Gawat! Satgas Sebut Kerumunan Massa Jadi Klaster Baru Covid-19

Jum'at, 27/11/2020 22:51 WIB
Ilustrasi kerumunan massa yang jadi klaster baru Covid-19 (Foto: Ari Saputra/Detik).

Ilustrasi kerumunan massa yang jadi klaster baru Covid-19 (Foto: Ari Saputra/Detik).

Jakarta, law-justice.co - Satgas Penanganan Covid-19 sebut aktivitas yang melibatkan kerumunan massa telah menjadi klaster baru kasus baru Covid-19. Hal itu tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di semua daerah di Indonesia.

"Berdasarkan data nasional, terdapat berbagai kegiatan kerumunan yang berdampak pada timbulnya klaster penularan Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia," kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito Jumat (27/11/2020).

Dia memerinci, beberapa waktu lalu pada Sidang GPIB Sinode yang menghasilkan 24 kasus pada lima provinsi. Klaster ini berawal dari kegiatan agama yang dilakukan di Bogor, Jawa Barat, yang diikuti 685 peserta. Kemudian klaster itu berkembang dan menyebar ke provinsi lainnya yakni Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat.

Lalu, klaster kegiatan Bisnis Tanpa Riba menghasilkan 24 kasus di tujuh provinsi dan menimbulkan korban jiwa sebanyak tiga orang atau case fatality rate kasus ini mencapai 12,5%.
Sebelumnya Sama seperti klaster GPIB Sinode, klaster ini berawal dari kegiatan yang ada di Bogor yang diikuti 200 peserta. Kasusnya berkembang dan menyebar ke berbagai provinsi seperti Lampung, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Papua.

Di Lembang, Jawa Barat terdapat klaster Gereja Bethel. Kegiatannya melibatkan sekitar 200 peserta menghasilkan 226 kasus dengan infection rate mencapai 35%.

Lalu, klaster Ijtima Ulama di Gowa, Sulawesi Selatan, dengan total peserta sekitar 8.761 orang menghasilkan 1.248 kasus pada 20 provinsi. Dan klaster Pondok Pesantren Temboro di Jawa Timur menimbulkan 193 kasus di 6 provinsi di lebih dari 14 kabupaten/kota dan satu negara lain.

"Jadi tidak heran bahwa klaster tersebut terjadi karena adanya kerumunan di masyarakat. Dan masyarakat akan sulit menjaga jarak," imbuh Wiku.

Fenomena klaster kerumunan juga pernah terjadi saat kapal pesiar besar Diamond Princess, mengangkut 2.000 - 4.000 penumpang dan harus dikarantina di Jepang pada bulan Februari tahun 2020. Kondisi di dalamnya penuh sesak dan sulit menjaga jarak.

Akibatnya, sebesar 17% dari 3.700 penumpang dan awak kapal terinfeksi Covid-19. Berbagai pengalaman ini, sesuai penelitian dari Ibrahim dan Memish tahun 2020, yang menyatakan bahwa kemungkinan adanya hubungan dua arah antara kerumunan dan penyebaran penyakit menular.

"Dan ini penting untuk menjadi perhatian publik , bahwa kondisi kerumunan itu harus dihindari," kata Wiku.

Dampak dari adanya kerumunan berpeluang besar menjadi 3T yaitu testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan) dan treatment (perawatan) yang harus dilakukan segera dan menyeluruh. Karena periode inkubasi antara terpapar virus dan gejala rata-rata hanya lima hari. Dan gejala dapat muncul dua hari kemudian.

"Jika bisa disimpulkan, bahwa ada waktu sekitar tiga hari terhadap kontak erat itu dilacak. Dan diisolasi segera, sebelum terus melanjutkan penularan ke lingkar yang lebih luas lagi. Saya minta kesadaran dan kerja sama untuk tidak berkerumun. Jangan gegabah dan egois," tutupnya.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar