Ada yang Mau Potong Sejarah, RUU HIP Melompat Dari Perumusan Pancasila

Selasa, 07/07/2020 07:20 WIB
Demo Tolak RUU HIP. (Pikiran Rakyat)

Demo Tolak RUU HIP. (Pikiran Rakyat)

Jakarta, law-justice.co - Politisi Masyumi Reborn, Ahmad Yani menyebut penyusunan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) telah melompati alur sejarah perumusan Pancasila.

Kata dia, pangkal RUU pun hanya mengacu pada pidato Soekarno 1 Juni 1945.

"Dalam RUU HIP ini ada yang jumping, ingin potong alur sejarah. Kalau bicara Pancasila, dia tidak di ruang vakum. Dia hasil dialog, pergumulan, tidak bisa jumping 1 Juni. (Tanggal) 1 Juni itu pidato Bung Karno," katanya dalam webinar `Sekali lagi, Kembali pada Pancasila dan UUD 1945` yang dilaksanakan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Jakarta serta Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Senin (6/7).

Menurut dia, pernyataan tersebut sekaligus untuk mengkritik penetapan Hari Kelahiran Pancasila setiap 1 Juni yang sudah ditetapkan Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) 24/2016.

Dia menegaskan, Pancasila secara legal konstitusional lahir pada 18 Agustus 1945, bertepatan dengan pengesahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau 22 Juni 1945 secara filosofis sosiologis karena sesuai terbitnya Piagam Jakarta.

"Tidak bisa ditarik 1 Juni," tegas Ahmad Yani.

Oleh karenanya dia beranggapan bahwa penyusun naskah akademik RUU HIP tak memahami hakikat Pancasila. RUU justru terkesan berupaya mengudeta dan mendegradasi dasar negara menjadi undang-undang.

"Pancasila juga mau dimutilasi karena Pasal 3 tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap bagian dari kompromi menjadi yang berkebudayaan. Nilai-nilai transendental, nilai-nilai tauhid juga direlativitaskan menjadi kemanusiaan," ujarnya.

Selain itu kata dia, tafsir Pancasila pun bakal dimonopoli negara melalui presiden. Ini sebagaimana isi draf Pasal 4 RUU HIP.

Hal serupa juga disampaikan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lili Romli.

Kata dia, monopoli dan penyimpangan tafsir Pancasila telah dilakukan sejak Orde Lama (Orla) yang sudah terlihat pada keberadaan Dewan Nasional yang diketuai Presiden Soekarno.

"Dia sendiri ketuanya dan tugasnya memberikan nasihat-masukan, baik diminta maupun tidak diminta," jelasnya.

Demikian juga kata dia, ketika era kepemimpinan Presiden Soeharto yang ditandai dengan lahirnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) serta Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).

"Menafsirkan Pancasila monotafsir. Bukan merujuk ajaran Soekarno, tapi Soepomo. Kemudian, melahirkan asas tunggal," jelasnya.

Sejarawan, Lukman Hakiem menegaskan, Pancasila tidak jatuh dari awang-awang.

Namun, melalui proses perdebatan panjang dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Sembilan hingga diperdebatkan kembali dalam Konstituante dan berakhir saat Soekarno menerbitkan Dekret Presiden, 5 Juli 1959.

"Kalau bicara dasar negara, jangan berhenti 18 Agustus. Itu masih berproses. Ujungnya adalah dekret (yang pada) tanggal 22 Juli `59 oleh DPR diterima secara aklamasi," ucapnya.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar