Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Mengapa Kejagung Cenderung Menjadi Alat Kekuasaan?

Senin, 12/07/2021 06:07 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Pertengahan bulan lalu, kolega saya Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP, Arsul Sani menyebut, kini banyak kritik yang datang dari masyarakat ihwal sikap Kejaksaan Agung (Kejagung) saat menangani sebuah perkara pidana. Pasalnya, jajaran Korps Adhyaksa itu dinilai telah menjadi penegak hukum yang cenderung lebih condong menjadi alat penguasa.

"Yang jadi soal menimbulkan kesan bahwa Kejagung tidak lagi murni menjadi alat negara yang melakukan penegakan hukum tapi alat kekuasan," kata Arsul saat rapat bersama Jaksa Agung di Gedung DPR, Jakarta, Senin (14/6/2021) sebagaimana dikutip media.

Ia menjelaskan, kritik itu muncul lantaran keputusan dari sejumlah jaksa penuntut umum (JPU) ketika menangani sebuah perkara dari seseorang yang memiliki pandangan politik berseberangan dengan pemerintah yang sedang berkuasa.

Menurutnya jika tuntutan itu menyasar kepada orang orang yang berseberangan dengan penguasa seperti kasus Habib Rizieq Shihab, Syahganda Nainggolan, hingga Ratna Sarumpaet maka akan berat tuntutan hukumannya .Sebaliknya tuntutan itu akan ringan jika menyasar pada orang orang yang mendukung pemerintah yang sedang berkuasa.

Apa yang disampaikan oleh Asrul Sani tersebut mungkin merupakan bentuk kekuatiran sekaligus kegelisaan dari seorang anak bangsa yang melihat perilaku Kejaksaan yang tidak berjalan pada rel yang seharusnya.  Suatu bentuk keprihatinan yang kemudian diwujudkan melalui fungsi pengawasan yang dilakukan oleh anggota DPR terhadap Pemerintah (Kejaksaan ) dalam menjalankan perannya.

Mungkin  bukan hanya seorang Asrul Sani saja yang mempunyai pandangan bahwa Kejagung telah cenderung menjadi alat penguasa.Warga negara lainnya sangat mungkin mempunyai persepsi dan pandangan yang senada.

Mengapa sampai muncul pandangan bahwa  jajaran Kejagung  sudah cenderung menjadi alat penguasa ?, Apakah kondisi ini terkait dengan posisi lembaga Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan kita ?, Apakah RUU Kejaksaan telah  mengakomodasi kepentingan indepensi lembaga Kejaksaan agar lepas dari kecenderungan di intervensi penguasa ?

Mengapa Terjadi ?

Kita tentu tidak bisa menyalahkan seseorang yang mempunyai penilaian bahwa Kejagung telah cenderung menjadi alat penguasa. Karena penilaian seperti itu tentu tidak lahir secara tiba tiba melainkan berangkat dari pengamatan dan penilaian selama lembaga itu melaksanakan peran dan fungsinya.

Dari rangkaian informasi, data dan fakta yang terhidang di media massa diperoleh gambaran yang akhirnya sampai pada suatu kesimpulan adanya kecenderungan jajaran Adyaksa telah menjadi alat penguasa dalam menjalankan beberapa peran dan fungsinya.

Salah satu fakta yang paling kentara diantaranya adalah kasus yang menimpa barisan kelompok yang beroposisi dengan penguasa diantaranya kasus Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat dan kawan kawannya.

Seperti diketahui  Syahganda ditangkap kepolisian pada 13 Oktober 2020. Selain Syahganda, aktivis KAMI  (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) Anton Permana dan Jumhur Hidayat juga ditangkap terkait aksi unjuk rasa Omnibus Law UU Cipta Kerja.Syahganda dkk didakwa menyebarkan berita bohong terkait unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja.

Dia didakwa melanggar pasal alternatif yaitu pertama pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, atau kedua pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, atau ketiga pasal 15  Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. 

Untuk semua perbuatan yang dituduhkan itu,  Jaksa penuntut umum (JPU) meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok untuk menghukum Syahganda selama 6 tahun penjara. Tuntutan Jaksa ini dinilai sangat berat jika dibandingkan dengan kasus kasus lainnya jika pelakunya bukan orang yang menjadi “oposisi” penguasa.  Sebagai contoh kasus  petinggi Sunda Empire yang pelakunya hanya dituntut 4 tahun penjara atau kasus kasus korupsi yang lebih rendah tuntutannya.

Dari sinilah kemudian muncul dugaa adanya pesan pesan terselubung dari pihak penguasa untuk mengirimkan Syahganda dkk ke penjara dengan waktu yang lebih lama. Pada hal banyak yang menilai kasus yang menimpa Syahganda dkk bersifat politis karena alat buktinya dinilai mengada ada. Dalam pledoinya, Syaganda sendiri mengatakan sesungguhnya persoalannya di pengadilan itu lantaran dirinya menjalankan hak demokratisnya.

Syahganda mengaku hanya melakukan kritik sosial terkait dominasi kaum cukong atau oligarki di Indonesia. Dia mengatakan tuduhan terhadap dirinya terkait perbuatan berbohong dan menciptakan keonaran lewat postingan tanggal 12 September 2020, yakni soal `Cukong", juga tidak ada urusannya dengan demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada 8 Oktober 2020 karena tweetsnya berbicara soal Pilkada.

Menurutnya  tindakan yang mengaitkan cuitannya soal pilkada dengan kerusuhan besar-besaran Omnibus Law RUU Ciptaker terlalu dipaksakan karena tiada korelasinya. Apalagi, kata dia, sudah dijelaskan di persidangan bahwa agenda anti-cukong dalam pilkada dan negara adalah agenda yang diusung oleh pemerintah sendiri, yakni Menkopolhukam Republik Indonesia.

"Saya hanya memperkuat isu positif yang dilakukan pemerintah yang berkuasa makanya, saya jadi bingung sebingung-bingungnya, kok kritik pemerintah ditangkap, mendukung sebuah sikap positif pemerintah juga ditangkap”, katanya.

Syahganda pun menegaskan tidak mempunyai agenda untuk mengganggu stabilitas nasional apalagi berpikir menurunkan kekuasaan pemerintah yang berkuasa.

"Semua bahan kritik diserahkan kepada lembaga-lembaga resmi negara, lembaga legislatif termasuk ke  Presiden selaku Kepala negara. Hanya saja, karena didalam KAMI berkumpul doktor-doktor, profesor-professor, beberapa mantan jenderal dan petinggi negara, membuat kajian KAMI begitu komplit dan presisi, sehingga bisa jadi `memedaskan kuping` pemerintah," katanya.

Kasus Syahganda akhirnya diputuskan oleh hakim dimana hakim kemudian mengganjar yang bersangkutan dengan 10 bulan penjara. Putusan ini rupanya tidak membuat Jaksa menjadi puas sehingga ia mengajukan proses banding dengan harapan Syahganda bisa lebih lama mendekam dipenjara.

Selain Syahganda yang dituntut 6 tahun penjara, perlakuan tidak adil juga diterima oleh pihak pihak lain yang selama ini dianggap berseberangan dengan penguasa seperti yang menimpa  Habib Riziek Shihab (HRS) petinggi FPI (front pembela islam) yang lembaganya dibubarkan oleh penguasa. Sangat terasa terhadap kasus kasus yang terkait dengah HRS peran Jaksa begitu “perkasa” dan kelihatan sangat ambisius untuk bisa mengirimkan HRS ke penjara.

Selain kasus kerumunan Megamendung dan Petamburan, Kejaksaan telah berupaya untuk mengirim HRS ke penjara melalui kasus kasus lainnya. Yang terakhir adalah kasus RS Ummi Bogor dimana tuntutan Jaksa dinilai tidak masuk akal sehingga sangat kentara nuansa balas dendamnya.

Seperti diketahui  dalam perkara swab test RS Ummi Bogor pihak Jaksa telah menuntut  HRS  hukuman enam tahun penjara dan menantunya, Habib Muhammad Hanif Alatas, dituntut pidana dua tahun penjara.

Tuntutan ini dibacakan Jaksa dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (3/6/2021). Tuntutan tidak masuk akal ini telah mengundang reaksi banyak pihak termasuk KH Muhyiddin Junaidi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI ( Majelis Ulama Indonesia).

  1. Muhyidin mengaku kecewa dengan tuntutan Jaks karena menurutnya kasus yang dituduhkan kepada HRS sebetulnya telah dilakukan oleh banyak orang Indonesia yang pernah diswab. “Usai diswab seseorang masih bisa merasakan bahwa ia sehat karena belum ada tanda-tanda ke arah positif,” ujarnya.

Ia menambahkan, bahwa fakta di lapangan menunjukan bahwa hasil test swab tak bisa diketahui secara instan dan butuh waktu. “Jadi sangat wajar jika ia (HRS) merespon jawaban saat ditanya orang jawabannya ‘saya sehat’,” kata Kiai Muhyiddin.

Ia menilai bahwa HRS tidak menutupi hasil swap atau merekayasanya dengan berbagai alasan. “Jadi sangat aneh tuntutan itu dialamatkan kepada HRS.Kebohongan yang dijadikan sebagai alasan utama dengan sendirinya gugur,” jelas Kiai Muhyiddin.

“Kecuali jika ia sudah tahu hasilnya kemudian menyembunyikannya ke publik. Tetapi itu mustahil dilakukan seorang ulama sekelas HRS karena ia paham betul Maqosid Syariah dalam Islam,” tambahnya.

Ketua Bidang Luar Negeri dan Hubungan Internasional PP Muhammadiyah itu mengatakan, di dunia international belum ada undang-undang tentang sanksi seperti itu. “Sanksi pelaku biasanya berupa denda saja,” jelasnya.

HRS dalam kasus ini pada akhirnya di vonis 4 tahun penjara, sebuah vonis yang dirasakan sangat berat dengan tingkat kesalahan kecil yang  sengaja dibesar besarkan untuk dijadikan alasan bagi penegak hukum mengirimkan HRS ke penjara. Mungkin targetnya adalah “mengamankan” HRS sekurang kurangnya sampai pemilu 2024 mendatang supaya aman agenda yang diusung oleh kelompok oligarkhi yang ingin mempertahankan kekuasaannya.

Kelakuan aparat Adhyaksa yang cenderung menjadi alat kekuasaan sebagaimana yang ditunjukkan pada kasus kasus yang dikemukakan diatas sesungguhnya hanya segelintir contoh saja yang  menggambarkan betapa unsur Kejaksaan begitu mudah “bermain main atau dimainkan oleh penguasa”  dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Dinamika  Lama

Kasus yang menimpa Syahganda Nainggolan, HRS dan kawan kawannya mengingatkan kita pada terjadinya penyimpangan penyimpangan kekuasaan yang terjadi dengan menggunakan alat negara (kejaksaan) dalam rangka mengamankan kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa.dimana kelembagaan negara seperti Kejaksaan cenderung dijadikan sarana untuk mempertahankan kepentingan politik penguasa.

Fenomena tersebut sebenarnya sudah berlangsung cukup lama sejak masa penjajahan Hindia Belanda.Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen.

Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan pemerintah Hindia Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan Belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain: mempertahankan segala peraturan Negara , melakukan penuntutan segala tindak pidana  dan melaksanakan putusan pengadilan pidana.

Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen  (ujaran kebencian) yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).

Contoh kasus yang menarik dalam penerapan Haatzaai Artikelen dalam jaman Pemerintahan Hindia Belanda adalah dijeratnya empat tokoh dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), yakni Soekarno, Gatot Mangkoediprodjo (Sekretaris I), Maskoen (Sekretaris II), dan Soepradinata (Kandidat pro-paganda) dan kemudian diajukan ke Landraad Bandung pada Agustus 1930.

Di zaman Jepang, peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944.

Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk: mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran, menuntut perkara, menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal dan mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Pada masa Jepang ini telah terjadi pemberontakan pasukan PETA (pembela tanah air) yang di pimpin Supriyadi di Blitar. Tetapi para pejuang ini kemudian dengan tipu muslihat dari pasukan Jepang akhirnya berhasil di jinakkannya.

Mereka yang memberontak sebanyak 68 orang, diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo. Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau dihukum mati secara rahasia

Setelah Indonesia merdeka, fungsi Kejaksaan sebagaimana berlaku pada masa era sebelum kemerdekaan tetap berlaku seperti  ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku. Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945.

Peran Kejaksaan pernah mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Orde lama dibawah naungan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950. Seperti ditulis oleh Daniel S Lev, saat itu t para Jaksa pernah memiliki peran yang sangat penting di saat masa jaya mereka di bawah Jaksa Agung Soeprapto pada tahun 1950-an.

Hal ini tidak lepas dari keberadaan UUDS 1950 yang secara tegas melarang intervensi pemerintah terhadap badan peradilan karena UU Nomor 1 Tahun 1951  tentang Undang-undang Darurat tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil,  secara tidak langsung menempatkan para jaksa bersama hakim sebagai pejabat pengadilan.

Hal ini membuat para Jaksa yang  saat itu tergabung dalam PERSAJA (Persatuan Jaksa-jaksa sekarang bernama PJI) berkeyakinan bahwa lembaga kejaksaan adalah bagian dari Kekuasaan Kehakiman yang harus dijamin independensinya oleh Negara. Pelembagaan Kejaksaan yang berada di dalam kekuasaan kehakiman saat itu menjadikan para Jaksa menikmati status mereka sebagai Magistraat yang memiliki independensi hampir sama dengan hakim.

PERSAJA bahkan secara tegas mendeklarasikan tujuan mereka pada tahun 1955 sebagai organisasi yang terdepan dalam membela terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum yang sebenar benarnya.

Saat itu dengan kewenangan yang kuat,  para jaksa selain tidak segan mengkritik kebijakan pemerintah, mereka juga berani mengusut perkara pidana yang melibatkan perwira tinggi militer dan pejabat tinggi sipil yang sedang berkuasa.

Hal ini terlihat misalnya  ketika Kejaksaan berani k menangkap dan menuntut Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo pada masa Perdana Menteri, Ali Sastroamidjojo di pengadilan atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukannya . Pada waktu itu, ada skema kemudahan kredit untuk para pengusaha melayu yang ternyata dijual kepada para pengusaha kaya keturunan Tionghoa.Saat itu Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo ditangkap penegak hukum, karena menerima suap dari seorang pengusaha dalam pengurusan visa.

Namun sayangnya masa kejayaan Kejaksaan ini secara berangsur harus terhenti saat  tahun 1959 pemerintah dan penguasa militer memutuskan memberhentikan Soeprapto karena dianggap menganggu stabilitas politik pemerintahan orde lama. Pada akhirnya Presiden Soekarno mengangkat kembali Jaksa Agung pertama, Gatot Taroenamihardja, sosok ahli hukum yang dikenal jujur sebagai pengganti Soeprapto.

Namun karena Gatot ternyata meneruskan jejak Soeprapto untuk “berani menangkapi pejabat negara” , Gatot hanya menjabat dalam masa yang singkat saja. Langkah Kejaksaan di masa Gatot yang menangkap beberapa perwira tinggi militer yang melakukan tindak pidana korupsi  berbuntut pada pencopotan dirinya.  Pihak militer saat itu yang tidak terima dengan tindakan Kejaksaan melakukan serangan balik dengan menangkap dan  menahan Jaksa Agung Gatot karena dianggap mengganggu ketertiban umum dan jalannya pemerintahan yang sedang berkuasa.

Belajar dari langkah Kejaksaan yang dianggap terlalu sering mengganggu stabilitas politik di masa sebelumnya, maka pada tanggal 18 Februari 1960 pemerintah menempatkan posisi Jaksa Agung sebagai Menteri di bawah koordinasi Menteri Keamanan Nasional/Kepada Staf Angkatan Darat. Untuk mempermudah kontrol Presiden terhadap Kejaksaan, selang beberapa bulan, tepatnya pada tanggal 22 Juli 1960 pemerintah  melalui rapat kabinet menetapkan Kejaksaan sebagai Departemen tersendiri yang lepas dari Departemen Kehakiman.

Selanjutnya tanggal 22 Juli inilah yang kemudian oleh Kejaksaan ditetapkan sebagai tonggak sejarah yang memiliki nilai penting dan diperingati sebagai perayaan Hari Bhakti Adhyasa setiap tahunnya.

Jika dicermati, dampak rapat kabinet tanggal 22 Juli tersebut memang cukup signifikan tidak hanya kepada Kejaksaan secara kelembagaan namun juga pada pola pikir para jaksanya. Posisi Kejaksaan yang semula berada dalam kekuasaan kehakiman yang bebas merdeka, bergeser secara dramatis ke  ruang eksekutif sebagai alat revolusi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15/1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia

Para jaksa yang awalnya mewarisi konsep Magistraat dengan segala independensinya secara bertahap diarahkan untuk berperilaku sebagai prajurit yang harus tunduk pada para pimpinan dalam bingkai Korps Kejaksaan.

Konsep yang berlaku pada zaman orde lama ini kemudian diadopsi oleh pemerintahan orde baru ketika presiden Soeharto berkuasa. Bahkan dizaman Orba untuk mengukuhkan perubahan ini, pemerintah  menempatkan para Jenderal Militer mereka untuk menjabat sebagai Jaksa Agung. Oleh karenanya dapat dilihat sejak saat itu Kejaksaan mengalami transformasi dari institusi sipil menjadi institusi yang menerapkan budaya dan birokrasi ala militer didalamnya.

Kondisi tersebut  tidak berubah bahkan setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang menandai jatuhnya pemerintahan Orba. Meski dalam pembahasan Pasal 24 amandemen UUD 1945 dapat ditemukan keinginan kuat dari para anggota MPR untuk menempatkan kembali Kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang mandiri namun UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan yang diusulkan pemerintah tetap mempertahankan banyak konsep pelembagaan kejaksaan sebagaimana yang telah diterapkan di masa Orba.

Akibatnya, meskipun Kejaksaan telah berulang kali mengalami pergantian Jaksa Agung dan berusaha melakukan reformasi birokrasi, namun tidak banyak perubahan fundamental yang dapat dirasakan pencari keadilan di negara kita. Ini nampak misalnya dari ketergantungan Jaksa Agung sebagai anggota kabinet kepada keputusan politik Presiden yang sedang berkuasa.

Dalam catatan sejarah pernah terjadi dimana Jaksa Agung Soedjono C Atmonegoro pada masa presiden Habibie berkuasa, berinisiatif menemui Habibie untuk secara serius menangani perkara mantan presiden Soeharto sang penguasa Orba.

Namun apa yang terjadi ?  selang satu hari setelah pertemuannya dengan Presiden Habibie Soejono C. Atmonegoro dicopot dari jabatannya. Mungkin Soedjono C. Atmonegoro adalah jaksa agung yang paling singkat menjabat, tak lebih dari empat bulan lamanya. Soedjono diganti  Andi Muhammad Ghalib, saat pria asal Madura tersebut bersiap memeriksa Soeharto. Kala itu, tersebar kabar Soedjono sengaja diganti karena sudah melangkah terlalu jauh dalam meneliti yayasan Soeharto. "Hasil audit legal itu saya serahkan pukul 10.00 (15 Juni) kepada Pak Habibie, lalu pukul 15.00 saya dipanggil Habibie lagi dan saya diganti," kata Soedjono mengomentari pencopotan dirinya.

Menurut Soejono, hasil audit tersebut merupakan data awal yang cukup kuat untuk menjadikan Soeharto sebagai tersangka, suatu langkah hukum yang mungkin tidak dikehendaki oleh pemerintah yang saat itu berkuasa. Maklum pemerintah Habibie sendiri saat itu masih terkesan melindungi penguasa Orba dari jerat hukum yang menimpanya.

Sejak saat itu beberapa Jaksa Agung penggantinya hingga saat ini lebih memilih bermain aman dengan mengikuti kemauan politik pemerintah yang berkuasa. Lebih memilih untuk bermain aman daripada harus kehilangan kursi jabatannya.

Hingga kini perilaku Kejaksaan nampaknya masih mempertahankan warisan budaya militer para Jenderal dimasa Orba berkuasa untuk memastikan pengabdian para Jaksa sejalan dengan kepentingan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Sebagai contoh misalnya, mantan Jaksa Agung Prasetyo pernah mengeluarkan PERJA 002/A/JA/04/2018 yang memperkenalkan pemakaian tongkat komando yang lazim digunakan para komandan militer bagi para pimpinan kejaksaan di level Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung.

Alih-alih memperlakukan para jaksa sebagai profesional sipil yang bertanggung jawab penuh atas apa yang mereka kerjakan sesuai rambu-rambu yang telah disediakan oleh UN Guidelines on the Role of Prosecutors, Kejaksaan nampaknya masih merasa nyaman untuk memperlakukan para jaksa mereka seperti tentara.

Kendala Yuridis

Tidak bisa dipungkiri bahwa posisi Kejaksaan dalam konstelasi ketatanegaraan sebelum dan setelah Indonesia merdeka hingga dewasa ini sangat dipengaruhi oleh beragam kepentingan politik pemerintah yang sedang berkuasa

Kalau pada  masa penjajahan Belanda dan Jepang, Kejaksaan semata-mata merupakan alat kekuasaan atau perpanjangan tangan penguasa pada saat itu maka pada masa pemerintahan setelah kemerdekaan, kecenderungan seperti itu ternyata masih dilestarikan oleh penguasa.

Kondisi ini terjadi tidak lepas dari posisi Kejaksaan itu sendiri yang terkesan ambigu dalam sistem ketatanegaraan kita. Disatu sisi kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintah yang melakukan kekuasaan negara dibidang penuntutan , sementara itu, bila dilihat dari sisi kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif.

Secara yuridis, Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan memang  menempatkan Kejaksaan pada kedudukan yang ambigu. Di satu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan fungsi , tugas, dan wewenangnya secara merdeka, disisi lain, Kejaksaan dipasung karena kedudukan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Di sinilah terjadinya ambivalensi kedudukan Kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia.

Hal ini menimbulkan keraguan masyarakat mengenai objektivitas kejaksaan dalam mengambil keputusan penting, terkait penanganan pelbagai perkara yang menyangkut kepentingan pemerintah. Jika kedudukan kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, di sini dapat terjadi kontradiksi dalam pengaturannya.

Jika melihat fungsi, tugas dan kewenangannya, kejaksaan adalah lembaga yudikatif yang seharusnya mandiri. Akan tetapi dikarenakan lembaga kejaksaan menjadi bagian dari pemerintahan maka sebuah intervensi politik akan sulit terelakkan dalam prakteknya

Intervensi dalam tubuh kejaksaan menjadi menghambat independensi sehingga menghambat profesionalisme jaksa dalam mengatasi sebuah perkara guna law enforcement dalam kekuasaan peradilan. Padahal, kejaksaan sebagai “Dominus litis” (pengendali proses perkara) mempunyai kedudukan sentral dan strategis dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana menurut Kitab Hukum Acara Pidana

Profesionalisme Jaksa diuji ketika terdapat masalah independensi dalam lembaga kejaksaan. Padahal, profesionalisme Jaksa sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan lembaga kejaksaan. Individu kejaksaan sebagai central of authority dan kedudukan kejaksaan sebagai main state organ perlu untuk diejawantahkan sesuai kewenangan konstitusionalnya, sehingga kedudukannya dapat merefleksikan urgensitas tugas dan fungsi yang dimilikinya dengan sebenar-benarnya

Rasanya  mustahil bagi Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya untuk dapat terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan Kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Kesimpulan ini, diperkuat lagi dengan kedudukan Jaksa Agung, sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan, dan juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan, adalah sebagai Pejabat Negara yang diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden.

Dalam konteks Ilmu Manajemen Pemerintahan, Jaksa Agung sebagai bawahan Presiden, harus mampu melaksanakan tiga (3) hal, yaitu

  1. Menjabarkan instruksi, petunjuk, dan berbagai bentuk kebijakan lainya dari Presiden dalam tugas dan wewenangnya dalam bidang penegakan hukum;
  2. Melaksanakan Instruksi, Petunjuk, dan berbagai Kebijakan Presiden yang telah di jabarkan tersebut;
  3. Mengamankan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang sementara telah di laksanakan.

Dedikasi, Loyalitas, dan Kredibilitas Jaksa Agung di hadapan Presiden diukur dari sejauh mana Jaksa Agung mampu melakukan ketiga hal tersebut. Disinilah letak kecenderungan ketidakmerdekaan Kejaksaan melakukan fungsi, tugas, dan wewenangnya.

Sebenarnya tidak menjadi masalah kalau pemerintah (Presiden) benar-benar memiliki komitmen yang kuat untuk penegakan supremasi hukum di indonesia, tapi yang terjadi penguasa seringkali tidak memiliki komitmen kuat ini karena kondisi dan situasi politik mungkin yang tidak menghendakinya.

Apabila pemerintah tidak memiliki komitmen seperti itu, alangkah lebih baik bila Kejaksaan, sebagai salah satu institusi penegak hukum, didudukan sebagai “badan negara” yang mandiri dan independen, bukan menjadi lembaga pemerintah yang tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif, maupun di bawah kekuasaan lainya, sehingga Kejaksaan bersifat Independen dan Merdeka dalam arti tidak terpengaruh dan atau dipengaruhi, dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia

Kemandirian dan indenpendensi institusi Kejaksaan sangat diperlukan walau harus dengan mereposisinya sesuai dengan fungsinya agar lepas dari pengaruh eksekutif. Apalagi fungsi Kejaksaan bukan hanya di bidang pidana, melainkan juga dibidang perdata dan Tata Usaha Negara serta berbagai penugasan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum

Harus diakui, upaya untuk memahami dan menempatkan kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan jika ditinjau dari teori Montesquieu perihal pemisahan kekuasaan (separation of powers) tidaklah mudah. Karena akan muncul pelbagai persoalan terkait dengan apakah Kejaksaan Republik Indonesia sebagai sebuah lembaga eksekutif atau yudikatif.

Menurut Harkristuti, Kejaksaan sebagai alat penegak hukum harus dirumuskan kembali dengan tegas dalam UUD NRI 1945 guna independensi Kejaksaan. Sejalan dengan hal tersebut, dalam konteks sistem ketatanegaraan, idealnya kedudukan dan fungsi Kejaksaan RI memang harus diatur secara tegas dalam UUD negara. Seperti halnya yang telah dilakukan oleh sebagian besar negara-negara civil law seperti Portugal dan Macau, yang telah mengatur secara tegas dan jelas mengenai peran dan legal standing lembaga kejaksaan

Pengaturan ini menunjukkan bahwa kejaksaan adalah bagian integral dari sistem ketatanegaraan (sistem) hukum, sebagai aparatur yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang penegakan hukum di Indonesia.

Dengan kata lain, kedudukan dan fungsi kejaksaan RI mestinya diatur secara tegas dalam UUD NRI 1945, seperti halnya Kepolisian RI dan Badan Peradilan. Dengan begitu, kedudukan lembaga Kejaksaan RI baik secara institusional maupun secara fungsional akan menjadi independen.

Terlebih, penempatan lembaga kejaksaan di dalam konstitusi yang selanjutnya menjadi legal standing konstitusional tersebut akan mengejawantahkan independensi secara kelembagaan yang tidak dapat diintervensi oleh pihak atau otoritas manapun, secara tidak langsung pula hal tersebut juga akan menumbuhkembangkan budaya hukum (legal culture) yang bersifat independen secara fungsional bagi Jaksa Penuntut Umum, khususnya dalam kewenangannya di bidang penuntutan suatu perkara tindak pidana.

Revisi UU Kejaksaan

Ditengah situasi eksistensi lembaga Kejaksaan sebagaimana dikemukaan diatas, saat ini di Komisi 3 DPR RI sedang digulirkan Revisi  UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan.  RUU ini menjadi salah satu RUU prioritas yang masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021,  menjadi salah satu dari 33 RUU yang akan dibahas untuk bisa diselesaikan segera.

Meskipun disebut revisi UU Kejaksaan dimaksudkan untuk mewujudkan lembaga kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan namun draft RUU ini ternyata tidak menyatakan secara jelas seperti apa posisi dari lembaga Kejaksaan itu dalam Susunan Lembaga Negara.

Semestinya mengenai soal kedudukan lembaga Kejaksaan ini harus mendapatkan penegasan di RUU Kejaksaan  karena isu ini adalah isu paling mendapatkan perhatian sejak dari awal pembentukan institusi kejaksaan hingga pemerintah yang sekarang berkuasa.

Hingga hari ini tidak ada satu pandangan akademis yang mengikat bahwa kejaksaan harus ditempatkan pada cabang kekuasaan mana dalam suatu negara, apakah eksekutif, legislatif ataupun Yudikatif.

Posisi Lembaga Kejaksaan dari mulai pembentukannya hingga hari ini lebih cenderung berada di bawah Kekuasaan eksekutif. Dari mulai masa kolinial Belanda, Masa Kolonial Jepang, Masa Kemerdekaan, lalu masuk masa pemerintahan RIS 1950, Masa Demokrasi Terpimpin, hingga masa orde baru, Kejaksaan Indonesia mengikuti model France Prosecution Service model yakni kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif (presiden).

Dengan posisi seperti itu , Kejaksaan menjadi sulit untuk menerapkan independensi dalam menjalankan tugasnya. Di antaranya karena Kejaksaan menjadi tidak independen menjalankan fungsi menuntut atau tidak menuntut karena dalam menjalankan fungsinya itu ia bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Kita berharap di RUU Kejaksaan yang saat ini sedang dibahas perlu kejelasan posisi daripada lembaga Kejaksaan ini supaya jelas jenis kelaminnya. Jika memang yang diinginkan adalah lembaga Kejaksaan yang mandiri dan merdeka maka tidak ada pilihan lain untuk melepaskan  Institusi Kejaksaan dari Kekuasaan Eksekutif dan berdiri sendiri sebagai Lembaga Negara independen.

Penempatan ini penting untuk menjaga arah kebijakan hukum Kejaksaan tidak dipengaruhi kepentingan politik institusi manapun. Dengan posisinya yang independen, Kejaksaan diharapkan menjadi bebas layaknya hakim yang hanya bertanggung jawab kepada hukum (subject to law) dan kepada Tuhan, bukan bertanggung jawab kepada penguasa yang telah mengangkatnya.

Dengan kejelasan posisi Kejaksaan ini maka program selanjutnya adalah memperkuat posisi kelembagaanya. Dengan posisinya yang independen, Lembaga Kejaksaan bisa diperkuat oleh sebuah Komisi sebagai lembaga pengawas eksternal yang juga lepas dari kekuasaan eksekutif. Tujuan penguatan komisi kejaksaan ini adalah untuk menjaga independensi segala aktivitas kejaksaan RI agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum yang berlaku di Indonesia.

Sebab seperti pesan Baharuddin Lopa, tokoh legenda yang menjadi pendekar hukum Indonesia karena kejujurannya, hukum dan keadilan harus ditegakkan. “Kendatipun kapal akan karam, tegakkan hukum dan keadilan" , begitu katanya.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar