Dian Andryanto

Tragedi Bongku

Jum'at, 29/05/2020 11:56 WIB
Bongku, 58 tahun. Sejak November tahun lalu ditangkap, diperiksa, ditahan dan diadili karena dianggap melanggar tanah konsesi PT Arara Abadi. (Foto: LBH Pekanbaru)

Bongku, 58 tahun. Sejak November tahun lalu ditangkap, diperiksa, ditahan dan diadili karena dianggap melanggar tanah konsesi PT Arara Abadi. (Foto: LBH Pekanbaru)

Jakarta, law-justice.co - Lelaki itu memegang besi jeruji. Orang merdeka itu terpasung kebebasannya untuk hal yang sudah dilakukan nenek moyangnya lama sekali, menanam ubi menggalo, ubi racun di tanah leluhurnya untuk makan dia dan keluarganya.

Bongku, 58 tahun. Sejak November tahun lalu ditangkap, diperiksa, ditahan dan diadili karena dianggap melanggar tanah konsesi PT Arara Abadi. Tanah yang ia yakini sebagai tanah Ulayat, tanah adatnya.

Lelaki suku Sakai, Bengkalis, Riau ini tak menduga setengah hektare lahan yang ia buka untuk ditanami ubi kayu dan ubi menggalo itu dianggap melanggar Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) yang disangkakan kepadanya.

Bagaimana mungkin? Dia melakukannya sendiri, tidak berkelompok dan tidak untuk kepentingan komersil. Ubi itu hanya buat memenuhi kebutuhan makanan keluarganya.

Suku adat Sakai sudah lama tinggal di sana, jauh sebelum Indonesia ada. Hidup di hutan-hutan pedalaman Riau dengan kearifan lokal yang telah teruji dalam mempertahankan kelestarian rimba seisinya. Tanah Ulayat itu warisan moyangnya. Mengapa ada yang menggugatnya di tanah leluhurnya sendiri.

Dia tak bisa berdalih dan adu alasan, dengan pendidikan rendah, Bongku tak tahu begitu banyak aturan dan kepentingan disekitarnya. Begitu banyak jerat di tanah tempat ia dan sukunya hidup, lahir dan mati ratusan bahkan mungkin ribuan tahun sudah.

Bongku kemudian dijatuhi vonis, setahun penjara dan denda Rp 200 juta. Bagaimana mungkin uang sebanyak itu bisa ia dapat. Uang yang dalam mimpinya pun tidak pernah ia lihat. Makan ubi kayu saja sudah tak mudah.

Bongku yang tak berdaya. Dia wujud masyarakat adat yang terdesak di mana-mana, terlindas keserakahan atas nama kebangkitan ekonomi negeri.

Dia wujud masyarakat jelata yang hukum pun tak bisa adil kepadanya. Dia wujud di strata paling bawah, yang tak didengar suaranya, tak diindahkan kepentingan dasarnya. Tak di pedulikan sejarah keturunan dan leluhurnya.

Bongku. Lelaki dari hutan sunyi itu tenggelam dalam ketakberdayaan. Ia tentu menerima saja apapun yang dijatuhkan kepadanya, karena hukum hanya tajam kepada orang sepertinya, karena kepentingannya buat makan keluarga dianggap tak ada apa-apanya dibandingkan relasi usaha para pembesar yang setiap saat makan mewah di meja rumah megah. Menghitung pundi kekayaan tak sudah-sudah.

Bongku, merindukan suara bisik angin yang bergesekan antara daun-daun getah dan ilalang. Ia ingin bebas mendengar suara derik tonggeret saat malam. Dan, ia kangen sunyi rimba yang bebas merdeka.

Bongku menggenggam teralis bui. Kebebasannya terampas, untuk menanam ubi menggalo untuk makan keluarganya di tanah ulayatnya sendiri.

Bongku, lelaki Sakai itu. Diam, karena keadilan tidak lagi bersamanya.

Tapi kita yang bisa bersuara sekecil apapun itu bunyinya. Merasa keadilan Bongku yang dirampas adalah bagian kita pula.

Bongku, lelaki Sakai itu menggenggam besi jeruji. Tak umbar kata, pandangannya yang banyak bicara. Dia tak mengerti sungguh yang terjadi, karena keadilan telah pergi bersama tawa mereka para penguasa di singgasana emas bertahtakan citra.

Bongku, lelaki Sakai itu tidak pernah kalah, dia menang besar dalam kejujurannya. Alam memeluk sepinya dan ketakberdayaannya, sekaligus.

#SaveBongku

SUARAKAN....

#sayabelajarhidup bersama Ursamsi Hinukartopati

:: Saya pernah tinggal bertahun di Riau, maka cara hidup suku adat Sakai dan Talang Mamak, saya memahami, tak mungkin mereka merusak "ibu" nya sendiri.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar