Ditolak Komunitas Pers, Stop Pembahasan Pasal Pers di RUU Ciptaker

Kamis, 11/06/2020 21:20 WIB
Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

law-justice.co - Sejumlah komunitas pers telah menyampaikan pandangannya tentang beberapa pasal pers yang tertera di Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menginginkan, pembahasan pasal tentang pers dihentikan.

Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Agung Dharmajaya menegaskan, pihaknya menolak pembahasan pasal pers di RUU Omnibus Law jika tidak disertakan unsur kebebasan pers yang tertera jelas dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

"Karena UU Pers merupakan sebuah Peraturan yang bersifat Lex Primaat yang artinya diutamakan atau didahului sehingga sepanjang sebuah peraturan diatur dalam UU Pers maka UU Pers harus diutamakan atau didahului dibanding UU lainnya," kata Agung saat menyampaikan pandangan Dewan Pers dalam agenda rapat dengar pendapat (RDP) dengan Badan Legislasi DPR RI, Kamis (11/6/2020).

Berdasarkan analisa Dewan Pers, beberapa pasal dalam RUU Omnibus Law telah merubah ketentuan yang tertera dalam UU Pers. Salah satunya tentang penambahan pasar modal asing.

Dalam RUU Omnibus Law, Pasal 11 berbunyi “Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal”.

Ketentuan tersebut, menurut Dewan Pers, adalah bentuk campur tangan pemerintah dalam urusan bisnis pers. Hal tersebut dianggap tidak perlu dan tidak menjawab tantangan pers masa kini.

"Kami melihat, tidak ada korelasinya," ujar Agung.

‎Sementara Ketua AJI Indonesia Abdul Manan yang juga turut dalam RDP mengatakan, modal asing sudah diatur dalam UU Pers agar mengacu pada ketentuan pasar modal yaitu Undang Undang No. 25 tahun 2007. Untuk media penyiaran, diatur dalam Undang Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta.

AJI juga menyoroti ketentuan tentang naiknya denda bagi pihak-pihak yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU Pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta. Di RUU Omnibus Law Cipta Kerja pada Pasal 18 itu diubah mengenai denda yang diberikan menjadi Rp 2 miliar.

Manan mengatakan, kenaikan jumlah denda terlalu berlebihan sehingga bersifat memberangus.

"Perubahan hendaknya mengusung semangat yang lebih baik dan lebih demokratis dari undang-undang awal," ujar dia.

Sebelumnya, Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana yang hadir dalam RDP juga meminta penghentian pembahasan Pasal Pers dalam RUU Omnibus Law.

"Kami memintan Badan Legislasi mencabut semua pasal terkait pers yang ada di RUU Cipta Kerja, terutama pasal 18 ayat 3 dan ayat 4. Kami melihat ada upaya intervensi pemerintah dalam urusan pers, dan ini membahayakan kebebasan pers yang saat ini telah terjaga dengan baik," ujat Yadi, Selasa (9/6/2020).

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar