Ambassador Freddy Numberi, Laksamana Madya TNI (purn), Founder Numberi Center, mantan Gubernur Papua

Bangun Smelter di Gresik dan Harga Gunung Mas di Papua

Jum'at, 15/10/2021 08:56 WIB
PT Freeport Indonesia (PTFI) (teropongsenayan)

PT Freeport Indonesia (PTFI) (teropongsenayan)

Jakarta, law-justice.co - Suara-suara sumbang dan cerita memilukan masyarakat Papua yang terkena dampak dari Limbah Freeport sampai ke telinga penulis semasa menjabat sebagai Gubernur Papua pada tahun 1998.

Sejak terpilih sebagai Gubernur pada 24 Maret 1998 dan dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Jendral TNI (purn) R. Hartono pada April 1998. Satu minggu kemudian sebagai Gubernur kunjungan pertama yang dilakukan adalah melihat on the spot keberadaan PT. Freeport Indonesia (PTFI) dan produksinya serta mendengar langsung dari masyarakat tentang dampak dan keluhan yang ada sejak PTFI berada di Timika.

“Freeport berdalih bahwa kemiskinan dan keterbelakangan rakyat Papua bukan disebabkan oleh perusahaan PTFI, tetapi merupakan kesalahan Pemerintah Indonesia”. (sumber: Paharizal, S. Sos. M.A & Ismantoro Dwi Yuwono, S.H., Jakarta, 2018: h. 104)

Disamping Freeport membayar pajak, royalty dan lainnya, namun menurut Denis Leith (2003) dalam penelitiannya di konsesi tambang PTFI ada Lima Pelanggaran Utama yang di lakukan Freeport.

Pertama adalah pelanggaran HAM yang dipicu oleh penggunaan aparat keamanan.

Kedua, pemusnahan kultur orang Papua karena keberadaan Freeport banyak pengaruh dari luar yang ikut menghancurkan kultur masyarakat adat dan menuju kepunahan.

Ketiga, Freeport beroperasi dengan standar ganda, karena aturan maupun ketentuan yang harus dipatuhi sesuai ketentuan Amerika Serikat.

Keempat, eksplorasi sumber daya mineral secara illegal, karena disamping ekploitasi, penelitian atau eksplorasi di Kawasan sekitarnya tanpa izin pemerintah Indonesia.

Kelima, disamping kerusakan lingkungan yang parah didaratan, juga terjadi kerusakan lingkungan laut yang juga parah akibat pembuangan limbah tambang (tailing) pada sungai-sungai yang ada dan mengalir ke laut Arafura. (Freddy Numberi, Quo Vadis Papua, 2013: h. 208-209)

Sebelum adanya smelter tembaga di Gresik, konsentrat yang dikapalkan dibawa langsung ke luar negeri.

Pada masa-masa akhir sebelum dijatuhkan oleh Gerakan Reformasi 1998, barulah Presiden Soeharto memaksa PTFI membangun pabrik smelter tembaga di Indonesia. Desakan ini dilakukan agar industri di Gresik-Jawa Timur marak, menyusul PT. Petrokimia Gresik yang sudah beroperasi lebih awal disana.

Konsentrat hasil produksi setelah adanya smelter di Gresik, maka konsentrat dikirim ke Gresik dan dikapalkan ke beberapa negara, yaitu Spanyol 2%, Korea 3%, Jepang 15%, China 10%, India 26% dan Philippines 7%. Yang sisa di Indonesia yaitu Gresik sekitar 37%.

Pada tahun 1997, PTFI dan Mitsubishi bekerjasama dalam PT Smelting yang ada. PTFI memiliki 25% saham di PT Smelting, Mitsubishi Material Corp memiliki 65%, Mitsubishi 9,5% dan Nippon Mining bersama Metals Co. Ltd memiliki 5%. PT. Smelting melakukan kegiatan smelting dan refining, yang menghasilkan katoda tembaga yang digunakan dalam negeri maupun di ekspor. (sumber: Ferdy Hasiman, Freeport Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara, Penerbit Kompas, 2019: h. 226)

Pada tanggal 9 September 2014, Bupati Sorong Dr. Stepanus Malak M. SI membuat surat kepada Pimpinan PT. Freeport Indonesia, perihal Penyediaan Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Tembaga di Sorong. Surat itu juga ditembusi ke beberapa kementerian terkait. Namun tidak ada jawaban dari pemerintah terkait usulan Bupati Malak tersebut.

Pada tahun 2019 saat Ibu Rini Soemarno menjabat sebagai Menteri ESDM, mengatakan, “Ini merupakan program Pak Presiden, bagaimana masyarakat di desa dekat lokasi tambang itu mendapatkan benefit sebesar-besarnya dari pertumbuhan ekonomi serta merupakan tanggung jawab Freeport dan Inalum”, ujar Menteri ESDM Rini Soemarno dalam kunjungannya ke tambang emas Grassberg yang dikelola PTFI di Timika.

Rini dalam kunjungannya menginginkan operasional tambang PTFI harus mampu mengangkat ekonomi masyarakat di sekitar wilayah dimana smelter itu dibangun.

Penyanyi Edo Kondologit, dalam syairnya, “Kami tidur di atas emas, berenang diatas minyak, tapi bukan kami yang punya. Kami hanya menjual buah-buahan pinang”.
(sumber: Paharizal, S. Sos. M.A & Ismantoro Dwi Yuwono, S.H., Jakarta, 2018: cover depan)

Setelah diambil alih oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Presiden Jokowi dimana saham Indonesia 51% diwakili oleh PT. Inalum bekerja sama dengan PTFI.
Semua negara didunia pasti memiliki suatu perencanaan dalam pembangunannya, namun tidak semua negara menghasilkan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Apalagi Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) dijuluki secara berkelakar “Paradoks”, bahwa tanahnya kaya raya seperti apa yang dikatakan penyanyi Edo Kondologit diatas, namun Orang Asli Papua (OAP) tetap miskin, meskipun setelah kembali 58 tahun dalam NKRI. Kenyataan itu tidak dapat kita pungkiri.

Orang Asli Papua (OAP) bersyukur karena dalam Periode-I Presiden Jokowi yang diutamakan di Papua adalah pembangunan infrastruktur dan sangat berhasil. Hal itu bukan berarti pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan lainnya diabaikan, melainkan filosofi Jokowi adalah dengan terbangunnya infrastruktur yang baik, diharapkan program-program yang lainnya juga dapat ikut berkembang.

Merujuk konsep Presiden Jokowi pada periode-I Nawa Cita (butir 3): “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan”.

Kalau dilihat dari filosofi Nawa Cita dan infrastruktur yang digenjot di Papua, tidak ada salahnya kalau smelter PT. Freeport Indonesia itu dibangun di Papua, apalagi saham Pemerintah RI 51%.

Semangat dan tekad yang begitu kuat dari Presiden Jokowi untuk membangun Papua dalam meraih kemajuan dan kesejahteraan telah dibuktikan dengan adanya infrastruktur yang baik di Papua. Saham pemerintah telah mencapai 51% itupun atas karya Presiden Jokowi.

Freeport berkilah bahwa untuk pembangunan di Papua tantangannya lebih berat dibandingkan di Gresik, yaitu biaya kapital untuk membangun smelter akan lebih tinggi 15-20% dari kebutuhan biaya sebesar US$ 2,3 Milyar. Ketersediaan Off-takers.

Harus ada pengerukan. Pembangunan Power Plant. Biaya operasional lebih tinggi. Kendala waktu(time constraint) akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun smelter dengan segala infrastruktur pendukungnya. Hal ini berkaitan dengan UU No. 4/2009 yang menyatakan bahwa 5 tahun setelah beroperasi, fasilitas smelter harus sudah beroperasi.

Menurut hemat penulis, ini alasan yang kurang tepat, mengingat Indonesia memiliki saham 51%, apakah ini bukan penentu policy?

Disamping itu bagaimana komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi kemiskinan di Papua, apakah itu hanya sebuah retorika belaka?

Dengan menganalisa fakta-fakta yang diungkapkan Dennis Leith (2003), lamanya operasi PTFI di Papua, Nawa Cita Presiden Jokowi periode-I (butir 3) dan kepemilikan saham Indonesia 51%, tidak ada salahnya membangun smelter di Papua dalam rangka menjawab dosa-dosa Freeport di masa lalu dan itulah Harga Dari Sebuah Gunung Emas yang telah digali habis selama kurang lebih 54 tahun dan OAP di akar rumput masih miskin dan terlantar.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar