Jika Kejaksaan Agung berhasil membuktikan ada korupsi dalam pengadaan tower di PT PLN, maka salah satu perusahaan yang berafiliasi dengan Mantan Presiden Jusuf Kalla akan terseret dalam pusaran kasus korupsi tersebut.

PT Bukaka Buka Suara

PT Bukaka Teknik Utama memasok 1.200 tower transmisi jalur tol listrik Sumatera bagian timur dengan kapasitas 500 kilo Volt 4 sirkit.

Transmisi tersebut di bangun di jalur New Aur Duri-Peranap-Perawang sepanjang 400 kilometer.

Kebutuhan investasi pembangunan jalur transmisi tersebut diperikaran mencapai Rp1 triliun. Disamping itu, sebagai perusahaan nasional, pihaknya berkomitmen mendukung pembangunan transmisi nasional dalam rangka mensukseskan program kelistrikan 35.000 MW.

PT Bukaka Teknik Utama Tbk buka suara terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan menara (tower) transmisi tahun 2016 pada PT PLN (Persero).
Dalam pengadaan tower kerja sama PLN dan PT Bukaka dan 13 penyedia pengadaan tower lainnya, Kejaksaan Agung menemukan unsur perbuatan melawan hukum yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara.

Namun, Presiden Direktur PT Bukaka Irsal Kamaruddin mengatakan pihaknya telah mengikuti aturan terkait pengadaan tower tersebut. Ia pun membantah PT Bukaka mengatur PLN untuk mengakomodasi permintaannya.

"Kalau menurut kami, kami berjalan sesuai alurnya. Kami enggak bisa mendikte PLN dan seterusnya," ujar Irsal di pabrik PT Bukaka, Bogor, Rabu (3/8) seperti dikutip.

Irsal pun mengatakan pihaknya akan mengikuti proses hukum terkait kasus ini. Diketahui, Kejagung telah menaikkan kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi tersebut ke tahap penyidikan.

"Ini kan proses masih berjalan. Kami serahkan ke Kejagung," ujar Irsal.

Dalam keterangan terpisah, perusahaan menerangkan, pada 2016 lalu, PLN melakukan pengadaan tower listrik sebanyak 9.085 set dari kebutuhan 120 ribu set untuk 46 ribu km transmisi, dalam rangka proyek listrik 35.000 MW.

"Karena tower PLN standar dan bahan baku baja harus dari Krakatau Steel dengan harga yang sudah ditentukan, maka Kementerian Perindustrian dengan konsultasi PLN, BPKP dan Asosiasi menetapkan harga jual per unit sesuai standar dengan Keputusan Menteri (Kepmen) Perindustrian No.15/M.Ind/Per/3/2016," jelas perusahaan.

Proyek 35 ribu MW sendiri adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) sesuai Perpres No. 3 tahun 2016, dan Perpres No. 4 tahun 2016 tentang Infrastruktur Ketenagalistrikan, maka harus dipercepat dan sesuai dengan Perpres tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah No. 54 tahun 2010 pasal 38 ayat 5a, tidak perlu tender apabila ada harga standar dari pemerintah.

Dalam penunjukan awal, pengadaan PLN mengundang 14 perusahaan rekanan. Dari kebutuhan 9.085 set, Bukaka mendapat 1.044 set atau 11,5 persen.

"Artinya Bukaka tidak melakukan monopoli, walaupun Ketua Asosiasi adalah salah satu Direksi Bukaka, karena prosentase pekerjaan untuk Bukaka tidak sebesar yang dibayangkan," terangnya.

Menurut perusahaan, dari semua proses pengadaan tersebut dapat dinilai baik PLN dan rekanan telah bekerja sesuai aturan yang ada. Selain itu, tidak ada kerugian negara, karena bahan baku dan harga jual sudah ditentukan harganya sehingga pemasok hanya seperti tukang jahit.

PT PLN Rawan Korupsi, Pengawasan Internal Mandul?
Berulang kali PT PLN terseret kasus korupsi. Hal ini kemudian menimbulkan tanda tanya, bagaimana dengan pengawasan perusahaan plat merah tersebut?

Sejauh ini fungsi pengawasan salah satunya dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melakukan pemeriksaan terhadan PT PLN secara berkala.

Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan kinerja, pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Menurut hasil pemantauan ICW terhadap hasil pemeriksaan BPK RI terhadap PT PLN, pada periode 2014 hingga 2020, sedikitnya ditemukan 79 masalah yang berkaitan dengan kelistrikan dan pengelolaan batu bara.

"Permasalahan tersebut apabila diklasifikasikan meliputi 7 isu besar, yakni masalah-masalah yang meliputi harga, stok, pasokan, kualitas batu bara, kontrak dan perjanjian jual beli, dan kerja sama PLN dengan pihak ke tiga," kata peneliti ICW, Egi Primayogha.

Namun menurut mantan konsultan PT PLN, Farid Fathur, pengawasan melalui audit yang dilakukan BPK RI terhadap PT PLN tidak ada gunanya.

Mengapa begitu? Sebab menurut dia, pengawasan yang dilakukan BPK RI terhadap PT PLN hanya sebatas di atas kertas. Dia mengibaratkan BPK RI Hanya mencocokkan neraca pemasukan dan pengeluaran saja.

Sementara BPK RI tidak sampai mengecek bagaimana penerapannya di lapangan, apakah sama dengan yang tertuang di atas kertas.

"Ibaratnya kita dikasih uang 100 juta, BPK cuma mengecek kita belanja apa saja, benar ngga belanjaannya? Perkara belanjaan ada atau tidak, itu tidak dicek," kata Fathur menganalogikan.

Sekalipun ditemukan adanya penyimpangan atau ketidaksesuaian antara yang tertulis di atas kertas dengan realitanya, lanjut Fathur, temuan BPK tersebut hanya berakhir menjadi sebuah rekomendasi.

"Pernah ngga BPK memeriksa hasil pembakaran batu bara, apakah sesuai dengan kalori yang dibeli atau yang tidak? itu harusnya ketahuan," sambungnya.

Salah satu komponen perusahaan yang bisa diandalkan dalam proses pengawasan internal di PLN, menurut Fathur adalah jajaran komisaris. Namun lagi-lagi, harapan tersebut ibarat layu sebelum berkembang.

Ini disebabkan jabatan komisaris di BUMN, termasuk PLN, diberikan sebagai kompensasi politik untuk orang-orang dekat atau pendukung calon yang akhirnya menang dalam kontestasi pilpres.

Hal inilah yang membuat fungsi mengawasan internal tidak berjalan maksimal, sebab menurut Fathur, jajaran komisaris itu diisi oleh orang-orang yang belum tentu memahami fungsi dan kerja PT PLN.

"Kadang komisarisnya ngga ngerti, jangan-jangan titipan semua," pungkas Fathur.

Jaringan Mafia di Tubuh PLN
Mantan Serikat Pekerja PLN Ahmad Daryoko mengatakan bila saat ini PLN berada dalam kondisi mengkhawatirkan.

Ditambah saat ini dengan terbentuknya Subholding PLN, kini hanya tersisa kurang dari 10% pembangkit serta jaringan Transmisi dan Distribusi.

Daryoko menyebut kondisi PLN Holding pun mulai di “gerogoti” dengan pembentukan Sub Holding PLN.

"Setelah Subholding terbentuk, nantinya PLN Holding hanya menjadi Unit kecil yg hanya mengurus Kontrak PPA (Power Purchase Agreement) antara PLN dan pembangkit IPP Swasta," kata Daryoko kepada Law-Justice.

Terkait permasalahan tower PLN ini, Daryoko menyatakan bila ini bisa jadi ada kaitannya dengan permasalahan lain yang ada di dalam PLN.

Daryoko menyebut saat ini untuk Jawa-Bali, pembangkit-pembangkit-nya 90% milik swasta dan PLN kini hanya bertugas sebagai penjaga tower saja.

Ia menyebut didalamnya ada beberapa nama besar seperti Luhut BP Menko Maritim, Erick Thohir Menteri BUMN, JK Mantan Wapres, Dahlan Iskan Mantan Menteri BUMN.

"Ya saat ini PLN cuma sebagai "Penjaga Tower" saja," ucapnya.

Daryoko menyebut tidak hanya tower tapi listrik prabayar seperti token hingga retail yang pasca bayar pun saat ini sudah dikuasai swasta.

Sehingga seluruh retail PLN khususnya Jawa-Bali sudah dikuasai oleh pihak pihak tertentu saja.

"Dengan demikian seluruh konsumen pun telah menjadi milik pihak tertentu saja ditambah Dahlan Iskan telah menjual retail PLN seluruhnya saat yang bersangkutan menjadi Dirut PLN," paparnya.

Ia menyebut permasalahan tower yang sedang ditangani oleh Kejagung ini karena banyaknya permasalahan di PLN.

"Orang2 PLN tidak berani menolak kemauan "Bos" nya karena takut di pecat," ujarnya.

Berdasarkan data yang diperoleh Law-Justice yang didapatkan dari RDP Komisi VII DPR RI dengan PLN, Latar belakang dibangunnya tower tersebut terdapat empat tujuan.

Pertama, Transmisi Alur Listrik Tegangan Tinggi jadi dapat memperlancar dan mengefisienkan perpindahan energi listrik dalam jumlah banyak dari satu tempat ke tempat lain.

Kedua, Memacu Pertumbuhan Ekonomi dengan hadirnya jaringan transmisi yang andal, dapat meningkatkan kapasitas serta keandalan pasokan listrik untuk memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi.

Kemudian, Mempermudah Proses Perawatan dan Pemeliharaan Pasokan Listrik Dengan hadirnya jaringan transmisi yang andal, diharapkan dapat mempermudah proses pemeliharaan dan perawatan pasokan listrik sehingga mengurangi terjadinya black out.

Terakhir supaya dapat menghindari Overdesign dengan membuat desain jaringan transmisi, diharapkan dapat memberikan konsultasi desain yang cost effective dan menghadirkan jaringan transmisi yang andal.

Jenis tower PLN pun terdapat beragam, misal Lattice Tower Transmisi dengan 150 KV, kemudian dengan jenis Sutet 500 Kv, kemudian Tiang Baja dan Tiang Beton.

Tower tersebut memiliki fungsi dasar yang berbeda, termasuk juga saluran yang beragam dan tipe insulator yang berbeda.

DPR Pantau Kasus Korupsi PLN
Jaksa Agung ST Burhanudin menyebut kasus ini kini sudah naik ke penyidikan.

Beberapa saksi baik dari karyawan dan Petinggi PLN hingga Pejabat di Kementerian ESDM sudah diperiksa.

Menanggapi kasus yang tengah disidik oleh Kejagung tersebut, Anggota Komisi III DPR RI Johan Budi, mengapresiasi keberhasilan Kejagung dalam upaya membongkar dugaan kasus korupsi proyek pengadaan tower transmisi PT PLN pada periode 2016.

Menurutnya, menjadi suatu keberhasilan karena Kejagung membongkar perkara tersebut sesuai dengan tugas.

"Sudah menjadi tugas Kejaksaan Agung dalam membongkar kasus-kasus korupsi, (juga terkait) prasarana," kata Johan kepada Law-Justice.

Di sisi lain, Johan Budi menyatakan kinerja Kejagung yang semakin positif harus menjadi teladan bagi lembaga di bawahnya.

Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menyebut lembaga tersebut seperti Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri dalam mengusut kasus korupsi berskala besar.

"Kinerja Kejaksaan Agung yang bagus ini harus diikuti oleh Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri untuk mengusut kasus-kasus korupsi berskala besar," ujarnya.

Politisi PDIP tersebut menuturkan bila ia di Komisi III DPR akan terus mengawasi mitra terkait untuk memastikan bisa kerja secara maksimal.

Ia Pun menyatakan tidak hanya kasus Tower PLN, kasus yang saat ini sedang ditangani oleh Kejagung akan terus diawasi.

"Ya kami akan terus mengawasi kinerja mitra komisi kami," tuturnya.

Senada dengan Johan Budi, Anggota Komisi VII DPR RI Andre Rosiade mengatakan Kejagung perlu mengusut kasus tower PLN tersebut tanpa keraguan.

Andre meminta Kejagung untuk menindak siapa pun yang bersalah, dalam kasus korupsi di pengadaan tower pln tersebut dan tentu juga kasus di BUMN lain.

Andre menyatakan langkah tersebut supaya Kejagung melakukan bersih-bersih dan pembenahan pemberantasan korupsi di BUMN, seperti, PLN, Garuda, Asabri, Jiwasraya dan sebagainya.

“Kita (Komisi VI) mendukung sepenuhnya langkah-langkah itu. Siapapun yang salah sikat,” kata Andre kepada Law-Justice.

Politisi Gerindra itu menyatakan bila BUMN adalah aset negara sehingga siapapun yang terlibat harus diproses hukum.

Menurutnya, Komisi VI DPR punya kepentingan agar BUMN-BUMN sehat kembali. Sehingga harus ada shock therapy agar ke depan mereka tidak macam-macam lagi.

"Saya rasa Kejagung jangan ragu untuk mengusut kasus ini karena upaya untuk membersihkan BUMN," ucapnya.

Law-Justice mencoba meminta konfirmasi kepada PLN terkait pengadaan proyek tower tersebut.

Namun hingga berita ini diturunkan pihak PLN belum memberikan respon kepada Law-Justice.

Kontribusi Laporan : Rio Rizalino, Ghivary Apriman

 

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar