Ini Sejumlah Masalah dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Rabu, 03/08/2022 08:02 WIB
Presiden Jokowi dan Proyek Kereta Cepat. (Pinterpolitik).

Presiden Jokowi dan Proyek Kereta Cepat. (Pinterpolitik).

Jakarta, law-justice.co - Pasca China meminta Indonesia menanggung pembengkakan biaya dengan APBN, Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali menjadi topik perbincangan banyak kalangan.

Terkait hal itu, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian, Wahyu Utomo menyatakan bahwa ada masalah terkait cost overrun atau pembengkakan biaya dalam proyek tersebut.

"Tentang cost overrun ini setahu saya masih dibahas karena ada permintaan agar cost overrun ini juga di-cover oleh Pemerintah Indonesia," ujar Wahyu Utomo dalam diskusi, Selasa (16/7).

Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Alia Karenina juga mengonfirmasi proyeksi pembengkakan biaya proyek KCJB tersebut.

"Review Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperkirakan cost over run sebesar US$1,176 miliar atau setara dengan Rp16,8 triliun," ujarnya secara terpisah pada Sabtu (30/7).

Namun, Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menegaskan tidak ada jaminan pemerintah Indonesia akan menyetujui permintaan untuk menanggung pembengkakan biaya tersebut.

"Masih akan dilakukan pembahasan untuk memastikan jika memang pemerintah turut menanggung beban cost over run, maka sesuai dengan ketentuan berlaku," katanya Senin (1/8) lalu.

Seperti melansir cnnindonesia.com, jika ditelisik ke belakang, masalah dalam proyek KCJB ini tak hanya soal pembengkakan biaya.

Berikut sederet masalah dalam proyek kereta cepat yang dirancang sejak periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu:

1. Rebutan China dan Jepang

Pembangunan KCJB saat ini dipegang oleh China setelah menang melawan Jepang.

Kedua negara ini sebelumnya bersaing untuk menjadi operator pembangunan kereta tersebut.

Pada saat itu, kedua negara mengajukan proposal pembangunan kepada Indonesia di mana anggaran yang ditetapkan Jepang memang lebih besar dari China.

Proposal Konsorsium China dan Indonesia memuat nilai penawaran sebesar US$5,13 miliar.

Tidak ada jaminan pemerintah, pembiayaan dari APBN dan subsidi tarif, dan pembengkakan biaya menjadi tanggung jawab joint venture company (JVC).

Sementara, Proposal Jepang berisi nilai penawaran sebesar US$6,2 miliar.

Ada jaminan pemerintah, pembiayaan dari APBN dan subsidi tarif, serta pembengkakan biaya ditanggung pemerintah.

Dengan biaya yang lebih murah dan tak ada pembiayaan APBN, maka China memenangkan proyek pembangunan KCJB.

2. Jokowi Ingkar Janji Pakai APBN

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan bolak-balik menekankan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung tak sepeser pun menggunakan APBN atau uang rakyat.

Sebab, pembangunannya akan menggunakan dana konsorsium antara CDB dan BUMN.

"Kereta cepat tidak menggunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business," kata Jokowi pada September 2015 lalu.

Ternyata, pada 2022 pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp4,1 triliun melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) untuk pembangunan KCJB.

Dengan kebijakan ini, maka Presiden Jokowi mengingkari janjinya dan pada akhirnya menggunakan uang rakyat untuk membangun proyek ini.

3. Operasi Mundur

Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang berlangsung sejak 2016 ini, awalnya ditargetkan bisa selesai dan dioperasikan pada 2019.

Namun, rencana ini mundur dan diperkirakan baru rampung pada 2023 nanti.

Mundurnya operasi kereta cepat ini disebabkan pemerintah pada 2020 menghentikan seluruh pembangunan proyek dan fokus pada penanganan covid-19.

Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung baru kembali dilaksanakan pada pertengahan 2021 setelah kasus pandemi mulai mereda di tanah air.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar