Dianggap Berkhianat Temui Junta Myanmar, Thailand: Harusnya Trimakasih

Selasa, 20/06/2023 16:40 WIB
Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-O-Cha (Tribun)

Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-O-Cha (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Thailand memberikan pembenaran soal pertemuannya dengan Junta Myanmar. Bangkok meyakini dialog diperlukan untuk melindungi perbatasannya dengan negara yang dilanda perselisihan, bahkan ketika tetangga utama Asia Tenggara atau ASEAN menjauh.

Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengatakan pembicaraan diperlukan untuk melindungi negaranya, yang memiliki perbatasan panjang dengan Myanmar.

"Kami menderita lebih dari yang lain karena Thailand memiliki lebih dari 3.000 km perbatasan darat serta perbatasan laut," katanya, dikutip Selasa (20/6/2023)

"Itulah mengapa pembicaraan diperlukan. Ini bukan tentang memihak,” ujarnya menambahkan.

Para jenderal Myanmar dilarang menghadiri pertemuan tingkat tinggi 10 negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Tenggara (ASEAN) sejak mereka merebut kekuasaan dalam kudeta 2021. Tatmadaw melepaskan kekerasan terhadap mereka yang menentang pengambilalihan mereka.

Pemerintah Thailand yang didukung militer mengundang menteri luar negeri ASEAN, termasuk yang ditunjuk oleh junta Myanmar. Tujuannya membahas proposal blok untuk "sepenuhnya melibatkan kembali Myanmar di tingkat para pemimpin", menurut undangan yang dilihat oleh Reuters dan diverifikasi oleh sumber.

Kritikus melihat pertemuan itu merusak pendekatan ASEAN yang bersatu untuk krisis di Myanmar.

Indonesia, sebagai ketua ASEAN saat ini telah berbulan-bulan mencoba melibatkan pemangku kepentingan utama dalam konflik Myanmar dalam upaya untuk memulai proses perdamaian. Jakarta tidak bergabung dalam pembicaraan tersebut.

Kementerian Luar Negeri RI menilai semua pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan krisis Myanmar harus sesuai dengan konsensus lima poin dan hasil pertemuan puncak yang telah disepakati para kepala perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Ini menanggapi pertemuan atas inisiatif Thailand dengan rezim militer.

“Perbedaan pandangan biasa, tapi ada kesepakatan – aturan main yang harus diikuti,” kata Kepala Urusan Harian Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar I Gede Ngurah Swajaya menegaskan saat pengarahan media di Jakarta Pusat pada Senin, 19 Juni 2023.

Menteri luar negeri Thailand, Don Pramudwinai, mengatakan sebelumnya bahwa krisis Myanmar telah mengirim pengungsi melintasi perbatasan ke Thailand. Ia menyinggung sektor perdagangan yang terpengaruh.

"Kami dapat mengatakan bahwa Thailand adalah satu-satunya negara di ASEAN yang ingin masalah ini segera berakhir," katanya kepada penyiar Thai PBS. Dia mengatakan negara-negara ASEAN lainnya "seharusnya berterima kasih kepada kami karena telah melakukan sesuatu untuk membantu mendukung tujuan utama mereka".

Menteri luar negeri yang ditunjuk junta Myanmar, Than Swe, dijadwalkan bergabung dalam pembicaraan itu, kata dua sumber yang mengetahui pertemuan itu kepada Reuters. Tetapi beberapa anggota ASEAN menolak hadir dengan indikasi jelas ketidaksetujuan mereka, sementara yang lain mengirim pejabat junior.

Anggota Inti ASEAN Menjauh
Menteri luar negeri Malaysia menolak untuk menghadiri pembicaraan di Thailand, kata kementeriannya dalam sebuah pernyataan. Kuala Lumpur menambahkan bahwa penting bagi ASEAN untuk menunjukkan persatuan dalam mendukung upaya Indonesia.

Menteri luar negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, mengatakan pada konferensi pers di Singapura dengan timpalannya dari AS pekan lalu bahwa "terlalu dini untuk terlibat kembali dengan junta" pada tingkat tinggi. Tidak segera jelas pada Senin apakah seorang pejabat dari Singapura menghadiri pembicaraan di Thailand.

Kamboja mengatakan Menteri Luar Negeri Prak Sokhonn, yang tahun lalu menjabat sebagai utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, akan diwakili oleh wakilnya. Dikatakan pada Jumat Prak Sokhonn akan memimpin delegasi Kamboja.

Militer mengambil alih Myanmar pada 1962 dan menekan semua oposisi selama beberapa dekade sampai meluncurkan pembukaan tentatif pada 2011. Tetapi eksperimennya dengan demokrasi, termasuk pemilihan yang disapu oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, berakhir ketika militer menggulingkan pemerintahannya.

Pemerintahan menerapkan kembali aturan militer yang ketat dan menghancurkan protes.

Dengan Myanmar kembali menarik kecaman dan sanksi Barat, ASEAN menyusun rencana lima poin, termasuk diakhirinya kekerasan, dialog dan bantuan kemanusiaan, tetapi para jenderal Myanmar telah mengabaikan upaya ASEAN yang semakin membuat frustrasi blok tersebut.

Sebuah organisasi anggota parlemen Asia Tenggara, Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia, menyebut pembicaraan itu sebagai "pengkhianatan rakyat Myanmar dan penghinaan terhadap persatuan ASEAN".

(Kiki Agung\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar