Diduga Jual Senjata ke Junta Militer Myanmar, 3 BUMN RI Diperkarakan

Kamis, 05/10/2023 07:17 WIB
Ilustrasi: Suasana jalanan di Myanmar. (Wenews)

Ilustrasi: Suasana jalanan di Myanmar. (Wenews)

Jakarta, law-justice.co - Tiga Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia dituding masih menjual persenjataan ke pemerintah Myanmar yang tengah dikecam atas tuduhan menindas warga sipil pascakudeta pada Februari 2022.

Meski begitu, induk usaha BUMN yang menaungi ketiga perusahaan tersebut mengaku "tidak ada kerja sama" dengan Myanmar.

Tiga perusahaan pelat merah Indonesia yang bergerak di industri pertahanan itu mencakup PT PINDAD, PT PAL, dan PT. Dirgantara Indonesia (Persero), dilaporkan ke Komnas HAM, Senin (02/10), dengan dugaan melanggar regulasi Indonesia serta perjanjian internasional.

Seperti melansir bbcindonesia.com, pihak yang melaporkan tiga produsen alutsista itu adalah organisasi HAM non-pemerintah yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Myanmar Accountability Project; Wakil Direktur Eksekutif Chin Human Rights Organization, Za Uk; dan mantan Jaksa Agung Indonesia sekaligus eks pelapor khusus hak asasi manusia untuk PBB, Marzuki Darusman.

Mereka mendasarkan laporan mereka, antara lain, pada temuan Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews, yang menyebut tiga BUMN tersebut memiliki hubungan dagang persenjataan dengan Myanmar sebelum kudeta tahun 2022.

Mereka menduga, jual-beli itu terus berlanjut ketika pemerintah junta militer Myanmar kembali berkuasa.

Perusahaan holding BUMN Defend ID, menyatakan tidak pernah menjual senjata atau alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpahankam) ke junta militer Myanmar.

Defend ID merupakan induk perusahaan, menaungi PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia yang dilaporkan ke Komnas HAM karena disebut menjual menjual senjata ke Myanmar.

"Dapat kami sampaikan bahwa tidak ada kerja sama maupun penjualan produk alpahankam dari perusahaan tersebut ke Myanmar," kata Direktur Utama PT Len Industri (Persero) Holding Defend ID, Bobby Rasyidin, dalam keterangan pers, Rabu (04/10).

Bobby melanjutkan, Defend ID tidak pernah memasok atau mengekspor senjata ke Myanmar sejak 1 Februari 2021. Hal itu sejalan dengan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) nomor 75/287 yang melarang suplai senjata ke Myanmar.

Bobby mengatakan, Defend ID mendukung penuh resolusi PBB dalam upaya menghentikan kekerasan di Myanmar yang saat ini dikuasai rezim junta militer.

"Defend ID selalu patuh dan berpegang teguh pada regulasi yang berlaku termasuk kebijakan politik luar negeri Indonesia," ujar Bobby.

Sebelumnya, Presiden Direktur PT. PINDAD, Abraham Mose, membantah perusahaannya masih menjual persenjataan ke Myanmar. Dia berkata pihaknya hanya satu kali menjual amunisi ke negara itu pada 2016, yang dia klaim untuk keperluan kompetisi.

Abraham berkata, tahun 2023 Myanmar pernah menjajaki pembelian lain kepada PT. PINDAD, tapi jual-beli akhirnya tidak terjadi.

"Mereka membatalkan permintaan," ujarnya.

Adapun PT. PAL membantah memiliki kerja sama maupun kontrak jual-beli dengan pemerintah junta militer maupun entitas bisnis di Myanmar.

"Kami senantiasa mendorong kerja sama bisnis yang sehat, berpegang teguh pada tata kelola perusahaan (GCG)," kata Corporate Secretary PT. PAL, Edi Rianto.

Dia menuturkan, PT. PAL selalu mempertimbangkan kajian risiko bisnis dalam merencanakan dan menjalankan kerja sama strategis. Prinsip utamanya, kata dia, adalah "dengan tidak mencampuri urusan masing-masing negara".

PT. Dirgantara Indonesia (Persero) belum menjawab konfirmasi BBC News Indonesia sampai artikel ini diterbitkan.

Apa tuduhan kepada tiga BUMN?

Tiga perusahaan pelat merah Indonesia yang dilaporkan ke Komnas HAM, menurut para pelapor, memiliki perjanjian jual-beli persenjataan dengan Myanmar setidaknya sejak tahun 2014.

Sebelum kudeta militer pada Februari 2022, ketiganya disebut telah menjual persenjataan tempur seperti senjata laras panjang, amunisi tembak, dan sejumlah kendaraan perang kepada pemerintah Myanmar.

Hubungan dagang antara tiga BUMN dan pemerintah Myanmar, tuding para pelapor, dimediasi oleh perusahaan bernama True North Company Limited.

Korporasi ini dimiliki oleh Htoo Htoo Shein Oo, yang merupakan putra dari Menteri Keuangan dan Perencanaan Myanmar pada rezim junta militer saat ini, Win Shein.

Shein belakangan mendapat sanksi internasional dari pemerintah Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa, atas keterlibatannya dalam kudeta dan dugaan represi terhadap kelompok anti-junta militer.

Sebelum laporan ini diserahkan kepada Komnas HAM, PT PINDAD dan PT PAL menyatakan mengekspor alutsista mereka ke Myanmar.

Pada Juli 2023 misalnya, saat kunjungan Presiden Joko Widodo ke kantor mereka, PT PINDAD menyatakan telah mengekspor persenjataan ke Myanmar, antara lain amunisi.

Adapun PT PAL dalam berbagai pemberitaan disebut turut berkontribusi pada pembangunan kapal tempur Maottama milik Angkatan Laut Myanmar.

Sementara itu, menurut para pelapor, delegasi militer Myanmar pernah berkunjung ke markas PT. Dirgantara Indonesia (Persero) di Bandung, Jawa Barat.

Dalam laporan kepada Komnas HAM, delegasi militer Myanmar juga disebut pernah berkunjung ke pameran produsen pesawat itu di Singapore Airshow tahun 2020.

Namun di luar sejumlah hubungan dagang yang telah dinyatakan kepada publik ini, para pelapor tidak merinci apakah tiga BUMN Indonesia tersebut masih mengekspor persenjataan ke Myanmar usai kudeta pada Februari 2022.

Mereka mendesak Komnas HAM untuk menginvestigasi penggunaan senjata buatan tiga BUMN itu dalam dugaan sejumlah pelanggaran HAM di Myanmar.

"Komnas HAM harus membuat Tim Pencari Fakta Independen, termasuk melibatkan pakar di bidang HAM, bisnis, serta ahli perdagangan," begitu permintaan para pelapor.

Menurut mereka, Komnas HAM berwenang menelusuri dugaan keterlibatan entitas bisnis asal Indonesia dalam kasus kemanusiaan di Myanmar.

Apa dasar hukum tuduhan itu?

Para pelapor mendasarkan tuduhan mereka pada Konvensi Jenewa tahun 1949 yang pada bagian turunannya, merujuk pernyataan Komite Palang Merah Internasional, meminta negara-negara memutus hubungan perdagangan alutsista kepada sebuah negara yang diduga kuat akan memanfaatkan persenjataan itu untuk melanggar hukum humaniter.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa melalui UU Nomor 59 Tahun 1958 dan oleh karenanya terikat pada perjanjian internasional tersebut.

Lebih dari itu, para pelapor menyebut penjualan persenjataan ke Myanmar juga tidak sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Atas dasar ini, para pelapor meminta Komnas HAM mendesak pemerintah untuk menghentikan hubungan dagang persenjataan dengan junta militer Myanmar secara permanen, sampai konflik di negara tersebut berhenti dan pemerintahan yang berbasis demokrasi berdiri di Myanmar.

Apa kata pakar militer terkait laporan ini?

Produsen persenjataan pelat merah Indonesia belum memiliki pangsa pasar yang kuat, menurut ahli pertahanan dari Universitas Padjajaran, Muradi.

Dalam situasi itu, Muradi menyebut tiga BUMN tersebut lebih mengedepankan pertimbangan bisnis ketimbang hal-hal lain, termasuk penggunaan senjata mereka usai proses jual-beli selesai.

"Mau tidak mau BUMN butuh pasar. Sekitar 80% industri pertahanan Indonesia selama ini diserap di dalam negeri. Dilema ini mesti dijelaskan," ujar Muradi.

Di sisi lain, kata Muradi, UU Nomor 16 Tahun 2012 dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tidak melarang penjualan senjata kepada negara yang tengah memiliki konflik bersenjata.

Dan dalam hubungan jual-beli persenjataan, Indonesia tidak bisa mendikte batasan penggunaan alutsista tersebut.

"Indonesia sempat menjual tiga juta peluru ke Arab Saudi, tapi pemerintah tidak bisa melarang agar senjata itu tidak digunakan untuk memerangi Yaman. Indonesia menjual tank N-231 ke Pakistan, tapi pemerintah tidak bisa bilang `jangan pakai untuk ini-itu`," kata Muradi.

Muradi menilai, hal serupa juga terjadi di berbagai negara di dunia yang menjual persenjataan ke negara-negara yang bergejolak akibat sengketa senjata.

Amerika Serikat dan Rusia, sebagai dua dari beberapa produsen alutsista terbesar di dunia, misalnya, hingga saat ini belum meneken Traktat Perdagangan Senjata Internasional yang membatasi jual-beli persenjataan untuk aksi militer melanggar hukum humaniter.

Yang bisa dilakukan tiga produsen persenjataan pelat merah Indonesia, menurutnya, melakukan klarifikasi kepada publik apakah hubungan jual-beli itu berlangsung dalam proses bisnis yang legal.

Bagaimana kasus di negara lain?

Pemerintah Inggris pada awal tahun 2023 digugat oleh koalisi Campaign Against Arms Trade yang menuding penjualan senjata oleh negara itu ke Arab Saudi berkontribusi memperburuk konflik dan krisis kemanusiaan di Yaman.

Koalisi ini dalam gugatan tahun 2019 berhasil meyakinkan pengadilan untuk menyatakan penjualan senjata oleh Inggris ke Arab Saudi merupakan kebijakan yang melanggar hukum.

Alasannya, senjata yang diekspor oleh Inggris digunakan untuk konflik bersenjata yang berujung pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan.

Walau dilarang pengadilan, pemerintah Inggris melalui Liz Truss yang saat itu menjabat Menteri Perdagangan melanjutkan ekspor alutsista ke Arab Saudi.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar