Pemerintah Harus Waspada Terhadap Inflasi AS

Minggu, 17/07/2022 21:35 WIB
Ilustrasi Gambar Inflasi (Istimewa)

Ilustrasi Gambar Inflasi (Istimewa)

[INTRO]
 

Kalangan anggota DPR RI meminta pada pemerintah mewaspadai dampak inflasi yang terjadi di Amerika Serikat.

Pasalnya, inflasi yang terjadi di AS bisa berdampak ke negara-negara lainnya terutama negara dengan kategori ekonomi berkembang.

Diketahui, negeri tempat lahirnya sistem ekonomi Kapitalisme tersebut tengah diguncang kenaikan inflasi yang tembus hingga angka 9,1%. Inflasi yang terjadi di AS bahkan disebut-sebut terparah dalam 41 tahun terakhir.

"Kita perlu mewaspadai dampaknya yang pertama adalah inflasi terhadap barang-barang tertentu, kemudian nilai rupiah dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Pemerintah harus kerja ekstra menjaga rantai pasokan (supply chain) logistik," saran Anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Najib Qodratullah dalam perbincangan santai dengan wartawan, Minggu (17/07/2022).

Adapun terkait pro kontra menentukan status suku bunga acuan yang seharusnya dilakukan otoritas fiskal dalam hal ini Bank Indonesia (BI) sebagai langkah antisipasi hadapi gejolak inflasi.

 
Najib mengatakan, ketika opsi suku bunga acuan dinaikkan atau diturunkan semua harus dipertimbangkan secara kalkulatif.

Hanya saja, Najib mengatakan, jika harus memilih opsi yang paling relevan maka, opsi mempertahankan suku bunga acuan yang sudah ada menjadi pilihan paling rasional dan realistis.

"Semua memiliki resikonya masing-masing, yang terbaik adalah mempertahankan kondisi sekarang tidak menaikan suku bunga adalah pilihan bijak mengingat pemulihan ekonomi masih berlangsung," tegasnya.

Najib kembali menyarankan, pemerintah mesti menyiapkan formulasi kebijakan yang taktis dan terukur terkait ruang fiskal.

Bahkan, Najib mendorong agar ruang fiskal di design lebih fleksibel dengan memberikan porsi yang lebih besar untuk kegiatan ekonomi masyarakat.

Menurutnya, selain fleksibel kebijakan fiskal tentu saja harus di design mengurangi belanja negara yang tidak bersinggungan dengan kegiatan ekonomi masyarakat semisal belanja pegawai.

"Kebijakan fiskal kita memang perlu lebih ketat lagi, utamakan pada kebijakan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, daya beli dan lainnya," jelasnya.

Adapun terkait perlu tidaknya pemerintah menerapkan kebijakan proteksionis terhadap komoditas pangan, Najib menganggap kebijakan tersebut mesti masuk ke dalam meja pertimbangan.

"Sementara ini kita belum memiliki kebijakan itu (proteksionisme), mengingat ekspor kita pun didominasi oleh sumber-sumber tambang bukan berupa pangan," ungkapnya.

Najib juga menyesalkan dengan sikap pemerintah di saat barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan justru pemerintah hanya bisa menyatakan bahwa kenaikan terjadi imbas pengaruh situasi global.

"Masyarakat mengeluhkan kenaikan barang kebutuhan primer. Pemerintah berdalih karena situasi global. Lalu apakah kita hanya berdiam diri membiarkan masyarakat kita kesulitan," sindirnya.

Terakhir, Najib berpesan, untuk menghadapi kondisi ekonomi global maupun domestik yang tidak mudah seperti saat ini diperlukan skema kebijakan yang lebih pro terhadap kepentingan publik.

"Perlu kebijakan yang lebih konkrit. seperti salah satu yang saya apresiasi mempertahankan kebijakan subsidi bbm misalnya. Dan prioritas anggaran perlu lebih spesifik," pungkasnya.

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar