Gembala Dr. Socrates S.Yoman

Ada Rasisme Jantung Akar Persoalan Konflik Kekerasan Negara di Papua

Selasa, 29/06/2021 16:11 WIB
Aksi protes atas penyerbuan dan ucapan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya (Beritagar.id)

Aksi protes atas penyerbuan dan ucapan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya (Beritagar.id)

Papua, law-justice.co - Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam surat Gembala menyikapi situasi Papua terkini, tertanggal, 26 Juni 2021, memberikan kesimpulan bahwa RASISME adalah jantung akar  persoalan konflik berkepanjangan di Papua.

"....kami para pemimpin gereja Papua menyimpulkan bahwa berdasarkan pengalaman penderitaan bersama rakyat Papua, maka akar persoalan konflik Papua dan Negara adalah Rasisme sebagai “jantung” dan “nada dasar “ yang menjadi landasan terjadinya kekerasan dan penindasan terhadap orang Papua oleh negara."

Didasari watak RASISME, Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat tidak melibatkan keterwakilan orang asli Papua untuk mengikuti proses pembuatan dan penanda tanganan Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Pada hal, waktu itu,  orang-orang asli Papua terdidik  sangat banyak, contohnya Hermanus Wayoi dan Fritz Kihirio dan kawan-kawan.

Orang-orang terdidik Papua diabaikan, bahkan ditangkap dan dipenjarakan di penjara militer di Ifar gunung. Perilaku kejam ini terjadi karena  disemangati RASISME, ABRI (kini: TNI) menghancurkan keinginan dan aspirasi murni rakyat dan bangsa Papua untuk merdeka pada pelaksanaan Pepera 1969.

Sintong Panjaitan dalam bukunya: `Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando`,  mengakui: "Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi Tempur, Teritorial dan Wibawa sebelum dan paska pelaksanaan Pepera dari tahun 1965-1969, maka saya yakin Pepera 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Merdeka"

Dengan roh kekuatan RASISME, ABRI ( kini: TNI) membakar semua buku-buku sejarah yang berhubungan dengan bangsa Papua

"Dalam kerangka `mensetarafkan` rakyat Irian Barat (Tanah Papua), maka pada tanggal 2-3 Mei 1963, setelah UNTEA menyerahkan administrasi pemerintahan kepada Pemerintah RI, Pemerintah mengumpulkan buku dan majalah, pamplet terkait: sejarah etnografi, hukum, dan bahan-bahan cetak lainnya tentang Papua kemudian membakarnya, sambil berpidato dan menyanyikan lagu-lagu nasional Indonesia. Nampak adanya kekuatiran bahwa pikiran dalam cetakan-cetakan tersebut akan menghalangi elit NKRI dalam memaksakan `identitas baru yang diimajinasikan` rezim Indonesia ke dalam benak rakyat Irian Barat kala itu."

Dilandasi RASISME dari pikiran dan perasaan supior dari Penguasa Pemerintah Indonesia, TNI-Polri melakukan operasi militer, kekerasan demi kekerasan dari waktu ke waktu yang menyebabkan pelanggaran berat HAM dan indikasi kuat terjadi proses GENOCIDE (genosida)  terhadap Penduduk Orang Asli Papua sejak 1 Mei 1963 dan telah menjadi tragedi kemanusiaan terpanjang dalam sejarah di Asia.

Dandhy Laksono, dengan tepat mengatakan:  "Situasi Papua terus memburuk karena politikus di Jakarta miskin inovasi, mabuk nasionalisme sempit, dan tak cukup cerdas mengambil terobosan politik. Menyerahkan urusan Papua pada para serdadu yang 50 tahun tak membawa perubahan apa-apa."

Karena pandangan dan keyakinan RASISME yang kuat dalam diri Pemerintah dan TNI-Polri sehingga, melahirkan empat akar persoalan konflik Papua-Jakarta yang ditemukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah menjadi LUKA MEMBUSUK di dalam tubuh bangsa Indonesia.

Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.

"Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia...kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata."

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:

"Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia."

Papua adalah luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia, karena RASISME, ketidakadilan, dan pelanggaran berat HAM yang dilakukan penguasa kolonial modern Indonesia sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini, kita berada dalam tahun 2021.

Luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar masalah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar konflik Papua, yaitu:

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Penguasa pemerimtah Indonesia dan TNI-Polri berpikiran RASISME dan tidak mendengarkan suara rakyat Papua yang menolak kelanjutan Otsus yang gagal itu dan pemekaran daerah otonomi baru. 

Penguasa RASIS ini berusaha menghindar dan lari dari pokok masalah dan sibuk mengurus seperti evaluasi Otsus dan pemekaran yang hampir 100% tidak ada manfaat bagi orang asli Papua.Kareba, evaluasi dan kebelanjutan Otsus dan pemekaran daerah otonomi baru bukan kebutuhan mendesak orang asli Papua.

Momentum atau kesempatan Otsus untuk membangun orang asli Papua sudah lewat dan telah GAGAL TOTAL dan dalam era Otsus sudah diisi dengan Remiliterisasi dan pelanggaran berat HAM. Hasil akhir dari Otsus selama 20 tahun adalah penderitaan, tetesan darah dan air mata. Otsus membawa malapetaka setelah Pepera 1969. Semua ini terjadi karena penguasa Indonesia yang berwatak RASIS. 

RASISME melahirkan ketidakadilan, kekerasan Nergara/Operasi Militer, kapitalisme, kejahatan kemanusiaan/pelanggaran berat HAM, diskriminasi dan marjinalisasi yang menyebabkan Papua tetap LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar