Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Analisis Catatan Penegakan Hukum 2021, Parade Ketidakadilan Terus Ada

Jum'at, 31/12/2021 05:36 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Tahun 2021 akan segera berlalu berganti dengan tahun 2022 yang sebentar lagi akan tiba. Sejumlah peristiwa penegakan hukum telah terjadi sepanjang tahun 2021 di tengah pandemi virus corona yang belum diketahui kapan berakhirnya.

Berdasarkan hasil survei Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) sepanjang 31 Juli sampai 2 Agustus 2021 menunjukan mayoritas responden menilai kondisi penegakan hukum di Indonesia masih buruk rupa. Survei SMRC dilakukan via telepon terhadap 1000 responden yang dipilih acak dari seluruh Indonesia

Selanjutnya berdasarkan Jajak Pendapat Kompas, pada pekan ketiga Desember 2021, sepanjang tahun 2021, publik menyorot beberapa persoalan yang masih belum dituntaskan oleh pemerintah yang sekarang berkuasa. Di bidang hukum beberapa persoalan yang paling banyak disorot adalah terkait dengan soal penegakan hukum yang berkeadilan; dan perlakuan sama di mata hukum untuk semua warga bangsa.

Di tahun 2021 ini, bangsa Indonesia masih di perlihatkan praktek penegakan hukum yang sarat dengan nuansa ketidakadilan seperti halnya yang pernah terhidang di tahun tahun sebelumnya. Parade ketidakadilan penegakan hukum itu acapkali menyesakkan dada karena terus berulang seolah olah menjadi hal yang biasa biasa saja.

Seperti apakah parade ketidakadilan penegakan hukum yang terjadi sepanjang tahun 2021 sebagaimana yang terekam di media massa ?, Mengapa penegakan hukum yang tidak berkeadilan itu terus saja berulang setiap tahunnya ?, Dimana sebenarnya kunci persoalannya ?

Parade Ketidakadilan

Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem hukum dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Semua aturan yang tertera dibentuk dan dirumuskan oleh orang-orang yang dianggap kompeten,sehingga masyarakat dapat merasakan adanya keadilan yang sama satu dengan yang lainnya.

Secara yuridis formal, undang-undang kita telah mengatur bahwa "setiap orang berhak atas pengakuan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum" seperti yang tertuang pada Pasal 28D ayat 1 UUD NRI 1945. Undang-undang ini sudah sangat jelas bahwa tidak ada perbedaan didalam penegakan hukum antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah karena semua adalah warga bangsa.

Mereka semua sama dihadapan hukum, yang berkuasa dan tidak berkuasa itu sama saja. Tidak ada perlakuan khusus pagi pelanggar hukum dan ketentuaqn yang telah disepakati bersama. Apakah mereka anak pejabat atau anak pemulung, mereka harus ditindak sesuai dengan apa yang mereka lakukan sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Begitulah jaminan kesetaraan dan keadilan yang telah dirumuskan dalam ketentuan yang ada dan disepakati bersama. Namun kenyataanya, harapan mendapat keadilan dimata hukum seolah menjadi angan-angan saja. Pada prakteknya, ketidakadilan dalam penegakan hukum masih terus dipertontokan setiap tahunnya seolah olah sudah menjadi tradisi dan dianggap sebagai hal yang biasa biasa saja.

Sepanjang 2021, kalender penegakan hukum di tanah air banyak diwarnai keganjilan yang menjauhkan hukum dari keadilan yang semestinya dinikmati oleh setiap warga bangsa. Postulat Thomas Hobbes dalam Leviathan bahwa Hukum adalah entitas nurani publik pun dibuat nirmakna. Seakan kita lupa bahwa penegakan hukum yang tidak adil adalah bagian dari spesies kekerasan yang seharusnya dihilangkan eksistensinya.

Beberapa peristiwa penegakan hukum di Indonesia sepanjang tahun 2021 yang masih mempertontonkan ketidakadilan sebagaimana terekam di pemberitaan media  diantaranya adalah :

  1. Kasus Muhammad Asrul

Kasus Asrul bermula pada 14 Juni 2019, saat itu Muhammad Asrul diadukan ke polisi dengan aduan pencemaran nama baik oleh Farid Karim Judas karena tiga berita dugaan korupsi yang dituliskannya di media online berita.news pada 10, 24, dan 25 Mei 2019.

Tiga tulisan yang dipermasalahkan itu berjudul “Putra Mahkota Palopo Diduga “Dalang” Korupsi PLTMH dan Keripik Zaro Rp11 M”, tertanggal 10 Mei 2019, “Aroma Korupsi Revitalisasi Lapangan Pancasila Palopo Diduga Seret Farid Judas” tertanggal 24 Mei 2019, dan “Jilid II Korupsi jalan Lingkar Barat Rp5 M, Sinyal Penyidik Untuk Farid Judas?” tertanggal 25 Mei 2019.

Pada 17 Desember 2019, Farid Kasim Judas membuat aduan yang tercatat dalam Laporan Polisi Nomor: LPB / 465/ XII / 2019 / SPKT. Polisi pun segera menindaklanjuti laporan itu dengan penangkapan. Pada 29 Januari 2020 pukul 13.05 WITA Muhammad Asrul dijemput paksa dari rumahnya oleh kepolisian.

Selanjutnya ia dibawa ke Polda Sulawesi Selatan untuk dimintai keterangan tanpa didampingi oleh pengacara. Muhammad Asrul mulai diperiksa dan menjalani BAP oleh penyidik sejak pukul 15.30 WITA sampai 20.30 WITA.

Namun, begitu selesai menjalani BAP, Muhammad Asrul tidak diperbolehkan pulang. Ia langsung ditahan di Rutan Mapolda Sulsel sejak 30 Januari 2020 hingga 5 Maret 2020. Tapi kasus tidak berhenti sampai disitu saja.

Sejak tanggal 16 Maret 2021, kasus Asrul mulai disidangkan. Jaksa mendakwa Asrul dengan pasal berlapis yaitu menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Ancaman pidana bagi Asrul bila terbukti bersalah, maksimal 10 tahun penjara.

Kasus ini menimbulkan ketidakadilan karena Polisi dan Jaksa telah mengabaikan surat dari Dewan Pers yang menjelaskan berita yang ditulis Asrul adalah produk karya jurnalistik yang mekanisme sengketanya diselesaikan lewat Dewan Pers dan bukan lewat pengadilan pidana.

Ketidakadilan lain yang ia alami adalah dampak buruk yang harus dihadapi Asrul. Karena selama 8 bulan sejak ditangguhkan penahanannya di Rutan Mapolda, Asrul dilarang untuk menulis berita dan pakai medsos. Hal ini menyebabkan  ia tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya.

Pada sebagai Jurnalis, apa yang dilakukan Asrul bukan untuk dirinya sendiri, ia bekerja untuk kepentingan publik. Dan kepentingan publik yang diemban oleh Asrul lewat pemberitaannya adalah mengungkap perilaku korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak boleh dianggap sepele. Mengungkap korupsi dengan teknik jurnalisme investigasi adalah peran yang dapat dilakukan oleh wartawan/jurnalis dan dilindungi undang undang.

Bagaimana bisa berita yang telah dinyatakan oleh Dewan Pers lewat surat dengan nomor 187/DP-K/III/2020 sebagai produk jurnalistik dan karenanya dilindungi oleh UU Pers justru bisa disidangkan di pengadilan dengan pasal kabar bohong, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik ?  Bukankah kita butuh pers yang bekerja untuk publik? Pers yang mengawasi kinerja pemerintah yang korup? Mau sampai kapan kita biarkan ketidakadilan ini bekerja di negeri ini?

  1. Kasus Habib Riziek Shihab (HRS)

Wajah penegakan hukum di tanah air juga kental dengan aroma balas dendam politik. Seperti yang dialami oleh Habib Rizieq Shibab (HRS), tokoh ummat Islam yang dikenal vokal dan seringkali berseberangan dengan rezim penguasa.  Ia divonis oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan juga dikuatkan oleh Putusan Banding 4 tahun penjara atas kasus swab test RS UMMI. 

Majelis hakim menganggap bahwa pernyataan Rizieq saat menyatakan dirinya sehat ketika dirawat di RS UMMI Bogor pada November 2020 merupakan kebohongan karena hasil tes swab PCR-nya terkonfirmasi Covid-19.

Majelis hakim mendasarkan vonisnya pada Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang menyatakan: Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Padahal dalam pasal aquo terdapat unsur kunci yakni "menerbitkan keonaran". Sementara, tidak ada keonaran di kalangan masyarakat pasca perbuatan HRS. Keonaran bila diartikan secara gramatikal adalah kondisi chaos sehingga terjadi kegaduhan di tengah masyarakat.

Vonis tersebut jelas terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan HRS. Bandingkan dengan beberapa kasus sejenis yang banyak tidak diproses. Atau bandingkan dengan kasus Pinangki terkait tindak pidana suap, pencucian uang, dan permufakatan jahat dalam perkara terpidana korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko S. Tjandra. Di pengadilan Tipikor dihukum 10 tahun, tetapi ditingkat banding disunat menjadi 4 tahun. Jaksa bahkan memutuskan untuk tidak mengajukan kasasi.

  1. Kasus Mbah Minto

Kasus hukum yang menimpa Mbah Minto warga Demak menjadi perhatian publik. Sebab ia melakukan penganiayaan kepada pelaku pencuri ikan di kolam yang ia jaga.Namun, Mbah Minto Warga Demak ini malah terjerat kasus hukum. Tidak itu saja, ia juga dijebloskan ke penjara.

Tentu saja dijeratnya mbah Minto yang dijerat dengan kasus hukum dan dijebloskan ke penjara itu memunculkan tanda tanya. Pada hal apa yang dilakukan mbah Minto semata mata adalah karena membela dirinya.

Dalam hukum pidana ada pembelaan diri secara terpaksa yang diatur dalam Pasal 49 ayat 1 [KUHP]. Kalau ia membela diri, sesungguhnya tidak boleh dipidana.Dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP disebutkan barangsiapa yang dengan terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, maka orang tersebut tidak bisa dipidana.

Seperti diberitakan, mbah Minto juga mendapat serangan berupa setrum, hingga kena sarungnya dan membuat dia terhuyung-huyung, akhirnya  dia merespons dengan menyabetkan senjata tajam. Maka bisa dikatakan perbuatan itu bagian dari refleks melakukan pembelaan dirinya.

Kabarnya kasus hukum yang menjerat Mbah Minto sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Demak. Kasus kakek penjaga kolam ikan di Demak ini pun akan disidangkan dalam waktu dekat.Kakek penjaga kolam itu didakwa dengan Pasal 351 ayat 2 KUHP, atau penganiayan berat dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.

Mbah Minto diduga melakukan penganiayaan terhadap Marjani, 38, yang berusaha mencuri ikan di kolam yang dijaganya di Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, 7 September lalu.Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang diperoleh, kakek tersebut melakukan penganiyaan setelah melihat korbannya berusaha mencuri ikan dengan cara mengaliri listrik di kolam yang dijaganya.

Saat Marjani tengah menyetrum, Mbah Minto yang emosi pun langsung menyabetkan celurit ke tubuh korban hingga terkena bagian bahu kanan korban.Korban pun langsung berteriak dan meminta ampun sambil berkata,”kulo melu urip mbah [saya masih ingin hidup kek].

Setelah itu, sang kakek pun mempertanyakan asal korban yang merupakan warga Desa Morosari, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak.Mbah Minto pun akhirnya iba dan melepaskan korban. Korban pun langsung melarikan diri dengan menggunakan sepeda motor. Namun di tengah jalan korban terjatuh hingga ditemukan warga yang membawanya ke rumah sakit.

  1. Kasus Seorang Ibu di Karawang Yang Dituntut Penjara karena Memarahi Suaminya

Kasus seorang ibu dua anak dituntut hukuman penjara usai  marahi suaminya yang diduga gemar mabuk-mabukan ramai sorotan di sosial media.Diketahui, seorang ibu dua anak berinisial V (45) di Karawang, Jawa Barat, tersebut dituntut satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Ia pun mengungkapkan keberatannya saat di persidangan.“Saya keberatan yang mulia, apa yang dibacakan tidak sesuai fakta, masa hanya karena saya mengomeli suami yang suka mabuk-mabukan saya jadi tersangka dan dituntut satu tahun penjara,” kata V saat sidang di Pengadilan Negeri (PN) Karawang, Jabar, Kamis (11/11/2021).

V juga memprotes karena saksi-saksi yang diajukan justru diabaikan dan tidak dipertimbangkan keterangannya. “Dituntut sampai satu tahun, saksi-saksi kita diabaikan, semuanya diabaikan biar viral pak, suami mabuk-mabukan istri marah malah dipidanakan.""Ini perhatikan ibu-ibu se-Indonesia tidak boleh marah ke suami. Kalau suaminya pulang mabuk-mabukan harus duduk manis nyambut dengan baik, marah sedikit dipenjara," tambah V.

Namun, Majelis Hakim meminta V dan kuasa hukumnya untuk menyampaikan pledoi ataus sidang pembelaan minggu depan. “Pembelan Ibu nanti disampaikan di Pledoi Kamis depan,” kata Hakim Ketua Muhammad Ismail Gunawan kepada V, dikutip dari Kompas.com dalam artikel Ibu di Karawang Dituntut 1 Tahun Penjara karena Marahi Suami Mabuk: Saya Keberatan.

Sementara itu alasan JPU Glendy Rivano menuntut V  karena terdakwa diduga melanggar Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terhadap CYC, pria asal Taiwan."Diperoleh fakta-fakta melalui keterangan saksi dan alat bukti bahwa inisial V terbukti jadi terdakwa dengan dijerat Pasal 45 ayat 1 Junto pasal 5 huruf b,” ungkap JPU Glendy Rivano, Kamis (11/11/2021).

  1. Kasus Ibu-Ibu Curi Susu di ancam hukuman 7 tahun Penjara

Polisi baru-baru ini telah menangkap dua emak-emak di Blitar, Jawa Timur yang berinisial MRS (55) dan YLT (29). Dua emak-emak itu mencuri di dua toko berbeda. Keduanya yang tengah mendekam di tahanan dijerat Pasal 363 KUHP dengan ancaman hukuman penjara 7 tahun.

Sebelumnya, MRS menceritakan alasannya mencuri susu tersebut. MRS mengaku suaminya mengalami sakit hingga tidak bisa berjalan. Demi mencukupi kebutuhan keluarga, ia terpaksa mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Kasus dua ibu-ibu yang terancam hukuman penjara 7 tahun karena mencuri susu ini memunculkan ketidakadilan dalam penegakan hukum karena disini memperlihatkan adanya hukum yang tajam kebawah tumpul keatas. Hal ini juga menunjukkan  kontrasnya penegakan hukum di Indonesia.

Ancaman hukuman terhadap kedua ibu-ibu itu tergolong tidak adil bila dibandingkan dengan pelaku kasus korupsi yang merugikan negara.Apalagi melihat fakta hukum yang akhir-akhir ini terjadi dimana terpidana kasus korupsi mendapatkan keringanan-keringanan hukumannnya.

Data yang dihimpun ICW mencatat rata rata hukuman pelaku korupsi sepanjang tahun 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Dari 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada 2019, 842 orang divonis ringan (0-4 tahun penjara) sedangkan yang divonis berat (di atas 10 tahun penjara) hanya 9 orang. Sementara itu Djoko Tjandra hanya divonis 4,5 tahun penjara serta denda Rp 100 juta subsider 6 bulan penjara

  1. Potongan Janggal Hukuman Djoko Tjandra

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah mengabulkan banding terdakwa Djoko Tjandra atas kasus suap status red notice. Sejumlah kontroversi mewarnai putusan itu.Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan banding terdakwa Djoko Tjandra, alias Joko Tjandra, atas kasus suap status red notice. Pengadilan mengurangi hukuman Djoko dari semula 4 tahun 6 bulan  menjadi 3 tahun 6 bulan penjara.

Pada 21 Juli 2021, situs resmi Mahkamah Agung menyebutkan, Pengadilan Tinggi menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Sebelumnya, majelis hakim Tindak Pidana Korupsi memvonis Djoko Tjandra 4 tahun 6 bulan penjara.

Pemotongan hukuman ini dinilai kontroversial. Apalagi, empat dari lima hakim yang menangani banding Djoko adalah mereka yang juga memotong hukuman Jaksa Pinangki atas kasus yang sama di tingkat banding pada pertengahan Juni lalu.

Hakim yang menangani gugatan banding Djoko Tjandra ini dinilai mencari-cari alasan untuk memotong hukuman. Pasalnya, hakim meringankan hukum Djoko Tjandra dengan alasan yang tak ada kaitannya dengan amar putusan sebelumnya, yakni dia telah menjalani pidana penjara pada kasus cessie Bank Bali. Alasan lain, Djoko Tjandra telah menyerahkan dana yang ada di dalam escrow account Bank Bali sebesar Rp 546 miliar.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, hakim mestinya menjadikan perbuatan Djoko melakukan korupsi hak tagih Bank Bali sebagai alasan pemberat. “Enggak ada yang meringankan. Itu memberatkan bahwa dia mengulangi kejahatan,” kata Feri.

  1. Kejanggalan Kasus Pinangki

Selain kasus yang menimpa Djoko Tjandra ada juga kasus hukum lain yang tidak kalah janggalnya dalam penegakan hukumnya yaitu yang menimpa seorang Jaksa wanita Pinangki Sirna Malasari namanya.

Kejaksaan Agung telah menetapkan Pinangki sebagai tersangka penerima suap dari Djoko, sedangkan di kepolisian ia berstatus saksi dari tersangka kasus surat palsu yang membantu Djoko kabur, Anita Kolopaking.

Awalnya dalam proses penetapan tersangka hingga penahanan, Pinangki belum pernah dihadirkan kepada publik layaknya tersangka lain yang sudah dijerat kasus korupsi. Hanya beredar sebuah foto yang menunjukkan Pinangki mengenakan rompi tersangka berwarna oranye tanpa tangan diborgol. Foto itu pun sepertinya diambil dari rekaman CCTV ketika yang bersangkutan datang ke gedung Kejagung.

`Kejanggalan` Pinangki tak hanya itu. Ketika kepolisian akan memeriksanya dalam kasus Anita di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung, ia mengelak. Polisi bilang Pinangki hanya ingin dijenguk. "Penyidik tadi jam 11.00 sudah ketemu dengan jaksa PSM. Namun yang bersangkutan minta untuk dijadwalkan ulang atau di-reschedule," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Awi Setiyono.

Kejanggalan juga terjadi saat penegakan hukum kasus Pinangki ini ketika secara tiba tiba Kejagung tmengeluarkan pedoman tentang pengusutan kasus yang melibatkan institusinya. Dengan dikeluarkannya pedoman itu, semua pengusutan terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari Jaksa Agung.

Dalam penegakan hukum kasus Pinangki juga belum terlihat sinergitas antara Kejagung dengan Komisi Kejaksaan (Komjak). Padahal, dalam Perpres tentang Komjak disebutkan bahwa Komjak berhak untuk memberikan rekomendasi dan saran serta harus didengarkan oleh Kejagung.

Penanganan kasus Pinangki memang terkesan tidak dilakukan secara transparan atau terkesan ditutup-tutupi seolah olah ingin melindungi personil yang ada di institusinya.Kontroversi terus berlanjut dalam kasus ini ketika Jaksa penuntut umum (JPU) yang tidak mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan banding Pinangki Sirna Malasari. Pinangki yang menjadi terdakwa dalam kasus pengurusan fatwa bebas MA untuk terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko S Tjandra, sebelumnya dikurangi masa hukumannya di pengadilan tingkat dua, yakni dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.

Kiranya cukup banyak kasus kasus hukum yang terjadi selama tahun 2021 yang kental nuansa ketidakadilan dalam penegakan hukumnya. Semuanya itu menggambarkan bahwa wajah penegakan hukum di Indonesia masih sangat  memprihatinkan karena pameran ketidakadilan yang dipertontonkannya.

Disparitas Penegakan Hukum

Rangkaian kejanggalan kejanggalan dalam penegakan hukum selama tahun 2021 ini rupanya telah mendorong Lembaga Survei KedaiKOPI untuk melakukan survei opini publik tentang kinerja lembaga penuntutan di Indonesia.Hasil survei yang dirilis pada Kamis, 12 Agustus 2021 tersebut mengungkapkan bahwa masih terjadi disparitas (ketimpangan perlakuan) penegakan hukum dan penanganan perkara.

“Sebanyak 59,5 persen dari responden di seluruh Indonesia menganggap disparitas atau ketimpangan perlakuan yang cenderung tidak adil dalam penegakan hukum di kejaksaan sangat besar,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo seperti dikutip suara.com (13/8/2021).

Responden menilai masih ada ketidakadilan hukum yang masih tajam ke bawah, tumpul ke atas.“Disparitas hukum dipersepsi terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia yang harus menjadi perhatian kejaksaan dan pemerintah,” imbuh Kunto.

Hasil Survei KedaiKOPI tersebut kiranya memang menggambarkan situasi yang terjadi sekarang dalam penegakan hukum di Indonesia.  Pada kenyataannya asas keadilan belum sempurna diterapkan pada sistem hukum di Indonesia. Proses penegakan hukum masih saja ada unsur diskriminasi ataupun keistimewaan pada pihak tertentu dalam penanganan kasusnya.

 Kondisi hukum tersebut dapat dikatakan sebagai hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Saat ini sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli oleh orang yang memiliki kekuasaan dan uang yang berlimpah, dan dapat dipastikan mereka akan aman dengan menerima hukuman yang tidak setimpal dengan perilaku yang sudah diperbuatnya. Sebaliknya, rakyat kecil yang tidak memiliki apa-apa seringkali diperlakukan dengan tidak adil, bahkan hingga di dominasi oleh pihak yang lebih memiliki kuasa.

Ketika hukum dihadapakan dengan orang yang memiliki kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun uang, maka hukum menjadi tidak berdaya. Namun, ketika dihadapakan dengan orang-orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan sebagainya, hukum bisa sangat kejam terhadapnya. Hal ini terjadi karena proses hukum itu tidak berjalan secara otomatis, tidak terukur bagaimana proses penegakan hukumnya. Hukum di Indonesia dinilai masih tebang pilih dalam penegakannya.

Ungkapan"Tajam Kebawah Tumpul Keatas" menjadi ungkapan yang sering di ungkapakan oleh masyarakat yang berdaya. Hal ini tak lain dan tak bukan karena adanya perlakuan yang tidak adil dari segi penegakan hukum antara masyarakat kecil dengan masyarakat kelas atas yang punya kuasa.

Padahal  Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai negara hukum, tentunya penegakan hukum yang tidak memihak telar diatur di dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1). Dimana Hukum yang dimaksud ialah untuk menjaga dan melindungi hak -- hak anggota masyarakat agar tercipta keadilan untuk semua warga bangsa

Sudah seharusnya setiap manusia mendapatkan perlakuan dan hak yang setara. Dan di depan hukum, tidak ada seorang pun yang warga negara yang diistimewakan. Semua warga negara, baik itu pejabat negara, warga negara Indonesia, dan warga negara asing wajib mentaati hukum. Dengan demikian, norma hukum berlaku adil bagi semua warga negara.

Tegaknya keadilan hukum adalah bentuk jaminan dan perwujudan nilai -- nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sila kedua Pancasila dan sekaligus mewujudkan sila kelima Pancasila, yaitu nilai-nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Maka dari itu sudah seharusnya negara menjamin dan menegakkan keadilan dengan adil/tidak berat sebelah.

Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum yang adil sudah tidak terjadi lagi di Indonesia, Hukum Indonesia dinilai belum maksimal dalam memberikan keadilan bagi masyarakat, dan justru hukum itu sendiri yang menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bisa bertindak semena -- mena terhadap orang lain dibawah kekuasaannya.Penegakan hukum yang terkesan kurang tegas, tumpul ke atas dan tajam ke bawah menjadi alasan atas kurangnya kepercayaan masyarakat kepada instrumen penegak hukum di Indonesia.

Mencari Kunci Persoalannya

Salah satu bunyi dari Pancasila adalah “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang merupakan sila ke-5. Perwujudan bangsa Indonesia sebagai implementasi sila ke-5 adalah Indonesia merupakan negara hukum yang mengandung makna segala hal yang dilakukan oleh seseorang harus berlandaskan pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Hukum tentunya harus diterapkan dengan adil, yaitu suatu tuntutan untuk selalu berpihak pada yang benar serta antara hak dan kewajiban haruslah seimbang tanpa adanya pihak yang merasa diberatkan atau dirugikan hak haknya. Di depan hukum, kedudukan semua orang itu selalu sama, hal ini merupakan suatu asas yang dinamakan equality before the law.

Namun, pada kenyataannya asas keadilan ini belum sempurna diterapkan pada sistem hukum di Indonesia. Tentu saja kondisi tersebut perlu dicarikan jalan keluarnya dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi karena penegakan hukum yang tidak adil bisa menjadi jalan untuk runtuhnya suatu bangsa.  Dalam hal ini reformasi penegakan hukum idealnya harus dilakukan melalui pendekatan sistem hukum (legal system).

Menurut Lawrence M. Friedman, dalam setiap sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) sub sistem, yaitu sub sistem substansi hukum (legal substance), sub sistem struktur hukum (legal structure), dan subsistem budaya hukum (legal culture). Substansi hukum meliputi materi hukum yang diantaranya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Struktur hukum menyangkut kelembagaan (institusi) pelaksana hukum, kewenangan lembaga dan personil (aparat penegak hukum). Sedangkan kultur hukum menyangkut perilaku (hukum) masyarakat.

Ketiga unsur sistem hukum tersebut saling  mempengaruhi  dalam menentukan keberhasilan penegakan hukum di suatu masyarakat (negara). Antara satu sub sistem hukum tersebut saling bersinergi untuk mencapai tujuan penegakan hukum itu sendiri yakni keadilan untuk semua.

Di Indonesia, salah satu subsistem hukum yang perlu mendapat perhatian  serius saat ini adalah struktur hukum (legal structure). Hal ini dikarenakan struktur hukum memiliki pengaruh yang kuat terhadap warna budaya hukum. Budaya hukum adalah sikap mental yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau bahkan disalahgunakan.

 Struktur hukum yang tidak mampu menggerakkan sistem hukum akan menciptakan ketidakpatuhan  terhadap hukum. Dengan demikian struktur hukum yang menyalahgunakan hukum akan melahirkan budaya menelikung dan menyalahgunakan hukum.

Berjalannya struktur hukum sangat bergantung pada pelaksananya yaitu aparatur penegak hukumnya. Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum.

Dari pengertian yang luas tersebut Soerjono Soekanto lebih membatasi pengertiannya yaitu kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup penegakan hukum, akan tetapi juga peace maintenance (pemeliharaan perdamaiannya).Dengan demikian mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.

Dalam penegakan  hukum di Indonesia seringkali terjadi intervensi dan kooptasi yang dilakukan oleh pihak-pihak  tertentu yang memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang ditangani, sehingga berakibat terganggunya independensi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan suatu perkara. Berkenaan dengan hal tersebut, diperlukan transparansi pada setiap tindakan dalam penegakan hukumnya.

Dalam penegakan hukum yang berkeadilan,  para penegak hukum semestinya tidak boleh hanya mengedepankan aspek hukum formil semata. Karena penegakan hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam undang-undang akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat.

Seyogyanya penekanannya harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistem hukum yang berlaku

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka reformasi penegakan hukum dengan pendekatan sistem hukum menempatkan aspek struktur hukum khususnya aparat penegak hukum hukum sebagai isu sentralnya. Karena yang namanya suatu sistem itu berjalan tergantung pada sumberdaya manusianya dalam hal ini aparat penegak hukumnya.

Merekalah yang paling berperan dalam menentukan merah atau hijaunya penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Dalam kaitan ini seorang ahli hukum pidana Belanda yang terkenal bernama Tayerne menyatakan bahwa hukum yang baik di tangan aparat yang buruk akan menjadi hukum yang buruk juga. Tetapi hukum yang buruk , ditangan penegak hukum yang baik akan menjadi baik.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar