Bongkar Permainan Begal Anggaran di Masa Pandemi

Dugaan Korupsi APD Kemenkes, Negara Rugi Rp625 M

Sabtu, 01/06/2024 15:15 WIB
Ilustrasi: Korupsi anggaran pembelian APD merugikan negara Rp 625 M di Kemenkes. (Bing)

Ilustrasi: Korupsi anggaran pembelian APD merugikan negara Rp 625 M di Kemenkes. (Bing)

law-justice.co - Polah koruptor tak kenal sikon. Dalam kondisi apapun, niat menggasak duit rakyat selalu ada, bahkan di saat pandemi Covid-19. Di Kemenkes, anggaran untuk pembelian alat pelindung diri (APD) dirompak. Kerugian negara mencapai Rp 625 Milyar.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai melakukan penyelidikan atas dugaan korupsi pengadaan APD di bulan Maret 2023. Enam bulan berselang, pada  Oktober 2023 KPK menaikan status pennangana perkara menjadi penyidikan. Penyidik pun lantas menetapkan tiga tersangka, yakni Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik, Direktur Utama PT Energy Kita Indonesia Satrio Wibowo, dan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes Budi Sylvana.

Tim penyidik pada Jumat (31/5/2024) kembali memeriksa enam orang saksi dalam penelusuran aliran uang dalam perkara dugaan korupsi pengadaan APD di Kementerian Kesehatan tahun anggaran 2020. "Para saksi hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan dugaan sebaran dan aliran uang dari para tersangka dalam perkara ini ke berbagai pihak," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Jumat (31/5/2024).

Para saksi tersebut yakni Karyawan PT Rajawali Nusindo Jodi Imam Prasojo, Direktur Utama PT Energy Kita Indonesia Satrio Wibowo, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik. Kemudian dua karyawan PT Permana Putra Mandiri, Yuni Suharyati dan Susilo, serta pihak swasta bernama Mohammad Kasif.

Proses hukum terhadap pengadaan APD ini tergolong berbelit dan berliku. Salah satu sebabnya adalah situasi pandemi yang masih belum surut dan adanya unsur kedaruratan. Sehingga meskipunsudah terendus di kesempatan pertama, namun pihak penyedia dan rekanan masih diberi kesempatan untuk memperbaiki.

Ilustrasi: Gedung KPK.

Audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sudah menemukan adanya dugaan penlewenangan dan kerugian negara dalam transaksi ini. Diduga ada penyelewengan anggaran negara hingga Rp625 miliar dari proyek pengadaan 5 juta APD pada masa pandemi Covid-19, 2020 lalu. Pihak yang terlibat diduga mulai dari Kemenkes selaku penanggung jawab proyek, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang memiliki dana anggaran hingga dua perusahaan swasta, yakni PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan PT Permana Putra Mandiri (PPM) yang menggarap proyek dengan total anggaran Rp3,03 triliun itu.

Proses pengadaan APD bermula dari rapat di BNPB pada Maret 2020. Selain perwakilan BPKP, saat itu hadir pula perwakilan BNPB, Kemenkes, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan para vendor. Dalam rapat itu, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI), Satrio Wibowo memasang harga satu setel APD senilai USD 60 atau setara Rp973.800 dengan merujuk kurs Rp 16.230 per dolar AS pada kala itu.

Singkat cerita, pemerintah sepakat dengan penawaran Satrio, setelah ada penyesuaian harga. Kesepakatan pengadaan APD ini dengan catatan bahwa BPKP bakal melakukan audit. Sebab, bila ditemukan ketidakwajaran harga, perusahaan penggarap proyek wajib mengembalikan sisa uang yang tidak sesuai kepada pemerintah. “Rapat saat itu cukup alot saat bicarakan harga,” kata sumber kami di BPKP saat ditemui, Senin (27/5/2024).

Lantas, pada 28 Maret 2020, Kemenkes menunjuk PT EKI dan PT PPM untuk menyediakan 5 juta APD dengan Surat Pesan APD No. KK.02.91/1/460/2020. Kontrak perjanjian dalam surat itu menyebut PPM sebagai distributor yang hanya diperbolehkan membeli APD dari PT EKI. Sedangkan, EKI berperan sebagai penyedia. PT EKI tidak bisa mendistribusikan APD secara langsung karena tidak memegang izin penyalur alat kesehatan (IPAK).

Awal Mei 2020, pengadaan dari total 5 juta baru terealisasi 2,1 juta APD dengan total anggaran adalah Rp1,33 triliun. Kala itu, Kemenkes baru membayar sebanyak 1,01 juta APD senilai Rp719,81 miliar. Di tengah proses pengadaan proyek APD, BPKP merilis hasil auditnya yang mempertanyakan ketidakwajaran harga.

BPKP menyebut ketidakwajaran harga dari pembelian APD tersebut sebesar Rp615,17 miliar. Dari catatan BPKP, harga normal untuk pembelian 2,1 juta APD berkisar Rp 709,84 miliar. BPKP lantas menyarakan agar PPK atau pejabat pembuat komitmen proyek ini untuk memperhitungkan ketidakwajaran harga sebesar Rp625.147.194.192 terkait pengadaat yang saat itu sudah sebanyak 1 jutaan. Angka ketidakwajaran tersebut termaktub dalam hasil audit BPKP Nomor 01 Gugus/PW/02/05/2020.

Audit BPKP mengungkap kerja sama pengadaan APD ini tidak sesuai ketentuan. Sebab dalam peneluruan auditor, PT EKI tidak memiliki surat izin pengedar alat kesehatan. Korporasi itu juga bukan termasuk pengusaha kena pajak. Ada pula kejanggalan terkait dokumen kepabeanan proses pengiriman produk. Juga, perjanjian kontrak antara PT PPM dan PT EKI dinyatakan bermasalah yang mengarah pada pengkondisian proyek.

“Ada semacam indikasi praktik monopoli dari pengadaan APD ini. PT EKI yang garap produksinya, sedangkan PPM ditunjuk langsung untuk distribusinya, tanpa penunjukan yang fair,” kata sumber kami.

“Temuan audit ini jadi atensi penegak hukum. Kemenkes dalam posisi yang diminta untuk menagih ke pelaksana proyek,” dia melanjutkan.

Atensi yang dimaksud adalah adanya rapat antara BNPB dan Kemenkes dengan sejumlah aparat penegak hukum, mulai dari KPK hingga Kejaksaan Agung. Para penegak hukum meminta Kemenkes menagih kelebihan bayar kepada pelaksana proyek agar temuan BPKP tidak berlanjut menjadi persoalan hukum yang bisa dipidanakan terkait korupsi anggaran.

Di Bawah Acungan Pistol

Sumber kami yang pernah bekerja di lingkar satu Kemenkes mengatakan ada dugaan intimidasi kepada Budi Sylvana yang dalam proyek ini sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Adapun Budi saat waktu pengadaan proyek ini menjabat Kepala Pusat Krisis Kemenkes. Yang jadi masalah oleh Budi, bukan hanya soal negosiasi harga dari pihak ketiga, tetapi tekanan dari BNPB selaku pemilik dana.

Doni Monardo (almarhum) yang saat itu menjabat Kepala BNPB diduga mengintimidasi Budi untuk meneken kontrak perjanjian pengadaan proyek APD ini. “Ditodong kepalanya (Budi Sylvana) sama pistol (oleh Doni),” kata sumber.

Petinggi BNPB disebut juga memiliki afiliasi dengan PT EKI dan PT PPM sehingga dana siap pakai atau DSP yang dimiliki oleh BNPB bisa digunakan melalui pertanggung jawaban pejabat Kemenkes. Selain Doni, petinggi BNPB itu adalah Harmensyah yang saat itu menjabat Sekretaris Utama BNPB. “Keterlibatan di antara mereka cukup kuat sampai akhirnya cair proyek ini,” kata sumber kami.

Dugaan adanya intimidasi oleh Doni, melatarbekalangi peran aktif Budi Sylvana yang berulang kali menegosiasi harga satuan APD. Sampai akhrinya, negosiasi menyepakati penurunan harga menjadi Rp366.850 per APD yang diproduksi sejak 28 April hingga 7 Mei 2020 sebanyak 503.500 APD. Dalam negosiasi ini pula, disepakati harga baru senilai Rp294 ribu per APD untuk sejuta APD yang diadakan sejak akhir Maret 2020.

 Usut Money Laundry

Penyidik KPK juga diketahui sedang mengusut kemana aliran dana Rp625 miliar yang dianggap auditor sebagai kelebihan bayar akibat harga tidak wajar. Secara gambaran besar, KPK juga sedang mengusut transparansi DSP yang dimiliki BNPB, selain yang telah dikucurkan untuk APD, sebesar Rp700-an miliar.

Dari total itu, KPK menemukan indikasi adanya TPPU Rp 208 miliar. Uang miliaran tersebut diduga dibagi-bagi di antara tiga tersangka. Lain itu, uang mengalir ke satu pengacara bernama Isdar Yusuf, dan empat orang saksi yang telah diperiksa KPK. Adapun KPK menyebut empat saksi yang dipanggil adalah Direktur Utama PT DS Solutions International, Ferdian; Komisaris PT Nawamaja Silatama, Agus Subarkah; seorang dokter di salah satu rumah sakit Lampung, Afnizal; dan Direktur PT Tria Dipa Medika, Dewi Affatia.

Dalam temuan KPK, Agus Subarkah diduga menerima uang Rp 15 miliar, Afnizal Rp 1 miliar, Dewi Rp 1 miliar, dan Ferdian Rp 1 miliar. Dalam penyidikan kasus ini, selain menetapkan tiga tersangka, komisi antirasuah juga mencekal beberapa orang bepergian ke luar negeri. Mereka adalah A Isdar Yusuf, pengacara Satrio Wibowo, dan Harmensyah (PNS BNPB).

Salah satu yang diperiksa dalam kasus tersebut adalah Wakil Ketua MPR Fraksi DPD RI Fadel Muhammad. Seperti diketahui Fadel diperiksa sebagai saksi pada Senin (25/03/2024).  Ketika dimintai konfirmasi, Fadel membenarkan bila ia memang pernah diperiksa oleh KPK terkait kasus dugaan korupsi APD di Kemenkes. "Iya (Diperiksa KPK) sebagai saksi, Maret kemarin," kata Fadel kepada Law-Justice, Selasa (28/05/2024). Kemudian, Fadel menjelaskan latar belakang pemeriksaannya oleh KPK karena ia sempat membantu teman-teman dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) terkait pekerjaan pengadaan APD di Kemenkes RI pada tahun 2020.

Fadel mengatakan bila HIPMI menyuplai pengadaan APD dan setelah ditelusuri ternyata ada masalah dengan audit BPKP. "Mereka menyuplai pengadaan APD, kemudian mereka sudah suplai, ada masalah belum dibayar. Jadi, ada uang sejumlah sekian belum dibayar dari kontrak mereka. Setelah saya cek, mereka cerita, ternyata ada masalah dengan audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)," katanya.

Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad (kanan) di Gedung Merah Putih KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (25/3/2024). (Antara via RRI)

Setelah itu, Mantan Gubernur Gorontalo tersebut menceritakan bila ia sempat mendatangi BPKP untuk menanyakan secara lebih lanjut terkait kasus tersebut. Fadel menyebut bila Kepala BPKP mengatakan bahwa memang terdapat masalah dengan pengadaan karena harga. Setelah itu, BPKP merekomendasikan kepada saya untuk tidak membantu HIPMI karena memang terdapat permasalahan dalam pengadaan tersebut.

"Kepala BPKP mengatakan pada saya bahwa ada masalah dalam pengadaan tersebut dan saya diminta untuk tidak bantu mereka dan setelah itu saya panggil mereka, saya jelaskan bahwa `Ini begini-gini, Kepala BPKP mengatakan jangan karena ini ada masalah yang berhubungan dengan mark up harga dan sebagainya`. Maka, saya pun tidak membantu mereka lagi," imbuhnya.

Selain Fadel, KPK juga pernah memanggil Anggota Komisi VI DPR RI Gde Sumarjaya Linggih terkait kasus tersebut. Namun, Politisi yang akrab disapa Demer tersebut menyatakan bila ia tidak bisa menceritakan lebih rinci terkait pemanggilan oleh KPK tersebut. Meski begitu, Demer mengatakan bila ia akan membantu KPK untuk mengusut kasus yang terjadi di Kemenkes tersebut. “Yang bisa saya pastikan adalah saya akan membantu KPK membuat jelas perkara tersebut dengan kemampuan terbaik saya,” kata Demer ketika dikonfirmasi, Kamis (30/05/2024).

Demer menyatakan bila ia menghormati proses hukum yang sedang berjalan terkait dugaan kasus korupsi APD di Kemenkes. "Intinya saya mendukung KPK untuk mengusut kasus yang sedang diusut," ujarnya.

KPK juga memanggil Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDIP Ihsan Yunus dalam kasus dugaan korupsi pengadaan APD di Kemenkes. Ihsan dipanggil KPK untuk dimintai keterangan lebih lanjut soal pengadaan tersebut saat Ihsan masih menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI. Seperti diketahui bila Ihsan Yunus memang pernah bertugas di Komisi VIII DPR RI menjadi Wakil Ketua. Namun saat tahun 2021, ia dipindahkan dari Komisi VIII ke Komisi II dan kini ia berada di Komisi IV.

Ihsan Yunus diperiksa oleh KPK pada 18 April 2024 lalu dan setelah pemeriksaan tersebut Ihsan enggan berkomentar banyak terkait pemeriksaan tersebut. "Ya tadi diperiksa soal pengadaan APD di Kemenkes," kata Ihsan usai diperiksa oleh KPK di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (18/04/2024) lalu. Ketika ditanya oleh awak media usai pemeriksaan beberapa waktu lalu, Politisi PDIP itu enggan berkomentar banyak soal pemeriksaan tersebut. "Tanya ke Penyidik aja," ujarnya. 

Law-Justice mencoba untuk meminta konfirmasi kepada Ihsan Yunus untuk dimintai keterangan lebih lanjut soal kasus tersebut. Namun, hingga berita ini diturunkan Ihsan Yunus belum memberi tanggapan lebih lanjut soal adanya dugaan kasus korupsi APD di Kemenkes.

 

KPK Harus Buka Keterlibatan Pejabat BNPB

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya menyoroti sumber anggaran DSP yang digunakan dalam pengadaan APD di Kemenkes. Menurutnya, agak janggal ketika DSP yang dipunya BNPB justru dibebankan kepada Kemenkes sebagai penanggung jawabnya. “Sumber anggaran proyek ini yang perlu ditelusuri oleh KPK. Walau Kemenkes sebagai PPK, tapi tetap ada keterlibatan BNPB selaku pemilik anggaran,” kata Diky kepada Law-justice, Rabu.

Menurutnya, penyidik KPK mesti melakukan pemeriksaan terhadap pejabat BNPB yang terlibat dalam perumusan anggaran untuk proyek APD di Kemenkes. Selain itu, katanya, penelesuran lebih lanjut keterlibatan pejabat Kemenkes, perlu juga dilakukan. “PPK dalam korupsi pengadaan barang dan jasa hanya sebagai operator, tapi masih ada pihak lain di belakangnya,” ujar dia.

Dalam catatan ICW, yang merujuk data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, kebutuhan APD secara nasional sebanyak 5 juta buah per bulan. Namun apabila menghitung realisasi pendistribusian, rata-rata APD yang dapat didistribusikan oleh pemerintah di awal pandemi hanya sebanyak 1,8 juta unit atau sekitar 38 persen. Artinya, kemampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan APD dinilai buruk.

ICW juga mneyoroti tambahan anggaran BNPB sebesar Rp3,5 triliun untuk pengadaan APD di tengah buruknya tata kelola pengadaan. Buruknya tata kelola almatkes makin diperparah ketika pemerintah memutuskan membuka keran ekspor untuk APD. Padahal masih terdapat sejumlah daerah yang mengeluhkan kekurangan APD untuk menangani pasien Covid-19, seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Papua Barat.

Korupsi yang dilakukan saat bangsa ini tengah bertarung melawan Covid-19 sungguh layak untuk diganjar dihukum mati. Kelicikan mereka mengambil kesempatan di tengah krisis, berpotensi mendatangkan krisis yang lebih besar lagi. Apalagi, duit yang dikorupsi adalah anggaran untuk pembelian APD.

KPK yang hingga saat ini baru menetapkan 3 tersangka, harus bekerja lebih keras lagi, Mengingat, pihak-pihak yang berpotensi terlibat dan menikmati hasil korupsi ini masih belum tersentuh. Meskipun sudah ada yang dipanggil sebagai saksi. Sekadar tambahan, KPK juga harus berani mengambil opsi untuk melakukan penuntutan hukuman mati terhadap para tersangka saat di persidangan nanti. Penuntutan hukuman mati terhadap terdakwa korupsi pernah dilakukan Kejaksaan Agung dalam Kasus Korupsi Jiwasraya.

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar