Karut Marut Rekayasa Keuangan PLN

Akal-akalan Keuangan PLN Buntut Over Suplai

Sabtu, 05/03/2022 10:38 WIB
Audit BPK soal subsidi PLN (Dok.BPK)

Audit BPK soal subsidi PLN (Dok.BPK)

Jakarta, law-justice.co - Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan catatannya, ada potensi kerugian negara dalam pemberian subsidi tarif listrik di kala pandemi. Nilainya mencapai triliunan rupiah.

Dalam catatannya, ada persoalan perencanaan dan kurangnya evaluasi terkait efisiensi biaya pokok penyediaan listrik yang diajukan pemerintah sebagai syarat perhitungan subsidi.

Dalam laporan auditnya, BPK telah memeriksa perhitungan subsidi/KPP tahun 2020 yang mengungkapkan koreksi subsidi negatif senilai Rp1,85 triliun dan koreksi positif senilai Rp3,06 miliar.

Dengan demikian BPK telah membantu menghemat pengeluaran negara sebesar Rp1,85 triliun dengan mengurangi nilai subsidi yang harus dibayar pemerintah.

Jumlah subsidi tahun 2020 yang harus dibayar pemerintah menjadi lebih kecil yaitu dari Rp168,16 triliun menjadi Rp166,31 triliun dari beberapa entitas bisnis milik negara.

PT PLN belum melakukan evaluasi menyeluruh atas efisiensi biaya, serta kurang mengakui dan memperhitungkan non Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik dalam pengajuan subsidi kepada pemerintah. BPK mencatat ada kelebihan pembayaran subsidi listrik sebesar Rp847,89 miliar.

Direksi PT PLN agar lebih cermat menghitung nilai pengajuan subsidi listrik dan meningkatkan monitoring dan evaluasi dalam rangka efisiensi biaya baik BPP maupun non BPP.

Dalam hasil audit semester I 2021, BPK juga menemukan PT PLN belum memutakhirkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 berdasarkan evaluasi periode sebelumnya dan RUPTL tersebut belum ditetapkan oleh Kementerian ESDM sehingga PT PLN masih menggunakan RUPTL 2019-2028.

Selain itu PT PLN belum cermat menghitung demand forecast, sehingga terjadi deviasi signifikan antara asumsi dengan realisasi RUPTL.


Audit BPK soal subsidi PLN (Dok.BPK)

Hal ini menyebabkan Ketidakefisienan biaya pokok penyediaan tenaga listrik.

Dan BPK merekomendasikan Direksi PT PLN agar berkoordinasi dengan Kementerian ESDM untuk mempercepat penyusunan dan pengesahan RUPTL 2021 – 2030 dan lebih cermat dalam menghitung demand forecastdengan mempertimbangkan deviasi asumsi dan realisasi pertumbuhan ekonomi dan penjualan listrik tahun sebelumnya.

Karut Marut Program 35 Ribu MW

Pada 2015, pemerintah meluncurkan program ambisius, yakni pembangkit listrik 35 ribu megawatt. Proyek ini digagas, seiring dengan gencarnya presiden Joko Widodo membangun infrastruktur, pada awal periode pertama ia menjadi presiden RI.

Program 35 ribu Megawatt ini lalu dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Program ini juga masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015 - 2024 yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 0274/ K21/MEM/2015 tanggal 12 Januari 2015.

Pemerintah lalu menugaskan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk merealisasikan program tersebut.

Untuk mewujudkan proyek 35 ribu megawatt, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dengan mangandalkan PLN. Salah satu kendalanya adalah dana.

Total dana untuk merealisasikan program tersebut adalah sekitar Rp1.189 triliun. Menteri ESDM kala itu, Sudirman Said menyatakan, pemerintah tak punya dana sebesar itu.

Karena itulah pemerintah lantas menggandeng sejumlah pihak swasta dan asing untuk mewujudkan program tersebut.

Pengamat energi, Marwan Batubara menyebut, dalam proyek listrik 35 ribu Megawatt, komposisi swasta lebih banyak dibandingkan dengan pemerintah.

"25 ribu Megawatt digarap swasta, selebihnya 10 ribu Megawatt oleh PLN," ujar Marwan kepada Law-Justice.co.


Peluncuran program 35 ribu megawatt yang tidak tercapai/Setkab.go.id

Pada penerapannya, proyek ini justru tidak berjalan sesuai rencana. Awalnya ditargetkan selesai pada 2019, namun hingga Agustus 2021, Kementerian ESDM menyebut, realisasi megaproyek tersebut baru mendekati 30 persen dari target.

Mandeknya megaproyek listrik 35 ribu Megawatt mendapat perhatian dari LSM pemantau korupsi ICW. Pada Januari 2022 lalu, ICW merilis laporannya mengenai sejumlah masalah yang melingkupi Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Salah satu yang diulas ICW dalam laporan tersebut adalah mengenai Proyek 35 ribu Megawatt. Menurut Ketua Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha, potensi korupsi dalam proyek tersebut cukup besar.

Terlebih sudah ada dua kasus dugaan korupsi yang terungkap dalam proyek tersebut, yakni dugaan suap PLTU Riau-1 dan PLTU Cirebon II, yang merupakan bagian dari proyek 35 ribu Megawatt. Keduanya suda ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kasus PLTU Riau-1 menjerat sejumlah pejabat negara, yakni mantan anggota Komisi VI DPR RI, Eni Maulani Saragih, Politisi Partai Golkar, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Sosial, Idrus Marham, serta Direktur Utama PLN saat itu, Sofyan Basir dan seorang pengusaha, Johanes Kotjo.

Dalam kasus itu terungkap, Johanes Kotjo memberikan suap kepada Eni Saragih dan Idrus Marham sebesar Rp4,75 Miliar. Seluruh individu yang terseret telah mendapat vonis hukuman, terkecuali Sofyan Basir yang divonis bebas oleh pengadilan

Sementara kasus dugaan korupsi PLTU Cirebon hingga kini masih bergulir di Komisi Pemberantasan Korupsi, dan belum menemui kejelasan.

Padahal KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yakni GM Hyundai Enginering Construction dan Bupati Cirebon 2014-2019, SUnjaya Purwadisastra.

Herry Jung diduga memberikan suap sebesar Rp6,04 miliar kepada Sunjaya, terkait perizinan pembangunan PLTU Cirebon 2. Hingga Oktober 2021, belum ada vonis untuk dua tersangka tersebut.

Berkaca pada dua kasus dugaan korupsi tersebut, Egi menduga, masih ada kasus dugaan korupsi lainnya dalam proyek 35 ribu Megawatt.

"Di luar kasus korupsinya, tata kelola lainnya yang juga bermasalah, itu sebetulnya ada dalam pelaksanaan 35 ribu Megawatt, termasuk potensi kerugian-kerugian negara," kata Egi.

Tanda Tanya Audit Proyek 35 ribu Megawatt

Adanya sejumlah masalah yang melingkupi megaproyek listrik 35 ribu Megawatt itu semakin buram karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dari PLN.

Ketua Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha mengatakan, Badan Pengawasan Keuangan dan pembangunan (BPKP) pernah melakukan audit terhadap proyek tersebut. ICW berupaya menelusuri permasalahan dalam proyek 35 ribu Megawatt dengan meminta hasil audit tersebut.

Namun, kata Egi, ICW menemukan kesulitan untuk mendapatkan data tersebut. BPKP menolak memberikannya, dengan alasan, hasil audit tersebut telah diberikan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI.

ICW lantas mencoba meminta hasil audit tersebut ke Kemenkoperekonomian, namun juga menemui kegagalan.


Ilustrasi pekerja listrik PLN. (Foto: Setkab).

Dalam laporan ICW mengenai Potret Masalah PLN disebutkan, Kemenkoperekonomian menyatakan tidak menguasai hasil audit dari BPKP tersebut.

Law-justice.co juga berusaha menelusuri hasil audit BPKP tersebut ke Kemenkoperekonomian. Namun yang kami dapati justru bertentangan dengan hasil yang diperoleh ICW.

Salah satu staf Asisten Deputi 4 Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara, Riset, dan Inovasi Kemenkoperekonomian menyatakan, mereka belum menerima hasil audit BPKP mengenai proyek 35 ribu Megawatt.

"Info dari Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas yang menangani, mereka belum menerima hasil audit BPKP," ungkap staf yang diketahui bernama Andre tersebut.

Tidak jelasnya keberadaan audit BPKP terhadap proyek 35 ribu Megawatt tersebut menjadi tanda tanya besar. Adakah yang disembunyikan?

Ketua Divisi Korupsi Politik ICW, mengatakan, sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga pernah mengaudit proyek pembangkit 10 ribu Megawatt, dan hasilnya BPK menemukan sejumlah permasalahan dalam hal kontrak, pengadaan dan lain sebagainya.

Berkaca dari audit BPK tersebut, Egi Primayogha menduga temuan yang sama juga ada dalam hasil audit BPKP terhadap proyek pembangkit 35 ribu Megawatt.

"Saya menduga masalah itu ada, apalagi proyek ini molor dari jadwal semula. Maka itu hasil audit BPKP tersebut penting untuk dibuka ke publik," kata Egi.

Molornya megaproyek 35 ribu Megawatt ini juga menjadi perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Plt. Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, KPK terus memantau perkembangan kasus megaproyek ini.

Namun untuk mengurai masalah yang ada dalam proyek 35 ribu Megawatt ini, KPK fokus pada satu persatu kasus. Menurut Ali Fikri, setelah sebelumnya KPK telah menyelesaikan kasus PLTU Riau-1, kini KPK masih terus mendalami kasus PLTU Cirebon, yang merupakan bagian dari proyek pembangkit 35 ribu Megawatt.

"KPK kini fokus pada kasus dugaan suapnya yang kemarin melibatkan Bupati Cirebon dengan pihak asing. Itu yang kami selesaikan dulu. Selanjutnya akan kami kembangkan, apakah ada lagi kerugian negara atau perbuatan melawan hukumnya," papar Ali Fikri.

Namun dibalik itu semua, menurut ICW, proyek listrik 35 ribu Megawatt yang digagas pemerintah harus dievaluasi secara menyeluruh.

Dalam laporan ICW mengenai Potret masalah PLN disebutkan, saat ini audit terhadap proyel tersebut diperlukan karena sudah terlanjur banyak masalah di dalam pelaksanaanya.

Dengan adanya audit, maka akan terlihat dimana saja dan apa saja masalah yang terdapat dalam proyek tersebut. Dengan begitu, pembenahan bisa segera dilakukan agar proyek 35 ribu Megawatt tersbut bisa berjalan dengan optimal dan sesuai target.

"Audit juga perlu dibuka kepada publik luas, mengingat anggaran publik turun digunakan dalam megaproyek tersebut," tulis ICW dalam laporannya.


BPK menemukan pembangunan pembangkit listrik milik PLN yang berpotensi merugikan negara triiunan rupiah/Sumber : BPK

Oversupply yang Jadi Masalah

Salah satu masalah yang dihadapi PLN saat ini adalah berlebihnya pasokan listrik, atau istilahnya over supply.

Menurut pengamat energi, Marwan Batubara, kelebihan pasokan ini, salah satunya disebabkan pembangunan pembangkit listrik yang dilakukan terus menerus, tanpa memerhatikan jumlah pasokan listrik.

Menurut Marwan, persediaan listrik yang ideal adalah sekitar 15 hingga 20 persen. Namun kini realitasnya, cadangan listrik di Indonesia sudah di atas 40 persen.

"Harusnya dalam beberapa waktu ke depan kita tidak perlu membangun pembangkit baru, karena kita masih punya banyak pembangkit untuk memenuhi kebutuhan hingga tiga tahun ke depan," papar Marwan.

Marwan menambahkan, pembangkit listrik baru banyak yang didirikan oleh perusahaan listrik swasta. Dan pemerintah tidak berupaya menghentikannya.

Menurut dia, jika diteruskan, maka hal ini akan berdampak pada keuangan PLN dan bisa berujung pada kerugian.

Sebab, kontrak yang dilakukan PLN dengan perusahaan listrik swasta tersebut memakai sistem "take or pay"

Dalam skema ini, PLN diharusnya membeli semua pasokan listrik yang dihasilkan pembangkit swasta tersebut, meski jumlahnya melebihi jumlah yang dibutuhkan.

Alhasil, PLN mengeluarkan banyak biaya, sementara pasokan atau cadangan listrik yang dimilikinya berlebih.

"Harusnya PLN membayar dari kapasitas yang ada saja, jangan dipaksa membeli 100 persen," kata Marwan.

Menurut LSM pemantau korupsi, ICW, kondisi PLN semakin terpuruk ketika pandemi Covid 19 menerjang. Dimana ketika pandemi datang, angka penggunaan listrik menurun hingga 9,7 persen.

Menurut laporan mengenai Potret Masalah PLN yang disusun ICW, setiap penurunan konsumsi listrik 1 persen, maka kerugian yang alami PLN adalah sebesat Rp2,8 triliun.

Dan jika penurunan konsumsi listrik sebesar 10 persen, maka kerugian PLN mencapai Rp28 triliun.


Petugas PLN (Okezone.com)

"Jika dengan meneruskan proyek 35 ribu Megawatt, oversupply itu akan terus terjadi, maka PLN akan berpotensi terus merugi," tulis ICW dalam laporan tersebut.

PLN rugi, Siapa yang Untung?

Pengamat energi, Marwan Batubara menyatakan, munculnya pembangkit listrik milik swasta di Indonesia tidak terlepas dari kepentingan oligarki.

Menurut dia, tak sedikit pembangkit listrik swasta tersebut dimiliki oleh pejabat di negara Indonesia.

Ia menyebut diantaranya Adaro yang dimiliki oleh Menteri BUMN, Erick Thohir. Namun memang setelah Erick Tohir menjabat sebagai menteri, kepemilikan Adaro dialihkan ke kakaknya, Boy Thohir.

Marwan juga menyebut Kalla Grup yang merupakan salah satu perusahaan raksasa di wilayah Indonesia Timur, milik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Menurut Marwan, adanya kepemilikan sejumlah perusahaan listrik swasta oleh pejabat, tentu akan semakin melemahkan posisi PLN. Terlebih tidak ada ketegasan pemerintah untuk mengatur hal ini.

"Oligarki ingin bisnis dari jualan listrik, itu artinya listrik swasta, mereka memaksa PLN lewat pemerintah, agar PLN menggunakan pembangkit yang mereka bangun," ungkap Marwan.

Kondisi ini kemudian diperparah dengan sistem "take or pay" yang diterapkan dalam kontrak kerjasama, dimana PLN diharuskan membeli seluruh pasokan listrik yang dihasilkan, tanpa melihat apakah suda sesuai kebutuhan atau tidak.

Marwan mengatakan, kepemilikan pembangkit listrik swasta oleh oligarki tidak akan menjadi masalah, jika sistem "take or pay" tidak diterapkan.

"Kita tidak masalah mereka membangun (pembangkit listrik), tapi jangan pakai skema take or pay dong," tegas Marwan.

Dampak kepada konsumen

Selain menyoroti proyek pembangkit 35 ribu Megawatt, laporan ICW mengenai PLN juga mengutip laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap PLN, pada periode 2014 hingga 2020.

Dalam laporan BPK itu disebutkan, sedikitnya ada 79 masalah yang terkait dengan kelistrikan dan pengelolaan batu bara.

Kuarta III-2018. PLN Rugi Rp 18,5 Trilian Akibat Beban Meningkat (foto: katadata)

Masalah yang berkenaan dengan pembangkit listrik paling banyak ditemukan oleh BPK RI, yakni sebanyak 36 temuan.

Jenis pembangkit yang utamanya ditemukan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batu bara. Sedikitnya terdapat 29 PLTU dengan temuan masalah dalam pemeriksaan BPK RI.

Secara garis besar, temuan BPK tersebut menyatakan ada masalah dalam tata kelola PLN yang berpotensi mengakibatkan kerugian perusahaan.

Salah satu yang dicatat BPK adalah BPK menemukan perencanaan pembiayaan PLTU Amurang dan PLTU Asam-Asam tidak memadai sehingga mengakibatkan peningkatan biaya sebesar USD2,85 Juta dan Rp141,31 miliar.

Dalam hal lelang, BPK ikut menemukan penetapan pemenang lelang PLTU Tenayan Riau, PLTU Pulang Pisau Kalimantan Tengah, dan PLTU Kaltim melanggar ketentuan sehingga merugikan perusahaan sebesar USD27,31 Juta dan Rp326,88 Miliar

Meruginya Perusahaan Listrik Negara (PLN) akibat tata kelola yang belum paripurna, bisa berdampak pada pelayanan konsumen.

Hal ini diyakini oleh Ketua Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha. Ia menganalogikan, kebutuhan masyarakat terhadap listrik sama seperti kebutuhan terhadap pendidikan atau kesehatan. Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dalam analogi tersebut, menurut Egi, jika sebuah pusat pelayanan kesehatan merugi, maka pelayanan yang diberikan kepada masyarakat akan menurun.

Hal itu bisa juga terjadi pada PLN, dimana pelayanannya menurun akibat beban keuangan yang dipikulnya.

"Kalau misalnya PLN tata kelolanya buruk, dalam penyediaan listrik tidak baik, aktifitas kita sehari-hari akan terganggu," jelas Egi.

Ia menambahkan, hal tersebut menjadi sangat mungkin, karena saat ini listrik suda menjadi salah satu kebutuhan masyarakat yang vital.

Menurunnya pelayanan PLN pernah terjadi. hal itu diakui oleh anggota Ombudsman RI, Hery Susanto yang menjabat pada periode 2021-2026.

Menurut dia, Ombudsman periode sebelumnya, yakni periode 2016-2021, menerima banyak keluhan masyarakat terkait pelayanan PLN.

Ia mengungkapkan, pelayanan yang dikeluhkan meliputi pemadaman listrik tanpa pemberitahuan, pemasangan sambungan baru dan pungutan liar.

Namun kini, menurut Hery, Ombudsman berupaya mengurangi hal tersebut dengan mendorong PLN untuk mengubah pola komunikasinya dengan masyarakat.

Ia mengatakan, salah satu penyebab munculnya sejumlah keluhan terhadap kinerja PLN, adalah tersumbatnya saluran informasi kepada masyarakat.

"Dulu PLN kalau sosialisasi lewat WhatsApp atau Medsos. Sekarang kami minta untuk turun langsung dan bertemu dengan masyarakat," ujar Hery.

Ia menambahkan, setelah ada perbaikan pola komunikasi tersebut, keluhan masyarakat di sektor kelistrikan terus menurun.

Siapa Sedot Keuntungan PLN

Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat ini sedang berada dalam sorotan karena tengah mengalami kelebihan pasok atau over supply. Hal itu terjadi lantaran sejumlah pembangkit listrik baru mulai dioperasikan.

Selain itu, hal tersebut terjadi lantaran adanya ketidakseimbangan antara suplai dan demand. Satu sisi, supply listrik PLN tercatat tinggi, sementara konsumsi masyarakat tercatat rendah.


Pembangkit listrik Jawa 8 (Dok.PLN)

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mencontohkan misalkan pada akhir tahun 2021 ada penambahan 6 Gigawatt (GW) di Pulau Jawa. Hanya saja, konsumsi masyarakat hanya mencapai 800 Megawatt (MW).

Kelebihan pasokan listrik terus terjadi kedepannya, selain itu rencana pembangunan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) pun menjadi faktor lainnya.

"PLN saat ini mengalami over supply yang sangat luar biasa. Di Jawa saja, di akhir tahun ini (2021) ada penambahan sekitar 6 Gigawatt, tambahan demand sekitar 800 Megawatt, sekitar 5 Gigawatt," ujar Darmawan melalui keterangan yang diterima Law-justice.

Darmawan mengatakan saat ini manajemen PLN tengah melakukan renegosiasi kontrak listrik dengan produsen listrik pihak ketiga, Independent Power Producer (IPP) untuk mengatasi kelebihan pasokan yang terjadi saat ini.

Dari kelebihan pasokan ini, disebutkan PLN memiliki beban hingga Rp 3,5 triliun per 1 gigawatt (GW) per tahun.

Dengan adanya negosiasi ulang ini diharapkan PLN akan dapat mengurangi biaya hingga Rp 60 triliun.

"Kemudian ada inisiatif untuk renegosiasi terhadap pihak ketiga, IPP. Kami mengakui 1 GW PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) dalam kontrak kami ada take or pay sekitar Rp 3,5 triliun per tahun," katanya.

Sementara itu, Direktur Perencanaan Korporat PT PLN (Persero) Evy Haryadi mengatakan dalam mengatasi oversupply dibutuhkan dukungan pemerintah untuk menumbuhkan beban listrik seperti penggunaan kendaraan listrik.

Menurutnya, dengan meningkatnya penggunaan kendaraan listrik, maka kondisi oversupply bisa diatasi tanpa mengakibatkan kenaikan emisi.

Diketahui bahwa pemakaian 1 kWh dari kendaraan listrik diperkirakan hanya mengakibatkan sekitar 850 kilogram emisi. Sedangkan transportasi dari kendaraan yang ada saat ini bisa dua kali lipatnya.

"Sehingga meskipun kendaraan listrik ini nantinya tumbuh, secara total emisinya lebih baik," kata Evy kepada Law-Justice.

Evy menambahkan dalam RUPTL 2021 – 2030, PLN mendukung peran serta swasta dalam mengembangkan infrastruktur ketenagalistrikan dimana 64,8% porsi pembangkit direncanakan dikembangkan swasta.

Kemudian 56,3% pembangkit EBT yang direncanakan akan dikembangkan swasta. Untuk PLTS, 63,7% akan dikembangkan swasta. Khusus untuk PLTS on-grid, 54,4% dikembangkan swasta.

"Ini terlihat pembangkit dan peran swasta mengambil peran yang cukup besar. Tentunya di sisi pembangkit ini sudah dibuat dengan mempertimbangkan kemampuan. Dari sisi PLN melakukan pembangunan khususnya yang lebih banyak di sektor transmisi dan distribusi," jelasnya.

Pemerintah Renegosiasi Harga Listrik

Menanggapi oversupply PLN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, upaya renegosiasi telah dilakukan PLN selama dua tahun berturut-turut.

Renegosiasi dilakukan untuk pembangkit yang memiliki jadwal Commercial Operation Date (COD) di tahun 2020 dan tahun 2021.

Rida mendorong PLN melakukan renegosiasi jadwal operasi pembangkit untuk mengatasi kondisi kelebihan pasokan listrik atau oversupply.

"Ada beberapa pembangkit termasuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang seharusnya di 2020, kemudian digeser ke tahun kemarin Itu kurang lebih 7 GW," kata Rida kepada Law-Justice.

Rida melanjutkan, renegosiasi yang telah dilakukan tersebut cukup membantu PLN dalam mengatasi kondisi over supply listrik yang terjadi sepanjang tahun 2020 hingga 2021 akibat pandemi covid-19.


Gedung Kementerian ESDM (Dok.ESDM)

Kemudian, renegosiasi juga telah dilakukan untuk pembangkit yang memiliki jadwal COD di tahun 2021 untuk kemudian digeser ke tahun 2022. Tercatat, renegosiasi jadwal kontrak telah dilakukan untuk total kapasitas 5,75 GW pembangkit.

Rida melanjutkan, selain upaya renegosiasi jadwal operasi pembangkit, PLN juga didorong untuk bisa menegosiasikan kembali besaran take or pay (TOP) dari pembangkit-pembangkit eksisting.

"Ada upaya negosiasi juga perlu dilakukan oleh teman-teman PLN atau perlu kita dorong untuk dilakukan yaitu negosiasi ketentuan take or pay," ungkapnya.

Kendati demikian, Rida memastikan dalam pelaksanaan ini pihaknya menghimbau agar PLN tetap dapat melaksanakan negosiasi dengan menghargai kontrak yang sudah ada.

Rida menjelaskan, upaya negosiasi ini diharapkan bisa mengurangi beban yang harus ditanggung PLN dari skema TOP.

Sekedar informasi, dalam skema TOP, PLN diwajibkan untuk mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda jika kemudian tidak mengambil sesuai dengan volume yang disepakati.

Dalam kondisi oversupply yang timbul akibat berkurangnya aktivitas selama pandemi covid-19, skema ini cukup memberatkan PLN.

"Yang TOP ini yang eksisting bisa dibicarakan segera untuk beban TOP-nya itu berkuranglah minimum, kalau bisa ya dihilangkan tetapi sepertinya tidak mungkin. Tapi paling tidak ini dilakukan," imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menuturkan untuk problematika oversupply PLN perlu menjadi perhatian bagi pemerintah.

Over Supply listrik terjadi dikarenakan banyaknya pembangkit listrik baru di sejumlah daerah baik dari swasta maupun pihak PLN hal ini membuat kondisi pasokan listrik saat ini berlebih.

"Saat ini kondisi listrik di PLN mengalami over supply terutama di pulau Jawa dan ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah," tuturnya.

Politisi PAN itu memaparkan kondisi tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi PLN untuk mencari permintaan baru supaya dapat menyerap hasil produksi listrik.

Terjadinya oversupply ini juga tentu tidak hanya menjadi catatan untuk PLN tapi juga untuk Pertamina sebagai pemberi bahan bakar listrik untuk sumber pembangkit listrik.

Eddy menyebut salah satu yang bisa dilakukan PLN dalam hal ini adalah dengan mendatangkan investor untuk dunia industri untuk menyerap listrik.

"Langkah mendatangkan investor ini memang akan menyerap listrik dengan membangun kapasitas produksi di kawasan industri," paparnya.

Meski begitu untuk mendatangkan investor supaya dapat melakukan penyerapan listrik tentu membutuhkan waktu.

Menurutnya, ada langkah-langkah yang dilakukan seperti tahap negosiasi, proses perizinan, perencanaan, eksekusi pembangunan konstruksi hingga operasional.

"Kita berharap dengan adanya percepatan pemulihan ekonomi, penyerapan listrik di Pulau Jawa bisa semakin cepat, sehingga overcapacity bisa tereduksi secara signifikan," pungkasnya.

Transparansi Rencana Bisnis PLN
Anggota Komisi VII DPR RI lainnya yakni Mulyanto mengatakan bila permasalahan oversupply menjadi pekerjaan rumah bagi PLN.

Mulyanto menyebut selain permasalahan oversupply ada beberapa hal lain yang menjadi pekerjaan rumah bagi PLN.

"Selain permasalahan oversupply, sedikitnya ada PR penting yang perlu diperhatikan PLN. Yakni soal implementasi transisi energi bersih yang berkeadilan.dan tentu soal tarif listrik juga perlu menjadi perhatian," kata Mulyanto kepada Law-Justice.

Sekarang ini, kata Mulyanto, jumlah RT yang belum berlistrik sebanyak 483.012 rumah tangga (RT). dam Pemerintah harus sungguh-sungguh mewujudkan keadilan listrik ini.


Kantor PT PLN (persero) di Jalan Trunojoyo, Jakarta. Kantor PT PLN (persero) di Jalan Trunojoyo, Jakarta. 

"Sudah lebih dari tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, tetapi tetap masih ada desa dan keluarga yang gelap dari listrik," terangnya.

Mulyanto menuturkan ironis bila terjadinya oversupply masih ada sebaran listrik yang mengalami ketimpangan di daerah.

Sudah beberapa kali janji 100 persen tingkat elektrifikasi tidak ditepati oleh pemerintah.

"Karenanya, saya minta PLN fokus mengejar target ini di tahun 2022," tuturnya.

Wakil Ketua Fraksi PKS ini juga meminta terjadinya oversupply ini jangan sampai dipolitisasi untuk kepentingan tertentu.

Ia juga meminta keterbukaan dalam renegosiasi PLN terutama dalam program listrik 35.000 MW yang beberapa kali digaungkan pemerintah.

"Diharapkan segera disampaikan ke publik," desaknya.

Ia juga menyebutkan pasokan listrik mengalami kelebihan sebesar 30 persen hal tersebut jauh dari batas maksimal cadangan listrik.

Menurutnya, perlu ada keterbukaan dari PLN soal program listrik tersebut karena bila program 35.000 MW berjalan sesuai jadwal dikhawatirkan terjadi pembengkakan listrik yang lebih besar.

"Tentu ini sangat kita tidak inginkan maka ini perlu menjadi perhatian," ungkapnya.

Kartel Listrik Pesta Pora
Sementara itu, menanggapi Pernyataan Dirut PLN terkait over supply listrik sebesar 5 GW, Mantan Ketua Umum Serikat pekerja PLN Ahmad Daryoko menilai, Dirut PLN tidak perlu pusing dengan over supply listrik.

Daryoko mengatakan karena saat ini fungsi PLN cuma sebagai EO (event organizer) kelistrikan negara.

“Kalau mau jujur, sebenarnya Dirut PLN tidak perlu pusing karena fungsi PLN saat ini cuma sebagai EO (event organizer) kelistrikan negara. Berapa pun kerugian operasional kelistrikan akan ditanggung oleh negara,” kata Ahmad kepada Law-Justice.

Ahmad Daryoko menuturkan secara riil peralatan yang dipakai PLN guna mengadakan hajat kelistrikan tiap hari itu pembangkit-pembangkitnya milik Shenhua, Huadian, Chengda, Marubeni, GE, Siemens, dan lain-lain.

“PLN hanya transmisi dan distribusi itu pun sudah di sewa oleh kartel listrik swasta itu mulai Mei 2020,” ujarnya.


Hasil audit subsidi PLN (Dok.BPK)

Daryoko mengatakan, kalau pemerintah mensubsidi PLN ratusan triliun bahkan ada utang sampai Rp 450 triliun, itu semua PLN tinggal mencatat dan bikin laporan keuangan (LK) saja.

“Yang penting Dirut PLN harus siap ikuti maunya pemerintah,” ungkapnya.

Bagi Daryoko, untuk kelistrikan ini diindikasikan hoaks parah, makanya ditengarai Zulkifli Zaini (mantan Dirut) tidak kuat disuruh berbuat bohong dan akhirnya mengundurkan diri.

“Sehingga syarat utama menjadi Dirut PLN itu harus ‘tabah’ untuk berbohong. Dan yang paling cocok sebenarnya oknum-oknum seperti DI itu,” tambahnya.

Ia menilai, kelistrikan ini sebenarnya bersifat infrastruktur (public good) yang dibutuhkan oleh seluruh rakyat baik yang kaya maupun kurang mampu.

“Kalau saat ini berubah menjadi komoditas komersial (commercial good) itu akibat keserakahan para pejabat/mantan yang bervisi peng-peng (penguasa-pengusaha) seperti Dahlan Iskan, JK, Luhut BP, Erick Thohir,” ujarnya.

Ahmad Daryoko Pun meminta Menteri BUMN Erick Thohir untuk tidak buang badan terkait permasalahan PLN ini.

ia juga menyoroti pernyataan dari Erick Thohir yang menyampaikan titahnya agar PLN tidak bikin proyek aneh-aneh lagi yang membuang duit.

"Dengan statement diatas terkesan Erick Thohir “buang badan” terhadap kesalahan managerial PLN. Dan seolah dia paling bersih tanpa kesalahan," tegasnya.

Bagi rakyat, kesalahan langkah pengelolaan Negara itu berdampak pada tingkat kesejahteraan, dalam hal PLN pastilah kenaikan tarif. Dan kesalahan langkah itu rata2 karena kerakusan pejabat. Makin tinggi jabatan dampaknya makin luas.

"Terus sekarang dengan “enteng” nya Erick bilang PLN jangan bikin proyek gak perlu ? Lha kok enak ? Terus PLTU Batang 2.000 MW itu milik siapa kalau bukan milik keluarga nya?" pungkasnya.

Kontribusi Laporan : Rio Rizalino, Ghivary Apriman, Yudi Rachman

 

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar