Soal Pidana Mati di Kasus Bansos Juliari, Firli Bahuri Omong Kosong

Kamis, 29/07/2021 13:32 WIB
Ketua KPK, Firli Bahuri. (Tirto.id.)

Ketua KPK, Firli Bahuri. (Tirto.id.)

Jakarta, law-justice.co - Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri terkait tuntutan pidana mati terhadap pelaku korupsi di tengah bencana kini hanya menjadi omong kosong besar.

Pernyataan jenderal polisi bintang tiga tersebut tak dibuktikan oleh jaksa di persidangan.

Jaksa penuntut umum KPK menuntut terdakwa kasus dugaan korupsi bansos Covid-19 sekaligus mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dengan pidana 11 tahun penjara.

Tuntutan 11 tahun penjara itu berbanding terbalik dengan sikap menggebu-gebu Firli. Tahun lalu, Firli mengaku akan meminta pelaku korupsi saat bencana atau pandemi Covid-19 diancam hukuman mati.

"Ini tidak main-main. Ini saya minta betul nanti kalau ada yang tertangkap, saya minta diancam hukuman mati. Bahkan dieksekusi hukuman mati," kata Firli seperti melansir cnnindonesia.com, i Gedung Transmedia, Jakarta pada 29 Juli 2020.

Saat dikonfirmasi kembali terkait tuntutan 11 tahun kepada Juliari itu, Firli tidak memberikan banyak penjelasan. Ia meminta untuk bertanya kepada juru bicara KPK.

Firli mengatakan untuk menuntut seseorang tersangka dengan ancaman hukuman mati harus memenuhi unsur pidana Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tipikor.

"Silakan ke jubir [juru bicara], hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Untuk menuntut seseorang tersangka dengan ancaman hukuman mati maka harus memenuhi unsur pidana Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor. Silakan ke Pak Ali. Dulu pernah saya sampaikan," kata Firli melalui pesan tertulis, Kamis (29/7).

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan fakta persidangan menjadi landasan jaksa dalam menuntut terdakwa, termasuk Juliari. Kata dia, KPK tak terpengaruh dengan opini, keinginan, maupun desakan pihak mana pun.

"Dalam menuntut terdakwa, tentu berdasarkan fakta-fakta hasil persidangan," ujarnya, Kamis (29/7).

"Pertimbangan alasan memberatkan dan meringankan juga menjadi dasar dalam menuntut baik pidana penjara, uang pengganti maupun denda dan pencabutan hak politik," sambungnya.

Ia menegaskan dalam perkara Juliari pihaknya menerapkan Pasal suap, bukan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

"Penerapan Pasal tentu karena berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penyidikan," katanya.

Ali sebelumnya juga sempat memberikan penjelasan terkait dengan polemik tuntutan mati terhadap Juliari dkk. Ia menerangkan penerapan pasal dengan ancaman pidana mati harus memenuhi sejumlah unsur seperti korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, hingga menimbulkan kerugian atau perekonomian negara

"Secara normatif dalam UU Tipikor terutama Pasal 2 ayat (2) hukuman mati diatur secara jelas ketentuan tersebut dan dapat diterapkan," terang Ali, pada Februari 2021.

"Akan tetapi, bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati, namun tentu seluruh unsur Pasal 2 ayat (1) juga harus terpenuhi," imbuhnya.

Adapun Pasal 2 UU Tipikor berbunyi:

Ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ayat (2): Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tuntutan 11 tahun terlalu ringan untuk Juliari. ICW berharap majelis hakim menjatuhkan vonis penjara seumur hidup untuk Juliari.

Peneliti Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi ICW, Almas Sjafrina mengatakan Juliari semestinya dituntut penjara seumur hidup atau 20 tahun sebagaimana ancaman maksimal Pasal 12 UU Tipikor yang digunakan jaksa.

"Tuntutan KPK ini terkesan ganjil dan mencurigakan. Sebab, Pasal yang menjadi alas tuntutan, yaitu Pasal 12 huruf b UU Tipikor, sebenarnya mengakomodasi penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar," ujar Almas dalam keterangan tertulis, Kamis (29/7).

"Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos Covid-19," sambungnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar