John Gobai Sebut Revisi UU Otsus Harus Jawab 4 Akar Masalah di Papua

Kamis, 24/06/2021 12:24 WIB
Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John NR Gobai. (Papua Inside).

Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John NR Gobai. (Papua Inside).

Jakarta, law-justice.co - Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John NR Gobai mengatakan, jika lahirnya Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) bagi Provinsi Papua sesungguh merupakan undang – undang resolusi konflik di Papua.

“UU Otsus dia berbeda dengan undang – undang yang lain. Otsus ini ada karena tahun 1998 – 1999 ada gerakan tuntutan kemerdekaan di Papua, lalu pemerintah pusat menjawabnya dengan undang – undang ini untuk menyelesaikan akar seluruh permasalahan di Papua,” kata John Gobay dalam pertemuan dengan Fraksi PKS DPR RI di Jakarta, Rabu, 23 Juni 2021.

Bahkan, kata John Gobai, LIPI telah merumuskan empat akar masalah di Papua, kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua.

“Ini menjadi problem utama di Papua, yang sesungguhnya karena ini undang – undang resolusi konflik, maka isi dari UU Otsus itu, antara lain untuk menjawab empat akar masalah di Papua, misalnya kekerasan dan pelanggaran HAM serta distorsi sejarah, itu diatur dalam Bab 12 pasal 45 – 47. Ini dari waktu ke waktu, sejak ada UU Otsus ini sampai 20 tahun selalu dibicarakan oleh masyarakat Papua untuk dapat dikongkritkan perintahnya,” papar John Gobai.

John Gobai menyebut pasal 46, untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM maka dibentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, hingga kini belum terwujud.

“Problemnya, UU Otsus ini dikebiri oleh undang-undang yang lain. Jadi, di Papua kita seperti bertuhan kepada beberapa undang-undang, sehingga jika ada mengatakan kegagalan disebabkan oleh Papua, saya mau bertanya sebenarnya siapa yang menggagalkan itu?,” ujarnya.

Terkait revisi UU Otsus, lanjut Jhon Gobay, kebutuhan hukum kita dalam rangka melaksanakan UU Otsus ini, sesungguhnya bukan hanya dua pasal yakni pasal 34 tentang keuangan dan pasal 76 tentang pemekaran, termasuk pasal 45 – 47 yang tidak berjalan secara tidak konsisten.

Menurutnya, pasal – pasal itu disengaja dibuat menggantung, misalnya dibentuk peraturan perundang-undangan, padahal peraturan perundangan itu banyak, apakah dalam bentuk perdasus atau Keppres.

“Karena akumulasi itulah, maka hari ini di Papua masyarakat menolak Otsus. Jadi, masyarakat menolak Otsus bukan disebabkan oleh karena masyarakat bosan, tetapi disebabkan karena ketidaksungguhan dari pemerintah pusat melaksanakan UU Otsus itu sendiri, sehingga jika mau dilakukan revisi, maka harus dilakukan secara menyeluruh,” katanya.

Apalagi, kata John Gobai, menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah 50 persen dalam hal revisi dapat dilakukan dari seluruh pasal dalam undang-undang sebelumnya, sehingga jika melakukan revisi UU Otsus maka yang direvisi ada 39 pasal.

Untuk itu, John Gobai mengatakan jika ada pengalaman menarik di Aceh dengan pendekatan konsep persaudaraan sesama Muslim, sehingga GAM bisa duduk bersama dengan pemerintah Indonesia.

“Nah, sebagai sebuah Undang-undang resolusi konflik, mungkin itu juga dapat dilakukan di Papua dalam rangka menciptakan keadilan, sehingga apa yang menjadi keputusan itu, dapat dituangkan dalam sebuah undang-undang yang baru. Seperti Aceh dulu kan dengan UU Nomor 18 Tahun 2001, kemudian ada perjanjian Helsinky, kemudian dibuat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,” katanya.

“Nah, ini perlu dicoba untuk diangkat yang menjadi referensi bahwa bukan menjadi sesuatu yang tidak mungkin dilakukan atau tidak bisa, padahal di luar negeri yakni di Piliphina, pemerintah Indonesia pernah membantu, sehingga tidak perlu alergi dengan kelompok – kelompok garis keras di Papua. Apalagi, rakyat Papua mempunyai hati yang bersih dan lembut,” sambungnya.

Untuk itu, Anggota DPR Papua dari jalur pengangkatan ini, mengharapkan melalui Fraksi PKS DPR RI untuk mendukung aspirasi rakyat Papua yang telah diserahkan tersebut, untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar