Potret Suram Hutan Papua Dijarah Demi Sawit

Sekeping Surga Papua yang Dirudapaksa

Sabtu, 15/06/2024 15:30 WIB
Ilustrasi: Masyarakat adat menghadang pembabatan hutan atas nama Perekbunan Sawit di Papua. (bing)

Ilustrasi: Masyarakat adat menghadang pembabatan hutan atas nama Perekbunan Sawit di Papua. (bing)

law-justice.co - Keindahan dan keanekaragaman hayati alam Papua membuat pulau ini dijuluki Sekeping Surga yang jatuh ke bumi. Kini, surga ini tengah dalam ancaman oligarki sawit yang melakukan deforestrasi terhadap hutan-hutan primer di Papua. Ribuan hektar hutan papua perlahan musnah, bakal diganti kebun sawit. Padahal Papua menyimpan hutan primer sebagai paru-paru dunia yang semakin sedikit tersisa. Akankah paru-paru dunia ini tumpas atas nama industrialisasi dan pembangunan?

Deforestasi di Papua, Indonesia, telah menjadi perhatian utama selama sepuluh tahun terakhir. Data menunjukkan bahwa Papua, yang menyimpan sekitar sepertiga dari hutan hujan yang tersisa di Indonesia, mengalami kehilangan tutupan hutan yang signifikan, terutama disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pembangunan infrastruktur.

Pada tahun 2015, Papua mencatat kehilangan hutan tertinggi, dengan deforestasi di area yang berlisensi untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 145.595 hektar pada tahun 2019. Ini mencakup hampir sepertiga dari semua deforestasi di wilayah tersebut tahun itu. Meskipun ada upaya untuk mengendalikan ini, deforestasi yang direncanakan dalam batas konsesi legal tetap menjadi ancaman besar bagi hutan Papua.

Perkebunan kelapa sawit telah menjadi pendorong utama deforestasi. Meskipun ada kebijakan konservasi, deforestasi yang terjadi sebagian besar masih berada dalam batas-batas konsesi yang sah. Pembangunan infrastruktur, terutama jalan, juga berkontribusi pada meningkatnya laju deforestasi, membuka area hutan yang sebelumnya tidak dapat diakses untuk penebangan dan aktivitas pertanian.

Menyoroti laju deforestrasi di Papua, pada 2021 Greenpeace International menerbitkan laporan berjudul Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua. Menurut Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, laporan ini mengungkap dugaan pelanggaran sistematis perizinan perkebunan dan pelepasan kawasan hutan di provinsi Papua dalam rentang 2011-2019. Hampir satu juta hektare hutan di Provinsi Papua telah dilepaskan dari kawasan hutan sejak tahun 2000 atau hampir dua kali luas pulau Bali.

Sebagian besar pelepasan tersebut untuk kepentingan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hingga 2019, berdasarkan analisis CIFOR telah ada seluas 168.471 hektar hutan alam di Provinsi Papua yang dikonversi menjadi perkebunan sawit. Jumlah ini akan terus bertambah seiring bertambahnya pelepasan kawasan hutan dan izin perkebunan.

Direktur Kehutanan Yayasan Auriga, Supintri Yohar, mengatakan deforestrasi Papua tidak hanya berkutat di Boven Digoel dan Sorong saja. Sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Tanah Papua menyusut 663.443 hektare, yang mana 29% terjadi pada 2001-2010 dan 71% 2011-2019. Secara rerata, terjadi deforestasi 34.918 hektare per tahun, dengan deforestasi tertinggi terjadi pada 2015 yang menghilangkan 89.881 hektare hutan alam Tanah Papua.

Dari perhitungan Auriga, katanya, 87% persen deforestasi Tanah Papua pada 2001-2019 terjadi di 20 kabupaten, atau di separuh total kabupaten di regional ini. Detailnya, deforestasi terbesar terjadi Kabupaten Merauke (123.049 ha), diikuti Kabupaten Boven Digoel (51.600 ha). “Patut diingat bahwa Boven Digoel, bersama Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat, merupakan kabupaten pemekaran dari Merauke. Keempat kabupaten ini oleh elit politik lokal sedang didorong menjadi satu provinsi tersendiri, Provinsi Papua Selatan. Secara keseluruhan regio ini membukukan deforestasi seluas 203.006 hektare, atau hampir sepertiga deforestasi Tanah Papua,” kata Supintri kepada Law-justice, Kamis.

Dia menekankan deforestasi tertinggi di Tanah Papua terjadi pada periode Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, yang menjabat menteri sejak periode pertama kepresidenan Jokowi. Dalam periode 2015-2019 saja, deforestasi di Tanah Papua mencapai 298.687 hektare. Di zaman Siti Nurbaya selaku Menteri KLHK di rezim Jokowi, pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan kelapa sawit seluas 254.455 hektare yang berdasar surat keputusan pelepasan kawasan hutan.

Grafik Laju deforestrasi di Papua. (Auriga)

Kata Supintri, deforestasi tidak lantas bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang illegal di Indonesia karena pemerintah mengatur itu dengan bertumpu pada rezim kawasan, bukan pada tutupan hutan. “Sepanjang diterbitkan izin atau dilakukan berdasar kebijakan penguasa, deforestasi dimungkinkan. Izin pinjam pakai kawasan hutan untuk operasi pertambangan, misalnya, menjadi contoh betapa deforestasi menjadi hal yang legal,” ujarnya.

Perubahan lanskap tanah di Papua cukup ekstrem dalam 20 tahun terakhir. Setiap kabupaten mengalami kenaikan deforestasi pada dekade kedua rentang ini. Adapun lonjakan terbesar terjadi di Kabupaten Merauke yang melonjak 1.355%, dari 8.455 hektare pada dekade pertama menjadi 114.594 hektare pada dekade kedua. Disusul Kabupaten Deiyai, yang melonjak 1.013% dari 1.065 hektare menjadi 11.855 hektare. Bila pada 2001-2010 deforestasi didominasi Boven Digoel, Teluk Bintuni, Kaimana, Mimika, dan Sorong, pada 2011-2019 deforestasi dominan terjadi di Merauke, Boven Digoel, Keerom, Nabire, Fakfak.

“Fenomena ini menunjukkan bahwa tidak tertutup kemungkinan kabupaten yang saat ini belum menjadi episentrum deforestasi, seperti Maybrat, Tambraw, Mamberamo Raya, pada masa mendatang justru menjelma menjadi episentrum baru deforestasi. Fenomena ini pada dasarnya menunjukkan bahwa pemerintah sedang merencanakan deforestasi di Tanah Papua,” ucap dia.

Hutan Dibabat Demi Sawit

Kerusakan hutan dan pengambilan ruang hidup masyarakat adat di tanah Papua sedang menjadi sorotan, seiring ekspansi korporasi sawit dan legalitas pemerintah yang menghalalkan deforestasi atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. Slogan “All Eyes on Papua” menggema di media sosial hingga jutaan interaksi dari netizen.

Diinspirasi slogan All Eyes on Rafah yang saat itu digelorakan netizen internasional untuk mengawasi agresi militer Israel di Raffah, slogan All eyes on Papua digelorakan oleh netizen Indonesia merespon perjuangan suku adat Awyu di Boven Digoel. Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papu Barat Daya, yang tanah ulayatnya dialihkan menjadi perkebunan sawit secara serampangan.

Menurut Sekar yang juga merupakan juru bicara dari tim advokasi  Suku Awyu, pihaknya tidak menggaungkan slogan All Eyes on Papua. “Slogan itu menjadi trending dan viral, sepenuhnya merupakan gerakan organik warganet merespon perjuangan yang tenah dilakukan oleh Suku Awyu ini,” ujarnya.

Perwakilan Suku Awyu menyerahkan berkas kasasi ke petugas Mahkamah Agung. (Greenpeace)

Mengambil momentum pendaftaran memori kasasi ke Mahkamah Agung, suku Awyu dan Moi menempuh perjalanan jauh dari Papua ke Jakarta untuk unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Agung (MA) pada 27 Mei 2024. Dengan mengenakan pakaian khas suku masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu. Harapannya cuma satu: Hakim memutus pembatalan izin usaha sawit.

Adapun kedua suku tersebut terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat. Gugatan keduanya sudah sampai tahap kasasi di MA. Sebelum masuk ke MA, suku Awyu menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL).

Korporasi sawit itu diberi izin lingkungan seluas 36.094 hektare yang berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu. Ribuan hektare itu setara lebih dari setengah luas Jakarta. Gugatan kasasi suku Awyu berdasar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado yang mementahkan gugatan mereka sehingga izin konsesi hutan adat menjadi lahan sawit disahkan.

Suku Awyu tidak berperkara dengan PT IAL saja. Mereka juga sedang mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT Megakarya Jaya Raya (MJR)--dua perusahaan sawit yang juga berekspansi di Boven Digoel. Mulanya pada Maret 2023, PT MJR dan KCP menggugat PTUN Jakarta atas kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengevaluasi pelepasan kawasan hutan sekaligus menerbitkan izin perkebunan di Boven Digoel. Bagi kedua perseroan, kebijakan itu merugikan sebagai pemegang konsesi. Tetapi, bagi suku Awyu, penerbitan izin untuk sementara menyelamatkan hutan seluas 68 ribu hektare. PTUN Jakarta menolak gugatan PT MJR dan PT KCP. Namun belakangan, pengadilan mengabulkan upaya banding dua korporasi itu.

Sedangkan Suku Moi sedang berperkara melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan menggunduli 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. Awalnya, korporasi ini memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong. Namun, pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS dan pencabutan izin usaha. Kebijakan pemerintah ini lantas dibalas gugatan ke PTUN Jakarta. Perwakilan masyarakat adat Moi mendukung dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Akan tetapi, hakim menolak gugatan itu sehingga masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke MA pada 3 Mei 2024.

Perwakilan Warga Suku Awyu dan Moi di Papua Selatan berdemontrasi ke Mahkamah Agung untuk mempertahankan tanah adat mereka yang bakal digusur menjadi lahan sawit. (Greenpeace) 

Menanggapi persoalan hutan adat yang terjadi di Papua, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyebut pemerintah dan masyarakat adat memiliki tujuan yang sama untuk menjaga keberadaan hutan adat di Papua. Siti menyatakan bila pemerintah dan masyarakat adat memang satu suara dalam menjaga keberadaan hutan adat di Papua.  "Kalau itu kan mereka justru memintanya bahwa itu tidak boleh terjadi deforestasi. Kan sama, pemerintah tidak mau hutan primer dibuka jadi sawit," kata Menteri LHK Siti Nurbaya kepada Wartawan usai usai rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu (12/06/2024).

Siti menuturkan bila pemerintah sendiri sudah mencabut izin pelepasan kawasan hutan yang dimiliki oleh PT MJR dan PT KCP untuk lahan seluas 38 ribu hektare di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan.

Diketahui bila izin untuk kedua perusahaan itu sendiri sudah dikeluarkan pada tahun  2010-2012. Kedua perusahaan itu kemudian mengajukan gugatan atas keputusan pemerintah itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan tersebut.  "Perusahaan sawit itu kemudian mengajukan kasasi atas putusan tersebut yang berlangsung sampai saat ini," tuturnya.

Siti mengatakan bahwa pencabutan itu dilakukan oleh pemerintah berdasarkan aturan di UU Cipta Kerja dan PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan bahwa tidak boleh ada kawasan hutan primer baru yang dibuka untuk perkebunan sawit.

Siti memastikan bila pemerintah melalui Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK tengah memproses area hutan tersebut agar mendapatkan status hutan adat. "Ketika hutan primernya tidak boleh dibuka lagi menjadi sawit memang kita sambil jalan sedang memproses menjadi hutan adat. Itu yang terjadi sebetulnya," pungkasnya.

Sementara itu Anggota Komisi II DPR RI Difriadi Darjad menyatakan bila persoalan tanah adat yang terjadi di Papua ini tentu perlu dilihat secara keseluruhan. Difriadi mengatakan bila Hak Guna Usaha (HGU) yang berada di wilayah adat tentu memiliki undang-undang dan aturan terkait. "Tentu perlu pula perspektif kita ini disamakan dulu dan HGU yang berada di wilayah adat itu tentu ada aturannya ya tentu permasalahan pasti ada," kata Difriadi kepada Law-Justice, Rabu (12/06/2024).

Politisi Partai Gerindra tersebut menyatakan bila pemerintah disini perlu menyiapkan solusi terbaik untuk seluruh pihak yang terlibat disana. Ia juga menegaskan bila investasi memang harus terus berjalan namun yang terpenting adalah hak masyarakat adat bisa terpenuhi.

Difriadi menyatakan bila permasalahan sengketa tanah merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan namun yang terpenting adalah semua bisa diselesaikan dengan duduk bersama antar semua pihak yang terlibat. "Perlu win-win solution untuk seluruh pihak yang terlibat disana dan tentu investasi tetap berjalan terus hak masyarakat adat bisa terjamin," tegasnya.

Menurutnya yang terpenting adalah semua pihak yang terlibat perlu untuk diajak bicara dan tidak bisa bila hanya menguntungkan pihak tertentu saja. "Ya permasalahan soal tanah ini pasti selalu ada cuma memang ini perlu duduk bareng dari semua pihak yang terlibat tidak bisa hanya melibatkan satu pihak saja. Jadi memang dalam kaitannya soal tanah di Papua, yang terpenting pihak yang terlibat ini semuanya diajak bicara," ungkapnya.

DPR Minta Pemerintah Kawal

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) turut memberikan tanggapannya terkait dengan persoalan tanah adat di Papua. AHY memastikan bila pada prinsipnya pemerintah memiliki keinginan untuk meyakinkan pada semua pihak bila pemerintah pasti akan mengedepankan pendekatan yang humanis.

"Jika memang sudah ditetapkan saya yakin Pak Jokowi selaku presiden pasti akan mengedepankan pendekatan yang humanis," kata AHY kepada Media usai Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri ATR, Selasa (11/06/2024).

Ketua Umum Partai Demokrat tersebut menyatakan bila pemerintah berkomitmen untuk menjaga hak masyarakat adat. "Jadi tentu tidak boleh hanya mengatasnamakan pembangunan infrastruktur dan atas nama pertumbuhan ekonomi, kemudian meniadakan hak-hak masyarakat adat," ujarnya.

AHY menyatakan bila pada akhirnya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut ujungnya adalah untuk rakyat dan pemerintah tentu sangat menghormati masyarakat adat papua.

Menurutnya, semua yang terkena dampak langsung dan tidak langsung dari pertumbuhan ekonomi akan menjadi perhatian dari pemerintah. "Tantangan pemerintah sendiri saat ini adalah menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan dan menjaga kelestarian lingkungan termasuk juga supaya masyarakat disana tidak tergeser dari rumahnya. tentu selalu ada solusi baik untuk masyarakat," tutupnya.

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Agus Harimurti Yudhoyono. (Ghivary)

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Budhy Setiawan menyatakan terkait permasalahan hutan adat dan tanah adat di Papua menjadi pekerjaan rumah untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membereskan persoalan tersebut.

Budhy berharap hal ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak yang terlibat dan perlu dan pendampingan untuk masyarakat adat. Soal permasalahan tanah adat di papua ini karena adanya polemik dengan perusahaan kelapa sawit itu kita minta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini betul betul bisa mengawal permasalahan tersebut dan ini juga sudah masuk dalam ranah hukum dan sudah ada proses di tingkat kasasi.

Politisi Partai Golkar tersebut berharap proses hukum berjalan sesuai dengan koridornya dan ini tentu harus dikawal bersama oleh semua pihak terkait. “Kita ingin betul-betul ini ada pendampingan dan tentu ini harus jadi pembelajaran untuk semua pihak yang terlibat," kata Budhy kepada Law-Justice di Gedung DPR RI, Rabu (12/06/2024).

Selanjutnya Budhy berharap proses pengalihan lahan yang terjadi terutama di Papua harus betul-betul melibatkan masyarakat adat.

Hal lain yang menjadi catatan menurut Budhy adalah terkait izin yang diberikan oleh korporasi terkait perlu dikaji secara lebih jauh. "Ini juga perlu dikawal soal adanya proses pengalihan lahan khususnya di Papua yang disana lahan adat itu masih berlaku, dan ini proses perizinan harus betul betul melibatkan masyarakat adat," tegasnya. "Kami minta pemerintah untuk mengkaji izin yang dikeluarkan untuk perusahaan kelapa sawit yang bermasalah tersebut," sambungnya.

Anggota Komisi IV DPR RI Dapil Papua Sulaeman L. Hamzah mengatakan terkait soal tata kelola hutan di papua beda dengan daerah lain.  Menurutnya, bila melihat tata kelola hutan adat di Papua ini sesungguhnya tidak bisa disamakan dengan daerah lain diluar Papua. Keunikan di Papua adalah bila ingin melakukan investasi tentu harus izin pada kepala suku adat. "Jadi kalau di Papua itu tentu punya spesifikasi sendiri. hutan dan tanah ini menjadi milik suku adat, jadi karena itu bila ada investasi yang masuk ke papua mesti berhubungan langsung dengan masyarakat adat yang ada disana paling tidak permisi," kata Sulaeman kepada Law-Justice, Selasa (11/06/2024).

Politisi Partai Nasdem tersebut menyatakan jangan sampai ketika ada korporasi atau perusahaan yang ingin berinvestasi di Papua tidak melakukan permisi terhadap kepala suku adat disana. Selain itu, yang terpenting adalah bila ingin melakukan investasi di Papua tentu harus mengutamakan aspek lingkungan tidak hanya mencari keuntungan saja. "Jadi segala sesuatu investasi di papua ini perlu dipertimbangkan terutama dari aspek lingkungan," ujarnya.

Terkait adanya permasalahan mengenai hutan adat di Papua hari ini, Anggota DPR yang kembali terpilih dari Dapil Papua Selatan ini menyatakan bila pemerintah perlu melakukan upaya mediasi kepada stakeholder terkait disana  terutama pada masyarakat adat dan kepala adat disana. Sulaeman menyebut bila kepala desa dan masyarakat adat disana itu menyatu satu sama lain. Jadi selain izin kepada Pemerintah Daerah, masyarakat adat dan kepala suku adat juga perlu ada upaya mediasi. "Tidak bisa kemudian kita terobos masuk tanpa permisi untuk melakukan investasi disana. bila masyarakat merasa dihargai pasti akan ada solusi dari mereka," ujarnya.

 

Sosok Di Balik Deforestrasi

Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, mewanti-wanti negara mesti melindungi hutan wilayah adat warga Papua di Boven Digoel. Surat Keputusan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit, yang diterbitkan untuk PT IAL seharusnya dicabut. Dia menekankan keberadaan hutan adat telah diatur dalam konstitutsi, sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam beleid itu, hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

“Pengakuan dan jaminan hukum atas kepemilikan hutan adat oleh masyarakat adat Papua secara tegas dijamin dan diatur UUD 1945,” ujar Isnur kepada Law-justice, Kamis (13/6/2024). 

Lain itu, katanya, beleid hukum yang diatur dalam Pasal 42 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, juga mengatur ihwal kewajiban mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat. “Jadi tidak ada alasan bagi negara untuk tidak melindungi tanah ulayat dengan alasan apapun, apalagi alasan investasi bisnis,” tuturnya.

Isnur lantas menekankan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan untuk memastikan perlindungan hutan adat di Papua. Selain menjadi ruang hidup bagi masyarakat adat, dia menitikberatkan hutan Papua menyerap banyak gas rumah kaca yang menjadi pemicu krisis iklim. Di level lain, Isnur juga mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dan kepala daerah di seluruh wilayah adat Papua mengakui masyarakat adat Papua sebagai pemilik hutan adat Papua. 

“Kan sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan masyarakat adat bebas berdiri di tanah ulayatnya. Oleh karena itu, negara mesti ikut campur untuk mencabut izin perusahaan yang diberikan tanpa sepengetahuan masyarakat adat Papua,” kata Isnur.

Ketua YLBHI, Muhamad Isnur. (Jurnalislam)

Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Primus Peuki, menilai pemerintah tidak menaruh hormat atas keberadaan dan hak masyarakat adat. Konflik agraria warga adat Awyu dan Moi dengan negara dan korporasi sawit memperlihatkan negara berupaya menihilkan eksistensi masyarakat adat, sekaligus menghilangkan hak atas kepemilikan tanah adat yang diatur dalam konstitusi.

Maikel bilang, ekspansi perusahaan sawit menghalalkan segala cara. Korporasi tidak patuhi aturan dalam menyerobot lahan. Termasuk, katanya, tidak melakukan proses analisis dampak lingkungan atau amdal yang mempertimbangkan keberlangsungan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. “Tidak ada interaksi dengan masyarakat adat pastinya. Pembukaan lahan untuk kebun sawit ya dilakukan ugal-ugalan,” tutur Maikel kepada Law-justice, Kamis.

Dari sisi lingkungan, Maikel mewanti-wanti pembukaan lahan di atas hutan adat Papua akan memperparah krisis iklim. Dengan cakupan hutan Papua yang bisa menyerap gas rumah kaca, fungsi itu bakal hilang seiring emisi karbon yang dihasilkan akibat pembabatan hutan.

“Investasi yang tidak terkendali dalam sektor pertambangan dan perkebunan merusak lingkungan yang rapuh ini,” ujar dia.

Di luar dampak lingkungan yang rusak, Maikel mengingatkan eksistensi suku Awyu dan Moi yang selama ini bergantuk hidup pada wilayah hutan adat, bakal terancam keberlangsungannya. Sebab, ekspansi perusahaan yang menggunduli hutan bakal menghilangkan indentitas, biodiversitas, pangan-pangan lokal, hingga pekerjaan tradisional masyarakat adat.

Menurutnya, perlu ada gerakan sosial untuk menentang ekspansi perusahaan sawit yang dibekingi negara. Sebab, pemerintah tidak dapat memastikan investasi berkelanjutan yang tidak merugikan lingkungan dan masyarakat adat Papua. “Yang ada justru sebaliknya, bukan? Kami mengajak masyarakat Papua dan dunia internasional untuk bersatu dalam menentang deforestasi dan investasi yang merusak lingkungan,” ucapnya.

llustrasi:  Pembalakan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan sawit. (Greenpeace)

Deforestasi di Papua, khususnya di Boven Digoel bisa dilihat dari proyek ambisius bernama “Tanah Merah” yang berlangsung sejak 2007. Ada 7 korporasi sawit yang terlibat di dalam proyek itu. Selain, PT KCP, MJR, dan IAL, empat lainnya adalah PT Graha Kencana Mulia, PT Boven Digoel Budi Daya Santosa, PT Usaha Nabati Terpadu, dan PT Perkebunan Boven Digoel Abadi. Masing-masing perusahaan memiliki jatah konsesi lahan hutan sebesar 30 ribuan hektare.

Dalam catatan Greenpeace, sejumlah politisi nasional dan mantan pejabat terlibat dalam pusaran bisnis sawit yang merusak hutan di Boven Digoel. Mereka masuk dalam sturktural Menara Group-induk dari beberapa perusahaan di sektor sawit. Dari kalangan politisi, muncul nama Mohamad Hekal, anggota DPR dari Fraksi Gerindra yang duduk di Komisi VI. Bersama pengusaha Chairul Anhar, Mohamad Hekal adalah tokoh sentral di Menara Group, yang perusahaannya memperoleh izin-izin penting dan SK pelepasan hutan untuk tujuh konsesi antara tahun 2007 dan 2013. Ia mempertahankan kepemilikan minoritas di empat perusahaan tersebut hingga tahun 2016. Dua di antaranya telah membabat hutan di Boven Digoel.

Juga ada Da’i Bachtiar yang pernah berstatus Kapolri pada periode 2001-2005. Dia bergabung dengan dewan direksi Tadmax Resources Bhd sesaat sebelum grup tersebut membeli dua perusahaan perkebunan dari Menara Group. Namun, dia juga dilaporkan terkait dengan Menara Group itu sendiri. Penduduk lokal di Boven Digoel dan Kepulauan Aru, di mana Menara Group memperoleh konsesi yang kemudian dibatalkan setelah mendapat tentangan kuat dari masyarakat, yang melaporkan bahwa namanya terkait dengan grup tersebut--meskipun ia tidak pernah menjadi direktur resmi atau pemegang saham pada perusahaan Menara Group. Kedua perusahaan yang dibeli Tadmax tidak pernah mengembangkan perkebunan dan IUP mereka dicabut pada 2017.

Dari unsur kepolisian, ada pula Tommy Sagiman, seorang pensiunan jenderal polisi yang sempat menjadi Wakil Kepala Badan Narkotika Nasional dari 2009 hingga 2012. Dia menjadi komisaris di dua bekas perusahaan Menara Group lainnya yang diduga dimiliki oleh Hayel Saeed Anam Group, PT KCP dan PT Graha Kencana Mulia (PT GKM).

Nama lain yang terikat dengan Menara Group dalam eksploitasi hutan Papua adalah Menteri Luar Negeri di masa Gus Dur (1999–2001) yang sempat menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di bawah Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2005), juga Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) periode 2002-2005. Dia menjadi Komisaris Utama di perusahaan eks-Menara Group, PT MJR dan PT Energi Samudera Kencana (PT ESK) pada tanggal 31 Mei 2018.

Dana Otsus Sarat Penyimpangan 

Dalam rangka membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan juga sebagai implementasi otonomi khusus, pemerintah telah menggelontorkan dana otsus. Pelaksanaan Otsus Papua bermula sejak 2001 ketika Pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Selanjutnya, otsus tersebut juga berlaku bagi Provinsi Papua Barat selaku wilayah pemekaran dari Provinsi Papua.

Otsus Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), percepatan pembangunan ekonomi, serta peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Selama periode 2002-2019 pemerintah telah menyalurkan dana otsus sebesar Rp86,45 triliun dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) sebesar Rp28,06 triliun atau total seluruhnya sebesar Rp114,51 triliun.

Sayangnya, implementasi dana ini masih jauh panggang dari api. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan Pendapat BPK tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan Papua Barat kepada Pemerintah pada Kamis (21/1/2021).  BPK telah melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dana otsus pada Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan beberapa pemerintah kabupaten/kota di kedua provinsi tersebut. Hasil pemeriksaan BPK periode 2008-2019 mengungkapkan adanya permasalahan mendasar dalam pengelolaan dana otsus Papua pada aspek regulasi, kelembagaan, dan sumber daya manusia.

Diagram temuan dalam Pendapat BPK tekait Dana Otsus Papua. (BPK)

Dari 1.500 rekomendasi hasil pemeriksaan BPK, sebanyak 527 atau 35 persen rekomendasi belum selesai ditindaklanjuti. “Hal ini menunjukkan masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan, sehingga berdampak pada belum tercapainya tujuan otsus Papua,” seperti dikutip dari Pendapat BPK.

Terkait dengan sejumlah permasalahan yang belum terselesaikan, BPK memandang perlu untuk memberikan pendapat kepada pemerintah agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan untuk keberlanjutan program otsus Papua.

Berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006, BPK dapat memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya.

Pendapat yang diberikan BPK termasuk di antaranya perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Kesejahteraan dan kesetaraan tampaknya masih akan menjadi agenda perjuangan rakyat Papua. Alamnya yang indah dan kaya, ternyata tak banyak memberikan kontribusi untuk kesejahteraan. Bagaimana tidak, pada akhirnya oligarki dengan kedok industri ekstraktif lah mengeruk keuntungan.

Hutan-hutan yang dibabat abis dengan mengabaikan hak ulayat adat, selain menggusur warga asli Papua juga menjadi ancaman ekologis di masa mendatang. Laju kerusakan hutan primer di papua yang semakin mengkahwatirkan berdampak linear terhadap iklim di indonesia. Selain itu, fakta bahwa banjir kini telah menjadi tamu tetap di sejumlah kota di Papua sebagai akibat deforestrasi.

Rudapaksa oleh oligarki perkebunan dan pertambangan yang mengusur hutan, semakin menjauhkan rakyat Papoua dari kata sejahtera. Justru hutan yang selalu menjadi sumber pencaharian terancam musnah. Masyarakat terbiasa berburu dan meramu, serta mengambil komoditas gaharu tanpa merusak hutan.

Jangan lantas berpikir bahwa apa yang terjadi di Papua tidak akan berdampak kepada wilayah lain di Indonesia dan dunia. Hutan-hutan papua adalah benteng terakhir perlindungan Iklim, sekaligus paru-paru Indonesia yang masih sehat. Kini, terancam punah. Pembalakan dan pemusnahan hutan di papua, dengan alasan apapun, nyata akan mengancam iklim nasional dan dunia.

 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar