`Otak` Dibalik Tax Amnesty Jilid II, Faisal Basri Tuding Airlangga

Minggu, 04/07/2021 22:30 WIB
Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri (Monitor.id)

Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri (Monitor.id)

Jakarta, law-justice.co - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, menyebut usulan pengampunan pajak (Tax Amnesty) jilid II bukan datang dari Kementerian Keuangan, melainkan dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Menurut dia, Ketua Umum Partai Golkar itu yang mendorong Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan agar kembali menerapkan Tax Amnesty jilid II.


"Ini true story, saya punya back up di Istana. Jadi dalam konteks ini, saya respect dengan Kementerian Keuangan sebab Tax Amnesty ini tidak berasal berasal dari Kemenkeu atau draft RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan), tapi minta dimasukkan oleh yang namanya Airlangga Hartarto," katanya dalam Diskusi Online Indef `Urgensi Reformasi Fiskal di Tengah Pandemi` Minggu (4/7).


Selain Airlangga, usulan adanya pengampunan pajak ini juga atas keinginan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Faisal menuding di dalamnya banyak pengusaha yang masih nakal enggan membayar pajak.


Para pengusaha yang ngemplang pajak itu, kata Faisal Basri, merasa tenang selama ini di-back up Presiden Jokowi karena mereka mendukungnya secara politik. Akan tetapi, masa pemerintahan Jokowi akan berakhir pada 2024. "Mungkin mereka dukung Jokowi, kalau Jokowi selesai, mereka diburu lagi, takut nih. Makanya ada Tax Amnesty," ucapnya.


Menurut dia, seharusnya Ditjen Pajak mengejar pada pengemplang pajak yang punya harta banyak, mulai dari pengusaha, para mantan pejabat, hingga mantan jenderal.


Selain mengejar pajak para pengusaha, dia juga meminta Ditjen Pajak dan BKPM untuk mengecek implementasi tax holiday bagi para investor, khususnya di sektor pertambangan seperti pembangunan smelter nikel.


Seharusnya para pengusaha itu diaudit, sebab ada dugaan mereka menaikkan nilai investasinya agar bisa mendapatkan relaksasi tidak bayar pajak selama 20 tahun. "Jika fasilitas tax holiday ada informasi salah, harus dikembalikan bahkan didenda, terutama smelter nikel di-mark up nilai investasinya, bawa barang bekas dari China, dianggap barang baru, investasi besar, tidak bayar pajak 20 tahun. Ini kok diam saja Kemenkeu? Walaupun sekarang yang diberikan tax holiday bukan Kemenkeu tapi BKPM. Saya sudah bilang Pak Bahlil, audit nih," ujarnya.


Sementara itu, Dimintai tanggapannya, pihak Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian belum memberikan tanggapan atas pernyataan Faisal basri.

 

Faisal Minta Pemerintah hati-hati Terapkan PPN

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai penerapan kebijakan PPN di tengah pandemi harus dilakukan secara hati-hati. Sebab, 143 juta masyarakat Indonesia rentan miskin berdasarkan data Bank Dunia 2019 yang dipaparkan Ekonom Indef, Faisal Basri.


Faisal mengatakan, 143 juta jumlah orang Indonesia ini rentan miskin jika ada kejadian syok seperti pandemi COVID-19. Jumlah ini juga lebih tinggi dibandingkan orang miskin 27,55 juta dan jauh lebih tinggi dari penerima PBI BPJS Kesehatan 96,8 juta jiwa. "Jadi yang rentan jauh lebih besar, hati-hati menerapkan peningkatan PPN sebab PPN berlaku buat semua orang, apalagi dinaikkan tarifnya dan yang sembako dikenakan. The devil is in detail. Detailnya belum ada. Jangan kita kasih cek kosong," katanya dalam Diskusi Online Indef `Urgensi Reformasi Fiskal di Tengah Pandemi` Minggu (4/7/2021).


Ketimbang mengejar PPN sembako, pemerintah harusnya bisa meningkatkan penerimaan negara dari cukai rokok dengan menaikkan otomatisasi 10 persen dan sederhanakan kelompok produsen dari 10 menjadi maksimum hanya 4.


Kedua, hapuskan pengenaan pajak final perusahaan konstruksi. Sumber sektor ini dalam PDB menjadi terbesar keempat. "Jadi berlakukan seperti sektor lain, bayar PPh 22 persen tahun ini dari keuntungan. Jangan berlakukan pajak final, kan perusahaan konstruksi sebagian besar BUMN harusnya lebih mudah (diminta bayar pajak)," katanya.


Ketiga, Faisal Basri meminta hentikan obral fasilitas keringanan pajak seperti tax holiday, khususnya di sektor pertambangan dan yang berlokasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Menurutnya, KEK menjadi sarang penyelundupan sebab barang dari China masuk tanpa kena pajak.


Keempat, naikkan tarif pajak final sektor keuangan karena banyak orang investasi di sektor keuangan, bukan sektor riil. Kelima, naikkan tarif pajak pribadi super rich menjadi 40 persen. Di RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) hanya 35 persen.


Selain itu sumber-sumber penghematan juga dilakukan, seperti hemat belanja barang, reformasi subsidi energi dan listrik, tahan belanja senjata, tunda pembangunan ibu kota baru setidaknya 5 tahun, dan jadwal ulang pembangunan infrastruktur yang tidak mendesak.


Hal yang sama juga diungkapkan Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef, M Rizal Taufikurahman. Menurutnya, di tengah pandemi, pemerintah perlu menjalankan kebijakan perpajakan secara hati-hati karena permintaan dan produksi sedang turun. "Bukan masalah peningkatan pajak, tetapi bagaimana efektivitas pajak yang ada dengan mekanisme yang lebih bijaksana. Justru seharusnya diberikan insentif dan kemudahan dalam konsumsi maupun investasi," katanya.
Setoran Pajak Loyo, Pemerintah Tidak Bisa Salahkan Pandemi


Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Indef, Abdul Manap Pulungan, meminta pemerintah tidak menyalahkan adanya pandemi yang membuat setoran pajak loyo. Sebab, sebelum adanya wabah ini, rekam jejak penerimaan pajak selalu meleset dari target.

Menurut dia, dalam lima tahun terakhir, kecenderungan terjadi peningkatan shortfall dari tahun ke tahun. Shortfall pada 2015 sekitar Rp 150 triliun, 2016 sekitar Rp 250 triliun, 2019 sebesar Rp 250 triliun dan di tahun 2020 sekitar Rp 350 triliun. Data tersebut menunjukkan ada permasalahan signifikan di penerimaan negara. "Artinya bukan karena COVID-19, tetapi karena masalah fundamental penerimaan pajak itu sendiri. Gap antara pendapatan dan belanja semakin luas. Jangan sampai gara-gara ini selalu pemerintah beralasan atau mengambil langkah lewat penarikan utang-utang,” kata Abdul Manap.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar