Patgulipat Korupsi Anggaran Pendidikan

Triliunan Anggaran Pendidikan Jadi Bancakan, Siapa Dalangnya?

Sabtu, 11/12/2021 10:52 WIB
Modus korupsi di sektor pendidikan (Dok.ICW)

Modus korupsi di sektor pendidikan (Dok.ICW)

Jakarta, law-justice.co - Dana pendidikan yang besar dengan setara 20 persen dari APBN atau sebesar Rp550 triliun, dialokasikan untuk dana pendidikan. Dari 20 persen anggaran tersebut, Kemendikbud mengelola sebanyak 14,8 persen atau sekitar Rp81,5 triliun.

Nah, besarnya dana pendidikan itu membuat potensi bancakan atau korupsi semakin besar. Dengan berbagai modus, lingkungan dunia pendidikan masih berusaha menggerogoti anggaran yang besar tersebut.

Dari riset dan data yang dilakukan oleh lembaga pemantau antikorupsi ICW selama 5 tahun ini masih banyak modus korupsi yang memanfaatkan dana pendidikan. Padahal, dana pendidikan seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan meningkatkan standar sdm agar memiliki daya saing.

Data dari ICW menyebutkan performa pelayanan pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata bermutu. Skor survei Program for International Student Assessment (PISA) pada 2018 lagi-lagi menempatkan Indonesia dalam peringkat belakang, yaitu 72 dari 77 negara. Skor PISA menunjukkan bahwa keterampilan dan kemampuan siswa di Indonesia dalam bidang membaca, matematika, dan sains masih lemah. Indonesia mendapat rata-rata skor 382, stagnan jika dibandingkan dengan skor pada 2003 (OECD, 2018).

Terdapat berbagai persoalan yang menyumbang buruknya pelayanan pendidikan di Indonesia. Persoalan yang kerap terjadi yaitu berkaitan dengan pengelolaan anggaran, kualitas tenaga pendidik, dan ketersediaan fasilitas belajar.

Dalam konteks pengelolaan anggaran, besaran anggaran saja tak cukup. Penting untuk dilihat bagaimana anggaran tersebut direncanakan, diperuntukkan, dan digunakan. Masalahnya, sektor pendidikan tak luput dari persoalan belanja tak sesuai kebutuhan prioritas hingga korupsi. Dengan masalah ini, upaya peningkatan pelayanan pendidikan terancam berjalan lamban dan peningkatan anggaran tak banyak berdampak.

Melihat masih tingginya korupsi sektor pendidikan, ICW mengkaji penindakan korupsi pendidikan tahun 2016-September 2021. Kajian ICW lebih jauh soal program, pelaku, modus, dan faktor korupsi sektor pendidikan.

"Kajian ini penting untuk melihat pada aspek mana sektor pendidikan kita rentan dijadikan ladang korupsi. Dengan mengetahui hal tersebut, pengambil kebijakan dan Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) diharapkan dapat melakukan langkah-langkah pembenahan kebijakan, pencegahan, dan pengawasan yang diperlukan," ungkap peneliti ICW Dewi Anggraeni.

Dalam data tersebut terdapat 240 korupsi pendidikan yang ditindak APH sepanjang Januari 2016 hingga September 2021. Kasus tersebut terjadi dalam rentang waktu 2007 hingga 2021 dan menimbulkan kerugian negara Rp 1,6 triliun.


Ilustrasi demontrasi korupsi di sektor pendidikan (Dok.ICW)

Kerugian negara kami yakini jauh lebih besar sebab terdapat kasus yang hingga kajian ini disusun belum diketahui besaran kerugian negaranya. Selain itu, dari observasi pengadaan barang/ jasa (PBJ) sektor pendidikan, kami menemukan terdapat pengadaan yang tak sesuai kebutuhan dan tak dapat dimanfaatkan, baik karena mangkrak maupun tidak lengkap.

Dilihat dari tahun terjadinya korupsi, korupsi sektor pendidikan diketahui terus terjadi di tengah pandemi Covid-19. 4 dari 12 kasus korupsi pendidikan yang terjadi pada 2020-2021 terkait dengan penanganan Covid-19.

Kasus tersebut yaitu korupsi dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari Kementerian Agama (Kemenag) RI di Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Takalar, Kabupaten Wajo, dan Kota Pasuruan dengan modus pemotongan bantuan. Dari penelusuran ICW dan jaringan di Aceh dan Medan, kami menemukan potensi korupsi pada objek yang sama juga banyak terjadi dengan beragam modus, mulai dari disalurkan pada lembaga penerima yang tak memenuhi persyaratan, penerima fiktif, hingga BOP digunakan tidak sesuai peruntukan.

"240 korupsi pendidikan terbanyak berkaitan dengan penggunaan dana BOS, yaitu terdapat 52 kasus atau 21,7% dari total kasus. Korupsi dana BOS bahkan masih tetap terjadi meski skema penyaluran dana telah diubah sejak 2020, dari yang sebelumnya ditransfer oleh Kementerian Keuangan ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) menjadi ditransfer langsung ke rekening sekolah," beber Peneliti ICW Dewi Anggraeni.

Sejauh ini, terdapat 2 korupsi dana BOS tahun anggaran 2020 yang telah ditindak oleh kejaksaan, yaitu di Kota Bitung, Sulawesi Sulawesi Utara, dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur dengan modus pemotongan oleh oknum Dinas Pendidikan dan kegiatan fiktif di sekolah.

Selanjutnya, korupsi terbanyak yaitu korupsi pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang/ jasa non infrastruktur, seperti pengadaan buku, arsip sekolah, meubelair, perangkat TIK untuk e-learning, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas pendidikan, dan lainnya.

Pengadaan yang dikorupsi ini berasal dari beragam program dan sumber anggaran, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), dana otonomi khusus, anggaran Kemendikbud, anggaran Kemenag, dan APBD. Sebagian diduga bersumber dari DAK, sebab terdapat kasus-kasus yang tidak disebutkan dengan jelas sumber anggarannya. Sedangkan kasus yang dapat diidentifikasi bersumber dari DAK berjumlah 34 kasus

Kasus korupsi pendidikan yang ditindak APH pada 2016-September 2021 ini melibatkan 621 tersangka. Dilihat dari latar belakangnya, tersangka didominasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Pendidikan dan instansi lain (di luar ASN di sekolah), yaitu sebanyak 288 atau 46,3%.

Secara lebih rinci, ASN yang dimaksud merupakan ASN Staf di Dinas Pendidikan (160 tersangka); ASN instansi lain seperti kementerian, Dinas Sosial, Dinas Syariat Islam, Dinas Komunikasi dan Informasi, dll (84 tersangka); dan Kepala Dinas Pendidikan (44 tersangka).

Tersangka terbanyak kedua berasal dari pihak sekolah, yaitu 157 tersangka atau 25,3% dari total tersangka. Kepala dan wakil kepala sekolah adalah pihak sekolah yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka (91 orang) dan disusul pihak lain seperti guru, kepala tata usaha, dan penanggung jawab teknis kegiatan (36 orang), serta staf keuangan atau bendahara sekolah (31 orang).

Data ini menunjukkan fakta bahwa korupsi pendidikan juga marak terjadi di sekolah, tempat peserta didik menuntut ilmu yang seharusnya mengajarkan sekaligus mencontohkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keadilan.

Banyak Temuan, Minim Pengawasan
Korupsi di sektor pendidikan dalam lima tahun terakhir meningkat tajam. Melibatkan oknum-oknum di level atas hingga bawah. Mengeruk uang besar hingga uang receh. Banyak temuan keganjilan program pendidikan karena minim pengawasan.

Sektor Pendidikan di Indonesia menjadi salah satu yang membutuhkan anggaran besar setiap tahunnya. Pendidikan menjadi salah satu sektor yang paling banyak menyedot anggaran negara.

Meski begitu masih banyak pekerjaan rumah untuk membenahi sektor pendidikan di Indonesia karena sampai hari ini kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari yang diharapkan.

Bahkan kualitas Pendidikan Indonesia masih kalah dari Negara tetangga seperti Singapura, Thailand bahkan Malaysia. Kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah di Indonesia juga cukup jomplang.

Dengan jumlah anggaran yang besar tentu sangat penting untuk mengetahui bagaimana anggaran tersebut direncanakan, diperuntukkan, dan digunakan.

Pasalnya, sektor pendidikan tak luput dari persoalan anggaran belanja yang tak sesuai kebutuhan dan rawan terjadinya tindak pidana korupsi. Dengan masalah ini, upaya peningkatan pelayanan pendidikan terancam berjalan lambat dan peningkatan anggaran tak banyak berdampak.


Ilustrasi korupsi di sektor pendidikan (Dok.Suluh.co)

Soal serapan anggaran pendidikan, mendapat catatan kritis dari Anggota Komisi X DPR RI Anita Jacoba Gah. Dia menyebut bahwa anggaran pada sektor pendidikan masih belum sepenuhnya terserap secara tepat sasaran.

Meskipun Kemendikbudristek telah mengklaim bahwa serapan anggaran belanja dana pendidikan sudah mencapai 81 persen, Anita menegaskan, pihaknya masih mendengar banyak keluhan dari masyarakat.

"Jujur kami katakan bahwa ini tidak efisien, tidak tepat sasaran dan tidak akuntabel," kata Anita kepada Law-Justice.

Lebih lanjut Politisi Partai Demokrat tersebut mencontohkan Program Indonesia Pintar (PIP) yang berjalan di Dapilnya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Meskipun penyerapan PIP sudah 100 persen, tapi program tersebut tidak sampai ke semua lapisan masyarakat di sana.

"Contoh mas, PIP ini sudah 100 persen penyerapannya, tapi nyatanya tidak 100 persen sampai di tangan rakyat. Bahkan dana itu masih mengendap di Bank," imbuhnya.

Anita menuturkan perlu diperhatikan secara teknis supaya program tersebut bisa sampai ke masyarakat karena bisa saja ada oknum dari bank tersebut yang menolak masyarakat saat ingin mengambil haknya.

"Ada yang cerita ke saya, misalnya dari oknum satpam di bank meski sudah dilaporkan dan diganti tapi tetap saja seolah diajarkan mereka menolak rakyat," tutur Anita.

Dia menyebut bahwa persoalan sepele itu harus diselesaikan oleh internal Kemendikbudristek, berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.

Bahkan Anita menyatakan kalau dia berencana akan membawa permasalahan tersebut ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Saya ingatkan Mas Menteri, kami di daerah sudah banyak temuan. Saya melalui pimpinan, akan kita bawa ke mana ini? kita akan bawa ke BPK atau ke KPK," ujarnya.

Seperti diketahui, saat ini serapan anggaran dari Kemendikbud Ristek baru mencapai 81 persen dari total target 97 persen, sedangkan saat ini sudah mencapai akhir tahun. Posisi serapan 81 persen tersebut terjadi pada Bulan November 2021.

Namun, Mendikbud Ristek Nadiem mengaku optimistis bisa memaksimalkan serapan anggaran kementeriannya pada akhir Desember. Ia menargetkan penyerapan anggaran nantinya pada akhir Desember mencapai 97 persen.

"Kita punya harapan dan target 97 persen realisasi anggaran tahun 2021 di akhir bulan Desember," ujar Nadiem melalui keterangan yang diterima Law-Justice.

Meski begitu Nadiem mengklaim kalau penyerapan anggaran tahun ini sudah lebih baik bila dibandingkan dengan Tahun 2020 lalu. November tahun lalu, kata Nadiem, serapan anggarannya hanya 74 persen.

"Jadi sudah lebih tinggi dari tahun lalu. Itulah yang membuat kami percaya diri untuk mencapai 97 persen penyerapan di akhir tahun ini," klaimnya.

Terkait dengan pencegahan korupsi, Kemendikbud Ristek melalui Inspektur Jenderal, Kemendikbud Ristek, Chatarina Muliana Girsang menekankan pentingnya internalisasi pencegahan sebagai bentuk komitmen dan kepedulian terhadap pencegahan tindak pidana korupsi di lingkungan Kemendikbud Ristek.

“Dengan membangun internalisasi pencegahan, adalah bentuk komitmen kementerian dalam membangun kesadaran terkait hal-hal yang masih menjadi perhatian di lingkungan satuan kerja kita,” tegasnya kepada Law-Justice.

Lebih lanjut Chatarina menyampaikan bahwa internalisasi pencegahan korupsi di lingkungan Kemendikbud Ristek juga merupakan bagian dari peran aktif Itjen untuk melakukan pengawasan sesuai dengan arahan Mendikbud Ristek, Nadiem Anwar Makarim.

Dia tegaskan bahwa tidak ada toleransi untuk bentuk penyimpangan sekecil apapun karena pencegahan korupsi merupakan tanggung jawab bersama.

“Sebagaimana arahan Mas Menteri, tidak ada toleransi terkait penyimpangan dan juga harga mati untuk integritas, sehingga kami dari Itjen tentu saja harus mengawal kebijakan Mas Menteri agar benar-benar melakukan pengawasan, baik dalam hal pencegahan maupun dalam hal penindakan apabila ada laporan-laporan di seluruh unit kerja kita,” katanya.

Dia memaparkan bila Itjen merupakan pengawas internal yang menjadi ujung tombak untuk menjamin tata kelola dapat berjalan secara akuntabel dan transparan.

Selain itu, Itjen juga harus dapat melakukan mitigasi risiko dan manajemen risiko dalam setiap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lingkungan Kemendikbud Ristek, termasuk penyimpangan yang bersifat administratif maupun yang bersifat koruptif.

“Jadi ini yang harus terus kami canangkan dalam internalisasi pencegahan korupsi bahwa korupsi bukanlah budaya kita, tetapi merupakan tanggung jawab kita semua untuk melakukan pencegahan dalam setiap kegiatan dan program kita,” paparnya.

Kebijakan pengawasan Itjen terkait tindak korupsi di lingkungan Kemendikbud Ristek menurutnya, terdiri dari dua penjamin, yakni audit dan review. Di mana kebijakan pengawasan audit mencakup audit kinerja program berkelanjutan, audit kinerja entitas, serta audit tujuan tertentu yaitu audit investigasi dan temuan fakta (fact finding).

Sedangkan untuk kebijakan pengawasan review terdiri dari review atas Laporan Keuangan (LK) Eselon I, LK Kementerian, Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan (PIPK) Eselon I dan PIPK Kementerian, review rencana kegiatan dan anggaran terhadap RKA-KL dan semua satker.

Review atas aspek keuangan tertentu terhadap Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RK BMN) Eselon I serta review aspek kinerja tertentu terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja (Lakip) Eselon I dan Kementerian.

“Oleh karena itu, sudah seharusnya hal tersebut menjadi peningkat kepedulian untuk dapat mengurangi atau bahkan menghentikan segala jenis tindakan korupsi yang masih terus terjadi di lingkungan Kemendikbud Ristek,” tegasnya.


Ilustrasi Anggaran Bantuan Pendidikan (Sumber : BPK)

Besarnya Potensi Konflik Kepentingan di Kemendikbud
Sementara itu Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji menyebut bahwa temuan ICW tentang banyaknya tindak pidana korupsi di sektor pendidikan dalam lima tahun terakhir, sangat memprihatinkan.

Indra mengatakan, pendidikan merupakan sektor yang paling berpeluang besar peluang korupsinya dan paling rawan terjadi konflik kepentingan di lingkungan Kemendikbud Ristek.

“Kalau kita lihat dalam-dalamnya Kemendikbud saat ini, konflik kepentingannya sangat besar. Dan itu potensi dari korupsi,” kata Indra kepada Law-Justice.

Indra menyebut hal tersebut bisa dibuktikan dengan memperhatikan siapa saja pejabat-pejabat eselon 1 yang berada di sana untuk mengetahui lebih lanjut.

"Nanti akan terlihat kok siapa yang bermain,” ujarnya.

Indra menegaskan, salah satu bukti konkret adanya dugaan korupsi dalam sektor pendidikan adalah tidak meningkatnya kualitas pendidikan di Tanah Air dengan anggaran yang besar. Padahal, anggaran Kemendikbudristek sendiri adalah salah satu yang terbesar, yakni Rp 81,5 triliun pada 2021. Banyak program yang sudah diluncurkan namun hasilnya belum signifikan.

“Kita pakai indikator yang sederhana aja deh. Kualitas pendidikan Indonesia semakin hari semakin turun tetapi anggarannya semakin naik, apa artinya? Sekarang (korupsi) lebih parah sepertinya,” tegasnya.

Sedangkan, salah satu guru honorer kategori II yang bernama Titiek Purwaningsih mengatakan, dalam sektor pendidikan adanya perbudakan birokrasi terjadi pada guru honorer. Selain itu, dia menekankan bila gaji guru honorer tidak layak karena dibawah UMK padahal kebutuhan guru di semua jenjang sangat tinggi.

"Yang Kami (Guru Honorer) rasakan tidak sesuai dengan UUD dan pancasila dan sudah belasan tahun kami guru honorer mengabdi tapi status belum jelas," kata Titiek kepada Law-Justice.

"Kebijakan pemerintah belum jelas dan terasa mengenai guru honorer," tegasnya.

Titiek menilai, masyarakat sebetulnya sangat membutuhkan keberadaan guru honorer, tapi pemerintah seolah abai dengan nasib mereka. Guru honorer sering dijadikan objek janji politik pejabat tanpa ada kepastian soal jaminan nasib dan kehidupan yang layak bagi mereka.

"Pemerintah sebaiknya memberikan regulasi khusus untuk PNS dan PPPK, memberikan regulasi yang khusus supaya tenaga honorer berkompetisi sesuai dengan kelasnya," pungkasnya.

Sorotan KPK Soal Dana Pendidikan

LSM pemantau korupsi, ICW menyebut, korupsi anggaran pendidikan sejak 2007 - 2021 telah merugikan negara sebebsar Rp1,6 triliun. Ini tentunya bukan angka yang kecil, sebab korupsi dana pendidikan memberikan dampak yang signifikan pada dunia pendidikan di Indonesia.

Salah satunya adalah ketika KPK menangkap tangan Bupati Cianjur Irvan Rivano Mochtar pada 12 Desember 2018. Ia diduga memotong dana alokasi khusus (DAK) Pendidikan Kabupaten Canjur tahun 2018. Celakanya, korupsi ini dilakukan secara berjamaah oleh Bupati beserta jajarannya di Dinas Pendidikan.

Alhasil, selain Bupati Cianjur, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Cianjur, Cecep Sobandi (CS); Kepala Bidang SMP di Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, Rosidin (Ros); dan kakak ipar Bupati Cianjur, Tubagus Cepy Sethiady (TCS).

Mereka turut menerima aliran dana hasil pemotongan sebesar 14,5 persen dari total DAK Pendidikan sebesar Rp.46,8 miliar. Wakil Ketua KPK saat itu, Basaria Pandjaitan mengatakan, korupsi di sektor pendidikan tidak hanya merugikan negara, tapi juga merusak masa depan bangsa.

"‎Korupsi di sektor pendidikan dapat merusak masa depan bangsa ini untuk bisa menjadi lebih baik dan maju melalui pendidikan yang berkualitas‎," kata Basaria saat itu.

Ini senada dengan pernyataan salah satu pimpinan Komisi Pemberantansan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto pada 2015. Ia mengatakan, korupsi di sektor pendidikan memiliki daya rusak yang dahsyat. Menurut dia, korupsi di sektor ini akan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan. Hal ini dimulai dari berkurangnya dasar legitimasi para pendidik. Karena ketika mereka melakukan korupsi maka harga dirinya sebagai pendidik akan hilang.


Gedung KPK (Istimewa)

Kerugian Negara versi KPK
Jika LSM pemantau korupsi, ICW menyebut kerugian negara dari korupsi di sektor pendidikan mencapai Rp1,6 triliun dalam kurun waktu 2007-2021, data yang kami terima dari Komisi Pemberantasan Korupsi berbeda. Juru bicara KPK, Ali Fikri mengungkapkan, sejak 2011 hingga kini KPK telah menangani 6 kasus tindak pidana korupsi di sektor pendidikan, yakni:

1. Pada 2011 yaitu TPK terkait pengadaan barang dan jasa berupa laboratorium komputer di Kementerian Agama tahun 2011 dengan Terdakwa Undang Sumantri (Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama). Kerugian keuangan negara: Rp12 Miliar.

2. Pada 2014 yaitu TPK terkait dana pendidikan luar sekolah (PLS) di NTT dengan Terdakwa Marthen Dira Toma (Mantan Bupati Sabu Raijua) dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, John Manulangga (meninggal dunia). Kerugian keuangan negara : Rp4,2 Miliar.

3. Pada 2016 yaitu TPK terkait suap proyek di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga dalam APBD-P 2016 di Kabupaten Kebumen.

4. Pada 2019 yaitu TPK terkait pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Unair tahun 2007-2010 dan Rumah Sakit Pendidikan Unair Tahun 2009.

Total kerugian negara dari kedua tindak pidana korupsi nomor 3 dan 4 adalah Rp85 miliar.

5. Pada 2018 kasus suap DAK Bupati Cianjur Irvan Rivano M dkk,

6. Pada 2021 yaitu dugaan TPK pengadaan lahan untuk pembangunan SMKN 7 Tangsel pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten Tahun Anggaran 2017. Untuk kasus ini belum diketahui jumlah kerugian negara, karena proses penyidikan masih berjalan.

Dari enam tindak pidana korupsi di sektor pendidikan sektor pendidikan tersebut, KPK mencatat sedikitnya kerugian negara mencapai Rp102,1 miliar.

Upaya Pencegahan Korupsi Dana Pendidikan
Anggaran pendidikan yang rawan dikorupsi tak hanya pada lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Potensi korupsi dana pendidikan juga ada di lembaga pendidikan yang ada di bawah Kementerian Agama, seperti madrasah dan pesantren.

Sebab pemerintah juga mengucurkan anggaran pendidikan ke sana yang nilainya fantastis. Pada 2013-2014, anggaran pendidikan di Kementerian Agama mencapai Rp48.17 triliun. Dana tersebut diantaranya digunakan untuk sarana dan prasarana (sarpras) dan Bantuan Siswa Miskin (BSM).

Potensi korupsi tersebut cukup mengkhawatirkan, mengingat pada 2011 pernah terjadi tindak pidana korupsi dana pendidikan di Kementerian Agama, yakni terkait pengadaan barang dan jasa berupa laboratorium komputer di Kementerian Agama. Dalam kasus tersebut, Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Undang Sumantri menjadi terdakwa.

Dalam kasus itu, negara dirugikan sebesar Rp12 miliar dan terdakwa dijatuhi hukuman penjara 1,5 tahun dan denda Rp50 juta subsidair 1 bulan kurungan.

Untuk mencegah kejadia yang sama terulang, pada 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi pernah melakukan kajian mengenai penggunaan anggaran pendidikan di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan. Menurut Litbang KPK, kajian tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi sejumlah titik rawan korupsi pada pengelolaan dana pendidikan di Kementerian Agama.


Ilustrasi kebocoran dana pendidikan (Dok.KPK)

Ruang lingkup kajian tersebut meliputi sarana prasarana, bantuan siswa miskin, tunjangan guru, dosen, baik yang berstatus PNS atau non-PNS, serta bantuan operasional. Hasil dari kajian tersebut, KPK menemukan adanya sejumlah permasalahan dalam pengelolaan dana pendidikan di Kementerian Agama. Hal tersebut bisa membuka potensi terjadinya korupsi.

Dalam bantuan sarana dan prasarana, KPK menemukan permasalahan utama, yakni:

1. Pemberian bantuan sarpras tanpa didasari perencanaan yang baik
2. Mekanisme pengajuan proposal tidak sesuai dengan praktik good governance
3. Proses verifikasi proposal belum optimal
4. Kriteria affirmative action dalam pemberian bantuan direktorat PD pontren tidak transparan dan tidak akuntabel
5. Data penerima bantuan sarpras tidak teradministrasi dengan baik
6. Klasifikasi dan jumlah jenis bantuan di Dit. PD pontren tidak efisien
7. Petunjuk teknis (Juknis) pada Dit. PD pontren belum optimal mendukung pelaksanaan program
8. Pengelolaan anggaran bantuan oleh Kemenag pusat tidak efisien
9. Kemenag belum siap mengelola bantuan sarpras akibat perubahan akun.

Sementara pada bantuan siswa miskin, KPK menemukan sejumlah permasalahan, yakni:

1. Terdapat ketidaksesuaian antara Juknis dan pelaksanaan pengelolaan BSM
2. Penggunaan BSM tidak sesuai peruntukkan
3. Penanganan pengaduan masyarakat serta monitoring dan evaluasi belum optimal

Selain dua hal di atas, KPK juga menemukan sejumlah permasalahan lainnya, yaitu:

1. Jumlah satker kemenag tidak efektif
2. Sistem informasi yang ada belum optimal untuk digunakan sebagai data acuan dalam pengambilan kebijakan
3. Belum ada aturan pengelolaan dana partisipasi masyarakat oleh Komite Sekolah
4. Adanya pungutan untuk mendanai kegiatan yang sudah dianggarkan.

Dari diagnosa sejumlah permasalahan tersebut, KPK memberikan rekomendasi, yakni perbaikan tata kelola secara signifikan yang meliputi:

1. Perlu dilakukan beberapa perbaikan di level peraturan/kebijakan seperti Peraturan Menteri atau juknis
2. Perbaikan database, pengoptimalan sistem IT dan penanganan sistem pengaduan masyarakat
3. Peningkatan pengawasan atas pelaksanaan aturan yang sudah ada juga perlu dilakukan seperti kepatuhan transparansi penyaluran, peruntukkan penggunaan bantuan, dan ketepatan waktu penyaluran
4. Pembuatan aturan pengelolaan dana partisipasi masyarakat oleh Komite Sekolah.

Hasil kajian litbang KPK tersebut sampai ke Menteri Agama pada 2015 lalu, yang dijabat oleh Lukman Hakim Saifuddin. Kala itu ia mengapresiasi kajian yang telah dilakukan KPK atas penggunaan anggaran pendidikan di kementeriannya. Kedepanya, ia berharap KPK bisa terus mengawasi penggunaan anggaran pendidikan di Kementerian Agama.

Sejak awal kami mengharapkan masukan yang lebih substantif dan berharap KPK bisa memberikan asistensi agar kami bisa mewujudkan tata kelola yang transparan dan akuntabel,” katanya pada 2015 lalu.

Upaya pencegahan juga dilakukan KPK di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada Februari 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi sepakat meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan anggaran pendidikan. Pimpinan kedua lembaga itu bertemu di gedung KPK Jakarta setelah mencapai kata sepakat.

Ketua KPK saat itu, Agus Rahardjo mengatakan, potensi penyimpangan (korupsi) anggaran pendidikan ada di tingkatan daerah. Dalam Nota Keuangan dan APBN tahun 2019 disebutkan, sebanyak 62,6 persen atau Rp308,4 triliun anggaran fungsi pendidikan disalurkan ke daerah.

Sebagai gambaran, pada 2018, total anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp444,1 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp492,5 triliun pada tahun 2019. Sebagian besar anggaran fungsi pendidikan ditransfer ke daerah melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) baik Fisik maupun Nonfisik untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD).

Dalam satu kesempatan pada Oktober 2021 lalu, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan, menurut data KPK per 1 Januari 2021, 80 persen kasus korupsi yang melibatkan sektor swasta dan sekktor publik, modusnya antara lain suap menyuap, gratifikasi dan pengadaan barang dan jasa.

Untuk sektor pendidikan, lanjut Ghufron, sektor pengadaan barang dan jasa adalah yang paling rentan dikorupsi. Mulai dari proses perencanaan anggaran hingga eksekusi seperti pembangunan gedung, laboratorium, sarana dan prasarana di lembaga pendidikan. Menurut dia, hal tersebut bisa didahului dengan adanya konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang.

Dia menambahkan, tindak pidana korupsi di sektor pendidikan juga bisa melibatkan banyak pihak, termasuk yang ada di dalam lembaga pendidikan terkait, misalny rektor, wakil rektor, pejabat struktural hingga mahasiswa. Ia mencontohkan kasus korupsi dana bansos yang dilakukan 5 mahasiswa di sebuah perguruan tinggi.

"Pada 2015 5 aktivis mahasiswa mengkorupsi dana bansos sebesar Rp350,5 juta," papar Ghufron.

Hal ini senada dengan pernyataan Juru Bicara KPK, Ali Fikri. Menurut dia, selain pemotongan fee, seperti yang terjadi pada kasus Bupati Cianjur, modus korupsi di sektor pendidikan lainnya adalah yang terkait pengadaan barang dan jasa (PBJ) pembangunan infrastruktur.

Dalam hal ini KPK telah mematakan sejumlah titik rawan korupsi terkait pengadaan barang dan jasa, diantaranya:

1. Kelembagaan Unit Layanan Pengadaan yang tidak independen.
2. Pokja Unit Layanan Pengadaan tidak permanen.
3. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan;
4. Adanya benturan kepentingan dalam pelaksanaan PBJ,
5. Kegiatan PBJ yang tidak terencana dengan baik, hingga
6. Sistem PBJ yang tidak handal sehingga mudah diretas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

"Dari hasil pemetaan tersebut, KPK mendorong pemerintah daerah untuk menyusun langkah dan upaya perbaikan sistem dalam tata kelola Pengadaan barang dan jasa," ujar Ali Fikri kepada law-juctice.co pada Sabtu (11/12/2021).

Selain itu, untuk mencegah terjadinya korupsi di wilayah pengadaan barang dan jasa, khususnya di amsa pandemi Covid 19, KPK telah menerbitkan Surat Edaran No 8 tahun 2020 tentang penggunaan anggaran pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.

Menurut Ali FIkri, surat edaran ini dikeluarjan untuk mengingatkan para pelaksana pengadaan barang dan jasa agar menghindari perbuatan-perbuatan yang dikategorikan Tindak Pidana Korupsi dalam seluruh tahapan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, diantaranya:

1. Melakukan persekongkolan/kolusi dengan penyedia barang dan jasa
2. Memperoleh kickback dari penyedia
3. Penyuapan
4. Gratifikasi
5. Benturan kepentingan dalam pengadaan
6. Kecurangan dan/atau maladministrasi
7. Berniat jahat memanfaatkan situasi/kondisi, dan
8. Membiarkan terjadinya tindak pidana korupsi

"Korupsi di sektor PBJ juga mengakibatkan terdegradasinya kualitas barang/jasa yang secara langsung merugikan masyarakat. Karenanya, KPK selalu mendorong praktik PBJ sesuai dengan aturan hukum," pungkas Ali Fikri.


Tersangka korupsi di sektor pendidikan (Dok.ICW)

Modus Bancakan Dana Pendidikan
Penyedia pengadaan menempati posisi ketiga terbanyak yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi pendidikan. Penyedia yang dimaksud mencakup penyedia/ rekanan terpilih untuk membangun bagunan fisik dan non fisik maupun penyedia sub kontrak.

Terdapat 125 tersangka atau 20% yang berasal dari penyedia. Terdapat pula kepala dan wakil kepala daerah yang menjadi tersangka (7 orang). Mereka adalah Bupati Jembrana I Gede Winasa, Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, dan Pejabat Bupati Lampung Timur Tauhidi yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2016 serta Bupati Hulu Sungai Tengah Harun Nurasid yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2017.

Selaras dengan data yang menunjukkan korupsi pendidikan banyak dilakukan oleh ASN Dinas Pendidikan dan pihak sekolah, posisi teratas tempat terjadinya korupsi juga ditempati oleh Dinas Pendidikan di peringkat pertama dan sekolah di peringkat kedua.

Terdapat 124 kasus (51,6%) kasus korupsi pendidikan yang terjadi di level Dinas Pendidikan dengan kerugian negara mencapai Rp 225,2 miliar. Korupsi di Dinas Pendidikan umumnya berupa mark up anggaran (20%), penggelapan anggaran (15%), dan pungutan liar (pungli) atau pemerasan (12,6%).

Sedangkan korupsi di sekolah kerap terjadi berkaitan dengan penggunaan dan laporan pertanggungjawaban dana BOS (49% atau 37 dari 75 kasus). Kasus korupsi di sekolah terbanyak kedua merupakan pungli. Mulai dari pungli penerimaan siswa baru, dana UN, operasional Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), sertifikasi guru, penebusan Standar Kompetensi Kelulusan (SKL), hingga keperluan kelas.

Peneliti ICW Dewi Anggraeni juga menyebut, meski dari sisi jumlah kasus tak sebanyak korupsi di Dinas Pendidikan dan sekolah, korupsi di perguruan tinggi cukup banyak ditindak APH dan menempati posisi ketiga. Namun meski demikian, korupsi di perguruan tinggi jika dilihat dari nominal kerugian negaranya jauh lebih besar dibanding korupsi di Dinas Pendidikan. 20 kasus korupsi perguruan tinggi yang ditindak oleh APH telah merugikan negara Rp 789,8 miliar.

Hal yang sangat disayangkan dan melukai semangat penegakan hukum, terdapat 2 kasus yang didalangi oleh oknum kejaksaan negeri, yakni kasus korupsi proyek pembangunan SDN 2 Bangunrejo, Yogyakarta, dan kasus pemerasan dalam proses pencairan dana BOS TA 2019 di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

"Maraknya korupsi sektor pendidikan patut dilihat sebagai persoalan yang mengkhawatirkan. Perilaku koruptif dan pemborosan anggaran yang sebenarnya terjadi juga diyakini jauh lebih masif dibanding jumlah kasus yang telah ditindak APH. Semakin banyak kasus, semakin besar kerugian negara, dan semakin suram pula layanan pendidikan serta pengembangan sumber daya manusia. Terlebih pendidikan merupakan layanan dasar yang berkontribusi besar dalam membentuk karakter dan sikap seseorang," jelas peneliti ICW Dewi Anggraeni mengutip dari laporan yang dirilis lembaganya.


Modus korupsi di sektor pendidikan (Dok.ICW)

Dilihat dari kasus-kasus yang telah ditindak oleh APH maupun observasi yang ICW dan jaringan lakukan disimpulkan bahwa:

Penindakan korupsi pendidikan dari tahun ke tahun dan patut dilihat sebagai indikasi bahwa korupsi sektor pendidikan juga masih masif terjadi. Korupsi yang ditindak APH ini masih jauh lebih kecil dari masalah pengelolaan pendidikan yang sebenarnya terjadi, melihat banyaknya PBJ mangkrak dan berkualitas buruk. Meski belum tentu disebabkan korupsi, PBJ mangkrak atau PBJ tak dapat dimanfaatkan perlu dilihat sebagai masalah dalam pengelolaan anggaran dan pengadaan sektor pendidikan yang perlu dibenahi.

Korupsi pendidikan tak mengenal batas nilai kemanusiaan. Anggaran bantuan untuk siswa kurang mampu dan gaji guru honorer tak luput dikorupsi. Bahkan, korupsi tetap berlanjut di tengah pandemi Covid-19 dan terkait BOP untuk penanganan Covid-19.

Terdapat indikasi adanya korelasi antara petty corruption dengan korupsi yang lebih besar. Kasus yang ditindak APH sejauh ini banyak yang berupa korupsi kecil-kecilan yang dilakukan oleh sekolah dan staf Dinas Pendidikan. Namun jika ditelusuri lebih jauh, salah satu penyebab korupsi kecil-kecilan ini yaitu adanya pungli dari instansi/ pejabat yang mempunyai kewenangan lebih, seperti kepala daerah dan penegak hukum. Faktor lainnya dikarenakan ada jual beli jabatan sehingga ada kebutuhan untuk mengembalikan uang suap yang mereka keluarkan.

Tanpa peran substansial dari komite sekolah dalam perencanaan dan pengawasan dana BOS serta tanpa transparansi dana BOS kepada warga sekolah dan publik, dana BOS tetap akan sangat rentan dikorupsi. Kerentanan ini tetap tinggi meski dana BOS telah langsung ditransfer ke sekolah.

Dari kajian ini, peningkatan penerapan prinsip keterbukaan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan urgen dilakukan. Dalam ruang lingkup yang paling kecil, kewajiban transparansi harus dipertegas dalam pengelolaan dana BOS. Meski kewajiban mengumumkan laporan telah ada dalam juknis dana BOS, perlu ada penegasan berupa pengecekan dan bahkan sanksi bagi sekolah yang tidak terbuka dalam pengelolaan dana BOS nya.

Keterbukaan informasi juga penting diterapkan dalam proses PBJ. Selain wajib mempublikasikan Rencana Umum Pengadaan (RUP) dalam Sistem Informasi RUP (SiRUP), pemerintah dan LKPP perlu terus mendorong komitmen dan kedisiplinan SKPD dalam menginput dan mempublikasikan realisasi PBJ di LPSE daerah. Sejauh ini, data pengadaan masih belum sepenuhnya dipublikasikan, padahal sistemnya sudah tersedia.

Inspektorat daerah juga penting dikuatkan perannya, baik dalam mengawasi anggaran hingga menindaklanjuti aduan dugaan penyalahgunaan anggaran pendidikan dan penyalahgunaan wewenang pejabat daerah (pungli, pemerasan, dan permintaan setoran). Beriringan dengan aspek pengawasan, peningkatan kapasitas pengelolaan anggaran penting dilakukan, khususnya kepada pihak sekolah. Dengan demikian, kesalahan penggunaan anggaran atau pelaporan dapat semakin diminimalisir.

Pengawasan Anggaran Pendidikan Minim
ICW juga menyebut bahwa pengawasan dan transparansi anggaran dana pendidikan masih minim. Menurut Peneliti ICW Dewi Anggraeni juga menyebutkan perlunya partisipasi publik yang lebih besar dalam mengawasi dana anggaran pendidikan.

"Transparansi, pengawasan, dan partisipasi masyarakat yang masih minim. Misalnya partisipasi masyarakat dilibatkan secara maksimal sejak identifikasi kebutuhan hingga serah-terima hasil pengadaan, setidaknya akan berdampak pada kualitas dan ketepatan kebutuhan masyarakat," ungkap Dewi Anggraeni.

Selain itu dia juga menyebutkan, beberapa pengawasan ketat yang dilakukan oleh lembaga Inspektorat Kemendikbud harus didukung secara maksimal.Sehingga, berbagai celah korupsi melalui pengadaan barang dan jasa bisa ditutup.

"Disebutkan dalam diskusi publik yang dihadiri Ibu Chatarina Girsang, Inspektorat bekerja maksimal tetapi sistem dan integritas personal juga harus dikawal," jelasnya.

"Jika terkait korupsi PBJ, dalam pemantauan ICW banyak ditemukan hasil pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan dan berkualitas buruk. Peran Inspektorat tentu disini penting, terutama Inspektorat daerah, tetapi memang menurut ICW kerja pengawasan di daerah tidak maksimal karena selain masalah minimnya anggaran, kemampuan pengawasan dan pengakuan atas hasil kerja Inspektorat masih minim," tambah Dewi Anggraeni.

Menurut Dewi, lembaganya juga mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut berbagai persoalan korupsi dana pendidikan hingga ke aktor intelektualnya yang merugikan dunia pendidikan.

"Tidak hanya di sektor pendidikan, dalam semua sektor tentu aparat penegak hukum (APH) harus mengusut tuntas sampai ke aktor intelektualnya. Jika terkait sektor pendidikan, harus diusut sampai ke tingkatan paling atas karena misal kasus jual beli jabatan atau pungli, pasti ada aktor bertingkat yang terlibat," tandasnya.

Dia juga menyebut, modus korupsi di sektor pendidikan terus berulang tiap tahunnya untuk itu perlu adanya keterbukaan dari elemen penegak hukum dan lembaga kementerian pendidikan agar berbagai modus bisa diungkap dan tidak terulang kembali.

"Iya, modus-modus dalam temuan ICW terus berulang setiap tahunnya. Pemantauan ICW didasarkan pada informasi sekunder karena tidak semua APH rajin/tertib/reguler menginformasikan kasus korupsi yg sedang ditangani beserta statusnya, sehingga sulit jika mau disebutkan berapa persentasenya," pungkas Dewi.

Catatan Merah BPK Soal Dana Pendidikan

Dalam laporannya, Badan Pemeriksa Keuangan juga menemukan berbagai temuan yang terkait dengan anggaran di sektor pendidikan. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Semester I 2021, didapatkan berbagai penyimpangan yang terjadi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa penyimpangan itu antara lain :

- Terdapat kekurangan pembayaran tunjangan profesi guru non-PNS Tahun 2020.
- Penyaluran bantuan uang kuliah tunggal (UKT) dari perguruan tinggi ke masing-masing mahasiswa penerima bantuan UKT belum sesuai dengan kriteria yang diatur dalam
pedoman penyaluran bantuan UKT.
- Penyaluran belanja bantuan sosial Program Indonesia Pintar (PIP), Bidikmisi On Going, dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah tidak sesuai dengan ketentuan.

Sedangkan dari LHP tahun 2020 semester I, juga didapati adanya dugaan penyimpangan anggaran Kemendikbudristek antara lain:
- Kemendikbud belum memiliki grand design pengembangan dan pemanfaatan aplikasi teknologi informasi kepegawaian yang terintegrasi, efisien, dan efektif.
- Pelaksanaan 5 paket pengadaan langsung pekerjaan konstruksi rehabilitasi bangunan gedung negara tidak didukung dengan ketersediaan anggaran tahun 2019, serta terdapat paket pekerjaan yang dilakukan pada bulan Desember 2019 tidak didukung dengan kontrak.
- Mekanisme penganggaran penyelenggaraan ujian nasional perbaikan tahun pelajaran 2018/2019 tidak efisien, karena tidak memerhatikan kesesuaian jumlah calon peserta dan jumlah satuan pendidikan pelaksana pada kabupaten/kota.

Badan Pemeriksa Keuangan juga menemukan adanya pelanggaran dalam pengelolaan Program Indonesia Pintar (PIP) tahun anggaran 2018-hingga semester I 2020. Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas pengelolaan PIP mengungkapkan 7 temuan yang memuat 23 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi :

- 20 kelemahan sistem pengendalian intern,
- 2 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp33,00 juta, dan
- 1 permasalahan 3E senilai Rp2,86 triliun.


Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Ghivary Apriman, Rio Rizalino

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar