Pesta Bancakan Anggaran Covid-19, Menunggu Nyali KPK

Rabu, 08/07/2020 08:10 WIB
Deskripsi Tambahan Budget APBN 2020 untuk Penanganan Covid-19 (Bisnis)

Deskripsi Tambahan Budget APBN 2020 untuk Penanganan Covid-19 (Bisnis)

Jakarta, law-justice.co - Sebagaimana diketahui, Pemerintah dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 , menggelontorkan dana yang cukup fantastis, yakni sebesar Rp 405,1 triliun. Sebagian dana tersebut digunakan untuk program Kartu Prakerja dengan alokasi anggaran sebesar Rp 20 triliun untuk 5,6 juta peserta, dengan tujuan menyelamatkan buruh di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Dana tersebut akhir akhir ini terus naik seiring dengan masih merajalelanya serangan virus corona yang sudah merata menyatroni seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Keuangan seperti tidak ada beban, sesuka hati dalam menaikkan anggaran dana penanganan virus corona baru (covid-19). 

Kini dana Covid-19 yang awalnya hanya berkisar Rp. 405,1 triliun sekarang sudah meningkat menjadi  905 T.  Rusly Moti yang merupakan Aktivis Petisi 28 mengatakan, jika kenaikan dana penanganan corona bikin mual dan muntah. “Asumsi APBN darurat Corona, naik turun, persis seperti roller coaster, bikin mual dan muntah.

Diumumkan awalnya Rp. 405,1 triliun. Kemudian dikoreksi jadi Rp. 677,2 triliun. Lalu direvisi kembali jadi Rp 695,2 triliun. Terakhir diamandemen jadi Rp. 905,1 triliun. Enak bener ya punya kekebalan hukum,” kata Haris Rusly Moti di akun Twitter miliknya @motizenchannel pada Sabtu 20 Juni 2020.

Yang bikin semakin mual muntah adalah adanya sinyalemen korporasi besar yang mendapat jatah dana itu. “Relaksasi kredit untuk UMKM hanya sekitar 20%, sisanya paling besar 80% untuk selamatin kredit macet korporasi besar.” Ungkap Haris Rusly Moti pada, Minggu 21 Juni 2020.

Kalau benar sinyalemen dari Rusly Moti maka kita sebagai warga bangsa pantas mengelus dada. Karena seperti kita ketahui penggunaan dana tersebut lolos dari jerat hukum karena dilindungi oleh Undang Undang sehingga mereka bisa seenaknya menggunakan dana covid -19 tanpa harus takut digiring ke penjara.

Keterbukaan 

Dana Covid-19 yang awalnya hanya berkisar Rp. 405,1 triliun kini sudah meningkat menjadi  905 T.  Salah satu sektor yang mendapatkan tambahan dana adalah korporasi, kementerian/ lembaga dan Pemda. Ada dua pos belanja yang mendapatkan penambahan anggaran, yaitu pembiayaan korporasi, serta bantuan terhadap sektoral Kementerian/Lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (Pemda).

Adapun untuk pembiayaan korporasi, sebelumnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah adalah sebesar Rp 44,57 triliun. Namun, saat ini jumlah tersebut mengalami peningkatan Rp 9 triliun menjadi Rp 53,57 triliun.

Ada indikasi penyaluran dana covid 19 ke korporasi sangat rawan untuk diselewengkan. Banyak pihak mengkhawatirkan masalah ini termasuk yang disuarakan oleh mantan  aktivis 98 Rusli Moti dan Salamudin Daeng. Pada akhirnya  Rusli Moti dan Salamudin Daeng telah meminta kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI selaku Bendahara Negara untuk membuka ke publik terkait beberapa informasi yang menyangkut APBN Darurat Covid untuk alokasi penanganan darurat Covid. 

Pertama, korporasi swasta mana saja yang mendapatkan suntikan dana dari APBN dalam berbagai skema tersebut? Termasuk diantaranya skema bail out dengan rute yang agak panjang seperti reklasasi kredit.  Perlu dibuka penyertaan modal pemerintah ke bank untuk tujuan penyelamatan kredit macet oligarki. Berapa nilai dana yang disuntikan kepada masing masing corporasi? Untuk apa saja alokasi dana tersebut digunakan?

Kedua, BUMN mana saja yang memperoleh alokasi Penyertaan Modal Negara (PMN) atau suntikan dana bentuk lainya? Berapa nilainya untuk setiap BUMN? Apa alasan BUMN tertentu menerima suntikan dana PMN tersebut? Untuk apa saja alokasi suntikandana tersebut digunakan?

Ketiga, program darurat apa saja yang dibiayai oleh APBN darurat Covid? Berapa nilai dari tiap-tiap program? Lembaga apa saja yang menjadi menerimanya? Siapa yang menjadi penguasa anggarannya? Publik wajib untuk mengetahuinya.

Keempat, dari mana sumber anggaran pembiayaan seluruh skema suntikan dana kepada korporasi tersebut? Penting untuk dirincikan sumber anggaran pembiayaannya tersebut. 

Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, beberapa permasalahan  tersebut adalah bagian dari informasi yang harus diketahui oleh publik. 

Ditegaskan di dalam Pasal 10 UU Keterbukaan Informasi Publik, informasi tersebut wajib diumumkan secara serta-merta. Karena informasi tersebut terkait erat dengan hajat hidup orang banyak. Jangan hanya pejabat pemerintah yang mengetahui.Publik juga tentu berhak untuk mengetahui penggunaan anggaran, terutama yang berasal dari utang luar negeri. Apalagi utang dalam rangka penanganan darurat Covid-19.Juga pinjaman luar negeri untuk  pemulihan ekonomi nasional. Sebab dampak pendemi Covid 19 yang sangat erat dengan kebutuhan hidup masyarakat banyak.

Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No. 14 Tahun 2008 bahwa setiap instansi pemerintah pusat dan daerah wajib membuat laporan kinerja serta membuka akses informasi untuk publik. Harus menyediakan informasi yang akurat, benar dan tidak menyesatkan.

Jika informasi tersebut  tidak dipenuhi, maka kedua aktifis (Rusli Moti dan Salamuden Daeng) akan mengajukan proses hukum lebih lanjut ke Komisi Informasi Publik (KIP). Proses hokum itu ditujukan kepada Menteri Keuangan RI sebagai Bendahara Pengelola Keuangan Negara.Kementerian Keuangan harus membuka Informasi terkait alokasi APBN Darurat Covid untuk penanganan darurat Covid maupun untuk  Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Adapun alasan Rusly Moti dan Salamudin Daeng mengajukan tuntutan ke  Kementerian Keuangan membuka informasi ke publik terkait alokasi APBN Darurat Covid, karena :

Pertama, ada indikasi suntikan dana APBN pada korporasi baik BUMN, maupun swasta, telah menjadi bancakan mereka oligarki ekonomi dan politik.Bancakan tersebut diantaranya untuk persiapan dana pemenangan pemilu 2024. “Kami tengarai modus skandal BLBI dan Century sedang dijalankan dalam skema yang soft dan rute yang panjang,” papar kedua mantan aktivis 98.

Kedua, jumlah anggaran yang dialokasikan sering berubah ubah. Sebelumnya Rp. 405,1 triliun. Namun beberapa kali diajukan perubahan. Terakhir diputuskan naik menjadi Rp. 641,17 triliun. Kuat dugaan, anggaran dana APBN Darurat ini adalah pesanan dari sekelompok orang untuk mendapatkan suntikan dana APBN.

Ketiga, kuat dugaan kami bahwa anggaran suntikan dana bagi korporasi dan lembaga keuangan ini akan digunakan untuk membayar utang korporasi. Baik itu untuk BUMN maupun swasta yang sedang terlilit utang.

Keempat, pembiayaan dari seluruh suntikan dana kepada korporasi swasta dan BUMN ini diduga berasal dari utang pemerintah. Negara dan rakyat dibebankan tanggung jawab menanggung utang BUMN dan swasta tersebut.

Bancakan Yang Kebal Hukum ?

“Bancakan” secara leksikal dimaknai acara makan bersama dalam satu wadah. Dalam serpihan pikiran di tengah kepedihan pandemic covid-19, kata “bancakan” dimaksudkan untuk merepresentasikan pola pengelolaan dana bencana yang dilakukan secara konspiratif dan tidak bertanggung jawab secara hukum.

Kondisi serba keterbatasan akibat pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia, masih saja atau berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan orang-orang/kelompok tertentu. Di Indonesia pun sudah banyak kasus dana bantuan bencana yang sebenarnya untuk meringankan penderitaan masyarakat yang terdampak akibat hal tersebut di korupsi.

Salah satu potensi penyelewengan dana covid 19 adalah alokasi dana yang di salurkan untuk korporasi.Adalah wajar kalau masyarakat menjadi khawatir dana stimulus penanganan virus corona rawan diselewengkan oleh pelaksananya. Karena belajar dari pengalaman yang sudah sudah, bencana di Indonesia seringkali justru dimanfaatkan untuk menangguk keuntungan pribadi atau kelompoknya.

Ingatlah kasus BLBI dan Century yang sampai sekarang belum selesai.Dalam kasus BLBI, pemerintah tidak mengetahui besaran secara tepat beban utang bank-bank yang mengalami masalah likuiditas karena terdampak krisis moneter.

Hal serupa juga terjadi ketika Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak mengetahui besaran biaya yang diperlukan untuk penyelamatan Bank Century.Pada awalnya penyelamatan Bank Century hanya membutuhkan Rp670 miliar, tapi melebar hingga mencapai Rp7 triliun.Dengan tidak adanya data yang tepat, maka beban keuangan untuk menyelamatkan perekonomian pada waktu itu sangat besar dan jumlahnya terus meningkat.

Sepertinya hal tersebut akan kembali berulang dengan adanya suntikan dana ke korporasi yang jumlahnya terus meningkat tanpa dukungan dana yang akurat sehingga potensial terjadinya penyimpangan penyimpangan dalam pelaksanannya.

Kekhawatiran masyarakat menjadi bertambah akut manakala membaca pasal 27 Perpu Nomor 1/2020  tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Virus Corona yang sekarang sudah menjadi Undang Undang.  Karena berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut seolah-olah justru sudah disiapkan untuk melindungi para pejabat dari jerat hukum pidana.

Pasal27

(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merrrpakan kerugian negara.

(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota secretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara

Membaca ketentuan pasal 27 tersebut tentu orang akan bertanya tanya urgensinya.  Karena ketentuan pasal ini jelas membuka peluang untuk pejabat negara melakukan perampokan keuangan negara. Perampokan itu melalui stimulus secara besar-besaran dan terang-terangan. Karena, mungkin saja terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam menggunakan dana stimulus tersebut. Seperti terbukti di dua krisis ekonomi sebelumnya tahun 1998 dan 2008.

Menunggu Aksi KPK

Meskipun ada kekebalan  hukum bagi mereka para pengguna anggaran covid-19 tetapi UU tersebut saat ini sedang digugat oleh beberapa elemen masyarakat. Sehingga pihak penegak hukum harusnya proaktif untuk menindaklanjuti setiap dugaan penyelewengan yang terjadi.

Permintaan masyarakat akan dugaan temuan penyelewengan hendaknya ditindaklanjuti oleh KPK agar dana  covid -19  tidak disalahgunakan pengelolaannya. Sebaiknya juga mereka-mereka yang mempunyai dugaan tersebut membantu KPK dengan memberikan data yang dimiliki. Salah satu potensi penyimpangan yang paling mungkin  terjadi khususnya alokasi anggaran ke korporasi.

Mengapa demikian, karena sudah lazim terjadi alokasi ke sektor ini paling mudah untuk dijadikan lahan bancakan bagi pengguna anggaran covid karena sulit di deteksi disebabkan ada “gondoruwo” yang menunggui. 

Kita sudah sering mendengar KPK mengancam akan menuntut pidana hukuman mati kepada mereka yang melakukan korupsi dana penanggulangan bencana pandemi Covid-19. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri berjanji lembaganya akan memberikan hukuman tegas bagi pihak-pihak yang melakukan korupsi di tengah suasana bencana pandemi corona atau COVID-19. Tak tanggung-tanggung, Firli mengancamnya dengan pidana mati.Hal tersebut dikatakan Firli saat rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI membahas penanganan Covid-19, Rabu (29/4/2020) siang.

Penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia  sendiri diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal tersebut berbunyi “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Berdasarkan konstitusi dan undang-undang HAM penerapan pidana mati bagi pelaku kejahatan dalam hal ini tindak pidana korupsi apalagi dilakukan dalam keadaan bencana seperti merampas hak rakyat untuk menadapatkan bantuan sosial (bansos), bukanlah termasuk pelanggaran dibidang hak asasi manusia karena merupakan tindakan penghormatan terhadap hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Mengingat pada dasarnya para koruptor telah menyengsarakan rakyat secara perlahan yaitu dengan mengambil hak-hak rakyat secara tidak sah, akhirnya rakyat menjadi menderita akibat kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan,  sehingga tidak terjadi pemenuhan akan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia orang lain.

Penerapan pidana mati bagi koruptor juga merupakan salah satu perwujudan dari adagium hukum culpue poena par esto atau let the punishment be equal the crime yang dapat diartikan jatuhkanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatan serta adagium lex dura sed tamen scripta atau hukum itu keras begitulah bunyinya.

Kita berharap  penegak hukum, khususnya KPK, hendaknya tidak sekedar memberi peringatan dengan mengancam penerapan pidana mati. Tetapi benar-melakukan pengawasan dan menegakkan aturan tersebut jika terbukti ada pihak yang terindikasi menyalahgunakam bantuan untuk bencana.

Rakyat sudah bosan mendengar janji janji palsu atau harapan hampa dari pejabat negara. Jangan sampai ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi dana virus corona yang di tebar oleh Ketua KPK hanya pemanis dibibir saja.

Karena kalau memang ancaman hukuman mati itu tidak ada realisasinya, maka semakin menguatkan posisi KPK sekarang yang sudah kehilangan tajinya setelah adanya revisi UU KPK. Juga semakin menguatkan sinyalemen bahwa KPK sekarang  seolah olah telah menjadi  Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri) cabang Kuningan sebagaimana dinyatakan oleh  mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Mohammad Tsani.

Kalau memang itu yang terjadi maka betapa sialnya nasib bangsa ini. Ada maling dilindungi sementara penangkap malingnya sudah dikebiri. Maka semakin lengkaplah derita bangsa ini ditengah pandemi yang entah sampai kapan akan hengkang dari negeri ini.

(Ali Mustofa\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar