Bukti Kejahatan Militer Myanmar: Warga Dibantai & Dibakar Hidup-hidup

Kamis, 17/02/2022 09:14 WIB
Seorang pria mengacungkan salam tiga jari, simbol perlawanan sipil terhadap kudeta dan junta militer Myanmar, ketika melewati ban terbakar sewaktu unjuk rasa menentang kudeta di Mandalay, Myanmar,  (Reuters)

Seorang pria mengacungkan salam tiga jari, simbol perlawanan sipil terhadap kudeta dan junta militer Myanmar, ketika melewati ban terbakar sewaktu unjuk rasa menentang kudeta di Mandalay, Myanmar, (Reuters)

Jakarta, law-justice.co - Dalam serangkaian kekejaman di Negara Bagian Karenni Timur yang mungkin merupakan kejahatan perang, Militer Myanmar telah membunuh warga sipil, dan menggunakan mereka sebagai tameng manusia.

Fakta ini diungkap kelompok hak asasi manusia terkemuka Fortify Rights dalam sebuah laporan baru yang diterbitkan Selasa (16/2/2022).

Seperti melansir indozone, kelompok itu mempunyai bukti kuat melalui sebuah dokumentasi serangan terhadap gereja, rumah tempat tinggal, kamp untuk orang-orang terlantar dan target non-militer lainnya yang terjadi di negara bagian itu, yang juga dikenal sebagai Negara Bagian Kayah, antara Mei 2021 dan Januari 2022.

Menurut laporan mereka setidaknya 61 warga sipil tewas selama waktu itu.

Laporan itu muncul saat para menteri luar negeri dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bersiap untuk bertemu di Kamboja setelah beberapa kesepakatan tanpa ada kemajuan melalui lima poin konsensus dengan militer Myanmar April lalu yang seharusnya mengakhiri kekerasan.

Fortify Rights mengatakan sudah saatnya ASEAN memberikan dukungannya terhadap embargo senjata global terhadap Myanmar.

“Junta Myanmar membunuh orang-orang dengan senjata yang diperoleh di pasar global, dan itu harus dihentikan,” kata Ismail Wolff, Direktur Regional di Fortify Rights dalam sebuah pernyataan.

“Tindakan yang jelas dan definitif diperlukan untuk memaksa junta Myanmar memikirkan kembali serangannya terhadap warga sipil. Dewan Keamanan PBB harus segera memberlakukan embargo senjata global terhadap militer Myanmar, dan akan menjadi strategis dan masuk akal bagi ASEAN untuk mendukungnya.”

Laporan Fortify Rights didasarkan pada kesaksian dari 31 saksi mata dan penyintas, serta bukti foto dan video yang telah diverifikasi.

Ini termasuk rincian baru tentang pembunuhan Malam Natal di Kotapraja Hpruso, di mana setidaknya 40 warga sipil, termasuk seorang anak dan dua staf Save the Children yang tewas.

Seorang dokter yang mengerjakan otopsi orang-orang yang terbunuh mengatakan kepada kelompok itu bahwa beberapa mayat terbakar sangat parah sehingga tidak mungkin untuk diautopsi.

Tetapi timnya dapat memastikan bahwa lima mayat adalah perempuan dan satu perempuan berusia di bawah umur yakni masih 15 tahun.

“Beberapa mulutnya disumpal dengan kain, jadi kami yakin orang-orang ini disumpal,” kata dokter itu kepada Fortify Rights.

”Hampir setiap tengkorak retak dan retak parah . . . (Dalam beberapa mayat), kami dapat mengumpulkan cukup bukti untuk mengatakan bahwa mereka dibakar hidup-hidup sampai mati.”

Dalam kasus lain, Fortify Rights mengatakan tentara Myanmar menggunakan seorang pria berusia 18 tahun, pamannya, dan dua pria lainnya sebagai perisai manusia selama bentrokan dengan pejuang dari Pasukan Pertahanan Rakyat Karenni (PDF) di Kotapraja Moe Bye di perbatasan dengan negara bagian Shan.

“Para prajurit meletakkan senjata mereka di pundak kami dan menembak PDF, tetap di belakang kami,” kata pria itu kepada Fortify Rights.

“Kami terus diikat dan ditutup matanya. Kami banyak disiksa, dalam banyak hal. Mereka menendang tubuh kami, memukul kepala kami dengan gagang senjata, dan banyak lagi.”

Fortify Rights mengatakan tiga dari pria itu akhirnya melarikan diri, tetapi tidak dapat mengkonfirmasi apa yang terjadi pada korban yang keempat.

Tindakan kriminal

Para jenderal telah menggunakan kekerasan dalam upaya untuk melenyapkan oposisi publik terhadap kekuasaannya, membungkam protes dan meningkatkan serangan terhadap milisi sipil anti-kudeta dan di daerah etnis minoritas di mana mereka telah terlibat dalam konflik selama beberapa dekade dengan banyak kelompok bersenjata.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), yang telah memantau situasi di Myanmar, mengatakan setidaknya 1.549 orang telah tewas di seluruh negeri pada 14 Februari, dan lebih dari 12.000 ditangkap.

"Pemimpin kudeta Jenderal Min Aung Hlaing dan pasukannya mengklaim memerangi `teroris`," kata Fortify Rights dalam laporannya.

“Sebaliknya, pasukannya melakukan ini dan kejahatan kekejaman massal lainnya terhadap penduduk sipil dengan impunitas penuh.”

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar