Kinerja Menkeu Dikritik, Begini Jawaban Tegas Sri Mulyani

Senin, 25/05/2020 06:09 WIB
Menkeu Sri Mulyani (Doc. Kemenkeu)

Menkeu Sri Mulyani (Doc. Kemenkeu)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Keuangan (Menkeu) mendapat banyak kritikan terkait kinerjanya. Permasalahan utamanya adalah soal adanya perubahan defisit APBN 2020. Dikethaui awalnya defisit APBN diperkirakan pada angka 5,07 persen tetapi kemudian menjadi 6,27 persen.

Kritikan terhadap Sri Mulyani dominana berasal dari Pengamat dan DPR. Mereka bahkan menilai bahwa adanya perubahan negatif tersebut karena Sri Mulyani tak bekerja dengan benar, terutama dalam menghitung efek covid-19 terhadap pengelolaan fiskal negara.

Apa yang dikritisi oleh DPR dan pengamat tersebut tak serta merta diterimanya. Sebab, kata dia pemerintah punya hitungannya sendiri, dan mengaku sudah memperhitungkannya dengan matang sesuai dinamika ekonomi yang terjadi.

Melansir bisnis.com, Sri Mulyani melalui Staf Khususnya, Yustinus Prastowo lantas menjelaskan apa yang menjadi dasar kebijakan tersebut diambil.

Pertama, dalam konferensi pers 18 Mei lalu, Sri Mulyani tidak membahas rencana perubahan postur APBN, tetapi update tentang Program PEN, usai sidang kabinet presiden & seluruh menteri.

Dalam rapat juga dibahas banyak hal, antara lain potensi pelebaran defisit yang disepakati harus terjadi sebagai konsekuensi dinamika ekonomi

Kedua, terkait dinamika Program PEN antara lain wacana penambahan masa pemberian bansos, penambahan subsidi bunga tentu menambah belanja. Sementara realisasi pendapatan negara sampai April 2020 sudah ada, sehingga bisa mengukur kinerja APBN.

Ketiga, rumus APBN semua paham, Pendapatan Negara-Belanja Negara Keseimbangan Primer, lalu defisit (jika belanja>pendapatan). Jika pendapatan turun belanja naik, konsekuensi matematisnya defisit naik, sehingga pembiayaan juga bertambah.

Keempat, Perppu 1/2020 (UU2/2020) sebenarnya memberi kewenangan besar kepada Presiden untuk mengubah postur APBN dengan Perpres saja. Namun Pemerintah berkomitmen terus berkomunikasi dan diskusi dengan DPR, Komisi XI dan Banggar, dan berjalan dengan baik sampai saat ini.

Kelima, inilah kenapa kmrn sempat ada sedikit kesalahpahaman yang tak perlu terjadi. Menkeu sudah rapat dengan pimpinan Banggar & Kapoksi, Minggu depan dengan Komisi XI. Ini masih mendiskusikan perkembangan angka dan skema, belum ada keputusan final berupa revisi Perpres 54.

Keenam, jika mau fair, juga ada dalam dilema bukan? di satu sisi Pemerintah melalui Kemenkeu berhitung cermat agar APBN tetap kredibel & akuntabel, di sisi lain ada dorongan kebutuhan yang cukup besar, entah cetak uang Rp600 triliun, Rp16.00 triliun. Kalau ikuti logika ini, defisit bengkak?

Ketujuh, konteks ekonomi politik yang dinamis seperti ini mestinya menjadi background berpikir dan berpendapat yang jernih. Apalagi kebutuhan belanja demi bansos dan pemulihan ekonomi utamanya UKM, apa mau dipersoalkan? Kok rasanya kita tak ingin berputar-putar di sini saja kan?

Kedelapan, angka-angka itu sangat mungkin akan bergerak lagi, dinamis. Tapi itu bukan karena Kemenkeu tidak punya daya analisis mendalam dan gagal membangun indikator. Justru karena responsif maka terus dihitung ulang. Intinya "keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi". Ini prinsip utama.

Kesembilan, pemerintah terus berkomitmen mengerahkan seluruh daya upaya untuk menangani pandemi dan memulihkan perekonomian rakyat. Komunikasi dan koordinasi terus dilakukan. Termasuk dalam Kabinet, KSSK, dan dengan DPR, BPK, dan KPK.

 

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar