Fraksi Gerindra di Komisi XI DPR RI:

Pertama dalam Sejarah, Nilai Tukar Petani dan Nelayan Didesak Masuk Indikator Pembangunan

Selasa, 18/08/2020 21:21 WIB
Anggota DPR RI Komisi XI dari Fraksi Gerindra, Heri Gunawan (Warta Transparansi)

Anggota DPR RI Komisi XI dari Fraksi Gerindra, Heri Gunawan (Warta Transparansi)

[INTRO]

Untuk pertama kalinya dalam sejarah perekonomian Indonesia, Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) didesak untuk masuk sebagai indikator pembangunan.

Hal ini diungkapkan anggota Komisi XI DPR-RI dari Fraksi Gerindra, Heri Gunawan saat memberikan pandangan fraksi Gerindra terhadap rancangan undang-undang (RUU) tentang pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran pendapatan belanja negara (APBN) tahun anggaran 2019, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, (18/8/2020).

Menurut Politisi asal dapil Jawa Barat IV ini fraksi Gerindra menilai petani dan nelayan memiliki peran penting dalam pengelolaan kekayaan alam bangsa Indonesia. "Secara ideal kan kita ketahui Indonesia ini adalah negara yang sangat luas tanah dan kelautannya, sektor pertanian dan nelayan adalah yang paling mayoritas untuk mata pencaharian tapi kok selama ini mereka tidak dijadikan indikator pembangunan," ujar Heri kepada Law-justice.co, di Jakarta, Selasa, (18/8/2020).

Heri Gunawan menjelaskan NTP dan NTN ini adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase.

"Nilai tukar petani merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani. Pengumpulan data dan perhitungan NTP di Indonesia dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahunnya," jelasnya.

Lanjutnya, indeks harga yang diterima petani (IT) adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani.

Dari nilai IT, dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani. Indeks ini digunakan juga sebagai data penunjang dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian.

"IT ini dihitung berdasarkan nilai jual hasil pertanian yang dihasilkan oleh petani, mencakup sektor padi, palawija, hasil peternakan, perkebunan rakyat, sayuran, buah dan hasil perikanan (perikanan tangkap) maupun budidaya," terangnya.

Sementara itu, indeks harga yang dibayar petani (IB), adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan untuk proses produksi pertanian.

"Dari situ dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat di pedesaan, serta fluktuasi harga barang yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian," katanya.

Perkembangan IB ini menurutnya juga dapat menggambarkan perkembangan inflasi di pedesaan. "IB dihitung berdasarkan indeks harga yang harus dibayarkan oleh petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan penambahan barang modal dan biaya produksi, yang dibagi lagi menjadi sektor makanan dan barang dan jasa non makanan," tambahnya.

Selanjutnya untuk nilai hitung BPS, Heri merinci misalnya indikator 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu lebih baik dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar, dengan kata lain petani mengalami surplus.

"Pendapatan petani naik dan menjadi lebih besar dari pengeluarannya artinya yang dihasilkan dengan yang dibelanjakan 0 dan bisa untuk makan di sisi lain dia bisa untuk menanam kembali. Ini yang tidak terjadi selama ini," terangnya.

Dan jika mengalami defisit berarti petani mengalami kerugian yaitu indikator di bawah nilai 100. "Petani tanam padi namun dia harus membeli beras dengan harga yang lebih mahal," katanya.

Dan jika mengalami impas, 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu sama dengan NTP pada tahun dasar. "Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya," jelasnya.

Berdasarkan data tersebut, fraksi Gerindra lanjut Heri mendesak pihak-pihak terkait agar APBN 2021 mengedepankan NTP dan NTN untuk jadi indikator pembangunan.

"Alhamdulillah kemarin asumsi kita tentang Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) diterima baik oleh fraksi-fraksi lain di Komisi XI, jadi nilai tukar yang kita rekomendasikan antara 102-104," terangnya.

"Di sini hanya menegaskan kita kan punya Badan Pangan Nasional tuh, kebetulan Pak Prabowo dipercaya, inilah kesempatan kita membantu Kementan ataupun Bulog untuk mengedepankan kepentingan Petani dan Nelayan," tutupnya.

(Ricardo Ronald\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar