I Dewa Gede Palguna, Mantan Hakim Konstitusi di MK RI dan Dosen FH Udayana

Catatan Kritis Seorang Aktivis

Senin, 13/07/2020 19:58 WIB
Sampul depan buku, Fungsi-Fungsi DPR, Teks, Sejarah, dan Kritik, karangan Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Sampul depan buku, Fungsi-Fungsi DPR, Teks, Sejarah, dan Kritik, karangan Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Bali, law-justice.co - “A lot of people think that maybe they should find their meaning in politics.  They are going to be let down.” 

Banyak orang berpikir bahwa barangkali mereka harus menemukan makna dirinya dalam politik. Mereka akan kecewa. Ben Sasse, Time, May 1, 2017.

Sebagai politisi yang “berdarah” aktivis dan bertolak dari dunia aktivis dan setelah sekian tahun memasuki dunia politik praktis, apakah Desmond Junaidi Mahesa – yang selanjutnya akan saya sebut “Desmond” saja – merasa telah menemukan makna dirinya atau dia justru kecewa? Pertanyaan itu hadir karena bukunya "Fungsi-Fungsi DPR, Teks, Sejarah, dan Kritikyang sesaat lagi akan dibedah ini, secara substantif, bisa dipandang merepresentasikan kedua perspektif itu: perjumpaan dengan makna diri atau kekecewaan.

Itulah alasan pertama saya memulai keynote speech ini dengan “memungut” pernyataan Ben Sasse, senator muda di Senat Amerika Serikat yang mewakili negara bagian Nebraska. Alasan kedua karena buku ini ditulis oleh Desmond. Rasanya “sungguh terlalu” jika ada politisi “angkatan Reformasi” yang tak mengenal Desmond.

Meminjam konstruksi berpikir dalam ajaran kausalitas a la von Buri, Desmond adalah salah satu conditio sine qua non (sebab yang tak dapat ditiadakan) dari lahirnya Gerakan Reformasi. Ia adalah aktivis pro-demokrasi yang sangat kritis terhadap rezim Orde Baru hingga keruntuhan rezim ini pada tahun 1998. Ia bahkan sempat diculik tentara karena aktivitasnya itu.

Masuknya Desmond ke dalam daftar “wajib culik” (meski akhirnya dilepaskan) menunjukkan tingginya derajat kecemasan (juga kegusaran) rezim yang berkuasa ketika itu akan besarnya risiko yang dihadapi jika membiarkan seorang Desmond dan sejumlah pentolan aktivis pro-demokrasi lainnya bebas berkoar-koar. Rezim Orde Baru (sebagaimana jamak teridentifikasi pada setiap rezim otoriter) memiliki “tabiat” khas: ia sangat cemas terhadap “suara moral” – yaitu suara yang datang dari dan disuarakan oleh pribadi-pribadi yang memiliki pikiran dan jiwa merdeka.

Mereka – meminjam istilah aktivis yang sekaligus penyair-dramawan W.S. Rendra – adalah orang-orang yang “berumah di angin”, orang-orang yang semata-mata menyerukan suara nurani. Karena itulah, hanya pikiran dan jiwa merdeka yang mampu merepresentasikan suara moral – suara yang sama sekali bukan mewakili, apalagi menjadi loud speaker, kepentingan politik faksional tertentu.

Sebagai suara moral, kata-kata mereka adalah kata-kata sejati. Kata Paulo Freire, hanya kata-kata sejati yang mampu mengubah dunia. Inilah sebab mengapa setiap rezim otoriter sangat gregetan akan hadirnya suara moral. Karena, sebagai kata sejati, suara moral adalah suara kebenaran dan tak ada satu pun rezim otoriter yang rela menerima kebenaran lain di luar “kebenaran” versi rezim itu sendiri.

Sebab, kebenaran (yang merupakan jelmaan dari kata sejati) itu adalah ancaman paling serius bagi kelangsungan dirinya karena kebenaran demikian akan menisbikan, menihilkan atau bahkan menjungkirbalikkan “kebenaran” versi rezim otoriter itu. Desmond, setidak-tidaknya sepanjang kurun waktu 1990-an, adalah bagian dari suara moral itu. 

Karena suara moral itu adalah suara dari orang-orang yang “berumah di angin” maka suara moral akan selalu berada berada di luar pemerintahan dalam arti luas (government in a broader sense) yang meliputi ketiga cabang kekuasaan negara (jika mengikuti model pengkategorian sekaligus pemisahan kekuasaan negara a la Monstesquieu), yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial.

Sekarang, Desmond telah masuk ke dalam dan menjadi bagian dari pemerintahan dalam arti luas itu. Maka, suaranya bukan lagi suara orang yang “berumah di angin.” Suara Desmond kini, juga yang ia tuliskan dalam buku ini, adalah suara seorang politikus. Apakah dengan demikian suara itu jadi kehilangan nature-nya sebagai suara sejati? 

Sampai di sini saya jadi teringat Soe Hok Gie – intetektual-aktivis 1960-an yang oleh cendekiawan Daniel Dhakidae dijuluki sebagai lone rebel dan kisahnya diabadikan oleh Mira Lesmana ke dalam film dengan judul Gie (sosok Hok Gie diperankan oleh Nicolas Saputra).  Seperti halnya Desmond yang – bersama aktivis lain – berkontribusi signifikan bagi keruntuhan rezim Orde Baru, Soe Hok Gie pun demikian: ia – bersama para aktivis mahasiswa 1960-an – berperan aktif dalam menumbangkan rezim Orde Lama.

Bedanya, hingga menghembuskan napas penghabisan, Soe Hok Gie tetap menjadi outsider, orang yang berada di luar pemerintahan (dalam arti luas), tanpa sedikit pun kehilangan sikap kritisnya terhadap rezim Orde Baru yang ia ikut bidani kelahirannya. Wujud sikap kritis itu, untuk sekadar menunjuk satu contoh dan bukan satu-satunya, ditunjukkan misalnya ketika Hok Gie menulis artikel dengan judul “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang” di Harian Kompas, 16 Juli 1969.

Tulisan yang membuat merah telinga penguasa saat itu dibuat hanya berselang lima bulan sebelum ia meninggal di usia yang sangat muda, 27 tahun, karena diduga menghisap gas beracun saat mendaki Gunung Semeru – ia meninggal sehari sebelumnya hari ulang tahunnya. 

Ada cerita lain mengapa saya “tergoda” mengaitkan Desmond dengan Hok Gie. Sikap Hok Gie yang konsisten memosisikan dirinya sebagai outsider, yang menurutnya adalah sikap moral yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap orang yang menyandang predikat intelektual, mendorngnya menemui secara pribadi Prof. Dr. Sumantri Brodjonegoro, yang saat itu rektor Universitas Indonesia dan diangkat sebagai menteri oleh Orde Baru.

Hok Gie bertanya mengapa beliau mau diangkat sebagai menteri dan bekerja untuk rezim yang oleh Hok Gie dianggap korup itu? Konon, Prof Sumantri menjawab dengan bijak: ketika kita melihat keburukan-keburukan dalam pemerintahan, kita punya dua pilihan, pertama, turut ke dalamnya dan berusaha ikut memperbaiki (dan belum tentu berhasil) atau, kedua, diam di luar sambil menantikan rezim itu ambruk.

“Saya memutuskan memilih yang pertama,” begitu konon penegasan Prof Sumantri Brodjonegoro. Bagian fragmen inilah yang membuat saya tergiur membandingkannya dengan Desmond. Saya berasumsi, bisa jadi, Desmond pun memutuskan untuk mengikuti jalan seperti yang ditempuh oleh Prof Sumantri Brodjonegoro dengan pertimbangan yang sama: berikhtiar turut memperbaiki dari dalam meski dengan risiko belum tentu berhasil.

Bedanya, Desmond memilih berusaha “memperbaiki” lembaga legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tempat tiga fungsi konstitusional penting berada: fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Di sinilah letak daya tarik (lain) buku ini. Sebab, ketiga fungsi inilah yang menjadi titik sorot Desmond dan sekaligus melakukan otokritik terhadapnya – meski “tak terlalu otokritik juga” sebab di sana sini juga ada pembelaan dan atau pembenaran. 

Namun demikian, keberanian untuk membuka diri terhadap kritik, apalagi melakukan otokritik, patut mendapatkan apresiasi dan rasa hormat kita. Sebab, konon, derajat ketakutan kita akan kritik sesungguhnya sama besarnya dengan derajat kesukaan kita akan pujian. Maka, jangankan melakukan otokritik, untuk sekadar mampu berlapang dada menerima kritik saja pun sama sekali bukan perkara mudah.

Namun, melalui buku ini, Desmond melakukannya: ia mengritik lembaga tempatnya tertungkus lumus saat ini sebagai seorang legislator, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejak di halaman awal, Desmond sudah melontarkan kritiknya terhadap DPR, “Hingga saat ini fungsi-fungsi DPR dinilai belum sepenuhnya bisa dijalankan dengan efektif.

Faktor politis selalu menjadi bayang-bayang bagi DPR untuk menjalankan kewenangannya. Akibatnya, pertimbangan-pertimbangan politis kerap kali lebih dominan dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan logis dalam menjalankan fungsinya” (hlm. viii). Lalu dilanjutkan, “Berbicara atau menulis mengenai DPR selalu dihadapkan pada greget, bak kepala gatal, yang salah-salah resepnya hanyalah dengan menggunduli seluruh rambut di kepala, botak dan plontos” (hlm. ix).

Melalui pernyataan ini, saya kira, Desmond tidak bermaksud memberikan penjelasan mengapa ia menggunduli kepalanya hingga plontos – untuk soal kepala plontos Desmond ini, saya lebih melihatnya sebagai statement of fashion tinimbang statement of politics dari seorang Desmond Junaidi Mahesa.  

Secara lebih jelas, otokritik Desmond dapat dibaca di bab terakhir buku ini (Bab 11). Ia mengatakan, rakyat berharap Reformasi akan menghadirkan era baru, lebih dari sekadar kebebasan dan liberalisasi kehidupan sosial politik. Dalam hubungannya dengan DPR, dengan penegasan ketiga fungsi DPR (legislasi, pengawasan, dan anggaran) melalui perubahan UUD 1945, rakyat berharap banyak kepada DPR.

Namun, harapan itu tak kunjung terwujud. Sebabnya, menurut Desmond, di satu pihak, Pemerintah makin kuat dan liberal. Di sisi lain, “DPR justru bertambah lemah berhadapan dengan Pemerintah, khususnya dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Penggunaan hak-hak DPR seperti hak penyelidikan (angket), semula memberi kesan DPR lebih kuat.

Namun kenyataan politik memperlihatkan sebaliknya, entah karena panitia khusus yang dibentuk ‘masuk angin’, atau langkah politik DPR itu sekadar menaikkan posisi tawar DPR, atau karena Pemerintah dan pihak-pihak terkait tidak merasa terikat untuk patuh pada kesimpulan dan rekomendasi DPR” (hlm. 620). Bukan cuma itu, Desmond pun menyoroti perilaku tak senonoh sejumlah anggota DPR sebagai faktor yang turut memperburuk keadaan.

“Keadaan tidak sehat dalam relasi DPR-Pemerintah itu, dirusak oleh fenomena perilaku dan etik anggota DPR yang buruk, seperti: kerap membolos rapat-rapat di Alat Kelengkapan DPR hingga Rapat Paripurna DPR; pelesir ke luar negeri dengan agenda dan hasil yang kurang penting; atau yang paling menonjol adalah perilaku korupsi anggota DPR. Sehingga DPR kehilangan kepercayaan rakyat. Banyak programnya yang bagus, sering kali kandas karena curiga publik bahwa program itu akan jadi ladang korupsi baru, dan lain-lain” (ibid.).  

Meski memuat otokritik (walau “tak terlalu otokritik”), buku ini bukanlah buku yang muram. Saya setuju dengan tengara Fahri Hamzah ketika menyambut terbitnya buku ini bahwa mungkin Desmond satu-satunya politisi (yang saya pahami sebagai “politisi anggota DPR”) yang secara tekun menghimpun data untuk menelusuri jejak fungsi DPR dari masa ke masa tanpa kehilangan daya kritisnya dalam meneliti subjek penelitiannya secara objektif (hlm. xiii). 

Lebih dari sekadar fakta dan data, paparan dalam buku ini adalah sekaligus refleksi kritis seorang aktivis terhadap lembaga yang tanpa henti ia kritisi sejak berstatus sebagai outsider, aktivis yang “berumah di angin”, penyeru suara moral, hingga menjadi bagian tak terpisahkan darinya: Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu, bagi mereka yang hendak mendalami hal-ihwal yang bersangkut-paut dengan pertumbuhan fungsi-fungsi DPR, buku ini adalah referensi penting yang tak boleh diabaikan.

Untuk sekadar menyebut salah satu alasannya, jangankan generasi milenial, bahkan generasi seangkatan saya pun belum tentu mengetahui cikal-bakal lembaga ini sesungguhnya sudah ada sejak masa kolonial Belanda, yaitu ketika pada tahun 1916 atas prakarsa Gubernur Jenderal J.P. van Limburg Stirum (yang disokong oleh Menteri Urusan Kolonial, Thomas Bastiaan Pleyte) didirikan Volksraad di Hindia Belanda.

Meski diberi nama mentereng Volksraad alias Dewan Rakyat, keberadaan lembaga ini sesungguhnya tidak lebih sebagai “penggembira” karena Gubernur Jenderal memiliki hak veto terhadap keputusan-keputusan Volksraad, lebih-lebih yang membahayakan kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun, sejarah juga mencatat, lewat Volksraad pula sebuah petisi “nekat” (yang di belakang hari ternyata berpengaruh besar terhadap tumbuhnya kesadaran kebangsaan dan kemerdekaan negeri ini) lahir.

Itulah Petisi Soetardjo, petisi yang menyerukan kemerdekaan Indonesia – yang diusulkan oleh anggota Volksraad bernama Soetardjo Kartohadikoesoemo pada tanggal 15 Juli 1936 kepada Ratu Belanda, Wilhelmina, dan kepada Parlemen Belanda saat itu (Staten Generaal). Kisah ini pun diulas dalam buku ini. Dari situ, secara sekuensial, kisah kemudian mengalir hingga perkembangan fungsi-fungsi DPR “Pascareformasi.”

Dari sebab itu, catatan penting yang ditulis Denny Indrayana, gurus besar yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, di bagian akhir epilognya untuk buku ini sungguh layak mendapatkan perhatian kita, yaitu bahwa pengalaman-pengalaman Desmond sebagai wakil rakyat di DPR dan himpunan peraturan-peraturan yang dihimpun dalam buku ini dapat menjadi rujukan dalam menelusuri fungsi-fungsi DPR dari masa ke masa hingga saat ini.

Selebihnya adalah harapan Denny Indrayana, yang juga adalah harapan kita semua, kepada Desmond untuk senantiasa bersuara dengan lantang dalam mengawal dan mengawasi demokrasi Indonesia. Semua orang paham bahwa ihwal politik adalah ihwal kekuasaan. 

Kendatipun demikian, kita sama sekali tak hendak menemukan di kemudian hari seorang Desmond berubah menjadi sosok seperti yang digambarkan oleh Gunawan Mohamad dalam salah satu Catatan Pinggir-nya: betapa dahsyatnya kekuasaan, sesuatu yang dapat menyebabkan seseorang sangat menginginkannya hingga menggelikan, atau menjijikkan, karena tak mengenal lagi rasa malu dan dalam 18 jam sehari bersedia berpu-pura (J, Catatan Pinggir, Tempo, 26 Februari 2017). 

Terakhir, kepada Bung Desmond J. Mahesa, sebagai ucapan turut bersuka suka cita atas terbit dan dibedahnya buku ini, saya hendak menyampaikan penghargaan dan salut saya. Mungkin DPR saat ini belum ideal, terutama karena “supplier”-nya, yaitu parpol-parpol kita, juga belum ideal, tetapi kiranya hal itu tidak akan menyurutkan Anda selalu berusaha menemukan jalan keluar dari “kebuntuan” demikian. Ada pepatah latin yang berbunyi, “Aut inveniam viam aut faciam,” aku akan menemukan jalan, atau, jika tidak, aku akan membuat jalan itu.

Bravo. Terima kasih. 

Batubulan, Gianyar (Bali), 14 Juli 2020.

Artikel ini  dibuat untuk acara bedah buku karangan Desmond J. Mahesa, Fungsi-Fungsi DPR, Teks, Sejarah, dan Kritik (Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2020), yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan (PKHP) Universitas Negeri Surabaya, 15 Juli 2020

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar