ADPPI: Ada Alasan Licik di Balik Ketidakpastian Regulasi Panas Bumi

Senin, 08/06/2020 15:18 WIB
Energi panas bumi (goognewsfromindonesia)

Energi panas bumi (goognewsfromindonesia)

Jakarta, law-justice.co - Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI) setuju dengan pendapat Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) yang menyatakan bahwa hambatan dalam pengembangan panas bumi untuk menjadi energi terbarukan, lebih disebabkan oleh ketidakpastian regulasi.

ADPPI mengatakan ada unsur kesengajaan di balik ketidakpastian regulasi panas bumi tersebut. Diduga demi mepertahankan energi fosil, menjadi alasannya. Menurut Ketua Umum ADPPI Hasanuddin, regulasi yang terus berubah-ubah mengakibatkan regulasi bukannya memberikan penataan dalam pengusahaan panas bumi, malah menjadi salah satu bagian resiko dalam pengusahaan.

“Ini menjadi salah satu penyebab target investasi panas bumi sulit tercapai,” jelas Hasanuddin di Jakarta, Senin (8/6/2020) seperti dikutip dari situs panasbuminews.

Dia menegaskan bahwa investasi untuk PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) sifatnya jangka panjang dari 25 hingga 50 tahun, namun ternyata regulasinya malah berjangka pendek. Contohnya kata dia adalah UU Panas Bumi yang usianya 13 tahun, tahun 2003 kemudian terbit UU Nomor 27, namun kemudian pada tahun 2014 dirubah lagi menjadi UU Nomor 21.

“Hal sama terjadi pula pada tariff listrik di mana ada UU yang telah mengatur, namun malah tidak dilaksanakan dan membuat aturan baru yang skemanya bertolak belakang dengan UU Nomor 21 Tahun 2014,” jelasnya..

Hal seperti kata dia yang menajdikan regulasi malah menjadi faktor resiko, bukan mengatur. Menurutnya, regulasi yang tak menentu tidak hanya terjadi pada pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung (PLTP), melainkan juga dengan pemanfaatan langsung seperti wisata dan sebagainya.

“Untuk pemanfaatan langsung, Peraturan Pemerintahnya saja hingga saat ini belum terbit sebagaimana diamanatkan UU, kini malah akan dihapus melalui UU Ciptaker (Cipta Kerja),” ungkapnya.

UU Ciptaker sendiri, jelas dia, memunculkan masalah dimana kewenangan penyelenggaran pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung seperti wisata, malah jadi menghilangkan kewenangan pemerintah daerah seperti provinsi, kabupaten/kota.

“Padahal berdasarkan UU 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, perizinan untuk pemanfaatan langsung dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah, namun kini dengan UU Ciptaker akan diambil alih oleh pemerintah pusat,” katanya.

Padahal kata dia, peran pemerintah daerah sangat membantu saat pemanfaatan langsung, karena pemerintah pusat tidak hadir.

“Semestinya, bukan diambil alih, tetapi memperkuat UU Nomor 21 Tahun 2014 dengan pemberian pendelegasian pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah daerah, baik untuk pemanfaatan langsung maupun untuk pengusahaan panas bumi untuk PLTP,” tutupnya.

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar