Kepala PPATK Dian Ediana Rae

Maraknya Kejahatan dan Korupsi karena Lemahnya Penegakan Hukum TPPU

Sabtu, 09/10/2021 11:15 WIB
Kepala PPATK Dian Ediana Rae  (Dok.PPATK)

Kepala PPATK Dian Ediana Rae (Dok.PPATK)

Jakarta, law-justice.co - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae dulu lebih banyak berkarir di Bank Indonesia, puluhan tahun sebagai bankir dan mengawasi industri perbankan tanah air baik di dalam maupun luar negeri. Kini, Dian Ediana Rae memilih mengabdi menjadi Kepala PPATK yang memiliki tugas membantu pengungkapan dan penindakan kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Lantas bagaimana sepak terjang PPATK di tangan Dian Ediana Rae dan bagimana pula mengungkap kejahatan ekonomi perpajakan yang kini kian marak di dunia maupun Indonesia serta masih rendahnya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang yang dilakukan parat penegak hukum. Simak perbincangan Jurnalis Law-Justice.co Yudi Rachman dengan Kepala PPATK Dian Edian Rae berikut ini:

Ceritakan bagaimana Anda akhirnya memilih mengabdi Kepala PPATK?
Memang sebetulnya bisa dikatakan saya mengikuti aliran air saja, memang saya tidak pernah merencanakan bisa dikatakan begitu. Saya cukup lama hampir 30 tahun di Bank Indonesia, saya ke mana-mana. Saya pernah jadi kepala perwakilan Bank Indonesia di Eropa untuk London, kemudian ke Jawa Barat dan membawahi regional Sumatera, terus bergerak seperti itu 2-3 tahun.

Ada peluang untuk masuk sebagai Kepala PPATK, saya diusulkan sebagai salah satu calon waktu itu sebagai Kepala. Ternyata saya dapat hanya sebagai wakil kepala beberapa tahun itu. Itu sebetulnya semata-mata bukan keputusan pribadi, mengikuti aliran sungai saja, saya sudah cukup lama ditargetkan sebagai Kepala PPATK, semenjak Pak Yunus berakhir saya sudah diusulkan sebagai Kepala PPATK, hanya saja saya waktu itu sudah di London, tidak bisa menjadi kepala PPATK karena saya beberapa bulan di sana.

Ada perbedaan beradaptasi antara Perbankan dan PPATK?
Cukup lumayan beradaptasi terhadap pekerjaan karena saya di Bank Indonesia itukan sangat bervariasi, pernah direktur internasional di BI dulu OJK belum ada, Direktorat Hukum di BI, Mengepalai pengawasan Jawa Barat-Banten, saya lama di sektor monitoring dan pengaturan perbankan cukup lama.

Pekerjaan-pekerjaan itu kan hanya fokus dengan stabilitas moneter, stabilitas perekonomian dan sistem keuangan kita bicaranya di tataran makro.

Sementara di PPATK kita banyak menangani persoalan integritas khususnya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) memang kita menangani kasus-kasus kita ada fungsi pencegahan dan pemberantasan. Tetapi porsi kita banyak pemberantasan khususnya kita mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang dan tindak pidana ekonomi.


Pelantikan Kepala PPATK oleh Presiden Joko Widodo (Dok.Antara)

Dalam lima tahun terakhir kasus apa saja yang meningkat dan ditangani PPATK?
Kalau saya melihat dari hasil analisis dan pemeriksaan yang saya baca sama ya hasil penilaian resiko secara nasional itu banyaknya di korupsi, narkoba, penipuan, perpajakan kemudian perbankan, pasar modal. ilegal logging dan ilegal fishing.

Ada lagi tugas kita yang lain Karena salah satu tugas kita itu adalah pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme sesuai UU No.9 tahun 2013

Terorisme masih tinggi juga, cukup tinggi aliran uangnnya, kewaspadaan perlu ditingkatkan untuk masalah ini. Makanya saya beberapa kali tampil di publik untuk aspek preventif saja agar masyarakat memiliki kewaspadaan jangan sampai ketidaktahuan membuat terlibat persoalan-persoalan ini.

Modus TPPU Makin Maju dan Tantangannya Makin Besar?
Modus TPPU makin canggih dan tantanggnya makin besar, semua lembaga intelijen keuangan di dunia sedang menghadapi persoalan yang sama yaitu karena ada perkembangan teknologi yang timbul misalya fintech, crypto aset, currency itu istilahnya kriminalitas yang ditimbulkan kemajuan teknologi seperti cybercrime banyak sekali variasinya.

Dalam setahun terakhir ini kita sudah mengganti sistem, contohnya sistem pelaporan 2 ML yang dipakai oleh banyak negara sekitar 50 negara buatan UNODC. Ini sistem paling canggih lebih akurat dan akan menjadi single data. Misalnya ada terduga koruptor melakukan berbagai transaksi TPPU misalnya beli emas, beli tanah, beli properti, nanti aduan dari toko emas, perusahaan properti, bank akan masuk ke sistem, akan jadi satu data. Dulu kita harus menarik data dari berbagai pihak.

Dari data base kita benahi semua, terutama data terkait dengan PEPS (Politicaly Exposes Person) misalnya pejabat negara, aparat penegak hukum, pejabat publik dari pusat hingga daerah itu datanya cukup lumayan canggih, ada 1,6 juta data Peps yang masuk termasuk keluarga dan afiliasinya.

Soal penanganan kripto aset dan virtual currency, kita sedang bekerjasama dengan salah satu negara yang teknologinya sudah siap memberikan bantuan kepada kita untuk melakukan monitor. Banyak langkah langkah agar kita tidak ketinggalan dengan badan intijen keuangan dunia lainnya.

Bagaimana soal modus TPPU melalui Kripto?
Kebetulan juga saya secara regional Financial Intelligence Consultative Group FICG kita sudah melakukan semacam guidelines untuk dipakai seluruh lembaga intelijen keuangan untuk bagaimana melakukan pengawasan kegiatan terkait kripto aset. Ini persoalannya complicated, ini tidak bisa sembarangan sperti perdagangan internasional diatur sepeeti pelabuhan ada beacukai dan lainnya.

Ini harus dilakukan seluruh kegiatan internasional, tidak hanya di Indonesia, di Indonesia dilarang, Jepang tapi memprbolehkan. Di Indonesia agak lucu Bank Indonesia melarang, namun berubah lagi menjadi kripto aset di bawah naungan Bappebti dan pengawasan dari Bappebti Kemendag. Sekarang berkembang pesat di pasar komoditas dan ada beberapa isu-isu yang menarik.

Kerjasama dengan lembaga keuangan perbankan apakah ada kendala?
Ya sebenarnya kalau lembaga yang sudah diawasi seperti perbankan oleh OJK dan BI sistem pembayarannya, mereka itu relatif baik dalam bekerja dan ketaaatan mereka untuk melapor kepada kita. Ya masih banyak tantangannya misalya masalah akurasi data, karena istilahnya lembaga intelijen keuangan kita itu data yang dihasilkan harus berkualitas, kalau data tidak berkualitas hasilnya juga tidak berkualitas. Itu yang sedang kita pastikan dengan OJK


Gedung PPATK

Itu dipastikan karena kita juga melakukan join audit dengan OJK, di pasar modal, asuransi, perbankan agar mereka menaati peraturan dan kewajibannya untuk memberikan pelaporan kepada kita tepat waktu dan akurat jadi masalah kualitas dan kuantitas.

Untuk lembaga lain, saya mengamati seperti di Komisi III kemarin ditanyakan juga,saya sampaikan begini suatu saat kita mendorong komisi III untuk cobalah untuk berdiskusi melakukan review ulang struktur pasar keuangan kita seperti apa, apakah benar seperti sekarang.

Ada yang sangat diatur dan ada yang sangat diawasi, ada juga yang kurang diawasi dan kurang diatur itu regulated .Ada yang modalnya besar, menengah dan kecil tetapi kegiatanya sama memberikan pinjaman misalnya. Apalagi sekarang masuk OJOL dan Pinjol.

Bayangkan mulai dari perbankan, bank umum, BPR, KSP, Microfinance, koperasi simpan pinjam. Jadi ada ruang dan peluang pelaku kejahatan ekonomi itu terbuka lebar kalau pengawasannya lemah.

Itu menjadi PR bersama antara PPATK dan DPR ?
Iya betul menjadi PR bersama, saya mencoba mengusulkan dua RUU yang pertama soal perampasan aset dan kedua soal pembatasan transaksi uang kartal atau uang tunai. Sudah dua kali dicoba, artinya belum berhasil masuk ke Prolegnas DPR. Belum prioritas, Itu yang menjadi tantangan buat kita, masalahnya prioritas. Presiden sudah sangat suppported, beliau membackup dua RUU untuk mencegah dan memberantas kejahatan ekonomi.DPR berjanjinya 2022 mudah mudahan masuk.

Publik menilai publik kurang berani membongkar modus TPPU beda dengan periode sebelumnya?
Iya penafsirannya bisa begitu, tetapi kasus-kasus yang kita ungkap sekarang lebih besar dari kasus-kasus sebelumnya. Misalnya Asuransi Jiwa Sraya, Asabri dan perdagangan obat, Rp 531 miliar yang kita bekukan, kasus korupsi juga sangat banyak.

Saya membatasi diri untuk publikasi, karena kita tidak boleh terlalu banyak ekspose apalagi terkait dengan kasus-kasus yang menyita perhatian publik. Sebenarnya esensinya bukan disitu, kita berpikir sistem bisa bergerak, karena lembaga intelijen keuangan itu silent, saya hadir di publik hanya untuk edukasi saja.

Persoalannya tidak sesederhana itu, tetapi yang paling mendasar sistemnya belum bergerak seperti seharusnya. PPATK sudah mengeluarkan banyak hasil analisis atau hasil pemeriksaan tetapi tidak lanjut dari penegak hukum itu masih sangat kecil hanya rata-rata 30 persen dari hasil analisis dan pemeriksaan kita.

Dan ini yang menjadi persoalan utama kita, jadi sebanyak apa pun PPATK memproduksi hasil analisis dan pemeriksaan tetapi jika tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum ya susah. Kita kan bukan aparat penegak hukum, Kita tidak bisa konfrontatif, saya sudah menyampaikan komplain saya ketika saya diangkat, saya sudah bicara langsung ke Kapolri, Jaksa Agung, pimpinan KPK, kan ribuan kasus yang sudah kita ungkap, itu kan menggantung tanpa proses.

Bahkan kasus-kasus sangat besar seperti EktP yang jelas itu TPPU dan kerugian negara Rp2,3triliun itu TTPU yang tidak ditindaklanjuti, hanya cukup mengirimkan tersangka ke penjara 15 tahun. Ini persoalan. Prinsipnya saya selalu menyampaikan ke teman-teman aparat penegak hukum pemberantasan tindak pidana ekonomi modern menuntut dua hal pertama mengejar orangnya, kedua mengejar duitnya. Itu harus jalan bersamaan kalau tidak, tidak berhasil.

Coba renungkan apakah pemberantasan korupsi kita berhasil, tidak. TPPU berhasil tidak, tidak juga. Itu karena kita belum ada kesepakatan bahwa TPPU harus ditindaklanjuti dengan bersamaan dengan tindak pidana asal. Narkoba harus diikuti dengan TPPU, Korupsi harus diikuti TPPU.

Nah saya sebenarnya cukup membatasi diri hanya bicara di Komisi III tapi saya akhirnya tidak bisa diam terus, saya harus bicara.Tindaklanjut dari produksi hasil analisis kita stagnan, tidak bergerak signifikan, ibaratnya kalau 1000 hasil analisis kita sampaikan mungkin tindaklanjutnya hanya 100-200. Inikan jelas namanya sistem tidak bergerak sebagaimana harusnya.


Kepala PPATK Dian Ediana Rae (Dok.Media Indonesia)

Padahal sudah ada wadah koordinasi PPATK dengan penegak hukum? betul sekali, dalam waktu dekat ini saya sudah bicara dengan Presiden, Menkpolhukam dan Mensesneg kita sudah sepakat dengan proposal cara bekerja yang sistemik dan terintegrasi dalam konteks tindak pidana ekonomi.

Kita usulkan seperti itu, Presiden sangat mendukung menyambut baik mungkin nanti akan dikeluarkan instrumen apakah itu Perpres atau Kepres yang menangani persoalan terkait ini, mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa direalisasikan Karena kami di PPATK itu kasih contoh saja, beberapa kasus misalnya kasus obat-obatan kita dalam waktu 1-2 minggu bisa membekukan uang Rp531 miliar bekerjasama dengan Kepolisian.

Di kasus Jiwasraya kita bekerjasama dengan Kejaksaan, itu kalau terintegrasi dan sistemik, itu cepat sekali Kejaksaan itu tinggal sita-sita saja. Kita kan keunggulan, follow the money bisa tunjukkan siapa pelaku jadi tinggal tangkap orangnya dan sita asetnya.

Kejagung ada tim pemburu aset apakah, apakah PPATK Tidak Dilibatkan dalam Perburuan Aset?

Itu persoalannya mereka terkait langsung dengan sesuatu yang bisa disita, itu suatu kasus dan bisa disita, itu dalam konteks untuk penegakan hukum pidana hukum konvensional. Kalau TPPU kalau dilakukan bersama-sama dengan tindak pidana asal itu justru aset recovernya itu bisa sangat besar.

Penyitaan yang dilakukan sekarang ini tidak signifikan karena jauh sekali dari kerugian negaranya karena apa karena kita tidak mampu mendeteksi aset itu secara lebih detil karena follow the money itu. Kalau TPPU itu seperti tadi yang dicontohkan bisa sita langsung ratusan miliar, di Jiwasraya disita berapa triliun bisa dilakukan penyitaan karena kita follow the money. Akan lebih banyak perolehannya kalau TPPU menjadi kesepakatan bersama dengan aparat penegak hukum.

Kita betul-betul bekerja independen kita sudah mengungkap semakin banyak kasus, kita cobe eksprimenkan di lapangan, itu sebagai contoh dan menyakinkan Presiden, Menkopolhukam dan Mensesneg untuk menyatakan konsep yang benar itu terintegrasi dan sistemik.

Nanti itu ada data statistik monitoring dan sebagainya misalnya PPATK memberikan data ada 100 ke siapa saja, misalnya ke Polisi, Kejaksaan Agung, KPK itu nanti dimonitor, katakanlah masing-masing dapat 25, kita usulkan itu agar benar-benar dimonitor, dari data itu berapa yang ditindaklanjut dan berapa yang masuk penuntutan, berapa diputus pengadilan sampai Mahkamah Agung, itu begitu caranya ada governance proses di dalam konteks pengelolaan kasus-kasus khususnya tindak pidana ekonomi. Mudah-mudahan akan mengarah pada suatu sistem yang governance tinggi dan akuntabilitasnya tinggi.

Soal kasus Pandora Papers apakah PPATK turut memantau?
Ada yang menarik PPATK dalam menangani kasus pengemplang pajak atau penghindaran pajak kita bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai kita sudah sering mengungkap dalam jangka waktu setahun sudah sekian triliun memproleh pendapatan negara dari pengungkapan kasus penghindaran pajak secara domestik. Pengemplangan pajak dari yang kecil sampai yang besar masih terjadi itu yang harus ditangani secara serius.

Kalau terkait dengan masalah saya membacanya sudah menjadi pola, kebocoran yang terjadi di Paradise Paper, Panama Papers, sekarang Pandora Papers. Itu nampaknya mungkin saya menduganya sebagai rasa frustasi dari komunitas internasional dari orang-orang tertentu, untuk apakah bisa membongkar atau tidak.

Kalau PPATK melihatnya ini sumber informasi yang unstructure bukan datang dari lembaga yang resmi. Ini jadi bahan saja buat kita untuk dianalisis, nama-nama orang Indonesia yang masuk di situ kita amati. Mau pejabat atau bukan, mau pengusaha atau bukan ya kita betul-betul teliti dan profiling.

Ini yang kita harapkan bisa membantu proses untuk bisa memahami semakin jelas bagaimana modus-modus, bagaimana orang-orang kita tetap masih ada yang melakukan penghindaran pajak. Belum tentu semua orang melanggar hukum, kita amati betul apakah penghindaran pajaknya betul-betul terjadi atau tidak.

Nah ini persoalan-persoalan yang sekarang ini di dunia internasional sedang diatasi misalnya OECD ternyata masih berjalan juga tanpa bisa terdisclose.

Satu poin yang ingin saya sampaikan, saya belum banyak bicara di media ada hal yang penting bahwa kalau kita lihat kita menghadapi apa yang dinamakan profesional money laoundred, jadi pencuci uang profesional yang membantu penjahat ekonomi untuk mencuci uang. Mereka melakukan financial engineering, Legal engineering, kemudian itu memuluskan perjalanan uang haram itu untuk taruh di mana, koruptor kita banyak yang begitu.

Ada modus main kasino, tidak benar-benar main kasino hanya justifikasi saja, seakan keluar dari kasino menang judi dapat duit banyak, padahal tidak duitnya sudah ada di situ diambil padahal itu uang hasil korupsi banyak modus-modus itu kita sudah deteksi dan sudah ditangani.

Yang kita upayakan dan tingkatkan adalah bekerjasama dengan lembaga intelejen keuangan lain, saya juga kan sebagai Regional Representative Kawasan Asia Pasifik The Egmont Group saya ada dua tahun di situ, kita bina betul kerjasama dengan lebih 163 negara itu untuk bertukar informasi yang berkaitan dengan pencucian uang ini.

Kita juga banyak mendapatkan data dari luar terkait persoalan Tax Evasion, tentu kita sudah tangani, kita lakukan analisis, melakukan pemeriksaan dan kita serahkan ke Direktorat Jenderal Pajak kalau soal pajak, kalau persoalannya dengan Bea Cukai kita serahkan ke Direktorat Bea Cukai.Karena dua lembaga ini dinyatakan UU sebagai penyidik kasus pajak dan bea cukai.

Soal pencegahan agar uang hasil pencucian uang dari luar negeri tidak masuk menjelang Pemilu?
Ini memang salah satu poin penting, sebetulnya dari Pilkada sampai Pemilu kita bekerjasama dengan KPU dan Bawaslu. Pertama PPATK lakukan, kita melakukan dan menyelesaikan riset dulu termasuk turun ke lapangan untuk mengecek di mana resiko terjadinya politik uang. Terkait politik uang ini yang kita betul-betul diawasi titik resikonya, sehingga KPU dan Bawaslu menyerahkan nama-nama calon dan sebagainya untuk Pilkada dan Pemilu secara umum kepada kita.

Kemudian kita melakukan pengawasan keluar masuk uang dari dalam dan luar negeri memiliki instrumen yang dinamakan IFTI (International Fund Transfer Instruction Report) jadi keluar masuk uang mau berapa pun itu termonitor oleh PPATK. Misalnya mengirim uang untuk anak sekolah ke Belanda, mau berapa pun itu terdeteksi. Kita sangat concern, kita sepakat dengan KPU dan Bawaslu kita ingin menjamin demokrasi berkualitas intinya.

Yang paling bahaya, ngeri kalau hasil kejahatan masuk membiaya, kejahatan itu macam-macam tidak hanya korupsi dan pengemplangan pajak, tetapi terkait crime contohnya kejahatan narkotika, itu kalau sampai masuk ke dunia politik sangat bahaya, ke ekonomi saja sudah sangat bahaya.

Itu yang terjadi Kolombia dan Amerika Latin, itu sangat besar resikonya. Bisa mempengaruhi banyak hal kehidupan demokrasi kita. Ini yang betul-betul yang kita lakukan, ini bukan pekerjaan yang gampang, penuh resiko. Saya dan teman-teman di PPATK, akan lakukan itu seoptimal mungkin sudah banyak yang kita serahkan ke KPU dan Bawaslu.

Tetapi memang instrumen hukumnya tidak mendukung, penyelesaian kasus itu sangat cepat kalau tidak salah 15 hari, UU sendiri itu harus ada perubahan agar penegakan hukum di lapangan berjalan efektif.

Kasus yang sulit dipecahkan selama di PPATK?
Banyak sekali kasus yang sudah diungkapkan, ada statistiknya.

Bagaimana membagi waktu dengan keluarga?
Saya terbantu sedikit karena anak-anak kan sudah besar, misalnya sidang internasional kalau dulu kan dinas misalnya di Paris, waktu itu menyesuaikan saja. Tetapi di masa pandemi ini, pakai Zoom bisa sidang Internasional kapan saja, kadang sampai jam 1 malam, jadi bisa kurang tidur, istri juga terganggu. Itulah resiko yang timbul karena krisis.

Persoalan yang dihadapi kita sekarang luar biasa besar secara domestik, tindak pidana ekonomi kita masih saja marak, korupsi marak, narkoba marak hampir seluruh kejahatan marak karena ketidakmampuan kita menerapkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

(Yudi Rachman\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar