Gara-gara Djoko Tjandra, Jaksa Agung Sampai Sakit Hati

Rabu, 01/07/2020 22:11 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin. (Kompas)

Jaksa Agung ST Burhanuddin. (Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengaku sakit hati ketika mendengar terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra pernah 3 bulan berada di Indonesia, tapi tak diketahui oleh pihak intelijen Kejagung. Alhasil, Djoko pun tak tertangkap.

"Informasinya lagi menyakitkan hati saya adalah faktanya 3 bulanan dia ada di sini," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR seperti dikutip dari detikcom, Senin (29/6/2020) kemarin.

"Ini baru, baru sekarang terbukanya setelah saya sudah perintahkan Jamintel (Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen) saya minta ini bisa tidak terjadi lagi," tambah Burhanuddin.

Oleh karena itu dia berharap Djoko Tjjandra ini segera ditangkap. Namun, dia mengaku hingga saat ini belum bisa melakukannya.

"Ini Djoko Tjandra, mudah-mudahan saya juga sangat-sangat menginginkan, kita sudah berapa tahun mencari Djoko Tjandra ini tapi yang justru melukai hati saya, saya dengar Djoko Tjandra bisa ditemui di mana-mana, di Malaysia di Singapura tetapi kita sudah minta ke sana ke sini juga tidak bisa ada yang bawa," kata Burhanuddin.

Dengan kejadian tersebut dia mengaku intelijen kejaksaan agung masih lemah sehingga belumbisa menangkapnya, bahkan informasi soal berada di Indonesia tak diketahui.

"Ini Djoko Tjandra saya juga belum dapat informasi apakah hari ini datang ke sidang atau tidak tapi yang saya herankan adalah... pada tanggal... kami juga ada kelemahan pak, pada tanggal 8 Juni Djoko Tjandra informasinya datang di Pengadilan (Negeri) Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK-nya," kata Burhanuddin.

"Ini juga jujur ini kelemahan intelijen kami tapi itu yang ada, terus saya tanyakan pada pengadilan bahwa itu didaftarkan di pelayanan terpadu jadi tidak secara identitasnya terkontrol tetapi ini akan menjadi suatu evaluasi kami bahwa dia bisa masuk karena memang aturannya, katanya, untuk masuk ke Indonesia dia tidak lagi ada pencekalan tetapi pemikiran kami adalah bahwa dia ini sudah terpidana, pencekalan ini aja tersangka, ada batas waktunya, untuk kepastian hukum tapi kalau ini sudah terpidana seharusnya pencekalan ini terus menerus dan berlaku sampai ketangkap, ini akan menjadi persoalan kami nanti dengan imigrasi," sambungnya.

Namun, dia juga meminta agar pencekalan terhadap terpidana tidak boleh habis masa berlakunya. Dia ingin agar terpidana yang menjadi buron harus dicekal selamanya.

"Mohon izin kami juga tidak menyalahkan siapa, tetapi ini pemikiran yuridis kami, pencekalan kalau itu sudah terpidana artinya harusnya tidak ada batas waktunya sampai dia tertangkap, untuk pencekalan tersangka atau terdakwa ada batas waktunya ini diperlukan untuk kepastian hukum, itu akan menjadi kami akan bicara dengan pihak sebelah," imbuhnya.

Sebelumnya, sidang perdana gugatan PK Djoko Tjandra itu ditunda karena Djoko Tjandra tidak hadir. Persidangan tersebut selanjutnya akan digelar kembali pada 6 Juli mendatang. Di sisi lain, pihak pengacara Djoko Tjandra melampirkan surat keterangan sakit.

"Djoko tidak bisa hadir karena beliau tidak enak badan. Kita ada suratnya keterangannya, kita serahkan ke majelis. Mudah-mudahan kesempatan berikutnya bisa hadir," kata kuasa hukum Djoko Tjandra, Andi Putra Kusuma, di PN Jaksel pada Senin (29/6) kemarin.

Namun, ketika ditanya keberadaan kliennya, Andi enggan menyampaikan secara rinci. Adapun gugatan PK ini diajukan Djoko Tjandra berdasarkan pada SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang menyatakan permohonan PK yang diajukan lebih dari 1 kali terbatas pada alasan SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang pengajuan peninjauan kembali.

Andi mengatakan permohonan PK ini diajukan terhadap putusan MA Nomor 12 PK/PID.SUS/2009 dan Putusan MK nomor 33/PUU-XIV/2016 yang dianggap bertentangan, khususnya terhadap penerapan Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Putusan tersebut dianggap bertentangan karena sebelumnya MK telah memutuskan jaksa tidak berwenang mengajukan PK.

Djoko Tjandra terseret kasus cessie Bank Bali yang meledak tahun 1998 senilai lebih dari Rp 500 miliar. Djoko dihukum 2 tahun penjara dalam putusan PK yang diajukan jaksa. Djoko tidak terima lalu melakukan PK dan ditolak MA.

Djoko diduga meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta ke Port Moresby, PNG, pada 10 Juni 2009, hanya satu hari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan atas perkaranya. Hingga kini dia diduga masih di negara tersebut.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar