Lahan Obligor BLBI Seluas 5,2 Juta Meter Persegi Disita Pemerintah

Jum'at, 27/08/2021 19:25 WIB
Sri Mulyani Menkeu (lentera.co.id)

Sri Mulyani Menkeu (lentera.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah mengambil alih hak penguasaan 49 bidang tanah seluas 5,2 juta m2 milik obligor maupun debitur penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tersebar di empat provinsi.

Ke-49 bidang tanah tersebut berada di Medan, Sumatera Utara; Pekanbaru, Riau; Bogor, Jawa Barat; dan Tangerang, Banten.

“Tadi ada 49 bidang tanah yang terletak di empat titik lokasi, luasnya 5.291.200 m2 yang berlokasi di Medan, Pekanbaru, Bogor, dan Tangerang,” kata Menteri Keungan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, Jumat (27/8/2021).

Bidang tanah di Tangerang yang disita pemerintah adalah aset Lippo Karawaci, Tangerang, seluas sekitar 25 hektare.

NJOP tanah itu, kata Ani, sapaan Sri Mulyani, sekitar Rp 2 juta/m2, sehingga dengan 25 hektare, harga bidang tanah tersebut mencapai triliunan rupiah.

Seperti diketahui, saat ini pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) tengah mengincar pemasukan hingga Rp111 triliun dari 48 orang dan debitur BLBI.

Pada Kamis (26/8/2021) kemarin, ke-48 orang dan debitur itu dipanggil, namun tak semuanya datang.

Kasus BLBI bermula ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada 1998 yang membuat puluhan bank mengalami kesulitan likuiditas.

Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, berdasarkan perjanjian antara Indonesia dengan IMF, BI menggelontorkan bantuan likuiditas kepada 48 bank yang hingga Desember 1998 nilainya mencapai Rp147,7 triliun.

Bank penerima bantuan itu di antaranya Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Tamara, Bank Tata dan Bank Umum Servitia.

Namun kemudian, dari hasil audit BPK, ditemukan adanya penyimpangan sebesar Rp138 triliun.

Beberapa mantan direktur BI telah menjadi terpidana dalam kasus penyelewengan dana BLBI ini, seperti Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.

Sementara sejumlah obligor melarikan diri saat dipidana, seperti bos Bank Pelita Agus Anwar dan Alexander; serta bos Bank Indonesia Raya (Bank Bira) Atang Latif.

Bos Bank Modern Samadikun Hartono yang divonis 4 tahun penjara, juga sempat melarikan diri, namun ditangkap intelijen Tiongkok dan diekstradisi ke Indonesia pada April 2016.

Yang luar biasa nasib Sjamsul Nursalim. Bos Bank Umum Nasional ini sempat buron, namun pada awal April 2021 lalu kasusnya dihentikan KPK dengan menerbitkan SP3.

Sri Mulyani mengatakan, saat BLBI dikucurkan, bantuan yang diberikan dibiayai dengan Surat Utang Negara (SUN), dan hingga kini, selama 22 tahun, pemerintah terus membayar pokok dan bunga utangnya.

“Jelas pemerintah selama 22 tahun menanggung yang disebut langkah-langkah untuk menangani persoalan perbankan dan keuangan yang bebannya hingga saat ini,” kata dia.

Sri menegaskan, untuk mengompensasi langkah penyelamatan tersebut, pemilik bank atau debiturnya harus mengembalikan dana tersebut. Itu lah yang kemudian disebut tagihan program BLBI.

Sri Mulyani menyebut, total kewajiban BLBI yang masih dikelola adalah Rp 110,45 triliun.

“Satuan Tugas BLBI akan bertugas semaksimal mungkin untuk mendapatkan kembali kompensasi dari nilai tersebut,” tegas dia.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar