Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Analisis Hukum Unjuk Kedigdayaan Kejagung Pasca Sahnya UU Kejaksaan

Senin, 20/12/2021 08:48 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Kedudukan, peran, dan fungsi lembaga kejaksaan sangat sentral dan strategis dalam sebuah negara. Kejaksaan menjalankan fungsi dan peran sebagai organ utama negara (main state‟s organ) dalam mewujudkan tujuan negara melalui penegakan hukum di Indonesia.

Tentang Lembaga Kejaksaan secara khusus telah diatur dalam undang-undang (UU) Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan. Namun UU  ini dirasakan tidak lagi relevan sehingga harus dilakukan revisi substansinya.

Masalahnya UU Kejaksaan  tersebut telah beberapa kali di judicial review pada Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempengaruhi tugas Jaksa. Selain itu, telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif sehingga perlu pula adanya penyesuaian substansinya.

Setelah melalui proses yang cukup panjang pada akhirnya RUU revisi UU  Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan disahkan DPR melalui rapat Paripurna "Apakah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang," kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/12/2021).

Pengesahan revisi UU Kejaksaan tersebut disambut baik oleh jajaran Kejagung, tidak ketinggalan Jaksa Agung ST Burhanuddin mengapresiasi pengesahan RUU Kejaksaan yang sudah lam dinantikannya."Semoga perubahan undang-undang mampu memulihkan dan menjaga marwah Kejaksaan yang kita cintai," ungkap Jaksa Agung Burhanuddin melalui Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, seperti dikutip pers, Rabu (8/12/2021).

Banyak yang berharap dengan disahkannya perubahan RUU Kejagung tersebut, kiprah Lembaga ini menjadi lebih meningkat kinerjanya. Karena selama ini sudah sering terdengar keluhan dari jajaran Adyaksa adanya keterbatasan kewenangan sehingga Kejagung merasa belum bisa optimal menjalankan peran dan fungsinya.

Poin point perubahan apakah yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru sehingga diharapkan Kejagung bisa lebih meningkat kinerjanya ?. Dengan adanya revisi UU Kejaksaan, efek negatif  apa kiranya yang perlu diwaspadai  dalam penegakan hukum di Indonesia ?,  Seperti apa dinamika perjalanan korps adyaksa dalam menemukan eksistensinya ?. Masalah krusial apakah sebenarnya yang saat ini sangat mempengaruhi kinerja korps adyaksa ?,Apakah dengan adanya revisi UU tersebut memang akan membuat Kejagung lebih digdaya ? Berikut analisis hukumnya;

Point Perubahan

Revisi UU Kejaksaan yang sudah lama dinantikan akhirnya disahkan juga. Pengesahan RUU Kejaksaan yang baru itu disebut sebut menambah kewenangan jajaran Kejaksaan sehingga menjadi lebih digdaya dibanding sebelumnya. Lembaga Kejaksaan tidak lagi sekadar sebagai lembaga penuntutan dan kewenangan Jaksa bukan hanya ada yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) semata.

Adapun beberapa point perubahan yang diatur dalam UU Kejaksaan yang baru tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, Kedudukan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini semakin mempertegas penerapan asas single prosecution system bahwa kewenangan penuntutan harus tunggal. Sebelum adanya Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, ketentuan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi di NKRI hanya tercantum dalam Penjelasan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Akan ada banyak hal dan kajian yang dapat kita lakukan melalui penegasan kedudukan Jaksa Agung ini.

Kedua, Penerapan Denda Damai. Di UU yang baru ini, Jaksa Agung berwenang menerapkan penggunaan denda damai hanya diperuntukan tindak pidana perpajakan, tindak pidana kepabeanan atau tindak pidana ekonomi lainnya. Denda damai merupakan penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.

Ketiga,  Perkuat Kedudukan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana militer (JAM Pidmil). Dengan dicantumkannya JAM Pidmil pada Undang-Undang Kejaksaan akan semakin memperkuat kedudukan JAM Pidmil. Dengan dicantumkannya JAM Pidmil, diharapkan  dapat segera menorehkan prestasi dalam penyelesaian perkara-perkara koneksitas yang ditangananinya

Ke empat, Penegasan Arah Penegakan Hukum. Kebijakan hukum pidana Indonesia telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributif atau pembalasan menjadi keadilan restoratif. Melalui Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan diberikan peran untuk menggunakan dan mengedepankan keadilan restoratif sebagai salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan serta kebijakan leniensi.

Kelima, Kewenangan Penyadapan. Melalui undang-undang ini, Kejaksaan memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukan penyadapan. Penyadapan tidak hanya diperlukan dalam tahap penyidikan saja, melainkan juga pada tahap penuntutan, eksekusi, dan pencarian buron.

Ke enam, Kewenangan dalam pemulihan aset.Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak. Keberadaan Pusat Pemulihan Aset memiliki legitimasi yang kuat melalui undang-undang ini.

Ke tujuh,Kewenangan pengawasan barang cetakan dan multimedia.Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13-20/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 bahwa Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melakukan pengamanan terhadap peredaran barang cetakan harus melakukan penyitaan atau tindakan hukum lain melalui proses peradilan. Mengingat perkembangan teknologi, maka tidak hanya barang cetakan namun juga harus diperluas kepada berbagai bentuk objek multimedia.

Ketujuh, Kewenangan intelijen penegakan hukum. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, maka kewenangan intelijen tidak hanya untuk kepentingan Kejaksaan, melainkan juga untuk kepentingan negara dalam proses penegakan hukum.

Ke delapan, Kewenangan mengajukan peninjauan kembali (PK). Melalui undang-undang hasil revisi  ini mempertegas jika Jaksa dapat melakukan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan yang didakwakan telah terbukti, akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan

Selain delapan point diatas UU Kejaksaaan yang baru juga menambahkan ketentuan terkait dengan perlindungan Jaksa dan keluarganya serta Jaksa dapat dilengkapi dengan senjata api. Ditambahkan juga dalam UU revisi Kejaksaan ini pengaturan tentang status Jaksa sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang memiliki kekhususan, syarat usia menjadi jaksa, pengembangan karier jaksa, penggunaan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) khusus dan pengembangan kewenangan Kesehatan yustisial dan sebagainya.

Potensi Penyalahgunaan Wewenang

Selain memperkuat kewenangan Kejaksaan dan peningkatan hak haknya, UU Kejaksaan hasil revisi juga membuka peluang untuk adanya penyalagunaan kewenangan (abuse of power) bagi jajaran adyaksa.

Adanya kewenangan baru yang dimiliki oleh jajaran Kejaksaan dinilai bisa mencaplok tugas lembaga penegakan hukum lain, dan cenderung mengarahkan lembaga ini seperti sebuah lembaga yang “super body”. Sehingga UU Kejaksaan yang baru ini dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara lembaga penegak hukum lainnya. Hal ini. Dengan adanya potensi tersebut maka dikhawatirkan akan menimbulkan konflik kepentingan, antara lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan  KPK.

Kekhawatiran Lembaga Kejaksaan sebagai instusi super body  disampaikan juga oleh .pakar hukum dari Universitas Borobudur, Faisal Santiago.Faisal mencontohkan pasal tentang perlindungan dan jaminan keamanan Jaksa.Dalam Pasal 8A ayat (1) draf RUU Kejaksaan menyatakan: `Dalam menjalankan tugasnya, Jaksa beserta anggota keluarganya wajib mendapatkan pelindungan diri dan pelindungan dari Negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda.`

Menurut Faisal, sebetulnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah jelas dikatakan, semua warga negara berhak mendapatkan perlindungan dan persamaan di mata hukum (equality before the law).“Artinya, jaksa juga sama. Kalau ada perbuatan menyimpang dari hukum, wajib pula mendapat sanksi hukum,” ujar dia seperti dikutip Antara 30/11/20.

Wewenang dan tugas jaksa dalam pasal  30 ayat 2, dan Ayat 5 yang mengatur tentang penyidikan,pengawasan,intelijen,pengamanan,dan penggalangan juga dikhawatirkan akan menimbulkan masalah. Salah satunya adalah membuat kejaksaan memiliki wewenang dari hulu hingga hilir. Dengan adanya hal tersebut, maka dikhawatirkan adanya oknum kejaksaan yang menyalahgunakan kewenangan dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Potensi penyelewengan lain juga terjadi dalam pelaksanaan fungsi  pencegahan yang salah satunya diwujudkan dalam  bentuk peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Pelaksanaan fungsi ini dinilai  sangat berpotensi bias dan diskriminatif. Ini karena kejaksaan juga bertindak sebagai pengawas dan penegak hukum.

Sebagai contoh pengawasan terhadap aliran kepercayaan yang ada di masyarakat dapat membahayakan masyarakat karena bisa memunculkan penilaian diskriminatif. Pada hal berdasarkan putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 telah menghapus adanya diskriminasi.

Adalah menjadi hak dasar bagi rakyat untuk menganut agama,yang didalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adalah bagian dari Hak Asasi Manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik.

Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini bukan lagi sekedar sesuatu yang bernilai doktriner, melainkan telah menjadi norma dalam hukum dasar. Oleh karena itu, mengikat seluruh cabang kekuasaan negara, sebab hal tersebut dituangkan secara normatif dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta pasal 29 UUD 1945.

Dalam UU Kejaksaan yang baru yaitu Pasal 8 ayat 5, dikatakan bahwa dalam melakukan tugas dan wewenangnya,pemanggilan,pemeriksaan,penangkapan,dan penahanan jaksa dapat dilakukan sesuai ijin Jaksa Agung. Disini  terlihat sekali peran yang sangat besar dari seorang Jaksa Agung. Kewenangan ini sangat rentan disalahgunakan. Apalagi selama ini sudah diketahui publik adanya dugaan keterlibatan jajaran Kejaksaan dalam kasus kasus besar yang ditanganinya. Sebagai contoh dalam skandal yang menimpa Djoko Tjandra, disebut sebut jajaran Kejaksaan Agung ada yang terlibat didalamnya. Selain itu adanya  fakta masih ada beberapa oknum kejaksaan agung yang memiliki itikad tidak baik untuk melaporkan harta kekayaan kepada KPK.

Selanjutnya dalam pasal 35 huruf c draf UU Kejaksaan memberi kewenangan mendelegasikan perkara yang dikesampingkan kepada Penuntut Umum. Kewenangan delegasi ini bisa berpotensi memunculkan adanya kekuatan dari atasan untuk mengesampingkan suatu perkara kepada bawahan. Apalagi, pemeriksaan terhadap Jaksa, baik sebagai saksi maupun tersangka serta tidak dapatnya dilakukan penegakan hukum perdata maupun pidana, semua harus seizin Jaksa Agung.

Selanjutnya UU Kejaksaan yang baru  juga memberikan kewenangan penyadapan kepada Jaksa dalam keterlibatannya pada pengawasan ketertiban umum (pasal 30 ayat (5) huruf g). Kewenangan ini dikhawatirkan akan bersinggungan dengan wilayah kewenangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan potensial disalahgunakan fungsinya.

Dinamika Perjalanan Korps Adyaksa

Sebagai warga bangsa kita tentu mengharapkan Lembaga Kejaksaan dapat berfungsi sebagai lembaga peradilan yang bermartabat, mampu menjalankan tugas dan kewenangannya secara merdeka, profesional, berintegritas, dan berorientasi pada penegakan hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum dan bermanfaat, khususnya bagi masyarakat pencari keadilan. Terlebih dalam memastikan tercapainya tujuan benegara sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia, melalui penegakan hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia.

Belajar dari sejarah,peran Kejaksaan pernah mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Orde lama dibawah naungan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950. Seperti ditulis oleh Daniel S Lev, saat itu t para Jaksa pernah memiliki peran yang sangat penting di saat masa jaya mereka di bawah Jaksa Agung Soeprapto pada tahun 1950-an.

Hal ini tidak lepas dari keberadaan UUDS 1950 yang secara tegas melarang intervensi pemerintah terhadap badan peradilan karena UU Nomor 1 Tahun 1951  tentang Undang-undang Darurat tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil,  secara tidak langsung menempatkan para jaksa bersama hakim sebagai pejabat pengadilan.

Hal ini membuat para Jaksa yang  saat itu tergabung dalam PERSAJA (Persatuan Jaksa-jaksa sekarang bernama PJI) berkeyakinan bahwa lembaga kejaksaan adalah bagian dari Kekuasaan Kehakiman yang harus dijamin independensinya oleh Negara. Pelembagaan Kejaksaan yang berada di dalam kekuasaan kehakiman saat itu menjadikan para Jaksa menikmati status mereka sebagai Magistraat yang memiliki independensi hampir sama dengan hakim.

PERSAJA bahkan secara tegas mendeklarasikan tujuan mereka pada tahun 1955 sebagai organisasi yang terdepan dalam membela terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum yang sebenar benarnya. Saat itu dengan kewenangan yang kuat,  para jaksa selain tidak segan mengkritik kebijakan pemerintah, mereka juga berani mengusut perkara pidana yang melibatkan perwira tinggi militer dan pejabat tinggi sipil yang sedang berkuasa.

Hal ini terlihat misalnya  ketika Kejaksaan berani k menangkap dan menuntut Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo pada masa Perdana Menteri, Ali Sastroamidjojo di pengadilan atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukannya . Pada waktu itu, ada skema kemudahan kredit untuk para pengusaha melayu yang ternyata dijual kepada para pengusaha kaya keturunan Tionghoa.Saat itu Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo ditangkap penegak hukum, karena menerima suap dari seorang pengusaha dalam pengurusan visa.

Namun sayangnya masa kejayaan Kejaksaan ini secara berangsur harus terhenti saat  tahun 1959 pemerintah dan penguasa militer memutuskan memberhentikan Soeprapto karena dianggap menganggu stabilitas politik pemerintahan orde lama. Pada akhirnya Presiden Soekarno mengangkat kembali Jaksa Agung pertama, Gatot Taroenamihardja, sosok ahli hukum yang dikenal jujur sebagai pengganti Soeprapto.

Namun karena Gatot ternyata meneruskan jejak Soeprapto untuk “berani menangkapi pejabat negara” , Gatot hanya menjabat dalam masa yang singkat saja. Langkah Kejaksaan di masa Gatot yang menangkap beberapa perwira tinggi militer yang melakukan tindak pidana korupsi  berbuntut pada pencopotan dirinya.  Pihak militer saat itu yang tidak terima dengan tindakan Kejaksaan melakukan serangan balik dengan menangkap dan  menahan Jaksa Agung Gatot karena dianggap mengganggu ketertiban umum dan jalannya pemerintahan yang sedang berkuasa.

Belajar dari langkah Kejaksaan yang dianggap terlalu sering mengganggu stabilitas politik di masa sebelumnya, maka pada tanggal 18 Februari 1960 pemerintah menempatkan posisi Jaksa Agung sebagai Menteri di bawah koordinasi Menteri Keamanan Nasional/Kepada Staf Angkatan Darat. Untuk mempermudah kontrol Presiden terhadap Kejaksaan, selang beberapa bulan, tepatnya pada tanggal 22 Juli 1960 pemerintah  melalui rapat kabinet menetapkan Kejaksaan sebagai Departemen tersendiri yang lepas dari Departemen Kehakiman.

Selanjutnya tanggal 22 Juli inilah yang kemudian oleh Kejaksaan ditetapkan sebagai tonggak sejarah yang memiliki nilai penting dan diperingati sebagai perayaan Hari Bhakti Adhyasa setiap tahunnya.

Jika dicermati, dampak rapat kabinet tanggal 22 Juli tersebut memang cukup signifikan tidak hanya kepada Kejaksaan secara kelembagaan namun juga pada pola pikir para jaksanya. Posisi Kejaksaan yang semula berada dalam kekuasaan kehakiman yang bebas merdeka, bergeser secara dramatis ke  ruang eksekutif sebagai alat revolusi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15/1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia

Para jaksa yang awalnya mewarisi konsep Magistraat dengan segala independensinya secara bertahap diarahkan untuk berperilaku sebagai prajurit yang harus tunduk pada para pimpinan dalam bingkai Korps Kejaksaan.

Konsep yang berlaku pada zaman orde lama ini kemudian diadopsi oleh pemerintahan orde baru ketika presiden Soeharto berkuasa. Bahkan dizaman Orba untuk mengukuhkan perubahan ini, pemerintah  menempatkan para Jenderal Militer mereka untuk menjabat sebagai Jaksa Agung. Oleh karenanya dapat dilihat sejak saat itu Kejaksaan mengalami transformasi dari institusi sipil menjadi institusi yang menerapkan budaya dan birokrasi ala militer didalamnya.

Kondisi tersebut  tidak berubah bahkan setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang menandai jatuhnya pemerintahan Orba. Meski dalam pembahasan Pasal 24 amandemen UUD 1945 dapat ditemukan keinginan kuat dari para anggota MPR untuk menempatkan kembali Kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang mandiri namun UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan yang diusulkan pemerintah tetap mempertahankan banyak konsep pelembagaan kejaksaan sebagaimana yang telah diterapkan di masa Orba.

Akibatnya, meskipun Kejaksaan telah berulang kali mengalami pergantian Jaksa Agung dan berusaha melakukan reformasi birokrasi, namun tidak banyak perubahan fundamental yang dapat dirasakan pencari keadilan di negara kita. Ini nampak misalnya dari ketergantungan Jaksa Agung sebagai anggota kabinet kepada keputusan politik Presiden yang sedang berkuasa.

Dalam catatan sejarah pernah terjadi dimana Jaksa Agung Soedjono C Atmonegoro pada masa presiden Habibie berkuasa, berinisiatif menemui Habibie untuk secara serius menangani perkara mantan presiden Soeharto sang penguasa Orba.

Namun apa yang terjadi ?  selang satu hari setelah pertemuannya dengan Presiden Habibie Soejono C. Atmonegoro dicopot dari jabatannya. Mungkin Soedjono C. Atmonegoro adalah jaksa agung yang paling singkat menjabat, tak lebih dari empat bulan lamanya. Soedjono diganti  Andi Muhammad Ghalib, saat pria asal Madura tersebut bersiap memeriksa Soeharto.

Kala itu, tersebar kabar Soedjono sengaja diganti karena sudah melangkah terlalu jauh dalam meneliti yayasan Soeharto. "Hasil audit legal itu saya serahkan pukul 10.00 (15 Juni) kepada Pak Habibie, lalu pukul 15.00 saya dipanggil Habibie lagi dan saya diganti," kata Soedjono mengomentari pencopotan dirinya.

Menurut Soejono, hasil audit tersebut merupakan data awal yang cukup kuat untuk menjadikan Soeharto sebagai tersangka, suatu langkah hukum yang mungkin tidak dikehendaki oleh pemerintah yang saat itu berkuasa. Maklum pemerintah Habibie sendiri saat itu masih terkesan melindungi penguasa Orba dari jerat hukum yang menimpanya.

Sejak saat itu beberapa Jaksa Agung penggantinya hingga saat ini lebih memilih bermain aman dengan mengikuti kemauan politik pemerintah yang berkuasa. Lebih memilih untuk bermain aman daripada harus kehilangan kursi jabatannya.

Hingga kini perilaku Kejaksaan nampaknya masih mempertahankan warisan budaya militer para Jenderal dimasa Orba berkuasa untuk memastikan pengabdian para Jaksa sejalan dengan kepentingan politik pemerintah yang sedang berkuasa.

Masalah Krusial

Dari catatan dinamika perjalanan kelembagaan Kejaksaan tersebut  kiranya bisa diambil benang merahnya. Masalah yang paling krusial menurut hemat saya terletak pada ketidakjelasan posisi dari Lembaga Kejaksaan dalam arena penegakan hukum di Indonesia.

Kejelasan posisi ini ternyata belum juga tergambar dalam UU Kejaksaan hasil revisi yang telah disahkan. Didalam UU Kejaksaan yang baru dinyatakan bahwa Kejaksaan sebagai lembaga peradilan yang menjalankan fungsi eksekutif. Posisi ini telah menempatkan kedudukan Kejaksaan dalam dual obligation, yaitu di satu sisi sebagai lembaga penegak hukum yang terkait dengan fungsi yudikatif dan pada sisi yang lain sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan

Kondisi tersebut telah membuat Lembaga kejaksaan menjadi ambigu. Kondisi ini menurut hemat saya telah membawa implikasi negatif terhadap landas pijak Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena di satu sisi Kejaksaan dipandang sebagai bagian dari salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dalam ranah yudikatif, sementara pada sisi lain Kejaksaan juga memiliki tugas dan kewenangan dalam lingkup wilayah kekuasaan eksekutif.

Pada hal Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi penegakan hukum sangat memerlukan kemandirian dan independensi. Namun yang terjadi saat ini seperti terjadi kebingungan dan abiguitas dalam menentukan posisi lembaga kejaksaan, apakah kejaksaan termasuk kedalam  "badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat 3 UUD 1945" atau "kekuasaan pemerintah yang berada sebagai subordinat kekuasaan presiden".

Lembaga Kejaksaan sejak mulai pembentukannya hingga hari ini lebih cenderung berada di bawah Kekuasaan eksekutif.  Dengan posisi seperti ini, Kejaksaan menjadi sulit untuk menerapkan independensi dalam menjalankan tugasnya. Di antaranya karena Kejaksaan menjadi tidak independen menjalankan fungsi menuntut atau tidak menuntut karena dalam menjalankan fungsinya itu ia bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Selain itu  Presiden bisa mengintervensi Kejaksaan secara langsung, maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya melalui mekanisme pemilihan. Presiden bisa mereshuffle kabinetnya termasuk mengganti seorang Jaksa Agung kapanpun. Secara tidak langsung misalnya melalui intervensi anggaran operasional lembaga dan sebagainya. Terbukti sampai sekarang belum ada misalnya seorang Menteri yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan apalagi menetapkan tersangka bagi seorang Presiden.

Dengan demikian selama lembaga Kejaksaan ini  tidak jelas jenis kelaminnya maka selama itu pula Lembaga Kejaksaan akan rawan untuk diintervensi oleh penguasa. Oleh karena itu persoalan posisi Lembaga Kejaksaan ini menjadi hal yang sangat krusial dalam upaya peningkatan kinerja Lembaga Kejaksaan.

Oleh karena itu pula biarpun sudah ada revisi UU Kejaksaan namun selam masalah krusial ini tidak segera dicarikan jalan keluarnya maka selama itu pula Lembaga Kejaksaan tidak akan optimal bekerja menegakkan hukum di Indonesia khususnya terkait dengan penegakan hukum yang bersinggungan dengan penguasa. Biarpun kewenangan Jaksa di tambah termasuk dalam hal penyadapan dan pengajuan PK tapi kalau persoalan krusial yaitu posisi Lembaga Kejaksaan tidak diselesaikan maka kewenangan yang besar tersebut menjadi tidak terlalu bermakna.

Bisa jadi Kelembagaan Kejaksaan akan lebih berdaya dengan adanya UU Kejaksaan yang baru dengan dibuktikan melalui kasus kasus hukum yang berhasil diselesaikannya. Tetapi potensi penyalahgunaan kewenangan menjadi besar, karena kemungkinan penegakan hukum hanya akan menyasar pada kelompok kelompok tertentu yang berseberangan dengan penguasa. Sementara itu jajaran elite penguasa yang melanggar hukum, Kejaksaan tidak ada nyali untuk mengusutnya.

Oleh karena itu jika memang yang diinginkan adalah lembaga Kejaksaan yang benar benar mandiri dan merdeka maka tidak ada pilihan lain untuk melepaskan  Institusi Kejaksaan dari Kekuasaan Eksekutif dan berdiri sendiri sebagai Lembaga Negara independen. Penempatan ini penting untuk menjaga arah kebijakan hukum Kejaksaan tidak dipengaruhi kepentingan politik institusi manapun.

Dengan posisinya yang independen, Kejaksaan diharapkan menjadi bebas layaknya hakim yang hanya bertanggung jawab kepada hukum (subject to law), bukan bertanggung jawab kepada institusi manapun.

Dengan kejelasan posisi Kejaksaan ini maka program selanjutnya adalah memperkuat posisi independensinya dalam menjalankan fungsinya. Karena  ruh independensi kejaksaan adalah : tidak ada satu orang atau institusi manapun yang bisa mengintervensi Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut.

Dengan posisinya yang independen, Lembaga Kejaksaan bisa diperkuat oleh sebuah Komisi sebagai lembaga pengawas eksternal yang juga lepas dari kekuasaan eksekutif. Tujuan penguatan komisi kejaksaan ini adalah untuk menjaga independensi segala aktivitas kejaksaan RI agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum.

Sudah barang tentu untuk memperjelas hal tersebut di atas bisa dilakukan dengan mengamandemen UUD tahun 1945 dan menempatkan pengaturan institusi Kejaksaan dan Komisi Kejaksaan di dalamnya.

Karena harus diakui penempatan posisi  Kejaksaan dalam dual obligation, yaitu di satu sisi sebagai lembaga penegak hukum yang terkait dengan fungsi yudikatif dan pada sisi yang lain sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan merupakan konsekuensi logis dari tidak diaturnya secara tegas dan jelas posisi Kejaksaan di dalam konstitusi kita.

Sepertinya memang masih perlu jalan panjang bagi jajaran Kejaksaan untuk membuatnya menjadi benar benar independent agar bisa digdaya. Tak cukup hanya revisi Undang Undangnya saja tetapi juga perlu pula mengamandemen cantolan hukum dasarnya dalam hal ini UUD 1945. Bagaimana menurut Anda ?

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar