Desakan Revisi UU Cipta Kerja, Hakim MK: Bisa Jika Ditemukan Cacatnya

Jum'at, 03/12/2021 17:40 WIB
Hakim konstitusi Saldi Isra (Dok.Setkab)

Hakim konstitusi Saldi Isra (Dok.Setkab)

Jakarta, law-justice.co - Hakim konstitusi Saldi Isra menanggapi ramai pro-kontra putusan UU Cipta Kerja. Baginya wajar sebuah putusan menimbulkan pendapat pro dan kontra dalam masyarakat.


"Terakhir MK memutus UU Ciptaker. Uhg... pro-kontra. Ramai sekali. Orang tanya ke saya, `Kok jadi ribut putusan ini? Tolong cari di dunia ini kalau tidak ada putusan yang menjadi perhatian publik yang tidak pro-kontra. Coba cari`. Apalagi sekelas UU Cipta Kerja," kata Saldi dalam seminar di UNS yang disiarkan di channel YouTube MK, Jumat (3/12/2021).

"Itu baru kami Mahkamah Konstitusi memeriksa apakah proses pembentukannya sesuai konstitusi atau tidak. Belum masuk substansi. Ini kalau masuk substansi, tebal sekali," sambung Saldi.

Dalam putusan itu, MK menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil sehingga inkonstitusional bersyarat dengan kewajiban merevisi maksimal 2 tahun ke depan.

"Karena ini yang diperiksa adalah awal itu baru proses pembentukannya, Mahkamah menemukan ada proses yang cacat, disuruh ulang untuk itu. Kalau mau rem mendadak, begitu dikatakan ketemu cacatnya, lalu dibatalkan, itu bisa... (disambung dengan bahasa tubuh Saldi mengibaskan tangan)," kata Saldi.

"Nah, tapi MK punya cara sendiri, punya pertimbangan sendiri. jangan mendadaklah. Harus begini. Harus ada masa peralihan, transisi, dan sebagainya," kata Saldi menyambung pernyataannya.

Saldi tidak mempermasalahkan komentar masyarakat atas putusan itu.

"Kalau berdebat, silakan. Ada yang setuju banget, ada yang tidak setuju sekali. Nah, ada yang di tengah-tengah. Ya nggak papa, ya memang begitu sih putusan pengadilan. Nah, saya tidak mau masuk terlalu jauh. Tapi paling tidak, adanya Mahkamah Konstitusi bisa mengerem logika politik para politisi kalau logikanya nanti bertabrakan dengan konstitusi," kahta Saldi menegaskan.

Dalam kesempatan itu, Saldi meminta sivitas akademika tidak memanggilnya `yang mulia` di luar sidang karena hal itu bisa membuat jarak hakim dengan masyarakat.

"Sebenarnya kami risi apabila masuk kampus masih dipanggil `yang mulia`," kata Saldi.

Saldi merupakan hakim konstitusi sejak 2017 dan besar di dunia kampus. Saat ini adalah guru besar Universitas Andalas, Padang, di bidang hukum tata negara.

"Jadi ini kesempatan bagi kami meninggalkan semua simbol yang dilekatkan di ruang sidang itu. Mungkin setelah ini, Mas Fajar panggil sudahlah, Prof Saldi, Prof Aswanto, tanpa yang mulia-yang mulia itu. Karena berat sekali itu. Jadi sulit bergurau dengan adik-adik mahasiswa," ucap Saldi.

Di kesempatan itu, Saldi mendukung bila debat calon presiden diadakan di kampus seperti di Amerika Serikat. Bahkan ia tidak mempermasalahkan bila ada dosen yang procalon presiden tertentu.

"Kita terlalu fobia, tidak boleh politik di kampus. Di negara-negara maju, pemimpin besar debatnya diadakan di kampus. Nggak apa-apa. Oh misalnya dosen ini pro ke calon ini, dosen itu pro ke calon itu, sepanjang itu dalam perdebatan akademik, silakan saja," kata Saldi.

"Yang tidak boleh adalah, `Eh, kamu harus pilih calon ini ya. kalau tidak, nilainya saya gagalkan`. Itu yang tidak boleh," sambung Saldi.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar