Inpres Jokowi Disebut Lahirkan Pelanggaran HAM & Pengungsi di Papua

Jum'at, 24/07/2020 15:02 WIB
Presiden Jokowi Kembali Kunjungi Papua. (TimesIndonesia)

Presiden Jokowi Kembali Kunjungi Papua. (TimesIndonesia)

Jakarta, law-justice.co - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay menyebut, bahwa Instruksi Presiden Joko Widodo dengan sandi operasi Nemangkawi telah [berhasil] melahirkan pengungsi dan pelanggaran HAM di Kabupaten Nduga, Papua.

Kata dia, pada 2 Desember 2018 lalu, presiden Joko Widodo telah mengeluarkan instruksi itu kepada Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Kata dia, instruksi tersebut dikeluarkan dalam rangka menanggapi tindakan pembunuhan terhadap karyawan PT. Istaka Karya oleh kelompok TPNPB pada 2 Desember 2018 di sekitar Puncak Kabo, Distrik Yigi.

Namun kata dia, Jokowi menekankan instruksinya adalah menangkap, bukan menembak mati kelompok tersebut.

Hanya saja kata dia, pada tanggal 1 Maret 2019 Kapolda Papua (saat dijabat oleh Irjen Pol Martuani Sormin) menegaskan tidak ada operasi militer yang dilakukan di Kabupaten Nduga.

Saat ini yang digelar di Nduga adalah Operasi Penegakan Hukum dengan “Sandi Operasi Nemangkawi”.

“Operasi penegakan hukum itu dilakukan untuk menangkap para pelaku penembakan yang merupakan anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Melalui penegasan Kapolda Papua di atas secara langsung menunjukan bahwa Instruksi Presiden pada prakteknya diartikan kedalam operasi penegakan hukum dengan sandi operasi nemangkawi,” ujarnya seperti melansir suarapapua.com, Kamis 22 Juli 2020.

Dia menyimpulkan, bahwa kehadiran Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD di Kabupaten Nduga merupakan bagian langsung dari menjalankan instruksi presiden yang dikeluarkan pasca pembunuhan terhadap karyawan PT. Istaka Karya, yang diterjemahkan dengan operasi penegakan hukum.

“Aparat terjemahkan instrukti presiden dengan melakukan operasi penegakan hukum yang pada praktiknya menjadi pembuka Konflik Bersenjata antara TNI-POLRI VS TPN-PB yang dimulai sejak tanggal 2 Desember 2018 sampai dengan Juli 2020 di Kabupaten Nduga,” ucapnya.

Kata dia, akibat konflik bersenjata tersebut telah melahirkan gelombang Pengungsian besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat sipil kabupaten Nduga.

Setidaknya menurut dia, ada 58 orang masyarakat sipil pengungsi dari tiga distrik antara lain Distrik Kagayem, Distrik Paro dan Distrik Yenggelo yang mengungsi ke hutan karena lapar dan sakit sehingga terpaksa mereka menuju ke ibu kota kabupaten Nduga.

Dalam perjalanan tersebut, ketika 58 orang warga sipil tiba di kampung Masonggorak, tepatnya di kali Keneyam, mereka hendak menyeberang kali dengan menggunakan perahu kayu sebanyak 12 perahu.

Setelah menyeberang sungai Keneyam Elias Karunggu (40) dan Seru Karunggu (20) ditembak oleh anggota TNI di kampung Masanggorak di pinggir Sungai Keneyam, sekitar pukul 15.00 WIT.

“Melalui fakta, terungkap bahwa penembakan terhadap Elias Karunggu (40) dan Seru Karunggu (20) adalah oknum anggota Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD yang bertugas di Kabupaten Nduga untuk menjalankan Instruksi Presiden,” bebernya.

Berdasarkan pemberitaan, Gobay melanjutkan, TNI melalui Danki-C Satgas Yonif PR 330 dan Kapen Kogabwilhan Kolonel Czi Gusti Nyoman beserta Bupati Nduga mentakan bahwa Elias Karunggu (40) dan Seru Karunggu (20) anggota KKSB.

Sementara itu Egianus Kogoya selaku Panglima Kodap III TPNPB Ndugama membantah tudingan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menyatakan Elias Karunggu (40) dan Seru Karunggu (20).

"Bahwa kedua korban adalah warga sipil. Keduannya bukan anggota saya“ ucapnya.

Melalui fakta adanya pengungsi di Kabupaten Nduga sejak 2018 sampai dengan 2020 ini merupakan korban dari instruksi presiden yang dilakukan tanpa mengikuti ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949 yang telah diratifikasi kedalam UU No. 59/1950 tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.

Anehnya yaitu, berdasarkan pertimbangan pembuatan UU No. 1/2018 tentang Kepalangmerahan pada huruf c disebutkan: bahwa dengan telah diratifikasinya Konvensi Jenewa Tahun 1949 dengan UU No. 59/1950 tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 mewajibkan negara untuk menerapkannya dalam sistem hukum nasional.

Serta adanya aturan turunannya dalam PP No. 7/2019 tentang Peraturan pelaksana Undang Undang Nomor 1 tahun 2018 tentang Kepalangmerahan yang dengan jelas memberikan tugas kepada Palang Merah Indonesia (PMI) untuk melakukan pelayanan bagi Pengungsi dimasa damai dan masa konflik bersenjata dengan prinsip kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesemestaan dan lain-lain namun sampai saait ini Palang Merah Indonesia belum turun juga ke Kabupaten Nduga.

Terlepas dari perdebatan TNI melalui Danki-C Satgas Yonif PR 330 dan Kapen Kogabwilhan Kolonel Czi Gusti Nyoman beserta Bupati Nduga dengan Egianus Kogeya diatas terkait korban, pada prinsipnya melalui fakta peristiwa penembakan terhadap Elias Karunggu (40) dan Seru Karunggu (20) oknum anggota Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD yang bertugas di Kabupaten Nduga pada tanggal 18 Juli 2020 di kampung Masanggorak di pinggir Sungai Keneyam, sekitar pukul 15.00 waktu setempat merupakan tindakan pelanggaran terhadap hak konstitusi warga negara dan merupakan tindakan pelanggaran terhadap “hak hidup” yang dimiliki kedua korban sebagaimana dijamin pada pasal 9 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan uraian diatas, Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) secara tegas menyampaikan kepada:

1. Presiden Republik Indonesia untuk segera mengevaluasi Instruksi instruksi presiden yang diartikan kedalam operasi penegakan hukum dengan sandi operasi nemangkawi di Kabupaten Nduga sebab pada prakteknya telah melahirkan Pengungsian dan Pelanggaran HAM Khususnya Hak Hidup sebagaimana diatur pada pasal 9 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, dalam melakukan pendekatan keamanan wajib mengedepankan ketentuan yang berkaitan dengan masyarakat sipil dalam situasi operasi militer sebagaimana dijamin pada pasal 3 ayat (1), Kovensi Jenewa Tahun 1949 yang telah diratifikasi kedalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1950 tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.

2. Ketua Palang Merah Indonesia segera menurunkan timnya ke Kabupaten Nduga untuk menanggani Penggungsi Akibat Konflik Bersenjata Antara TNI-POLRI VS TPN-PB di Kabupaten Nduga.

3. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia segera membentuk Tim Investigasi dan turun ke Kabupaten Nduga untuk melakukan infestigasi atas dugaan Pelanggaran HAM Berat (Kejahatan Kemanusiaan) yang terjadi dalam peristiwa penembakan yang menewaskan penembakan Elias Karunggu (40) dan Seru Karunggu (20) adalah oknum anggota Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD yang bertugas di Kabupaten Nduga pada tanggal 18 Juli 2020, sekitar pukul 15.00 WIT, di kampung Masanggorak di pinggir Sungai Keneyam, Kabupaten Nduga, Propinsi Papua.

4. Gubernur Propinsi Papua, Ketua DPRP Papua, Bupati Kabupaten Nduga dan Ketua DPRD Kabupaten Nduga wajib melindungi HAM Masyarakat sipil Kabupaten Nduga sebagai bentuk implementasi Prinsip Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada pasal 28I ayat (4), UUD 1945.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar