Boni Hargens Nilai KAMI Sebagai Kelompok Broker Politik

Selasa, 18/08/2020 16:05 WIB
Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens. (Monitorriau).

Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens. (Monitorriau).

Jakarta, law-justice.co - Pengamat Politik Boni Hargens mengatakan munculnya Koalisi Aksi menyelamatkan Indonesia (KAMI) sebagai oposisi jalanan karena lemahnya oposisi di parlemen terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Namun, ada perbedaan oposisi jalanan yang ditunjukkan KAMI dengan oposisi jalanan yang sesungguhnya.

Menurut Boni, dalam demokrasi yang sehat, oposisi jalanan biasanya dimainkan oleh kekuatan civil society dan benar-benar mencerminkan aspirasi publik yang tak tersalurkan melalui mekanisme prosedural kekuasaan. Sedangkan oposisi jalanan yang ditunjukkan KAMI terpisah dari masyarakat.

"Para pengusungnya adalah “para bekas” yaitu bekas politisi, bekas birokrat, bekas tokoh agama, bekas akademisi kampus, dan bekas aktivis yang sempat menikmati kekuasaan pada periode pemerintahan sebelumnya," katanya melali siaran persnya, Selasa (18/8/2020).

Karena itu, dia menduga kehadiran KAMI hanya sebagai broker poltik, artinya demi mencari keuntungan sesaat. Hal itu menurut dia bukanlah hal baru dalam sebuah negara yang demokrasinya belum begitu stabil.

"Saya cemas jangan-jangan KAMI ini hanya kelompok broker politik ataupun pemburu rente yang ingin mencari untung sesaat. Alasannya jelas, para deklarator dan momentum deklarasi adalah orang-orang yang dikenal publik karena kebiasaan mereka mencibir pemerintah di media. Meski demikian, gerakan mereka tetap kita hargai sebagai bagian dari kebebasan demokratik," lanjutnya.

Dia lantas mengeaskan bawha deklarasi KAMI tidak lebih dari sekedar oposisi jalanan. Adapun pertimbangannya adalah, isu yang mereka usung semuanya isu lama, tidak ada yang baru, mereka juga tidak mempunyai basis dukungan massa yang memadai, dan legitimasi moral mereka lemah di mata masyarakat.

"Saya menduga, KAMI dibentuk hanya untuk membangun bargaining position yang strategis untuk target pilpres 2024. Tentu ada salah satu dari tokoh-tokohnya yang berambisi menjadi capres atau cawapres. Kalaupun tidak ada, setidaknya mereka bisa menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan oleh para kandidat," kata Boni.

"Artinya, target KAMI politik pragmatis. Saya skeptis dengan misi mereka “menyelamatkan Inidonesia”. Justru para tokoh KAMI adalah orang-orang yang perlu diselamatkan—diselamatkan dari cara berpikir yang sinis dan pesimis terhadap pemerintah. Mereka perlu diselamatkan dari sikap skeptis yang cendrung absurd," tambah Boni.

Dengan hanya menyebut sebagai oposisi jalanan, Boni menilai KAMI belum berpotensi menjadi ancaman bagi stabilitas politik dan keamanan negara. Namun, dalam perjalanan waktu ke depan, KAMI bisa menjadi ancaman.

"Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, sebagian kelompok pendukung KAMI adalah kelompok ideologis yang pada periode pemilu 2019, termasuk Pilkada DKI Jakarta 2017, memainkan politik identitas. Kalau KAMI ikut mengamplifikasi politik identitas, maka gerakan mereka berpotensi menjadi ancaman bagi ketahanan ideologi dan demokrasi Pancasila," katanya.

Kedua, KAMI muncul di tengah kesibukan pemerintah menangani wabah Covid-19. Gerakan mereka berpotensi menguras energi pemerintah dan berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan. Ketiga, kalau KAMI ikut bermain dalam kampanye pilkada serentak Desember 2020 yang di depan mata, maka ada kemungkinan kehadiran KAMI menjadi masalah tersendiri. Propaganda antipemerintah akan terus menjadi narasi politik yang dominan baik di tingkat local maupun nasional.

"Kalau KAMI memang mempunyai motivasi dan intensi yang baik untuk merawat demokrasi, sebaiknya KAMI memberikan evaluasi dan kritik secara komprehensif dalam bentuk kajian yang akademik dan memadai tentang kelemahan dan kekuatan pemerintah dan kebijakannya," ungkap Boni.

"Sejauh ini, ada kesan KAMI adalah barisan sakit hati yang sekedar ingin melawan pemerintah karena faktor dendam politik. Stigma itu tak mudah dihapus. Hanya KAMI sendiri yang bisa meluruskan persepsi macam itu. Itu sebabnya saya menilai penting sekali KAMI mengeluarkan evaluasi yang komprehensif tentang kinerja pemerintah dengan data yang kuat dan tetap mengikuti kaidah ilmiah. Tanpa itu, lagi-lagi, KAMI hanyalah laskar sakit hati yang memobilisasi gerakan oposisi jalanan,".

Meski demikian, kata Boni kehadiran KAMI harus tetap menjadi perhatian institusi penegak hukum dan apparat keamanan. Bagaimanapun, kata dia kelompok ini tentu membutuhkan dukungan finansial yang memadai selain konsolidasi nonmaterial yang barangkali sifatnya ideologis.

"Maka, perlu ada monitoring siapa yang mendanai. Selain itu, kehadiran KAMI juga perlu dikaji dari aspek analisis ancaman untuk mengukur potensi ancaman yang mungkin muncul dalam dinamika politik ke depan," tutupnya.
Halaman 2 dari 3 Halaman 1 dari 3

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar